July 9, 2021

Ruang Kenikmatan yang Hilang

 


Semua bermula dari makhluk tak kasat mata. Tidak lebih, yang ada porak poranda (collaps). Daya hancurnya semakin kuat menekan. Tidak ada lagi batas desa dan kota, sekarang semua merasakan dampaknya. Dalam hitungan detik, semua orang yang terdampak dan merasakan gejalanya membutuhkan ruang; ruang untuk ditangani, ruang untuk sehat, dan ruang-ruang lain yang tak bisa diperoleh dengan kesendirian.

Di sini, manusia betul-betul kehilangan ruang yang dimilikinya. Orang-orang kota kehilangan ruang metropolisnya, sementara orang-orang desa kehilangan ruang naturalnya dalam skala sosial-budaya yang khas. Selain ruang fisik ini, ruang abstrak pun dalam skala makro hampir saja tak ditemukan oleh negara sebagai penentu ruang kebijakan yang sesungguhnya.

Dalam serangan virus mematikan ini, ketika ruang fisik diperebutkan bahkan untuk suatu aktivitas kenikmatan, ruang abstrak kembali diuji dengan merebaknya kabar bohong bahwa virus ini hanya rekayasa belaka, sarat konspirasi. Bahkan keketatan sains pun tak mampu menjawab dan menyadarkan masyarakat untuk memberikan fakta bahwa dunia sekarang ini sedang tidak baik dan virus ini telah mengancam kehidupan manusia.

Para ahli dan tenaga kesehatan yang menjadi garda depan berusaha membuktikan kondisi ini melalui ruang maya, bahwa yang menjadi korban bukan hanya mereka yang sedang ditangani tapi paramedis juga terancam nyawanya dalam ruang tindakan. Cara manusia menata ruang memang tidak bisa dilepaskan dari spasi waktu dan pilihan yang paling prioritas.

Ruang yang Terbatas

Teringat apa yang disampaikan sosiolog kebudayaan seperti Georg Simmel bahwa dalam lalu lintas budaya yang padat dan ruwet. dimensi ruang fisik perlu didekati kembali dalam ruang pemaknaan (abstraksi) yang dapat mengalirkan informasi yang rasional. (AB. Widyanta, 2002). Informasi itu berupa data-data informasi yang menjadi pengalaman budaya manusia yang setiap gerak-geriknya dalam relasi sosial memiliki keterbatasan.

Keterbatasan itu ada dalam tindakan berbudaya yang dilakukan manusia dalam pergerakan ekonomi dan budaya konsumsi. Merujuk pendapat Simmel, relasi psikologis dan intelektual antara individu merupakan suatu relasi yang diterima secara objektif dalam memenuhi kebutuhannya yang dipengaruhi oleh persepsi dan pengalaman itu sendiri dalam kompleksitas hidupnya yang terfragmentasi. Artinya ruang dan keterbatasan itu sangat ditentukan oleh manusia itu sendiri dalam setiap fenomena kehidupan modern.

Semua orang ingin hidupnya berjalan normal. Namun tidak untuk kali ini dalam situasi pandemi. Segenap sisi kehidupan sosialnya terbatas. Oleh karena itu, keikhlasan untuk menunda kebahagiaan dan kenikmatan di luar rumah adalah keniscayaan. Harus diakui manusia tanpa ruang ibarat buah catur tanpa papan permainan. Tidak ada langkah untuk bergerak padahal pilihannya hanya hitam dan putih.

Setali tiga uang dengan kondisi pandemi, pilihannya dalam keterbatasan ini hanya untuk keselamatan atau siap untuk terinfeksi virus mematikan ini. Maka pembatasan skala mikro saat ini adalah pilihan yang tak bisa ditawar. Kebaikan puncak (summum bonum) yang harus dipilih untuk keselamatan bersama yang di dalamnya juga ada seni untuk menjadi bahagia sebagai tindakan akal budi sebagaimana nasihat bijak Epicurus.

Menunda Kenikmatan 

Pesan kenikmatan yang disampaikan Epicurus tidak semata-mata dalam bentuk kebahagiaan fisik semata; kenikmatan batin tetap perlu dijaga sebagai wujud bahwa totalitas jasmani manusia pada prinsipnya yang membutuhkan ruang dalam pandangan yang atomistik sekalipun membutuhkan ruang untuk bahagia.

Pada dasarnya mereka yang tidak percaya akan pandemi ini dapat berkaca pada Epicurus tentang prinsip kebijaksanaan yang "kasat mata". (Seni Berbahagia, 2019). Menurutnya bahwa makna tidak ada yang lahir dari yang tiada, adalah prinsip sebab akibat. Prinsip umum yang secara universal disepakati.

Mereka yang tidak percaya pandemi adalah orang yang tidak mampu menunda kenikmatan sehingga masih percaya kabar burung bahwa kekhawatiran dan rasa takut yang dialami banyak orang merupakan hasil dari konspirasi untuk menekuk agama. Bahkan mereka membungkus kabar pahit pandemi dengan balutan agama sebagai propaganda.

Bagi mereka yang tak percaya ada pandemi, menganggap situasi ini adalah rekayasa dan tipu muslihat lainnya yang disebarluaskan hanya untuk kepentingan politik tertentu. Mereka yang tak percaya pandemi lupa bahwa mereka mengingkari prinsip eksistensi dan kebahagiaan yang dipegang Epicurus tentang "yang tak terlihat bukan berarti tiada". Prinsip ini mengandung makna bahwa meski kematian tak terlihat kapan akan terjadi, namun hal itu mutlak dialami bagi setiap makhluk hidup.

Kehidupan ini, kendati sebagian ada yang tak terlihat bukan berarti mudah untuk dianggap sebagai ketiadaan. Oleh karena itu, jika mereka menganggap virus yang tak kasat mata ini sebagai sesuatu yang tiada, boleh jadi mereka yang tak percaya pandemi tak bisa menerima realitas kehidupan yang kompleks ini, karena apa yang mereka tidak ketahui saja tidak dapat diakui sebagai suatu informasi yang memadai.

Epicurus sejatinya tidak bermaksud mengajak manusia untuk melupakan kematian. Lebih dari itu, bagaimana ia mengajak kita untuk menikmati kehidupan sebagai seni hidup berbahagia dengan sederhana dan terbatas. Bukan kehidupan yang bermakna hedonis, melainkan kehidupan yang mengarahkan untuk mencapai kebahagiaan. Menata hidup dengan mensyukuri apa yang kita miliki bukan dengan sesuatu yang tidak atau belum kita miliki.

Dalam ajaran kebijaksanaannya, Epicurus juga mengajak kita untuk tidak berlebih-lebihan. Menjauhkan sikap dan pikiran yang berlebihan dari rasa sedih, khawatir, takut dan tidak bahagia. Manusia hidup untuk berpengetahuan yang tujuannya mencapai kedamaian pikiran dan menyingkirkan rasa takut dan kegelisahan yang ada dalam diri manusia (antaraxia).

Jika kita masih ingin mendapat kebahagiaan (antaraxia) dan keselamatan selama pandemi yang tidak tahu kapan akan berakhir, nasihat Epicurus untuk menunda kenikmatan sesaat di luar rumah dan kembali ke entitas keluarga layak dipikirkan kembali. Karena untuk bahagia membutuhkan kedisiplinan tinggi dan mematuhi aturan main dengan dedikasi yang penuh kesabaran untuk menerima realitas kehidupan di tengah budaya konsumeristik yang kompleks. Sehingga dalam realitas pandemi ini sesungguhnya bukan berarti takut pada kematian, tetapi kita takut terhadap apa yang tidak kita ketahui.

Nazhori Author, Dosen LPP AIK Universitas Prof. Dr. Hamka Jakarta

Sumber: Detik.com 

Read More …

January 19, 2021

Pedagogi Kritis sebagai Vaksin Merdeka Belajar


Merdeka Belajar masih dijadikan tema penting Kemendikbud di tahun 2021. Dalam siaran persnya, selain perhatian Kemendikbud terhadap guru dan peserta didik di tengah bencana pandemi, program digitalisasi sekolah dan pembelajaran online akan terus diprioritaskan dengan sarana penunjang baik model bahan ajar dan model media pendidikan digitalnya. Tak hanya itu, peserta didik bertalenta, berprestasi akan mendapat pembinaan khusus sebagai wujud penguatan pendidikan karakter.

Selain pendidikan vokasi dan peningkatan kualitas kurikulum, yang menarik dicermati adalah tentang kampus merdeka dan merdeka belajar. Dalam praktiknya di masa pandemi ini, kurang lebih Kemendikbud telah berusaha memberikan yang terbaik bagi mahasiswa dan perguruan tinggi secara kelembagaan. Kemudahan dan keringanan yang diberikan setidaknya dapat menjadi bagian dari solusi pendidikan dan proses pencarian makna pedagogi kritis.

Dalam perjalanannya perguruan tinggi sejauh ini masih menjadi tempat yang tepat bagi insan akademik untuk melakukan proses reproduksi sosial. Paling tidak, merdeka belajar di tengah pandemi dapat memberikan efek yang manjur bagaimana pendidikan dalam maknanya yang luas ikut memberikan kekebalan tubuh dan pikiran kepada masyarakat yang dirundung keraguan.

Sebagai contohnya adalah para akademisi dari berbagai macam latar belakang keilmuan memberikan informasi bahwa vaksin merupakan kebutuhan mendesak untuk melawan Covid-19. Secara sains dan agama para akademisi telah menggambarkan nilai pentingnya sehingga masyarakat tidak ragu atas pelaksanaan vaksinasi yang akan dilakukan pemerintah secara bertahap ini.

Pedagogi kritis terhadap informasi vaksin yang benar dan tidak mengandung hoax adalah langkah nyata untuk memastikan bahwa masyarakat tahu dan persepsinya terhadap manfaat vaksin mampu menguatkan keyakinannya setelah selama ini berjibaku bertahan dari virus mematikan itu dengan mentaati protokol kesehatan secara disiplin.

Diketahui bahwa penyebaran virus corona memasuki tahun 2021 ini masih terus meluas jangkauannya. Sebagai bencana global, ihwal dampak dan sebab-akibatnya masih terus ditelusuri. Yang tak kalah penting, bagaimana merespons laju penularannya ketika bencana alam juga melanda Indonesia. Ini tugas berat bagi pelaku sukarelawan di bidang kemanusiaan, karena itu merdeka belajar yang ada di berbagai kampus merdeka sangat dinanti perannya untuk memberikan sumbangsih di tengah bencana yang tak kunjung selesai.

Para pelaku merdeka belajar juga perlu mewarnai bagaimana meyakinkan masyarakat agar tetap waspada terhadap informasi yang bertebaran dengan nilai kebenaran yang jauh dari bisa dipertanggungjawabkan. Bukankah informasi-informasi yang tak bertanggung jawab ini juga bagian dari virus yang harus diperangi dan dilawan?

Meminjam teori pedagogi kritis Henry Giroux (2020) dalam Race, Politics and Pandemics Pedagogy (google book editions) bahwa pandemi yang dialami umat manusia seluruh dunia ini bukan sebatas krisis kesehatan. Wabah yang kian menggurita ini merupakan krisis medis, yang dalam bentuk lainnya juga bermakna krisis agama, politik, etika, pendidikan, dan demokrasi.

Merdeka belajar sebagai bagian dari pedagogi kritis dan reproduksi sosial adalah sarana yang memadai untuk menciptakan narasi yang kuat dan narasi yang populis untuk melawan ketidakadilan dalam masyarakat yang disebabkan oleh benturan-benturan sosial-politik yang selama ini terus diproduksi baik secara massal dan online.

Kekebalan Sosial

Untuk membebaskan masyarakat dari pandemi medis dan pandemi krisis sosial, diperlukan suara hati agar suara-suara kebencian dan suara-suara tak bertanggung jawab lainnya dapat tersingkirkan dari arena kehidupan yang bermartabat. Peran pemerintah juga menjadi amat penting untuk menjaga stabilitas kehidupan sosial dari setiap benturan sosial yang jika dibiarkan dapat dikonsumsi oleh masyarakat dan menjadi asupan informasi tak bergizi (clash of ignorance).

Dengan saling menjaga dan menghormati perbedaan pada dasarnya masyarakat telah ikut berpartisipasi melatih pikiran dan sikap kritis layaknya sebuah vaksin yang melatih tubuh untuk menjaga kekebalan. Kekebalan sosial tak akan terwujud jika pedagogi kritis tak menemukan ruang untuk melakukan reproduksi sosial yang mampu melibatkan semua aktor dan lapisan masyarakat.

Untuk mewujudkan kekebalan bersama, dibutuhkan sikap lapang dada dan memberikan kesempatan kepada mereka yang tengah berjuang melawan pandemi menyusun strategi memutus mata rantai virus. Jika hal tersebut terlaksana, peran sains dan keilmuan lainnya akan turut memberikan kekebalan terhadap alasan dan argumentasi yang menyertainya sehingga masyarakat mendapat informasi yang baik dan benar.

Kebijakan pemerintah untuk memilih vaksin yang tepat sesuai dengan sasaran yang ada di Indonesia merupakan suatu putusan dilematis yang dikeluarkan melalui kebijakannya. Belum lagi menyangkut kehalalannya yang sudah diterbitkan oleh Majelis Ulama Indonesia sebagai bukti bahwa secara agama tak perlu lagi meragukan. Dan melalui lembaga itu, masyarakat diminta agar tak lagi mempertanyakan kehalalan vaksin corona, karena vaksin itu suci dan memenuhi syarat setelah diaudit.

Hikmah dari merdeka belajar di tengah pandemi pada prinsipnya adalah seruan untuk para insan pendidikan untuk menjadikan pedagogi kritis sebagai pusat pembelajaran politik bagi masyarakat. Mengembangkan wacana kritis yang sehat adalah bagian bagaimana reproduksi sosial ditransformasikan ke dalam suatu kehidupan di mana manusia membutuhkan visi ketuhanan agar setiap agen perubahan dapat merangkul setiap perbedaan di saat nihilisme juga menjangkiti sebagian masyarakat.

Individualisme fanatik pada cara pandang dan ideologi tertentu sesungguhnya juga bagian dari masyarakat yang membutuhkan komunikasi dan ruang sosial yang pada kondisi tertentu berbeda jalan dalam memandang nilai-nilai demokrasi. Pada gilirannya setiap dari individu juga sedang melaksanakan prinsip-prinsip nilai merdeka belajar kendati dengan persepsi yang berbeda. Namun dalam suatu kondisi yang partikular mereka masih menyadari bahwa pandemi ini ternyata masih ada di tengah teori konspirasi yang tak pasti.

Nazhori Author, Dosen LPP AIK Universitas Prof. Dr. Hamka Jakarta

Sumber : Detik.com

Read More …

May 28, 2019

Zakat dan Literasi Finansial

 

Sampai detik ini zakat diyakini sebagai solusi  pengentasan kemiskinan. Pilar penting zakat diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemandirian ekonomi umat. Di samping itu seperti tertuang dalam Masterplan Arsitektur Keuangan Syariah Indonesia, zakat dapat memberikan dampak sosial yang luas terhadap model keuangan syariah.

Pandangan optimis tersebut diperkuat lagi dengan wawasan empiris yang menunjukkan tumbuhnya lembaga-lembaga filantropi Islam yang mengelola, mengimpun dan mendistribusikan dana zakat, infak dan sedekah. Dalam kesempatan lain kesadaran masyarakat untuk berbagi didukung oleh teknologi finansial dan informasi digital yang memberikan kemudahan untuk berzakat dan berdonasi melalui berbagai macam saluran.

Dalam catatan BAZNAS rasa optimis ini akan terus tumbuh dengan melihat potensi zakat di Indonesia yang diperkirakan mencapai Rp 230  triliun pada 2018 bahkan diperkirakan meningkat menjadi Rp 499 triliun di tahun berikutnya. Dengan demikian makna zakat dalam sudut pandang yang beragam bergerak dinamis dan terbuka untuk ditelisik lebih jauh lagi.

Pada kerangka ini zakat dalam konteks transformasi sosial meminjam istilah Karl R Popper (All Life is Problem Solving, 1999) di era masyarakat terbuka sebagai elan vital  mendekatkan jalan keluar persoalan kehidupan manusia yang kompleks.

Tentu saja dengan catatan zakat sebagai fakta empiris tidak meninggalkan status deduktifnya dalam diskursusnya yang objektif. Karena itu, interpretasi terhadapnya turut memberikan andil bagaimana mendefinisikan kembali delapan penerima manfaatnya yang sejalan dengan perubahan zaman.

Sejalan dengan epistemologi pemecahan masalah (problem solving) Popper yang bersifat situasional zakat dalam praksisnya bertranformasi dalam dunia fisik, mental dan objektif. Dengan kata lain zakat menyesuaikan diri dengan persoalan-persoalan baru yang memerlukan adaptasi secara berkelanjutan.

Tiga Dunia dalam Tranformasi Sosial

Merujuk pandangan Popper tentang teori tiga dunianya, dunia fisik sebagai dunia pertama merupakan segala yang ada dalam dunia ini baik yang benda hidup atau benda mati. Adapun dalam konteks zakat keberadaannya memiliki nilai guna. Dunia fisik ini juga merupakan sesuatu yang memiliki nilai tambah. Suatu benda yang dapat diolah sehingga menghasilkan nilai ekonomi. Air, tanah, binatang ternak dan benda mati lainnya dapat menjadi harta benda yang menghasilkan dalam bentuk kekayaan.

Tanpa harta yang bersifat menghasilkan maka peristiwa memberi dan menerima tidak akan terwujud. Dengan harta benda seseorang atau lembaga dapat menunaikan zakat, infak, sedekah bahkan CSR untuk memberikan sesuatu baik secara karitas maupun pemberdayaan yang produktif. Dengan demikian nilai tambah tidak lain adalah investasi sosial yang dapat mengangkat martabat mustahik sebagai penerima manfaat dan kebahagiaan bagi muzaki.

Selanjutnya dunia kedua adalah dunia mental. Bertalian dengan psikologis yang meliputi wawasan pengalaman manusia. Lembaga amil zakat nasional di Indonesia dari waktu ke waktu terus berbenah diri seiring dengan tantangan yang menyertainya. Dalam kurun waktu itulah setiap ujian, tantangan, kelemahan dan kesempatan terpantul menjadi pengalaman yang memantiknya untuk terus melakukan inovasi dari aspek tata kelola, program pemberdayaan dan distribusi yang pada akhirmya memacu ujung tombaknya yakni penghimpunan (fundraising) untuk sekreatif mungkin bereksperimen dan berkolaborasi lintas komunitas profesional.

Revolusi industri 4.0 sebagai tantangan sekaligus pengalaman yang berharga bagi lembaga amil zakat dalam melakukan tata kelola mengedepankan akuntabilitasnya agar bisa diukur.

Pada aras ini lembaga amil zakat kembali diuji nyalinya dalam memanfaatkan sains yang berbasis data melalui mekanisme algoritma dalam menjalankan roda filantropi islam untuk meningkatkan kualitas layanannya kepada muzaki dan pemangku kepentingan.

Di tahap selanjutnya, di mana dunia ketiga sebagai dunia objektif dalam teori dan praksis filantropi islam para pelakunya dituntut melakukan kritik sosial maupun internal untuk menguji apakah sejauh ini dasar-dasar pemikiran filantropi islam dalam praktiknya sudah memenuhi tujuan utama yang ditargetkannya.

Di samping membutuhkan waktu dan peran pakar untuk mengupasnya tawaran Hilman Latief tentang Fatwa-Fatwa Kontemporer Filantropi Islam layak dipertimbangkan. Para pelaku filantropi islam dan akademikus bisa bersama-sama berinteraksi menjangkau dunia deskriptifnya dengan kajian spesifik yang mampu melahirkan temuan-temuan baru yang kontemporer untuk membandingkan dan melengkapi diskursus sebelumnya.

Seiring berjalannya waktu, zakat sebagai investasi sosial sangat dinanti perannya untuk mengukur dampak penyaluran zakat kepada penerima manfaatnya. Di sisi lain zakat harus terus digelorakan sebagaimana kewajiban pajak yang berpautan dengan kebermaknaan literasi finansial.

Literasi Finansial

Gegap gempita zakat sejatinya tidak terbatas pada bulan suci ramadhan. Di luar itu, pada dasarnya bagaimana zakat dapat menghadirkan wawasan yang membangkitkan literasi finansial bagi umat Islam. Pada aspek lain juga bagaimana zakat dapat menemukan relevansinya bagi edukasi perencanaan keuangan yang tepat sebagaimana umat Islam dapat merencanakan aspek-aspek kehidupannya dalam menentukan aktivitas pendidikan, kesehatan dan lainnya.

Setiap ramadhan umat Islam terbiasa merencanakan aktivitasnya yang berakhir dengan mudik. Mudik dianggap agenda penting yang tidak bisa dilewatkan mengingat dalam peristiwa mudik perputaran ekonomi berkembang dengan pesat nilainya. Sama halnya dengan zakat, perintah menunaikannya merupakan agenda spiritual yang penting dan perlu direncanakan dengan matang agar kebahagiaan Idul Fitri yang dilengkapi dengan menunaikan zakat berdampak luas bagi para penerima manfaatnya.

Nazhori Author, Dosen LPP AIK Prof. Dr. Hamka Jakarta

Sumber : Republika 

Read More …

October 31, 2018

Peletakan Batu Pertama, Muhammadiyah Aid Dirikan Dua Sekolah Di Rakhine State Myanmar

Satu tahun lebih sejak misi kemanusiaan Muhammadiyah Aid menginjakkan kaki di Cox Bazar, Bangladesh pada September 2017 untuk melakukan layanan kesehatan. Ratusan ribu pengungsi Rohingya sampai saat ini masih ada di sana di camp pengungsian.

Tahap pertama yang dilakukan saat itu adalah penanganan pengungsi rohingnya di Bangladesh agar ketahanan kesehatannya membaik dengan memberikan asupan nutrisi dari bantuan makanan bagi para pengungsi.


Read More …