January 11, 2011

Melestarikan Tradisi Rihlah

Oleh: Nazhori Author


Satu alasan mengapa negara-negara maju menekankan pentingnya pendidikan dalam meningkatkan kapasitas warga negaranya adalah untuk menjawab tantangan zaman. Tujuan memprioritaskan pendidikan diharapkan kemampuan belajar baik di dalam lembaga pendidikan maupun belajar mandiri (otodidak) dapat meningkatkan spirit kehidupan rohani dan jasmani.

Kemampuan belajar (Learning Capability) merupakan energi pedagogis yang harus dilestarikan. Menurut Mochtar Buchori (2001) kemampuan belajar ialah kemampuan untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, atau wawasan baru tanpa terlampau banyak tuntunan dari orang lain. Sering juga diartikan dengan kemampuan belajar secara mandiri.

Dalam konteks tradisi rihlah (perjalanan mencari ilmu) kemampuan belajar sudah dilakukan para kaum shopie (bijak) di zaman Yunani kuno dan Islam klasik. Dari tradisi rihlah inilah ilmuwan-ilmuwan besar lahir dengan beberapa karya penting yang sangat berpengaruh di seantero dunia. Nama-nama besarnya ikut mewarnai khazanah ilmu pengetahuan sampai saat ini.

Rihlah dalam Islam
Rihlah atau perjalanan mencari ilmu secara khusus dijelaskan dalam Alquran dan hadis. Misalnya dalam (Q.S. al-Mujadalah: 11) yaitu “Allah akan meninggikan derajat orang yang beriman dan mencari ilmu beberapa derajat”. Firman-Nya yang lain (Q.S. Luqman: 27) “Seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah keringnya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat (ilmu) Allah. Sesungguhnya Allah Maha Agung lagi Maha Bijaksana. Dijelaskan dalam ayat lain, “Terangkan kepada-Ku dengan keterangan yang berdasarkan ilmu, jika kamu memang bisa membuktikan suatu kebenaran” (Q.S. al-An’am: 143).

Konteks tiga ayat ini adalah mengenai anjuran Islam kepada setiap muslim untuk menuntut ilmu. Sehingga tradisi rihlah yang terdapat di kalangan umat Islam terus tumbuh. Sementara jangkauan ilmu manusia, di samping terbatas juga tidak sempurna. Tiga ayat tersebut saling melengkapi untuk memberikan motivasi kepada setiap muslim untuk mencari ilmu.

Karena menuntut ilmu dinyatakan wajib, maka kaum muslim pun menjalankannya sebagai ibadah. Dan, janji Allah amat jelas akan meninggikan derajat dan kemampuan belajar bagi yang beriman dan berilmu. Hal ini diperkuat juga dalam hadis Nabi: “Barang siapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah memudahkan jalannya ke surga”.

Pendidikan Islam menerangkan bahwa rihlah boleh dilakukan setiap muslim ke tempat yang jauh walau sampai ke negeri Cina, asalkan mencari keutamaan ilmu, seperti digambarkan dalam sebuah hadis. Rihlah merupakan suatu konsekuensi menjalankan perintah Rasulullah. Atas dasar itu, rihlah adalah ikhtiar meningkatkan kualitas penalaran manusia yang sebelumnya terbatas.

Dengan kemampuan itu maka manusia memiliki ilmu. Manusia mampu mengidentifikasi segala sesuatu dengan panca indera dan intuisinya. Dengan kemampuan itu pula, menurut Dawam Rahardjo dalam Ensiklopedi al-Qur’an (2002) manusia bisa melakukan komunikasi dan transfer pengetahuan kepada orang lain, tidak saja di antara yang hidup dalam satu generasi, melainkan juga ke generasi berikutnya.

Secara historis tradisi rihlah telah dipraktikan di Indonesia. Kondisi itu dapat dilihat pada awal abad ke-20. Berdasarkan penelitian Karel A. Steenbrink (1986) dalam bukunya Pesantren, Madrsah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern dijelaskan bahwa pendidikan yang paling sederhana, seluruhnya dipusatkan pada Alquran dan disebut pengajian al-Qur’an.

Steenbrink menambahkan, para santri tidak pernah membayar uang sekolah dan semacamnya untuk pendidikan yang mereka terima, karena ilmu pengetahuan agama tidak boleh diperjualbelikan dengan uang. Begitu pula mereka tidak membayar sewa gedung yang sederhana yang tersedia di pesantren. Umumnya para santri datang dari berbagai daerah untuk belajar. Demikian gambaran rihlah saat itu.

Sedangkan untuk belajar agama yang lebih mendalam, Kota Mekah merupakan pusatnya. Biasanya tradisi rihlah dilakukan setelah ibadah Haji, banyak kaum muslim yang memanfaatkan waktu senggangnya belajar kepada ulama terkenal di Mekah. Tidak diragukan lagi setelah cukup menimba ilmu mereka kembali ke tanah air berbekal pengetahuan untuk saling berbagi. KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asy’ari dan A. Hassan merupakan tiga contoh ulama berpengaruh yang bergelut di jalur rihlah.

Bahkan waktu itu, secara otodidak orang Indonesia belajar kepada orang Belanda untuk mempelajari manajemen pendidikan. Hasilnya sekolah-sekolah modern bediri meski sederhana sebagai tempat bagi anak-anak, kaum perempuan dan pemuda belajar. Tidak heran jika tokoh-tokoh pemuda kala itu mendirikan organisasi yang cukup berpengaruh. Hal ini sebagai wujud dari ikhtiar mereka melakukan rihlah.

Rihlah Masa Kini
Dalam era ilmu pengetahuan dan teknologi, sudah saatnya Learning Capability menjadi perhatian serius tanpa melupakan tradisi rihlah. Keberanian untuk mengajukan alternatif pembelajaran (alternative learning) harus ditempuh agar menghasilkan suatu hal yang baru. Artinya dapat bersanding dan kemudian berkompetisi sehingga menghasilkan agen perubahan sosial (agent of change) yang tangguh.

Tradisi rihlah dari waktu ke waktu terus mengalami perubahan sesuai dengan konteks zaman. Berdirinya lembaga-lembaga pendidikan yang baru dan spesifik suatu pertanda rihlah harus dikemas sesuai dengan kebutuhan. Untuk itu, makna rihlah mengalami pergesaran sesuai dengan tuntutan zaman. Namun, ada sebagian yang tetap bertahan sebagai warisan budaya dan intelektual yang perlu dilestarikan.

Bangsa Indonesia perlu berbangga hati, karena banyak sarjana-sarjana Indonesia yang belajar ke luar negeri untuk rihlah. Lembaga-lembaga pendidikan tumbuh subur dengan kreativitas dan inovasinya besar harapan para remaja dan pemuda dapat memilih ilmu pengetahuan yang diminati. Mengingat ketatnya persaingan dalam rangka memberikan layanan pendidikan yang berkualitas kepada masyarakat.

Kita semua berharap dengan tradisi rihlah masa kini dapat menghasilkan pemikiran dan gagasan pendidikan yang holistik. Pada gilirannya dapat menyumbangkan strategi pengembangan pendidikan dalam menghadapi dinamika tantangan di tengah persaingan nasional dan global. Dengan semangat ini, di bidang pendidikan semoga terjadi transformasi sosi-kultural yang mampu memetakan persoalan bangsa.

Kontribusi akademik dan sosial sangat dinanti perannya sebagai wujud kepedulian kita terhadap keadaan bangsa dewasa ini. Sikap ini secara sosiologis-pedagogis terkait dengan soal rihlah masa kini diakui membutuhkan ongkos sosial yang tidak sedikit. Nyatanya, penyelenggaraan pendidikan tanggung jawab masyarakat bukan pemerintah. Hasilnya biaya pendidikan ditanggung masyarakat bukan peserta didik.

Selayaknya masyarakat tidak perlu risau mencari wahana rihlah (sekolah dan madrasah/ kaum cerdik pandai) karena semuanya sudah terfasilitasi. Tradisi keilmuan seperti sekarang ini sejatinya dimanfaatkan sebaik mungkin. Terutama dalam meningkatkan kemampuan belajar generasi muda yang secara tidak langsung sedang berusaha melestarikan tradisi rihlah di abad modern. Wallohu ‘alam

0 comments:

Post a Comment

Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?