Dalam kesempatan yang sama, Naomi Resti Anditya, mahasiswa Hubungan Iternasional UGM, lebih melihat keberadaan gerakan filantropi Islam pada dua organisasi masyarakat yakni NU dan Muhammadiyah. Penelitian Naomi berangkat dari ide tentang filantopi dan perdamaian.
Judul penelitian yang diangkat Naomi, “Filantropi Islam untuk Perdamaian, Menakar Inklusivitas Lazisnu dan Lazismu di Yogyakarta”. Dalam paparannya, ia mengatakan seberapa jauh filantropi Islam mampu mewujudkan kesejahteraan sosial tanpa melihat sekat-sekat primordial. “Filantropi Islam, merupakan jembatan perdamaian dan berperan aktif dalam keadilan sosial,” katanya.
Kedua LAZ berbasis ormas ini, menurut Naomi, sejak berdirinya, meski berbeda dalam model dakwahnya, sama-sama berdiri sebagai jawaban terhadap kolonialisme, keberadaannya juga untuk menjawab pengaruh penjajahan secara inklusif dalam model dakwah gerakannya.
Naomi dalam temuannya, mengatakan keduamya juga berangkat dari modal sosial yang kuat. NU dengan pesantrennya terus berkembang mewujudkan nilai-nilai filantropi sebagai gerakan dakwahnya. Sementara Muhammadiyah, yang sedari awal bernuansa dakwah Islam filantropis sesuai dengan ajaran Al-Maun, filantropinya juga terus berkembang melalui gerakan amal usaha di bidang pendidikan dan kesehatan.
Menurut Naomi, mengutip pendapat Robert Putnam, NU dan Muhammadiyah melalui gerakan filantropinya sudah mengakomodir secara terbuka untuk membantu masyarakat yang berbeda latar belakang. Modal sosial yang terbuka ini, merupakan spirit untuk membentuk jaringan, hubungan timbal-balik dan saling kepercayaan.
Sebagai studi kasus, Naomi memang belum menemukan pengalaman kedua organisasi ini dalam menjawab konflik dengan solusi perdamaian di kawasan Yogyakarta. Naomi mengatakan, baru di tingkat pusatlah keduanya terjun menjembatani konflik-konflik sosial baik yang terjadi di dalam negeri maupun di luar negeri, seperti tragedy Rohingya misalnya.
Selanjutnya, Naomi menuturkan, kedua LAZ berbasis ormas ini, punya tradisi filantropi yang berbeda. Uniknya keduanya membuka diri untuk melakukan sinergi secara strategis.
Naomi dalam hasil penelitiannya juga menawarkan bagaimana LAZ NU dan Muhammadiyah di Yogyakarta, untuk membangun ide gerakan filantropi dengan pendekatan binadamai. Maksudnya menurut Naomi, situasi sosial yang terus berubah sewaktu-waktu dapat memicu konflik, untuk itu, gerakan filantropi Islam memungkinkan kesempatan bagi manusia untuk hidup sejahtera dan damai.
Hanya saja, berdasarkan temuannya, keduanya belum bisa memfasilitasi modal sosial kelompok tertentu yang keberadaannya dalam situasi tertutup. Alasaannya menurut Naomi keduanya belum memiliki sumber daya manusia yang cukup untuk bergerak ke arah sana, kendati peluangnya terbuka lebar.
Di samping itu, kedua lembaga amil zakat ini, tetap konsisten mewujudkan perdamaian positif dengan memfokuskan diri pada peningkatan kesejahteraan ekonomi dan pendidikan melalui lembaga pendidikannnya masing-masing.
Dari hasil temuannya tersebut, Naomi mengakui jika kedua LAZ itu belum tentu mewakili lembaga filantropi Islam lainnya. Tantangan yang dihadapi Naomi, ketika wawancara, narasumbernya masih terbatas. Karena itu, untuk mengembangkan penelitiannya, Naomi akan mengambil skala wilayah yang lebih luas dan narasumber yang lebih banyak.
Berangkat dari dua penelitian itu, ada dua penanggap yang hadir, Dr. Ai Fatimah Nur Fuad, Lc, pengajar dari FAI Uhamka dan Robi Sugara, M.Sc, Direktur Eksekutif Indonesian Muslim Crisis Center (IMCC). Dalam catatan Ai Fatimah Nur Fuad, tradisi penelitian di kalangan mahasiswa perlu digalakkan. “Saya mengepresiasi para penerima MAF 2017 yang telah berusaha melahirkan hasil penelitian di kalangan generasi muda,” katanya.
Bagi Ai Fatimah, penetian Naomi adalah faktual. Sisi menariknya mencoba masuk dalam persoalan-persoalan yang tidak terpikirkan sebelumnya. Ada temuan menarik bahwa filnatropi Islam dapat mendorong perdamaian secara inklusif.
Namun dalam paparan yang disampaikan, perlu digali kembali seberapa jauh kedua lembaga amil zakat ini mampu mengungkap gerakan filantropi Islam secara terbuka. Artinya belum ada sesuatu yang terlihat baik tebal dan tipisnya. Maksud Ai Fatimah sebagai tanggapan dan masukan untuk pengembangan penelitian selanjutnya, Naomi perlu investigasi lebih dalam persoalan ini.
Di awal Naomi, sudah menjelaskan keduanya memiliki modal sosial yang tebal secara internal. Tapi modal sosial yang tipis di luar NU dan Muhammadiyah justeru menjadi tantangan penelitian Naomi berikutnya. Tujuannya, nilai Ai Fatimah, untuk menggali sisi inklusif mereka.
Senada dengan Ai Fatimah, Direktur Eksekutif IMCC, Robi Sugara mengatakan Naomi memiliki banyak peluang, bagaimana penelitiannya mampu masuk kea rah resolusi konflik. “Ini juga bisa dipertimbangkan dalam isu filantropi perdamaian,” paparnya.
Menanggapi riset Naomi, Robi juga mengungkapkan bahwa manajemen konflik yang dijembatani solusi konstruktif dapat berguna bagi kedua LAZ ormas ini untuk berlomba-lomba melayani masyarakat duafa yang beragam latar-belakangnya.
Pengalaman Robi ketika riset terhadap kelompok gerakan radikal yang mendukung ISIS, bahwa kelompok jihadis ini juga melakukan penghimpunan dana untuk berjuang di jalan Allah menegakkan khilafah. Di pemerintah sendiri, terutama BNPT, kelompok jihadis ini ketika lepas dari lapas, coba diajak bekerjasama meski sebagian lainnya tidak mau. Alasannya menurut Robi, mantan Napiter tidak mau karena akan melukai gerakan jihad mereka.
Meski mereka kecewa terhadap kelompknya ada kategori lain untuk Napiter yaitu mereka kuat dan masih yakin dengan perjuangannya. Soal penegakkan Islam, Robi menilai, kembalinya mantan pimpinan Jamaah Islamiyah, Nasir Abbas ke kehidupan normal’, adalah salah satu contoh kekecewaan, jika aksi bom bunuh diri seperti di Bali saat itu merupakan tindakan jihad yang keliru menurut Nasir Abbas saat itu.
Dari paparan kedua peneliti muda itu, menurut Robi, layak diapresiasi. Ada keberanian mahasiswa-mahasiswi untuk menggiatkan tradisi riset di lingkungan akademik.