August 30, 2017

Rendang Nusantara Dibalik Sarung



Menu nusantara selalu disajikan sedap di warung sederhana sampai rumah makan berkelas, seperti rendang misalnya yang menggugah selera makan saat nafsu makan tak lagi memantik. Di tengah kebisingan lalu lintas informasi dan pemuja kuasa, hidangan berselera nusantara tak pernah absen di sekitar kita.
Di bilangan Menteng, hidangan bersantan tak sementereng dulu. Selepas lelah para tukang ojek mengubur rasa lapar dengan nikmat. Peluh membasahi dahinya, bersamaan dengan city car mewah yang berhenti tepat di depan kedai minang itu. Wanita bersepatu high heels dan berkacamata hitam itu masuk kedai, duduk manis seraya memesan rendang otentik itu

Menyebut rendang seperti klise. Nyatanya resep asal minang ini telah melebur dalam keseharian kita meski ada menu makanan yang lain. Bagi penikmat selera nusantara yang berkemajuan tentu bukan suatu yang sakral justeru menjadi menu eksistensial berpijak dari keragaman budaya yang ada.
Jika membuka lembaran eksistensi ruang dan waktunya Martin Heidegger, rendang tidak fenomena semata, kekuatan magisnya sulit ditolak penikmatnya padahal rendang sebagaimana adanya telah membuka pintu kesadaran mengapa keberadaanya begitu objektif untuk disantap dengan catatan bagaimana ia dihayati oleh penikmatnya.    
Baru-baru ini rendang terlihat ekspresif, bahkan dilibatkan sebagai titik-balik berteologi untuk pembacaan sosial yang berkelindan dengan spirit filantropi. Awal Juli 2017, di bilangan Kramat - Jakarta, dua lembaga filantropi Islam terbesar NU dan Muhammadiyah berdiskusi soal rendang.
Ini bukan kebetulan, sejak 2012 rendang diakui UNESCO sebagai kuliner asli Indonesia dan mendunia. Perihal justifikasi ini bukan alasan utamanya bagi dua lembaga filantropi tersebut apalagi ketika dinikmati sambil melepas sarung. Sejak Indonesianis datang ke Indonesia, bahwa NU dan Muhammadiyah tak luput dari fokus penelitian mereka sambil menikmati menu nusantara untuk mengupas struktur sosial kaum abangan, santri dan priayi.
Kembali ke ulasan ini, mengapa ada rendang dalam filantropi modern? Bukankah NU dan Muhammadiyah telah menampakkan dirinya sendiri. Mungkin di jagad media sosial, netizen berbicara penuh kerumitan dengan penafsiran dan persepsi yang berbeda. Namun tidak bagi gerakan filantropi di dalam dua organisasi besar ini. Rendang adalah sentuhan kolaborasi untuk memperkuat kohesi sosial.
Berdasarkan agenda besarnya, dua lembaga filantropi terbesar itu akan menghelat program akbar bertajuk Nusantara Berkurban untuk Indonesia Berkemajuan (NBIB) bertepatan dengan hari besar Idul Adha. Agenda besar ini bukan pesta rendang. Ini adalah sebuah gerakan kolaborasi untuk menciptakan sesuatu yang istimewa.
Hal itu diutarakan Andar Nubowo selaku Direktur Utama Lazismu yang mengajak kawan-kawan Lazisnu yang diwakili Syamsul Huda selaku Direktur Utama NU Care-LAZISNU. Menerima tawaran itu, Lazisnu menyambut baik, Syamsul mengatakan akan menarik jika melibat komunitas filantropi Indonesia yang fokus dalam tujuan dan pencapaian tema-tema Sustainable Development Goals (SDGs).
Filantropi dan SDGs
Di sini rendang tidak menampakan diri. Yang ada adalah bagaimana pada hari raya Idul Adha nanti ibadah kurban mampu mengakses kawasan-kawasan di Indonesia yang tertinggal, terluar dan terdepan yang jauh dari akses informasi. Kedua lembaga filantropi ini ingin membiarkan kawasan-kawasan itu menampakan diri, terlihat. Rendang tidak sebatas konseptualisasi, melainkan mengarahkan kesadaran kurban konvensional menuju kurban nusantara yang berkemajuan.
Intensionalitas kurban dan kesadaran ini diharapkan menjadi perspesi baru untuk melihat Indonesia sebagai sesuatu yang lain. Bukan suatu fenomena sosial yang meriuhkan banalitas politik apalagi egosistem yang merusak keragaman nusantara. Berkurban adalah ketajaman matahati melihat ketimpangan sosial dan ikatan sosial yang belakangan retak.
Secara teologis berkurban adalah ibadah sosial dan bukan ibadah pasif. Kurban sebagai gagasan sosial dalam makna artistiknya adalah penyebab efektif dari sisi pelaku filantropi. Dari perspektif filantropis kurban ingin memberikan sesuatu yang bermakna. Kurban dalam aspek transenden adalah pewahyuan. Sementara inisiatif sosial kurban oleh manusia melalui gerakan filantropi adalah membuka partisipasi kolaboratif sehingga melampaui sekat-sekat sosial yang partikular.
Nusantara sebagai konstelasi gerakan filantropi mendorong setiap insan untuk menyadari identitas unik dari dirinya berdasarkan kekeliruannnya selama ini yang mementingkan hasrat. Agama dan politik memang tidak bisa dipisahkan, namun dalam pembacaan filantropis ada hal-hal lain yang perlu diketengahkan dan dilupakan banyak orang yaitu kedermawanan sosial.
Kedermanwan sosial bagi lembaga filantropi memiliki irisan strategis dengan SDGs. Selama ini keterlibatan lembaga filantropi dalam pencapaian SDGs, dianggap dapat mendorong program dan tujuan pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Agenda besar kolaborasi kurban nasional ini juga berupaya mendorong kepekaaan sosial (sense of crisis) dan pentingnya kesadaran akan perbedaan sosial.
Karena itu, dua lembaga filantropi tersebut ingin berkontribusi pada peningkatan pendapatan mayarakat, penyadaran perilaku hidup sehat dan mengatasi masalah gizi buruk dan ketahanan pangan di kawasan minim akses dan menggerakkan nilai ekonomi kurban yang produktif. Diharapkan agenda ini bisa membantu pemerintah terutama mengenai jaminan hidup tanpa kemiskinan, tanpa kelaparan, dan kehidupan yang sehat dan sejahtera.

0 comments:

Post a Comment

Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?