Showing posts with label Politik. Show all posts
Showing posts with label Politik. Show all posts

March 28, 2012




BBM Naik,
Bagaimana dengan Zakat Profesi Anda ?


Meski Jakarta diancam demo besar-besaran, toh akhirnya keputusan pemerintah untuk menaikan BBM tidak terelakan lagi. Efek sosial dan ekonomi akan terus membuncah sampai tanggal penetapannya. Para ibu rumah tangga sudah bersiap-siap menghitung jumlah pengeluaran yang akan dikeluarkan untuk urusan dapur, biaya pendidikan anak, rekening listrik dan telepon termasuk uang jajan buah hatinya.

Read More …

June 3, 2011


Rata Penuh
"Perguruan Tinggi Negeri didesak murah", isu ini tidak disangka muncul kembali dan ramai diperbincangkan setelah sekian lama mengemuka tanpa kepastian. Dengan nuansa politis, DPR membentuk Pantia Kerja Rancangan Undang-undang Perguruan Tinggi Negeri (RUU PTN) untuk menekan biaya pendidikan tinggi yang dinilai terlampau mahal. Keputusan membuat Panja RUU PTN tersebut diambil ketika Komisi X mengadakan Rapat Gabungan dengan sejumlah menteri di Gedung DPR RI (Koran Jakarta, 31/5/2011).

Bayangkan saja, lulusan sekolah menengah umum yang sederajat masih mengeluhkan biaya pendidikan tinggi yang mahal. Bahkan, sudah banyak calon mahasiswa yang diterima melalui jalur undangan masih mengeluhkan tingginya biaya kuliah. Tidak hanya itu, pada tingkat sekolah menengah pertama dan menegah umum para orang tua juga mengeluhkan hal yang sama, terutama untuk sekolah rintisan bertaraf internasional.

Persoalannya menurut anggota DPR, untuk menempuh kuliah menjadi tidak terjangkau bagi sebagian kalangan karena kesalahan konsep pengelolaan anggaran pendidikan. Anggaran lebih menjurus untuk gaji guru, sementara anggaran pendidikan tinggi dikorbankan. Berdasarkan kenyataan ini, lalu di mana peran otonomi perguruan tinggi di saat anggaran untuk pendidikan tinggi berada dalam profil yang sangat rendah.

Maka, dilihat dari isu ini, terdapat kebijakan besar yang sepertinya bias dalam menjembatani bagaimana agar biaya pendidikan tinggi dapat terjangkau. Pertama, lemahnya kebijakan politik anggaran pendidikan yang kuat dan transparan. Kedua, tidak konsistennya kebijakan pendidikan yang bertumpu pada pemerataan akses pendidikan tinggi kepada masyarakat secara merata.

Dinamika Perguruan Tinggi
Ketika persoalan biaya menjadi alasan klasik, mereka yang baru lulus SMU melanjutkan ke perguran tinggi di saat yang sama antara perguruan tinggi dan dunia kerja, ada kalanya terdapat perbedaan dalam pola dinamika. Dengan menarik, Mochtar Buchori (2001) mengatakan bahwa perguruan tinggi kita tidak selalu mampu mengikuti dinamika yang terdapat dalam dunia kerja.

Akibatnya, menurut Buchori, bagian-bagian tertentu dari perguruan tinggi kita menghasilkan lulusan-lulusan yang secara relatif mudah dapat menemukan pasar kerja, sedangkan pada bagian-bagian yang lain mengalami kesukaran menembus pasar kerja. Hasilnya, para lulusan perguruan tinggi menerima kerjaan di bawah taraf pendidikan mereka (under employment).

Pada dasarnya, jalur-jalur studi yang terdapat dalam perguruan tinggi terbagi dalam dua jenis, yaitu jalur akademis dan jalur profesional. Tapi kenyataannya, dua jalur studi tersebut dalam perkembangannya mengalami perubahan yang sama dalam hal biaya setiap tahunnya. Sementara di sisi lain, kehidupan ekonomi tidak cukup berkembang akibat perubahan drastis dunia kerja yang menuntut efisiensi biaya produksi.

Dalam pada itu perlu juga diketahui, dinamika perguruan tinggi juga mengalami perubahan yang cepat dalam bidang pengembangan jalur studi yang akademis dan profesional. Sehingga, belakangan ini terdapat beberapa perguruan tinggi, baik yang umum dan Islam, maupun yang negeri dan swasta membuka jurusan baru berdasarkan tingkat kebutuhan masyarakat.

Hanya saja konsekuensinya untuk mendapatkan jalur-jalur studi tersebut membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Situasi inilah yang dikeluhkan lulusan SMU yang keluarganya berada dalam tingkat ekonomi yang terbatas. Perkembangan pendidikan tinggi tak ubahnya proses industrialisasi yang tumbuh dalam arena pendidikan.

Kendati demikian, minat masuk seleksi perguruan tinggi negeri tahun ini masih menjadi pilihan bagi mereka yang pantang menyerah untuk menjemput masa depan. Pada gilirannya, pendidikan tetap merupakan sebuah pilihan untuk membuka diri menghadapi dinamika perubahan ekonomi dan sosial. Ini pun menutup peluang bagi keluarga miskin untuk dapat bersaing secara baik dengan mereka yang bergelimang fasilitas ekonomi.

Barang kali, inilah ironi kehidupan kita sekarang ini. Kapitalisme berwawasan pendidikan telah meruntuhkan sendi-sendi kehidupan sosial kita karena kesenjangan pendidikan berhubungan secara kasat mata dengan kesenjangan ekonomi. Ia telah berubah ke dalam bentuk barang mewah yang sulit dijangkau. Apalagi, seleksi ketat di perguruan tinggi berkualitas tidak sebatas pertarungan akademik, tapi pertarungan ekonomi yang bergerak dengan nyata.

Risiko Ketidakpastian
Perdebatan anggaran pendidikan yang tidak berujung dan sulit dipahami pada masa sekarang tidak lain merupakan jenis risiko berkadar tingkat tinggi. Sama persis dengan ungkapan Anthony Giddens dalam The Third Way jika manusia dalam hidup ini harus mengambil banyak pilihan yang mengandung risiko, yaitu risiko yang memiliki konsekuensi yang amat jauh.

Gambaran ini kurang lebihnya sama dengan apa yang terjadi di negara ini. Ketidakpastian semakin menyelimuti krisis ekonomi, pendidikan, politik, hukum, dan kepemimpinan yang belakangan ini terus mengemuka. Indonesia seakan tidak mampu mengendalikan setiap persoalan yang melilit hingga terpuruk dalam ketidakpastian. Ironisnya, ketidakpastian ini dianggap sebagai hal yang biasa-biasa saja.

Oleh karena itu, sulit untuk diterima akal sehat jika pemerintah atas nama kemajuan, di tengah-tengah tekanan ekonomi dan politik, justru melepaskan dukungan terhadap dunia pendidikan. Dengan kata lain, tindakan semacam ini dapat dilihat sebagai upaya pemerintah mengabaikan hak-hak masyarakat untuk memperoleh pendidikan yang layak.

Kendati dalam pengelolaan perguruan tinggi mengedepankan pendekatan nirlaba yang otonom dan menekankan penjaminan mutu, transparansi, serta akuntabilitas. Faktanya, wajah pendidikan tinggi kita masih memancarkan aura pendidikan yang sulit dijangkau. Merujuk Richard Falk (1995) seperti dikutip Buchori, jika pemerintah mengabaikan pendidikan merupakan suatu kemungkinan yang cukup nyata akan timbulnya kultur pemerintah yang tidak manusiawi.

Pun, ketidakpastian ini melalui sistem politik menenggelamkan kesadaran demokrasi yang selama ini dijunjung tinggi. Tidak sedikit pun memahami realitas yang terjadi karena semua telah disihir dalam kondisi depersonalization yang membuat mereka tidak mampu memberikan kontribusi berarti untuk sebuah ikhtiar humanisasi manusia yang bersifat pedagogis antisipatoris.

Jika gejala ini masih seperti ini, Indonesia melalui United Nations Partnership For Development Framework (UNPDF) tahun kerja 2011-2015 untuk mengejar target tingkat partispasi masyarakat dalam akses pendidikan di perguruan tinggi dari angka 18 persen di 2009 sampai 25 persen di 2014 akan sulit terwujud. Malah, ketidakpastian akan semakin menganga seiring dengan kebijakan politik praktis yang melemahkan dinamika perguruan tinggi. Wallahu‘alam
Read More …

January 11, 2011

Melestarikan Tradisi Rihlah

Oleh: Nazhori Author


Satu alasan mengapa negara-negara maju menekankan pentingnya pendidikan dalam meningkatkan kapasitas warga negaranya adalah untuk menjawab tantangan zaman. Tujuan memprioritaskan pendidikan diharapkan kemampuan belajar baik di dalam lembaga pendidikan maupun belajar mandiri (otodidak) dapat meningkatkan spirit kehidupan rohani dan jasmani.

Kemampuan belajar (Learning Capability) merupakan energi pedagogis yang harus dilestarikan. Menurut Mochtar Buchori (2001) kemampuan belajar ialah kemampuan untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, atau wawasan baru tanpa terlampau banyak tuntunan dari orang lain. Sering juga diartikan dengan kemampuan belajar secara mandiri.

Dalam konteks tradisi rihlah (perjalanan mencari ilmu) kemampuan belajar sudah dilakukan para kaum shopie (bijak) di zaman Yunani kuno dan Islam klasik. Dari tradisi rihlah inilah ilmuwan-ilmuwan besar lahir dengan beberapa karya penting yang sangat berpengaruh di seantero dunia. Nama-nama besarnya ikut mewarnai khazanah ilmu pengetahuan sampai saat ini.

Rihlah dalam Islam
Rihlah atau perjalanan mencari ilmu secara khusus dijelaskan dalam Alquran dan hadis. Misalnya dalam (Q.S. al-Mujadalah: 11) yaitu “Allah akan meninggikan derajat orang yang beriman dan mencari ilmu beberapa derajat”. Firman-Nya yang lain (Q.S. Luqman: 27) “Seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah keringnya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat (ilmu) Allah. Sesungguhnya Allah Maha Agung lagi Maha Bijaksana. Dijelaskan dalam ayat lain, “Terangkan kepada-Ku dengan keterangan yang berdasarkan ilmu, jika kamu memang bisa membuktikan suatu kebenaran” (Q.S. al-An’am: 143).

Konteks tiga ayat ini adalah mengenai anjuran Islam kepada setiap muslim untuk menuntut ilmu. Sehingga tradisi rihlah yang terdapat di kalangan umat Islam terus tumbuh. Sementara jangkauan ilmu manusia, di samping terbatas juga tidak sempurna. Tiga ayat tersebut saling melengkapi untuk memberikan motivasi kepada setiap muslim untuk mencari ilmu.

Karena menuntut ilmu dinyatakan wajib, maka kaum muslim pun menjalankannya sebagai ibadah. Dan, janji Allah amat jelas akan meninggikan derajat dan kemampuan belajar bagi yang beriman dan berilmu. Hal ini diperkuat juga dalam hadis Nabi: “Barang siapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah memudahkan jalannya ke surga”.

Pendidikan Islam menerangkan bahwa rihlah boleh dilakukan setiap muslim ke tempat yang jauh walau sampai ke negeri Cina, asalkan mencari keutamaan ilmu, seperti digambarkan dalam sebuah hadis. Rihlah merupakan suatu konsekuensi menjalankan perintah Rasulullah. Atas dasar itu, rihlah adalah ikhtiar meningkatkan kualitas penalaran manusia yang sebelumnya terbatas.

Dengan kemampuan itu maka manusia memiliki ilmu. Manusia mampu mengidentifikasi segala sesuatu dengan panca indera dan intuisinya. Dengan kemampuan itu pula, menurut Dawam Rahardjo dalam Ensiklopedi al-Qur’an (2002) manusia bisa melakukan komunikasi dan transfer pengetahuan kepada orang lain, tidak saja di antara yang hidup dalam satu generasi, melainkan juga ke generasi berikutnya.

Secara historis tradisi rihlah telah dipraktikan di Indonesia. Kondisi itu dapat dilihat pada awal abad ke-20. Berdasarkan penelitian Karel A. Steenbrink (1986) dalam bukunya Pesantren, Madrsah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern dijelaskan bahwa pendidikan yang paling sederhana, seluruhnya dipusatkan pada Alquran dan disebut pengajian al-Qur’an.

Steenbrink menambahkan, para santri tidak pernah membayar uang sekolah dan semacamnya untuk pendidikan yang mereka terima, karena ilmu pengetahuan agama tidak boleh diperjualbelikan dengan uang. Begitu pula mereka tidak membayar sewa gedung yang sederhana yang tersedia di pesantren. Umumnya para santri datang dari berbagai daerah untuk belajar. Demikian gambaran rihlah saat itu.

Sedangkan untuk belajar agama yang lebih mendalam, Kota Mekah merupakan pusatnya. Biasanya tradisi rihlah dilakukan setelah ibadah Haji, banyak kaum muslim yang memanfaatkan waktu senggangnya belajar kepada ulama terkenal di Mekah. Tidak diragukan lagi setelah cukup menimba ilmu mereka kembali ke tanah air berbekal pengetahuan untuk saling berbagi. KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asy’ari dan A. Hassan merupakan tiga contoh ulama berpengaruh yang bergelut di jalur rihlah.

Bahkan waktu itu, secara otodidak orang Indonesia belajar kepada orang Belanda untuk mempelajari manajemen pendidikan. Hasilnya sekolah-sekolah modern bediri meski sederhana sebagai tempat bagi anak-anak, kaum perempuan dan pemuda belajar. Tidak heran jika tokoh-tokoh pemuda kala itu mendirikan organisasi yang cukup berpengaruh. Hal ini sebagai wujud dari ikhtiar mereka melakukan rihlah.

Rihlah Masa Kini
Dalam era ilmu pengetahuan dan teknologi, sudah saatnya Learning Capability menjadi perhatian serius tanpa melupakan tradisi rihlah. Keberanian untuk mengajukan alternatif pembelajaran (alternative learning) harus ditempuh agar menghasilkan suatu hal yang baru. Artinya dapat bersanding dan kemudian berkompetisi sehingga menghasilkan agen perubahan sosial (agent of change) yang tangguh.

Tradisi rihlah dari waktu ke waktu terus mengalami perubahan sesuai dengan konteks zaman. Berdirinya lembaga-lembaga pendidikan yang baru dan spesifik suatu pertanda rihlah harus dikemas sesuai dengan kebutuhan. Untuk itu, makna rihlah mengalami pergesaran sesuai dengan tuntutan zaman. Namun, ada sebagian yang tetap bertahan sebagai warisan budaya dan intelektual yang perlu dilestarikan.

Bangsa Indonesia perlu berbangga hati, karena banyak sarjana-sarjana Indonesia yang belajar ke luar negeri untuk rihlah. Lembaga-lembaga pendidikan tumbuh subur dengan kreativitas dan inovasinya besar harapan para remaja dan pemuda dapat memilih ilmu pengetahuan yang diminati. Mengingat ketatnya persaingan dalam rangka memberikan layanan pendidikan yang berkualitas kepada masyarakat.

Kita semua berharap dengan tradisi rihlah masa kini dapat menghasilkan pemikiran dan gagasan pendidikan yang holistik. Pada gilirannya dapat menyumbangkan strategi pengembangan pendidikan dalam menghadapi dinamika tantangan di tengah persaingan nasional dan global. Dengan semangat ini, di bidang pendidikan semoga terjadi transformasi sosi-kultural yang mampu memetakan persoalan bangsa.

Kontribusi akademik dan sosial sangat dinanti perannya sebagai wujud kepedulian kita terhadap keadaan bangsa dewasa ini. Sikap ini secara sosiologis-pedagogis terkait dengan soal rihlah masa kini diakui membutuhkan ongkos sosial yang tidak sedikit. Nyatanya, penyelenggaraan pendidikan tanggung jawab masyarakat bukan pemerintah. Hasilnya biaya pendidikan ditanggung masyarakat bukan peserta didik.

Selayaknya masyarakat tidak perlu risau mencari wahana rihlah (sekolah dan madrasah/ kaum cerdik pandai) karena semuanya sudah terfasilitasi. Tradisi keilmuan seperti sekarang ini sejatinya dimanfaatkan sebaik mungkin. Terutama dalam meningkatkan kemampuan belajar generasi muda yang secara tidak langsung sedang berusaha melestarikan tradisi rihlah di abad modern. Wallohu ‘alam
Read More …

November 4, 2010

Pemuda dalam Manifes Kekuasaan

Oleh Nazhori Author



Pasca reformasi belum terlihat geliat pemuda melakukan rekonstruksi politik untuk menyuarakan gagasan berbeda tentang masa depan keindonesiaan. Kalaupun ada gagasan-gagasan mereka hanya terakomodir melalui gerakan civil society yang jumlahnya sangat terbatas. Sedangkan bagi mereka yang terlibat dalam arena politik sulit melakukan konsolidasi di tengah pesona pragmatisme politik.

Sementara para pemuda yang berada diluar jalur politik dan gerakan sosial harus bersusah payah menghadapi simbol-simbol budaya pop yang dihasilkan oleh kapitalisme mutakhir. Tidak sedikit dari mereka tersingkir dari arena sosial dan ekonomi akibat persaingan ketat yang dimainkan perusahaan lintas negara. Demikian suka-duka pemuda yang tumbuh di belantika dunia ketiga.

Dalam situasi berbeda, khususnya di kawasan Asia, puta-putri Indonesia memberikan sumbangan yang signfikan terhadap devisa negara lewat tenaga “belia” yang bekerja sebagai TKI. Para TKI ini, dikenal tekun dan rajin karena itu paspor mereka sangat dinanti di luar negeri. Tidak jarang dari mereka yang berjiwa muda mengalami nasib buruk karena lemahnya proteksi negara.

Di Indonesia, ketika nasionalisme diperjuangkan melalui politik multi partai, muncul kebangkitan kelas menengah yang notabene adalah pemuda. Suara politik mereka salurkan di bilik suara dengan harapan pemimpin baru negeri ini dapat memberikan harapan dan perubahan yang berarti. Namun, perubahan yang dinanti tak kunjung datang hilang sampai tak menyentuh beberapa momentum penting.

Pemuda Beresiko
Pemuda dan kehidupan sosial memang tidak seperti yang diduga oleh mereka yang berpolitik. Suara mereka sesekali mudah dipengaruhi sosok baru yang kelimis. Sebaliknya mereka akan mudah meninggalkan jika harapannya pupus di tengah jalan. Akhirnya mereka yang status sosialnya di level bawah menjadi pemuda yang mudah beresiko, misalnya rentan terhadap bahaya narkotika dan kegaduhan sosial.

Tidak menutup kemungkinan resiko datang menimpa pemuda yang terdidik dan berpenghasilan tinggi. Hanya saja tidak terjebak pada kegaduhan sosial, melainkan meski dalam jumlah yang sedikit akan tumbuh ketidakpercayaan sosial (social distrust) terhadap pemerintah yang mengendalikan kebijakan negara.

Dengan kata lain, muncul kecurigaan di mata kelas menengah bahwa pemerintah menjalankan roda pemerintahan terkesan main-main. Contohnya dalam soal pemberantasan korupsi, di satu sisi pemerintah ingin bersih dari praktik KKN, di sisi lain beberapa kasus korupsi yang jelas merugikan negara tidak tuntas diselesaikan untuk memukul jera koruptor secara hukum.

Masih ada persoalan lainnya yang belum bisa dinilai kaum muda serius untuk ditangani pemerintah beserta jajarannya seperti tingginya angka pengangguran. Sedangkan kehidupan global ekonomi sekarang ini sering kali dikatakan sebagai era konsumeristik. Di mana, kaum borjuasi dan kapitalisme lebih memilih pemuda untuk mempertahankan gaya hidup konsumtif.

Terlebih dengan munculnya produk-produk terkenal (branded) tidak jarang pemuda menjadi sasaran bidik kapitalis. Hampir tiap tahun para pemuda disuguhkan berbagai macam manifes pasar yang menggoda namun mereka lupa bahwa hegemoni pasar akan terus mengubah dunia dengan sesuatu yang baru dan penuh resiko. Ia akan selalu ada sebelum pemuda memimpikan dan menginginkannya.

Kekuasaan Selalu Terbatas
Dunia pemuda adalah dunia penuh benturan. Semakin klimaks benturan yang terjadi semakin terbuka ruang untuk berkreasi. Sejatinya para pemuda memanfaatkan momentum ini mengingat sejarah adalah sebuah proses yang tidak akan berhenti. Sekalipun kekuasaan muncul sebagai kekuatan baru di Indonesia tetap nasib kekuasaan ada di tangan rakyat.

Menarik apa yang diungkapkan Goenawan Mohamad dalam catatan pinggirnya bahwa kekuasaan selalu terbatas. Hegemoni kebudayaan tak akan bisa penuh. Sambil menyajikan gagasan Gramsci pemikir Marxis Italia, dalam teks “Manifes” ia mengatakan sebenarnya ide Gramsci berbicara tentang keniscayaan munculnya “kontrahegemoni” (Tempo, 15 Agustus 2010).

Hal senada pernah dilontarkan Ali Syari’ati intelektual terkemuka asal Iran yang menentang hegemoni Syah Reza Pahlevi. Baginya menyelamatkan kaum tertindas (mustad’afin) adalah keniscayaan. Pemuda sebagai bagian dari persoalan nyata di masyarakat posisinya sangat rentan mendapatkan ketidakadilan dan kebijakan yang semu.

Dahulu, pada 28 Oktober 1928, sumpah pemuda adalah ikrar perlawanan terhadap hegemoni penjajah. Bersatunya para pemuda Indonesia saat itu tidak lain berkeyakinan bahwa manifes kekuasaan penjajah sungguh terbatas. Hanya bahasa persatuan yang menyatukan semangat mereka yang tidak terbatas.

Meskipun posisi pemuda beresiko, oposisi masih menyediakan jalan alternatif yang kalis dari kepentingan politik. Pemuda adalah oposan yang berbeda jalan dengan jalan kekuasaan. Segenap energi harus ditumpahkan untuk menciptakan perubahan. Tak semua lezatnya roti demokrasi diberikan kepada rakyat, sebab makna demokrasi hanya milik penguasa. Karena itu, gerakan politik melawan kekuasaan adalah ikhtiar menyelamatkan suara rakyat.
Read More …

October 11, 2010

Indonesia Book Fair 2010

Oleh : Nazhori Author


Pada 2 Oktober 2010, tepatnya hari Sabtu, di Senayan, Jakarta dibuka Indonesia Book Fair 2010. Pameran buku ini diikuti berbagai macam penerbit dari dalam dan luar negeri, perpustakaan dari berbagai instansi dan pemerintah daerah, media massa, toko buku, dan lain-lain. Tidak lain salah satu tujuannya adalah meningkatkan daya baca dan beli masyarakat terhadap buku sebagai jendela informasi dunia.

Bagi masyarakat, pameran buku merupakan pesta buku yang istimewa. Karena berbagai macam buku tersedia dengan harga yang terjangkau. Di samping itu, melalui pameran buku masyarakat diharapkan dapat meningkatkan tradisi membaca dan menulis di saat tradisi lisan masih sangat dominan dalam cara masyarakat berkomunikasi setiap hari.

Kuatnya tradisi lisan sedikit banyak mengabaikan tradisi membaca dan menulis. Padahal membaca dan menulis merupakan pesan pengetahuan yang terdapat dalam al-Qur’an. Pantas jika buta aksara adalah penyakit yang dirisaukan oleh setiap negara di belahan bumi ini sebab akan mengakibatkan masyarakat menjadi bodoh dan miskin.

Seperti dilaporkan UNESCO pada hari Aksara Internasional 8 September 2010 disebutkan bahwa Buta aksara atau buta huruf adalah ketidakmampuan seseorang untuk mengidentifikasi, mengerti, menerjemahkan, membuat, mengkomunikasikan dan mengolah isi dari rangkaian teks yang terdapat pada bahan-bahan cetak dan tulisan yang berkaitan dengan berbagai situasi. Di dunia ini jumlah buta huruf masih banyak terdapat di negara-negara miskin dan berkembang atau negara dunia ketiga.

Pesan Membaca al-Qur’an
Di tengah kemajuan teknologi informasi yang kita nikmati saat ini, masih banyak ditemukan penyandang buta aksara yang tersebar di berbagai pelosok daerah di Indonesia. Yang lebih mengenaskan di antara mereka yang buta aksara berada di usia produktif (15-30 tahun) tidak mengerti membaca dan menulis. Terutamanya yang dominan adalah kaum perempuan.

Dari data terakhir yang dicatat Kemendiknas di tahun 2009, jumlah penduduk yang buta aksara adalah sebanyak 8,7 juta penduduk yang tersebar di beberapa wilayah di Indonesia. Direktorat Jenderal Pendidikan Non Formal Kementrian Pendidikan Nasional, Hamid Muhammad mengungkapkan jumlah perempuan yang masih buat aksara di Indonesia lebih besar dibandingkan dengan lelaki. “Dari komposisi penduduk buta aksara, 64 persen perempuan masih buta aksara (Koran Tempo, Senin, 06 September 2010).

Inilah tugas berat pendidikan bagaimana mengentaskan buta aksara yang menimpa seseorang di usia produktif. Dalam Islam al-Qur’an telah menekankan tentang pentingnya membaca dan menulis. Hal ini dimaksudkan agar manusia senantiasa belajar untuk memaknai dan memuliakan kehidupan agar lebih bermakna. Sehingga pemahaman akan pengetahuan dan keagamaannya menjadi bekal hidup di dunia dan akhirat.

Adalah sangat relevan jika pertama kali ayat al-Qur’an diturunkan ke muka bumi yaitu surat al-’Alaq dan al-Qalam. Di dalam kedua surat tersebut menurut Imam al-Khazin (1995) di dalam Tafsir al-Khazin al-Musamma libabi al-Ta’wil fi Ma’ani al-Tanzil (dalam Abdul Mu’ti, Deformalisasi Islam, 2004) kata al-Qalam, yang berarti kegiatan membaca dan menulis disebutkan diawal surat. Nun, demi kalam dan apa yang mereka tulis, demikian tafsir pedagogis ayat tersebut.

Tidak diragukan lagi, sejak al-Qur’an diwahyukan Abdul Mu’ti (2004) berpendapat bahwa menulis berkembang menjadi tradisi baru masyarakat Arab. Tradisi ini memperkuat halaqah ilmiah di mana para sahabat secara resiprocal saling membaca, mengoreksi, dan menyempurnakan bacaan dan hafalan al-qur’an. Tidak mustahil dalam perkembangannya muncul beberapa ahli hadis dan tafsir.

Hingga pada zaman keemasan Islam, berbagai macam judul buku ditulis tentang fikih, ibadah, astronomi, kedokteran, matematika, dan lain sebagainya. Tradisi ilmiah tumbuh seiring dengan kebebasan berpikir, berdialog dan berkumpul untuk menciptakan sekolah pengetahuan yang sampai saat ini karya-karya tersebut menjadi buku-buku referensi yang tak lekang ditelan waktu.

Seiring dengan modernitas dan kemajuan teknologi informasi sekarang ini, buku-buku menjadi guru kedua (second tutorial) dalam mendidik masyarakat untuk memperoleh pengetahuan. Ditambah lagi dengan buku-buku online yang tersedia di jaringan internet semakin memupuk harapan tradisi membaca dan menulis kian tumbuh di tengah masyarakat untuk mengurangi buta aksara. Dengan catatan akses informasi dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat di seluruh pelosok tanah air.

Buku Jendela Pengetahuan
Buku dalam arti luas adalah mencakup tulisan atau gambar yang ditulis atau dilukis dalam suatu media. Dalam Kamus Besar Bahas Indonesia (2002) buku berarti lembar kertas yang berjilid, berisi tulisan atau kosong. Ada juga yang berisi tulisan atau gambar yang dapat dilihat dan dibaca. Tulisan atau gambar ini kemudian disebut dengan pengetahuan.

Dahulu dalam sejarah peradaban Islam para sahabat dan pengikut Nabi, agar hafalan mereka tentang al-Qur’an dan hadisnya tidak hilang atau lupa dianjurkan untuk ditulis. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib r.a.bahkan berpesan dalam suatu riwayatnya kurang lebih demikian, “Ikatlah ilmu dengan menuliskannya”. Pesan ini belakangan menjadi judul populer sebuah buku berjudul Mengikat Makna yang ditulis Hernowo.

Buku tersebut pada dasarnya menurut Hernowo (2001) menekankan pentingnya memadukan aktivitas membaca dan menulis dengan displin agar dua kegiatan tersebut dapat memberikan makna (manfaat) kepada pelakunya. Dan, bukan hanya buku yang dapat diikat maknanya, kehidupan diri kita sehari-hari pun dapat diikat maknanya. Sederhananya, buku tersebut diharapkan dapat membuat masyarakat Indonesia untuk mampu dan mau membaca dan menulis secara “fun“.

Oleh karena itu, buku sebagai jendela dunia merupakan salah satu sarana bagaimana mengikat makna kehidupan dalam sebuah tulisan. Membaca dan menulis adalah dua kegiatan yang dianjurkan Islam, terutama jika ingin mencerdasi (mengkhalifahi) lika-liku kehidupan dengan ilmu. Membaca dapat mengajak diri kita ke lembah-lembah pengetahuan di mana mata air ilmu berada.

Membaca juga memotivasi diri kita untuk bertafakur, mengolah hati dan pikiran dengan jernih secara sistematis. Sehingga dalam menemukan ilmu dan mengamalkannya manusia tidak takabur dan besar kepala terhadap orang lain. Sebaliknya, Hernowo mengatakan (2001) menulis akan membantu kegiatan membaca agar tidak sia-sia. Menulis dapat menata dan menyusun seluruh pengetahuan yang masuk ke dalam diri menjadi arsip-arsip ilmu yang kaya dan mudah diakses kembali. Sehingga, ‘mengikat makna’ sejalan dengan semangat mencari ilmu.

Karena itu, pameran buku yang digelar di Jakarta setiap tahun ini, bukan sekadar pesta buku tahunan yang diselenggarakan secara rutin. Lebih jauh lagi diharapkan sebagai media berbagi informasi dan pengetahuan khususnya kepada masyarakat. Semoga tradisi membaca dan menulis menjadi counter culture untuk memberantas buta aksara dan buta moral. Wallohu ‘alam
Read More …

September 8, 2010

Dari Mudik Jadi Mudhik

Narablog: Nazhori Author



Ramadhan adalah bulan yang ditunggu-tunggu setiap kaum muslim di belahan bumi ini. Selain mengharap pahala dan barokah, di bulan mulia ini pula ampunan dari Allah menjadi motivasi spiritual tersendiri dan bersifat privasi. Karena itu, segenap umat muslim benar-benar menikmati menjaga lapar, dahaga dan amarah agar tidak tergoda dari bujuk rayu syahwat yang menggelora.

Dalam menyambut hari kemenangan (Idul Fitri) setelah melewati ujian di bulan ramadhan ada satu tradisi unik di Indonesia yaitu mudik. Suatu peristiwa budaya yang tidak hanya bertumpu pada silaturahim lebih dari itu mudik merupakan ajang atau tempat berkumpul sesama kerabat di kampung halaman. Sedih, gembira, tangis dan tawa bercampur menjadi satu cerita untuk berbagi kenikmatan (tahaaduts bi ni’mah).

Mudik dalam perspektif budaya selalu memerlukan intensitas peristiwa atau momentum terutama seperti di bulan ramadhan ini. Dari sanalah kekuatan paguyuban di kampung halaman membuncah sebagai salah satu unsur pembentuk komunikasi spiritual dan sosial sesama kerabat. Dan mampu melintasi sekat-sekat status sosial saat mencari nafkah di kota.

Dari kampung halaman ini lahirlah kosakata mudik. Mudik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002) adalah pulang ke kampung halaman. Biasanya seminggu menjelang lebaran sudah banyak orang yang mudik. Merekalah pemudik yang rindu ke udik (kampung halaman). Setiap tahun menjelang lebaran muncul peristiwa bahasa, istilah, dan trend yang menjadi ciri khas tersendiri di bulan ramadhan yaitu mudik. Sehingga lebaran tidak terasa nikmat jika tidak pulang kampung.

Inilah fitri sebuah jalan agar manusia kembali kepada fitrahnya. Di sini, setiap manusia dituntun melalui empat jalan kebajikan, yaitu puasa ramadhan, memperbanyak salat sunah, sedekah, membayar zakat fitrah, dan saling memaafkan kesalahan. Nuansa kebajikan sangat kental di bulan ramadhan karena memang Islam menekankan kebajikan untuk memperkuat fondasi iman.

Senada dengan mudik. Fitrah dalam konteks ini menekankan dan mengingatkan kepada orang-orang dari desa yang pergi ke kota untuk mencari nafkah dan menjadi sukses agar selalu ingat sejatinya dari mana ia berasal. Seseorang tidak akan menjadi sukses jika tidak ada niat dan ikhtiar dari desa untuk mencari rejeki di kota. Tanpa keberadaan kota mustahil orang desa tertarik datang ke kota.

Oleh karena itu, mudik sudah menjadi bagian dari masyarakat Indonesia. Idul fitri hanyalah momentum atau peristiwa spiritual yang mengalami kontak langsung dengan budaya sehingga tampilannya semakin kompleks dan kosmopolitan. Hal ini tercermin dari ekspresi para pemudik, bahwa modernisasi menyebabkan mobilitas individual yang mengharuskan mereka pulang ke kampung halaman meninggalkan kota untuk sementara.

Di samping itu, jika dahulu mudik menggunakan moda transportasi kapal laut, kereta api dan bus, kini mudik bisa ditempuh dengan menggunakan sepeda motor dan mobil dari hasil jerih payahnya di kota. Bahkan bagi mereka yang betul-betul sukses pesawat menjadi pilihan utama sebagai moda transportasi untuk pulang kampung. Jika dipikir-pikir biaya mudik memang tidak sedikit, tapi rasa bahagia dan cinta kasih mampu menepisnya.

Ada dua wajah di saat mudik lebaran yang mengisi ruang spiritual dan sosial itu. Di satu sisi, spiritualisme mudik menarik garis antara silaturahim dan kekerabatan. Namun di sisi lain, energi mudik juga mengandung referensi ke situasi yang paradoksal.

Misalnya mudik dengan kendaraan roda dua yang melebihi batas, karena di dalamnya tersimpan kata hati-hati. Jika tidak maka akan mengalami kecelakaan. Dalam suasana mudik yang gembira kadang-kadang, pemudik lupa atas keselamatan dirinya dan orang lain sehingga mengaburkan substansi dari mudik itu sendiri. Sehingga ada orang yang salah paham dengan mudik sehingga menjadi paradoksal.

Contoh lain misalnya, sudah tahu penuh dan sesak masih ada pemudik yang membawa barang-barang melebihi kapasitas dan kemampuannya. Akhirnya menjadi menyiksa diri. Atau bagi pemudik yang kurang hati-hati dalam mengendarai yang berakibat fatal karena kecelakaan, seperti dikabarkan oleh media cetak belakangan ini.

Mudik merupakan peristiwa sosial yang terjadi berbarengan dengan motivasi spiritual di bulan ramadhan. Barangkali kondisi semacam ini semakin menguatkan agama secara fungsional bagi para pemeluknya khususnya umat muslim. Ada semacam hubungan positif antara agama dan solidaritas organik di dalam masyarakat modern yang sarat dengan pembagian kerja.

Bagi sosiolog seperti Durkheim, solidaritas organik tidak dapat dilambangkan oleh hal-hal atau benda-benda yang sakral. Tapi tanpa melakukan upaya sakralisasi, mudik sendiri secara tidak langsung menjadi lambang atau simbol bagi umat muslim apabila lebaran akan tiba. Sehingga secara psikologis motivasi untuk pulang ke kampung halaman menjadi suatu kebiasaan yang khas dan unik.

Bahkan tidak jarang terjadi adanya rasa tidak puas apabila menjelang lebaran tidak pulang kampung. Sementara faktor ekonomi tidak mendukung bagaimana caranya agar dapat pulang kampung. Tinggal yang tersisa ialah rindu akan kampung halaman dan silaturahim yang tertunda sementara.

Selain itu, mudik juga bermakna kerinduan antara anak dan orangtua. Pantas jika dalam ajaran Islam yang menyeluruh barangkali tidak ada perkara yang sedemikian pentingnya seperti hubungan antara anak dan orangtua. Demikian pesan berbakti kepada orangtua dalam peristiwa mudik. Tidak terkecuali terhadap keseluruhan keluarga dan kerabat untuk menunjukkan sikap hormat dan sopan santun.

Dari keterangan singkat ini, jelas bahwa mudik tidak bisa dipisahkan dari peran dan fungsi agama. Karena di dalamnya terdapat dua dimensi hidup manusia, yaitu ketuhanan dan kemanusiaan. Persaudaraan dan pertalian cinta kasih mampu menjembatani kerinduan yang lama terpendam. Di kampung halaman dengan mudik semua bisa menjadi tertawa (bahasa arab: mudhik) tentang makna hidup dan kampung halaman. Wallohu ’alam
Read More …

August 4, 2010


Cobek dan Kisah Bocah-Bocah Letih


Narablog: Nazhori Author







Ulekan, ya itu namanya atau cobek, piring batu yang digunakan sehari-hari untuk menggiling cabai, bawang dan rempah-rempah lainnya. Cobek biasa digunakan di dapur rumah, restoran, rumah makan, dan warteg. Sebuah alat menggiling rempah-rempah peninggalan sejarah di zaman batu (megalitikum dan neolitikum) yang sampai saat ini masih berguna.

Kendati sekarang muncul alat giling generasi baru seperti blender yang praktis, tetap saja cobek menjadi pilihan utama untuk menggiling rempah-rempah agar menghasilkan cita rasa yang khas. Bentuk dan beratnya pun menjadi keunikan tersendiri. Apalagi, jika cobek itu menemani para ibu rumah tangga di dapur hampir puluhan tahun, akan semakin unik. Untuk mendapatkannya bisa dibeli di pasar tradisional terdekat.

Ini bukan cerita, tapi fakta. Cobek yang biasa terdapat di pasar tradisional sekarang ada di pinggir jalan. Tepatnya di sepanjang jalan raya Transyogi, Cibubur, Jakarta Timur. Sebuah jalan yang hampir setiap hari dilalui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Seperti diketahui sepanjang jalan raya Transyogi adalah jalan raya yang di sisi kanan dan kirinya terdapat perumahan mewah dan elit.

Mungkin Anda akan tercengang melihatnya. Cobek tersebut tidak dijajakan di warung atau toko alat-alat perlengkapan dapur. Tapi dijajakan persis di pinggir jalan. Ingin tahu siapa penjualnya? Penjualnya adalah anak-anak di usia sekolah. Suatu hari pernah saya bertanya. Berapa berat cobek yang dipikul itu, dik? Beratnya bisa mencapai 5 Kg lebih mas. Mendengar jawaban itu, kaki terasa lemas sepertinya.

Setahun lebih sudah bocah-bocah pemikul cobek itu berada. Atau bisa jadi lebih dari itu. Waktu terus berlalu. Lagi-lagi fakta menuliskan cerita baru lagi. Ternyata, bocah penjual cobek keberadaannya tidak hanya di pinggir jalan Transyogi. Mereka ada di sekitar perumahan tepatnya di Gunungputri, Bogor. Salah satunya di lingkungan perumahan Griya Bukit Jaya.

Entah sudah berapa banyak masyarakat yang mengangkat cerita tentang bocah-bocah itu di media online. Tapi kemunculannya belakangan mengundang tanda tanya. Konon keberadaannya diorganisir. Singkatnya, ada yang mengantar dan menjemput. Siapa gerangan yang memanfaatkan keluguan dan kelemahan bocah-bocah itu. Seharusnya mereka menikmati hari-harinya di sekolah. Bermain dengan teman-teman sebaya, mengisi hari demi hari dengan canda dan tawa.

Beberapa pekan yang lalu, mereka kembali dengan aktivitasnya dengan memikul cobek yang berat itu. Di wajahnya tersimpan masa depan yang hampir punah. Dengan pakaian lusuh mereka tertidur pulas beralas koran tanpa peduli udara dingin dan kotor di malam hari. Rupanya tak ada beban sedikit pun di wajah mereka. Tapi, sorot matanya yang sayu tidak dapat menyembunyikan keletihannya.

Namun, belakangan ini timbul pertanyaan yang kerap mengusik hati nurani kita. Apakah mereka bagian dari korban eksploitasi anak? Atau korban dari proses pemiskinan yang kian hari terus berubah bentuk dan kejadiannya. Fenomena ini bukan hanya di satu tempat, bisa jadi ada cerita yang sama di tempat yang berbeda, bagi Anda yang pernah menemukannya.

Apa salah bocah-bocah itu? Mengapa harus menanggung beban berat itu. Kita yakin mereka masih punya kesempatan untuk keluar dari lingkaran yang menjerat hak-hak dasar mereka. Atau kita harus menunggu bapak-ibu sosial yang akan mengulurkan tangannya untuk mereka?
Read More …

April 29, 2010

Kisah Politik Ideologi Kaum Reformis Di Masa Kolonialisme

Judul : Politik Kaum Modernis  
Islamic Modernism in Indonesia Politics: 
The Muhammadiyah Movement During The Dutch Colonial Period (1912-1942)
Penulis : Dr. Alfian
Penerjemah : Machnun Husein
Kata Pengantar : Prof. Dr. M. Din Syamsuddin, M.A

Tahun Terbit : April, 2010

Penerbit : Al-Wasat Publishing House, Jakarta

Tebal Halaman : xvii + 448 Halaman



Di usianya yang genap satu abad, Muhammadiyah menyisakan pelajaran berharga terutama bagi bangsa Indonesia dan umat muslim khususnya. Sebagaimana diketahui, sejak didirikan KH. Ahmad Dahlan pada bulan November 1912, konsentrasi dan prinsip gerakannya adalah dakwah amar ma’ruf nahi munkar. Dari situlah, Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi Islam modern di bidang pendidikan, kesehatan dan pelayanan sosial.

Seperti terungkap dalam isi buku ini, berdasarkan penelitian Alfian, Muhammadiyah pada masa kolonialisme memainkan tiga peranan yang saling terkait yaitu, pertama, sebagai reformis keagamaan, kedua, sebagai pelaku perubahan sosial, dan ketiga, sebagai kekuatan politik. Tiga peranan inilah yang ke depannya nanti membawa perkembangan Muhammadiyah menuju masa-masa formatif (1912-1923), masa-masa percobaan (1924-1933), dan masa-masa kejayaan (1934-1942).

Dari tiga alur pemikiran yang dibangun dalam buku setebal 448 halaman tersebut, pembaca akan terkesima melihat Muhammadiyah dalam politik Indonesia dibalik kekuatan besarnya menyambut modernisme Islam. Namun yang paling menarik perhatian, para pengkaji politik Indonesia mengetahui bagaimana cara pengelolaan Muhammadiyah untuk meraih tempat yang penting semacam itu. Dalam satu hal, tampaknya Muhammadiyah menampilkan suatu gejala yang unik dalam politik Indonesia; katakanlah walaupun dengan karakter non politiknya yang nyata sebagai gerakan sosio-relijius, Muhammadiyah tampaknya tidak mampu menghindar untuk terlibat dalam politik (hal. 4).

Read More …

December 1, 2009

Masyarakat Madani sebagai People Power

(Century Gate: Momentum Perlawanan Rakyat)



Oleh: Nazhori Author



Di tengah proses penyelesaian kasus Cicak dan Buaya yang akrab di telinga masyarakat dan menghebohkan itu, kini keprihatinan moral dan politik bangsa kembali terusik dengan santernya skandal Bank Century (Century Gate). Para pengamat dan masyarakat sebagai pendengar dan penonton tak henti-hentinya disuguhkan berita korupsi dan kejahatan dunia perbankan tersebut setiap hari oleh media cetak dan elektronik yang menyadarkan masyarakat menjadi melek politik serta menilai dua kasus memalukan itu saling berkelindan bagai cerita bersambung.

Tidak berhenti sampai kasus Antasari Azhar, Bibit-Candra, ibarat gayung bersambut aroma tak sedap skandal Bank Century perlahan-lahan mulai tercium setelah rasionalisasi misi penyelamatannya mengalami kejanggalan dan meninggalkan jejak yang penuh dengan misteri tanda tanya. Meski begitu, ada saja yang membela dan melawan. Entah dari mana datangnya barisan pembela Bank Century itu baik melalui aksi demo dan pencitraan melalui opini di media massa bahwa langkah bailout adalah keputusan alternatif yang harus tidak harus diputuskan untuk menyelamatkan kapal tanker perbankan yang mengalami kebocoran triliunan rupiah di laut lepas.

Lebih miris lagi, saat sosok Anggodo yang jumawa bermain kata di depan TIM 8 yang digagas Presiden, hal ini menceminkan bahwa institusi hukum yang diwakili Kepolisian dan Kejaksaan, di negeri ini mudah dikendalikan setelah drama percakapan yang konyol itu didendangkan di depan masyarakat Indonesia. Hukum ibarat properti rumah, yang dengan mudah tipe kasusnya diatur makelar kasus (Markus) sesuai dengan permintaan transaksi.

Bagi masyarakat, hukum dan keadilan sudah ternoda dan tidak memihak yang benar. Mencuri tiga buah Kakao lebih mudah keputusan hukumnya ketimbang uang negara yang hilang mencapai triliun sekian. Bagi masyarakat sesungguhnya kata kunci untuk melacak arus fulus Bank Century hanya satu kata yaitu keberanian sang pemimpin untuk sungguh-sungguh menuntaskannya. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sudah membuka jalannya, dan keberanian Presiden dinanti masyarakat dalam hal ini hanya tinggal meneruskan tanpa ragu-ragu.

Jika dihitung, 6,7 triliun tidak sedikit jumlahnya. Lumayan untuk menambah jumlah anggaran pendidikan yang jumlahnya belum berhasil menembus angka 20 persen dari APBN. Masyarakat merasa heran, mengapa institusi keuangan milik pemerintah tidak tahu ke mana raibnya uang negara padahal saat merestui untuk mengucurkannya tinggal tancap gas tanpa rasa panik dan bersalah. Sementara masyarakat miskin terus meradang ketika angka dibelakang koma terus berubah dalam grafik dan statistiknya.

Dari Masyarakat Madani Menuju People Power
Klimaks dari kondisi moral semacam itu adalah persepsi kritis bahwa Negara Telah Mati. Maka aktualisasi yang lebih vulgar yang layak diungkapkan adalah gagasan people power. Dalam konteks ini bukan dalam pengertiannya yang klasik yaitu masifikasi massa untuk turun ke jalan. Melainkan dengan pendekatan pedagogis kepada seluruh elemen masyarakat. Membangun kesadaran kritis masyarakat tidak melulu dengan jalan masifikasi (konfrontasi) tapi bagaimana dengan cergas diterjemahkan dalam kerangka masyarakat madani yang siap melawan manipulasi dan kebohongan dengan konsepsi yang damai dan transformatif.

Alasan utama mengapa people power menjadi egenda mendesak dan diperlukan karena penilaian yang dilakukan oleh seluruh masyarakat sebagai persona kreatif yang merasa terpanggil dan tergugah hatinya sebagai bentuk dari solidaritas sosial untuk menyelamatkan bangsa meski tidak sempurna. Karena nalar memiliki keterbatasan untuk memberikan penilaian yang sepenuhnya objektif. Dari sudut pandang pedagogis jelas bahwa manipulasi dan kebohongan publik dalam proses politik demokrasi merupakan pengkhianatan terhadap ide masyarakat yang mulai terbangun dalam landasan masyarakat madani.

Rakyatlah pemilik kekuasaan yang sesungguhnya dan tidak bisa ditawar. Belajar dari sejarah Revolusi Bolshevik, Prancis, atau Revolusi Islam di Iran, dan Reformasi 98 di Indonesia, tidak lain adalah fakta keras jika kekuatan rakyat benar-benar nyata. Dengan kata lain, puncak kekuatan politik yang sejati adalah rakyat. Oleh karena itu, dalam format demokrasi sekarang ini, masyarakat madani berada di titik yang tepat. Apalagi ragam penyakit kronis yang telah melumpuhkan tatanan demokrasi bangsa merupakan momentum segar bagi masyarakat madani untuk singgah bersama mengeluarkan ide-ide yang kritis-transformatif.

Masyarakat Madani bukan sekadar masyarakat belajar dari berbagai macam latar belakangnya. Lebih dari itu sebagai sekumpulan umat (ummah) yang memiliki tujuan dan kesadaran aktual. Ali Syari’ati, revolusioner yang tercerahkan asal Iran mengemukakan ummah adalah kumpulan orang, di mana setiap individu sepakat dalam tujuan yang sama dan masing-masing saling membantu agar bergerak ke arah tujuan yang diharapkan, atas dasar kepemimpinan yang sama (Dawam Rahardjo: 2002).

Sebagaimana disebutkan di muka, yaitu mengenai beberapa kasus besar (tentunya merugikan) yang sangat merapuhkan tiang penyangga bangsa ini. Secara tidak langsung inilah kesalahan substansial kita termasuk para pemimpin bangsa ini. Seperti mengurai benang kusut yang tidak pernah berhasil menemukan ujungnya dan tidak pernah mau belajar dari keterbatasan. Senada dengan aksioma pengalaman adalah guru yang terbaik. Dan akan lebih baik jika ditambahkan keterbatasan adalah guru yang terbaik.

Bangsa ini selalu merasa lebih dan tidak pernah sadar jika memiliki kelemahan. Purna keterbatasan itu semakin terlihat ketika mereka yang diberi amanat untuk menjaga negeri ini bermain mata dan bersekutu dengan kemungkaran yang sistematis. Satu persatu harta kekayaan bangsa ini lepas dari genggaman anak bangsa sebagai pewaris tunggal. Sangat sulit kita memastikan di mana sebenarnya sumber kemungkaran itu. Karena masyarakat terlalu mudah diberikan janji-janji manis dan laporan keberhasilan yang sesungguhnya itu adalah malapetaka. Kita terlanjur terlena dengan bahasanya yang lugas dan manis.

Oleh karena itu, tentunya kita tidak ingin kesalahan substansial itu terulang kembali. Saatnya masyarakat menyatakan dengan tegas bahwa niat tulus ada di dalam hati nurani kita masing-masing. Tentunya yang ditegaskan dengan tujuan yang sama yakni keadilan, kemanusiaan, kesejahteraan dan kemakmuran yang didambakan bangsa ini. Cukup kita disadarkan oleh tontonan visual modern yang memilukan dan memalukan.

Kita yakin masyarakat madani sebagai people power akan segera terbentuk dan kekuatannya mengalir ke seluruh pelosok negeri ini untuk melawan kekuasaan yang congkak. Manipulasi dan kebohongan harus dihadapi dengan revolusi penalaran seluruh lapisan masyarakat. Masyarakat madani adalah sarana pedagogis menuju people power yang berilmu, beramal dan berkelanjutan. Wallohu ‘alam
Read More …

November 15, 2009

Menegosiasikan Makna Pemuda

Oleh: Nazhori Author



Dilema yang kini sedang membebani kita semua adalah kenyataan bahwa pemuda menghadapi banyak tantangan, seperti kemiskinan, pengangguran, kejahatan dan kekerasan, hingga bahaya narkotika. Sampai saat ini dilema itu terus menghantui mereka bahkan ke arah yang lebih ekstrim misalnya terjeremus gerakan jihad sesat ala teroris yang mengundang risiko.

Andaikan pemuda bisa memilih untuk melihat kenyataan dan keadaan bangsa sekarang ini, mungkin pilihannya tidak ingin berada dalam kondisi yang miskin dan tidak bekerja. Mereka tentu saja juga ingin menikmati indahnya bangku pendidikan tinggi sebagaimana pemuda lainnya. Dapat meningkatkan kualitas diri baik jasmani dan rohani.

Namun, kenyataan berkata lain. Dalam kegalauan menghadapi jaman yang terus berubah antara kemauan dan kesempatan sering tidak sejalan. Rendahnya pendapatan keluarga dan sempitnya lapangan kerja adalah tantangan yang sangat melelahkan. Inflasi ijazah terus meroket setiap tahun sementara jawatan belum memberikan kesempatan emas terhadap kualifikasi yang diharapkan.

Sebaliknya biaya pendidikan terus membumbung tinggi, tenggelam dalam arus industri dan globalisasi. Globalisasi sekarang tidak bekerja bagi kepentingan banyak kaum miskin di dunia. Juga tidak bekerja banyak untuk kepentingan lingkungan. Demikian refleksi Buya Syafii Maarif (2005) yang berusaha menerobos kemelut patut dicermati.

Representasi Pemuda
Pada bulan, Agustus kemarin seluruh pemuda di dunia memperingati hari Pemuda Internasional. Bahkan UNESCO meminta pemerintah dan semua pihak untuk bisa memberikan perhatian terhadap tantangan-tantangan yang dihadapi pemuda saat ini. Menurut Direktur Jenderal UNESCO Koichiro Matsuura mengatakan, penting untuk merangkul dan mempersiapkan pemuda bagi kesinambungan dunia. Para pemuda itu juga perlu diajak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan (Kompas, 12/8/2009).

Bercermin pada hari Pemuda Internasional ini, dua hal yang menjadi kendala pokok pada pemuda kita adalah tingginya biaya pendidikan, termasuk di dalamnya ketersediaan lapangan kerja. Kedua, lemahnya akses bagi pemuda untuk berpartisipasi dalam mengambil keputusan.

Pendidikan adalah fondasi utama mengembangkan kecakapan intelektual, spiritual, dan emosional pemuda. Mengapa akses untuk mendapatkannya terasa sulit. Padahal, pemerintah berupaya mengedepankan agenda membudayakan pendidikan dan semangat belajar di setiap sektor kehidupan. Setiap tahun energi segar pemuda dihasilkan dari lembaga pendidikan, akhirnya pengangguran intelektual tidak terbendung tanpa askes untuk mengambil keputusan bagaimana cara keluar dari lingkaran yang melumpuhkan itu.

Informasi tentang representasi kaum muda juga bisa dibaca dari statistik pemuda yang dikeluarkan BPS. Dari segi jumlah, pemuda atau penduduk berumur 15--35 tahun merupakan golongan mayoritas yakni sekitar 81 juta jiwa, lebih besar dari penduduk golongan usia tua dan anak-anak. Namun, jika dilihat dari kualitas sumber daya manusianya wajah pemuda Indonesia tampak menyedihkan. Hanya sepertiga (27 juta jiwa) dari jumlah pemuda itu yang berpendidikan tinggi. Sebagian lainnya hanya berpendidikan menengah, tamatan SD bahkan tidak tamat SD dan buta huruf.

Sebuah kontradiksi yang menyelimuti semangat sumpah pemuda. Dahulu representasi sumpah pemuda terbentuk dari tekanan penjajah dan fakta sosial yang membangkitkan kesadaran kolektif pemuda dalam satu bahasa dan satu bangsa. Kini tekanan globalisasi belum dapat menggugah kesadaran kolektif pemuda dalam dunia yang semakin kecil. Representasi pemuda adalah proses sosial yang panjang di mana reproduksi maknanya tidak hanya diproduksi oleh bahasa tapi oleh sejarah.

Foucault pernah menyatakan manusia hanyalah produk dari sejarah. Pemuda adalah manusia, oleh karena itu pemuda hanyalah produk dari sejarah. Lantas apakah representasi pemuda harus berhenti dari sejarah masa lalu. Sedangkan jaman terus berjalan dan pemuda berada dalam proses peralihan sosial budaya yang sangat cepat.

Dalam representasinya pemuda seringkali diidentikan dengan sosok manusia yang semangat, pemberani, kreatif, dan siap menghadapi tantangan. Bahkan dalam kultur industri yang modern sosok pemuda dengan mudah digambarkan oleh produk-produk iklan yang berusaha mengundang daya tarik pemuda itu sendiri untuk membeli produk tersebut.

Pemuda bukan sekadar icon melainkan maknanya sudah melesat jauh sebagai suatu permainan tanda-tanda. Bisa saja orang mengatakan runtuhnya suatu bangsa ditandai oleh jauhnya pemuda dari agama dan rusaknya moral generasi muda. Di sisi lain, tandanya akan berbeda bagi dunia industri yang pasarnya kaum muda. Pemuda tangguh adalah pemuda yang berani menerima tantangan.

Melihat globalisasi dalam pandangan Pieterse (1995) tidak lain adalah sebuah tempat yang luas bagi konstruksi identitas; pertukaran benda-benda/simbol-simbol dan pergerakan antartempat yang semakin mudah, yang dikombinasikan dengan perkembangan teknologi komunikasi, membuat percampuran dan pertemuan kebudayaan juga semakin mudah.

Membaca pemuda lewat kacamata Pieterse di tengah globalisasi sangat relevan mengingat konstruksi dan representasi pemuda terjadi dalam silang pertemuan budaya yang ditunjang teknologi informasi. Sehingga sejauh mana kita dapat menegosiasikan makna pemuda dalam momentum sumpah pemuda dan di era kepemimpinan baru bangsa ini dalam hal memberdayakan pemuda.

Menegosiasikan Makna
Dalam sebuah kata-kata hikmah dikatakan bahwa pemuda hari ini adalah pemuda hari esok. Kalimat ini sesungguhnya ingin menampilkan wajah pemuda yang siap menghadapi tantangan jaman. Secara historis telah dilukiskan oleh Indonesia tentang sejarah pergerakan nasional yang dipelopori oleh pemuda dengan semangat kebangsaan.

Sumpah pemuda adalah pesan pedagogis bagi para pemuda saat ini dan akan datang. Artinya kesadaran kolektif pemuda merupakan jalan untuk beraksi bahwa peran dan tanggungjawab pemuda suatu keniscayaan. Yang paling dasar untuk membangun ideologi gerakan bahwa ketimpangan dalam bentuk apapun merupakan ancaman kemanusiaan.

Oleh karena itu, upaya menegosiasikan makna pemuda sesuai dengan konteks aktualnya saat ini adalah sebuah langkah yang tegas untuk menguatkan kembali identitas gerakan pemuda. Gambarannya sudah tercipta melalui organisasi-organisasi gerakan pemuda dan mahasiswa sebelumnya. Jadi denyut nadi semangat pemuda harus segera dibangkitkan. Terkait dengan persoalan politik yang terus bergulir sejatinya peran strategis pemuda sebagai kontrol sosial jangan sampai punah mengingat strategi gerakan akan terus berubah seiring dengan perubahan peta politik.

Tentu saja ini adalah sebuah risiko dan ongkos demokrasi yang mahal. Hal ini harus menyertai setiap gerakan yang ingin perbaikan, apalagi perbaikan itu menyangkut masalah besar bangsa, yang kini masih sulit sekali memetakan hari depannya (A.Syafii Maarif, 2005). Kita berharap agar gerakan pemuda dapat menemukan maknanya yang sejati yang diraih dengan cara pedagogis dan kultural sehingga dapat menegosiasikan maknanya sesuai dengan konteks jaman.

Tatanan masyarakat bangsa kita yang sebagian besar penduduknya pemuda memang aset bangsa yang tidak tergantikan. Di pundak pemuda ini pula makna alternatif pemuda tetap dibutuhkan untuk mendobrak kebuntuan reformasi. Maka momentum Sumpah Pemuda adalah sarana cergas menegosiasikan tafsir makna pemuda yang seharusnya membumi dan membentang luas melewati sekat-sekat yang menutup kemajuan bangsa yang mandiri.
Read More …

July 25, 2009

Sisi Kemuhammadiyahan Soekarno

Oleh: Nazhori Author




Salah satu pemimpin dan pemikir kenegaraan terbesar di Asia di antaranya adalah Soekarno. Dengan gegap gempita menentang penjajahan dan penindasan manusia. Demikian sikap kepemimpinan Soekarno ketika memimpin Bangsa Indonesia sebagai Presiden RI pertama. Soekarno tidak hanya dikenal sebagai negarawan. Sebutan, orator, ideolog, intelektual, politisi juga disematkan kepada jati dirinya.

Inilah tokoh fenomenal yang dimiliki bangsa Indonesia. Di samping itu, gagasan Nasakom yang diproklamasikannya menuai kontroversi di jamannya. Di sisi lain, Soekarno dipuji, dihormati bahkan dicaci orang yang tidak setuju dengan gagasannya. Soekarno tetap Soekarno bukan yang lain. Ada sisi lain yang perlu diketahui masyarakat Indonesia yaitu pemikirannya tentang Islam dan Muhammadiyah.

Sudah banyak karya yang ditulis tentang Soekarno. Namun, tulisan tentang Soekarno dan Muhammadiyah yang diulas buku ini dari berbagai sumber layak untuk disimak, dibaca dan didiskusikan. Buku kecil setebal 90 halaman ini memberikan informasi kepada pembaca yaitu bagaimana kiprah Soekarno dalam tubuh organsasi Islam yang bernama Muhammadiyah.

Dalam buku ini dipaparkan bahwa refleksi pemikiran sosial-keagamaan Soekarno tumbuh dari pengembaraan spiritualnya baik dalam pengasingan, penjara, dialog dan hasil korespondensinya dengan sejumlah tokoh Islam sekaliber KH. Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah, H.O.S. Tjokroaminoto dari Serikat Islam (SI), M. Natsir dari Masyumi, A. Hassan dari Persatuan Islam (Persis), KH. Mas Mansur dan tokoh lainnya. Dari sinilah butir-butir pemikiran Islamnya muncul secara rasional, transformatif, progresif dan elastis.

Memahami Islam

Islam Sontoloyo adalah istilah kontroversial yang pernah dilontarkan oleh Soekarno. Menurutnya, dalam buku tersebut dijelaskan: “Secara harfiah makna sontoloyo (jawa) bisa bermakna sebagai kekonyolan, ketidakbecusan, ataupun kebodohan. Penggunaan kata sontoloyo dalam tulisannya “Islam Sontoloyo” oleh Soekarno lebih untuk merujuk kepada muslim (kelompok) yang memandekkan perkembangan pemikiran Islam melalui penafsiran tunggal untuk kepentingan diri atau kelompoknya semata”(h. 18-19).

Melalui gagasan Islam Sontoloyo, Soekarno sesungguhnya bukan ingin mengecilkan makna Islam itu sendiri. Di balik itu, Soekarno pada dasarnya ingin mengajak umat Islam untuk memahami Islam dari kacamata lain sesuai dengan tuntutan jaman. Atau dengan bahasa yang lain seperti dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi (1963) Soekarno berharap agar kaum muslim dan muslimat dapat memudakan pengertian Islam agar lebih bijaksana. Demikian ungkapannya meminjam istilah pemikir Islam terkemuka Sayid Amir Ali.

Oleh sebab itu, dilengkapi dengan kepandaian bahasa dan kepiawaiannya memahami Islam dengan semangat pembaruan, Soekarno dengan lantang mengkritisi paham keagamaan yang fatalistik. Secara teologis, dalam persoalan fikih misalnya, Soekarno melihat fikih bukanlah sekadar syarat dan rukun dalam beribadah semata melainkan dalam konteksnya dengan peradaban Islam fikih memiliki dimensi spiritual dan dimensi duniawi. Maka pemahamannya harus bersandarkan pada kedua dimensi tersebut. Ini haruslah dilakukan secara proporsional sesuai dengan watak asli dari fikih itu sendiri.

Contoh lainnya zakat, seperti diuraikan dalam buku ini bahwa sesungguhnya zakat dalam Islam adalah semangat dan bentuk pembebasan manusia atas sebuah keadaan yang penuh kekurangan dan kemiskinan struktural dengan didasarkan pada solidaritas dan kolektivitas umat. Bukan hanya sebuah ritual formal belaka atas kewajiban muzakki untuk mengeluarkan zakat pada nisab tertentu, demikian menurut Soekarno.

Sisi Kemuhammadiyahan

Berpijak dari wawasan Soekarno tentang Islam, buku mungil ini juga menguraikan sisi kehidupan spiritual Soekarno yang jatuh hati pada Muhammadiyah yang berilian dengan ide pembaruan. Ketertarikannya dengan Muhammadiyah sejalan dengan ikhtiar Soekarno untuk membuka tabir kemajuan peradaban di balik kata Islam dari tokoh-tokoh pencerahan Islam seperti Muhammad Abduh, Jamaluddin al-Afghani, sampai proklamator kebangkitan Islam Ali Pasha, Arabi Pasha, Ahmad Bey Agayeff, dan Mohammad Ali, yang menghiasi wawasan keislaman dan kemuhammadiyahannya.

Menariknya, ketika Soekarno dipindahkan oleh Belanda dari Flores ke Bengkulen, maka Soekarno resmi masuk menjadi anggota Muhammadiyah pada tahun 1938. Bersama Saudara Hasan Din di Bengkulen Soekarno berpartisipasi aktif dalam kegiatan dakwah Muhammadiyah. Yang kemudian menjadi mertua beliau karena ayah dari Fatmawati, seorang perempuan yang dinikahi Soekarno.

Dalam bagian ketiga buku ini, dikisahkan bahwa Presiden Soekarno hadir dalam penutupan Muktamar Muhammadiyah Setengah Abad pada 25 November 1962 di Jakarta. Dalam penutupan Muktamar pada waktu itu, Soekarno mengucapkan: “Sekali Muhammadiyah, tetap Muhammadiyah!” Dan yang membuat suasana menakjubkan adalah saat Presiden Soekarno mengatakan: “Sejak saya menjadi Presiden Repulik Indonesia, saya belum pernah ditagih kontribusi. Jadi saya minta agar supaya sejak sekarang ditagihlah kontribusi saya ini”.

Secara garis besar, dalam buku ini dapat dilihat bagaimana seorang Bung Karno meletakan Islam sebagai alat melintasi zaman. Bung Karno tidak hanya mengupas kulit Islam yang paling luar, kepiawaian dalam menafsirkan makna Islam, serta keberanian mendekonstruksi kata Islam sesuai konteks zaman menentukan gagasan ke-Islamannya yang progresif. Selamat membaca.
Read More …

July 1, 2009

Lindungi Anak Anda dengan Norton Onlinefamily

Awas! Bahaya Situs Web Terlarang Mingintai Anak-anak



Oleh: Nazhori Author


Dalam dunia maya berbagai macam jenis informasi mudah didapatkan. Tidak terhitung jumlahnya untuk situs web yang memberikan informasi kepada penikmatnya yang berselancar di dunia maya. Berita-berita aktual dengan mudah dapat diakses. Jagat maya sepertinya memberikan fasilitas menarik bagi setiap orang yang di setiap kesehariannya bergantung pada teknologi informasi. Secara tidak langsung teknologi informasi telah membentuk masyarakat teknokratik yaitu masyarakat serba terknologi dalam kehidupannnya sehari-hari.

Menariknya lagi dunia maya bukan monopoli orang dewasa lagi, anak-anak kini sudah mulai memanfaatkan situs web untuk belajar, mencari teman bahkan bermain ketangkasan. Tapi jangan lupa, bagaimana Anda selaku orang tua melindungi anak Anda dari bahaya situs web yang tidak boleh dikunjungi sang anak. Padahal, selain internet yang disediakan orang tua sebagai fasilitas di rumah, anak tanpa kesulitan dapat mengakses informasi dari warnet yang tidak jauh dari rumah Anda bahkan dari rumah teman sebayanya. Atau fasilitas handphone yang menyediakan fasilitas GPRS.

Harian Koran Tempo (29 Juni 2009) menurunkan berita yang layak untuk diapresiasi yaitu tentang cara melindungi anak di jagat maya. Intisarinya dalam berita itu bahwa saat ini software atau tool untuk memproteksi anak saat menggunakan computer dan internet bukanlah hal baru. Symantec mencoba menawarkan solusi serupa, namun dengan unsur yang tak banyak dimiliki oleh produk lain, yaitu transparansi.

Surat kabar harian itu juga menegaskan jika anak-anak tahu mereka sedang dipantau oleh orang tua seperti diungkapkan Effendi Ibrahim, Internet Safety Advocate dan Norton Business Lead Asia South Region, di Jakarta beberapa waktu yang lalu. Sederhananya, Norton sebagai protector memberikan jalan alternatif dengan memberikan layanan yang bernama OnlineFamily. Sebuah produk keluaran Norton itu bisa diunduh dari situs http://onlinefamily.norton.com. Tool ini tersedia gratis hingga 1 Januari 2010 (Koran tempo, 29 Juni 2009).

Sistem ini akan melindungi anak-anak dari situs web terlarang. Adapun cara kerjanya adalah dengan memantau situs apa saja yang dapat diakses oleh anak saban hari dan membuat statistiknya, demikian diberitakan harian Koran Tempo. Pada tool bar di layar akan ada ikon yang memberi tanda bahwa orang tua sedang mengawasi mereka.

Andaikan si anak penasaran dan merangsang rasa ingin tahunya sistem itu juga akan menampilkan tampilan yang lucu yang mengajak anak untuk memilih pilihan dan membantu anak keluar dari situs web terlarang. Tapi, jika anak itu terlanjur mengeksesnya sistem itu juga akan memberikan pilihan yang membawa si anak mengirimkan pemberitahuan kepada orang tua. Secara otomatis sistem akan menotifikasi orang tua melalui email.

Oleh karena itu, melalui informasi ini diharapkan orang tua tidak risau akan anak-anak mereka yang gemar berselancar di jagad maya. Dan, bukan berarti orang tua lepas tangan begitu saja, tetap yang namanya celah pasti akan selalu dicari sebaik apa pun teknologi itu dirancang. Dan bahaya situs terlarang bagi anak secara tidak sadar akan terus hadir dan mengintai para penikmatnya, tidak terkecuali anak-anak yang sebelumnya tidak tahu sama sekali akan hal itu.

Produsen situs terlarang dari waktu ke waktu akan terus berinovasi seiring dengan tumbuh suburnya teknologi informasi secara kreatif. Artinya semakin kreatif dan variatif teknologi informasi sejalan itu pula situs terlarang berganti wajah dengan kreatif dan mengambil keuntungan besar melalui ekspansinya di dunia maya. Mereka akan mengembangkan ekonomi kreatif dalam dunia informasi yang penuh paradoks, kecabulan, dan tak terpikirkan sebelumnya.

Bagaimanapun teknologi informasi diciptakan, sudah pasti ada sisi lebih dan kekurangan. Sebab, pada dasarnya sesuatu itu dirancang untuk kebaikan dan sumber belajar yang inovatif. Keputusan ada di tangan Anda. Tidak melulu menghabiskan waktu untuk bekerja sedangkan buah hati kita membutuhkan perhatian dan kasih sayang. Wallohu ‘alam
Read More …