July 20, 2008

Memaknai Pendidikan Dengan Wisdom

Oleh: Nazhori Author
Benarkah pendidikan telah kehilangan makna yang sebenarnya? Amat miris jika menjawab yang sesungguhnya. Dibutuhkan pendekatan sosiologis untuk melihat pendidikan secara jernih. Tapi fakta di lapangan berkata lain. Di tahun ajaran baru ini para orangtua menjerit karena biaya masuk sekolah yang amat mahal. Tekanan hidup kian terasa, saat impitan ekonomi mengganjal hak anak untuk memperoleh pendidikan.

Masyarakat sulit untuk membantah fakta itu. Tampaknya semua itu memberikan penjelasan bahwa pendidikan atas apa yang telah diprediksikan Henry A Giroux tentang keprihatinannya terhadap pendidikan yang memanjakan efisiensi ekonomis dalam praktiknya. Giroux menengarai bahwa dalam dunia pendidikan telah terjadi pengkerdilan makna dan hakikat pendidikan.

Filsafat pendidikan mengalami pacekelik karena kurikulum dan metodologi pendidikan sebagai irigasi yang siap mengirim air pengetahuan dari guru kepada peserta didik mengalami kekeringan makna. Sehingga pendidikan sebagai institusi gagap menghadapi proses perubahan pembelajaran yang menjadi ujung tombak agen kemanusiaan.

Hasilnya jarak kesenjangan sosial semakin dekat dengan halaman rumah kita. Tak dinyana tingkat kecemburuan sosial kian menunjukkan wujudnya dalam bentuk ketidakacuhan masyarakat antara komunitas borjuasi dan komunitas marginal di sisi lain. Saat kemiskinan ekonomi dan moral telah demikian menggencet, maka tak mustahil kalau kemudian emosi sosial yang berbicara dan logika tersisih hanya untuk mencari jalan pintas.

Pendidikan sebagai sarana penampung totalitas kemampuan manusia sesungguhnya telah diperingatkan keberadaannya akan tergeser akibat dampak globalisasi yang berada di tengah-tengah hidup manusia. Pendidikan kita berada di antara idealisme dan pragmatisme. Padahal otonomi pendidikan telah memberikan kesempatan untuk merias wajah dan jatidirinya.

Dua Perbedaan
Di Indonesia gagasan reformasi pendidikan pada dasarnya akan menemukan momentumnya bersamaan dengan gerakan reformasi yang dirintis sejak 1998. Tapi kenyataan berbicara lain justeru reformasi pendidikan belum berjalan maksimal hal ini dibuktikan dengan kegagalan pemerintah memberikan anggaran 20 persen untuk pendidikan.

Pendidikan sebagai makna hidup dalam prosesnya adalah salah satu tindakan komunikasi yang dialami setiap generasi. Oleh karena itu, pendidikan mengandung banyak makna. Dalam perjalanannya untuk menjemput makna pendidikan yang sesungguhnya amat sulit. Karena pendidikan dengan berbagai macam atributnya telah mengalami kristalisasi.

Adalah Mochtar Buchori (2001) dengan gagasan pendidikan antisipatorisnya berupaya meletakkan pendidikan pada porsinya yang humanis. Menurutnya pendidikan yang menjelma menjadi sekolah seyogianya mengajarkan dan menyadarkan kepada peserta didik bahwa belajar bukan untuk sekolah tapi untuk hidup. Pendidikan seperti inilah yang di masa depan akan bertahan, karena mengutamakan manusia dan nilai-nilai hidup di atas pelajarannya.

Berbeda dengan cara pandang yang meletakkan pendidikan sebagai ladang ekonomis. Tidak berlebihan jika out put yang dihasilkan tidak jauh berbeda dengan agen pasar kerja dan biro penyedia birokrat elit masyarakat yang berusaha memanipulasi hakikat pendidikan. Pendidikan tak ubahnya sebuah proyek “kebajikan” untuk memfasilitasi global market tanpa kualitas sumber daya manusia.

Kondisi ini dapat dilihat dan disaksikan saudara-saudara kita yang mendaftarkan anak-anaknya untuk sekolah. Berbekal uang pendaftaran yang minim anaknya harus rela kehilangan sekolah impiannya hanya karena biaya masuk sekolah yang amat mahal. Tidak jauh berbeda dengan perguruan tinggi, untuk memperoleh pendidikan di universitas negeri pada zaman sekarang mungkin hanya sebatas impian bagi mereka yang secara kultural dan struktural hidup dalam kemiskinan.

Kesenjangan dalam praktik pedagogis tersebut dalam suasana yang berbeda setidaknya dapat dijumpai di sekolah. Pada dasarnya setiap peserta didik berhak mendapatkan pengetahuan yang tersusun secara sosial dalam keragaman dan kemampuannya yang berbeda. Tapi praktiknya sulit menyajikan dalam pembelajaran akibat relasi sosial yang terjadi antara guru dan peserta didik masih bersifat hegemonik.

Melihat realitas ini di sekolah-sekolah, melalui Sosiologi Pendidikan, Young dalam Robinson (1986) membedakan dalam dua konsep kurikulum sebagai fakta dan praktik. Pertama, kurikulum sebagai fakta memandang sekolah sebagai alat keseluruhan fakta yang di dalamnya terdapat interaksi sosial yang disembunyikan secara kolektif menghasilkan pendidikan itu sendiri. Kedua, kurikulum sebagai praktik memandang bahwa sekolah, bagaimana orang secara kolektif berusaha menata dunia mereka dan proses itu menghasilkan pengetahuan.
Merujuk pendapat Young di atas jelas bahwa potret pendidikan di atas menggambarkan bahwa sekolah dalam praktiknya menafikan kerjasama yang dialogis sehingga sulit untuk melakukan problem solving. Tidak heran jika relasi kekuasaan dalam sekolah seperti ini proses pembelajarannya berlangsung tidak humanis. Contohnya kekerasan dan bulyying masih saja terjadi dalam pendidikan kita.

Berbeda dengan potret sekolah yang kedua, secara sadar dan kritis sekolah, guru, peserta didik dan masyarakat berusaha mencari model alternatif dengan kebebasan pedagogisnya yang humanis karena mengedepankan praktik dialogis dalam memecahkan persoalan pendidikan. Dengan demikian keduanya perlu disertai dengan komitmen politik untuk transformasi pendidikan.

Isomorfisme Pendidikan
Dalam memaknai pendidikan setiap bangsa memiliki pengalamannya sendiri-sendiri. Begitu juga dengan Indonesia. Belum tuntasnya reformasi pendidikan karena belum terbukanya ruang dialog sebagai tindakan komunikasi. Iklim demokrasi sekarang ini malah tidak menjamin membawa pendidikan ke arah yang lebih transformatif. Pembenahan pendidikan baru pada tahap kulit luarnya saja belum kepada sistemnya sebagai kulit yang paling dalam.

Melihat sejarah sebelumnya, kebangkrutan bangsa ini berawal dari kegagalan pembangunan yang salah arah dan terjebak pada bujuk rayu globalisasi. Selama 32 tahun lebih masyarakat seantero Indonesia dininabobokan oleh kebijakan pembangunan (developmentalisme) yang justeru menguras isi perut dan potensi bangsa yang gemah ripah lojinawi.

Maka berangkat dari pengalaman pahit ini, belajar dari David K. Berlo (dalam Jalaluddin Rakhmat, 2001) bahwa sesungguhnya orang-orang memiliki makna yang sama bila mereka mempunyai pengalaman yang sama atau dapat mengantisipasi pengalaman yang sama. Bagi Jalaluddin Rakhmat kesamaan makna karena kesamaan pengalaman masa lalu atau kesamaan struktur kognitif disebut isomorfisme.

Menurutnya isomorfisme terjadi bila komunikan-komunikan berasal dari budaya yang sama, status sosial yang sama, pendidikan yang sama, ideologi yang sama, pendeknya, mempunyai sejumlah maksimal pengalaman yang sama. Pada kenyataannya tidak ada isoformisme total. Selalu tersisa makna perorangan.

Tentu saja, dalam kerangka pendidikan Indonesia sebagai tenda bangsa yang menginginkan perubahan, isomorfisme pendidikan dapat dilakukan dalam konteks keindonesiaan. Meski tidak total, meminjam pendekatan komunikasinya makna pendidikan yang konotatif-negatif dan beraroma emosional seperti kapitalis, pragmatis dan atribut lain yang menyertainya tergantikan dengan maknanya yang positif, humanis dan sistematis. Sehingga pendidikan sebagai wisdom pada esensinya adalah proses humanisasi bagi mereka yang lemah atau tertindas di dalam masyarakat.
Penulis adalah Alumnus Jurusan Tarbiyah (PAI) STAIN Purwokerto

0 comments:

Post a Comment

Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?