May 28, 2019

Zakat dan Literasi Finansial

 

Sampai detik ini zakat diyakini sebagai solusi  pengentasan kemiskinan. Pilar penting zakat diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemandirian ekonomi umat. Di samping itu seperti tertuang dalam Masterplan Arsitektur Keuangan Syariah Indonesia, zakat dapat memberikan dampak sosial yang luas terhadap model keuangan syariah.

Pandangan optimis tersebut diperkuat lagi dengan wawasan empiris yang menunjukkan tumbuhnya lembaga-lembaga filantropi Islam yang mengelola, mengimpun dan mendistribusikan dana zakat, infak dan sedekah. Dalam kesempatan lain kesadaran masyarakat untuk berbagi didukung oleh teknologi finansial dan informasi digital yang memberikan kemudahan untuk berzakat dan berdonasi melalui berbagai macam saluran.

Dalam catatan BAZNAS rasa optimis ini akan terus tumbuh dengan melihat potensi zakat di Indonesia yang diperkirakan mencapai Rp 230  triliun pada 2018 bahkan diperkirakan meningkat menjadi Rp 499 triliun di tahun berikutnya. Dengan demikian makna zakat dalam sudut pandang yang beragam bergerak dinamis dan terbuka untuk ditelisik lebih jauh lagi.

Pada kerangka ini zakat dalam konteks transformasi sosial meminjam istilah Karl R Popper (All Life is Problem Solving, 1999) di era masyarakat terbuka sebagai elan vital  mendekatkan jalan keluar persoalan kehidupan manusia yang kompleks.

Tentu saja dengan catatan zakat sebagai fakta empiris tidak meninggalkan status deduktifnya dalam diskursusnya yang objektif. Karena itu, interpretasi terhadapnya turut memberikan andil bagaimana mendefinisikan kembali delapan penerima manfaatnya yang sejalan dengan perubahan zaman.

Sejalan dengan epistemologi pemecahan masalah (problem solving) Popper yang bersifat situasional zakat dalam praksisnya bertranformasi dalam dunia fisik, mental dan objektif. Dengan kata lain zakat menyesuaikan diri dengan persoalan-persoalan baru yang memerlukan adaptasi secara berkelanjutan.

Tiga Dunia dalam Tranformasi Sosial

Merujuk pandangan Popper tentang teori tiga dunianya, dunia fisik sebagai dunia pertama merupakan segala yang ada dalam dunia ini baik yang benda hidup atau benda mati. Adapun dalam konteks zakat keberadaannya memiliki nilai guna. Dunia fisik ini juga merupakan sesuatu yang memiliki nilai tambah. Suatu benda yang dapat diolah sehingga menghasilkan nilai ekonomi. Air, tanah, binatang ternak dan benda mati lainnya dapat menjadi harta benda yang menghasilkan dalam bentuk kekayaan.

Tanpa harta yang bersifat menghasilkan maka peristiwa memberi dan menerima tidak akan terwujud. Dengan harta benda seseorang atau lembaga dapat menunaikan zakat, infak, sedekah bahkan CSR untuk memberikan sesuatu baik secara karitas maupun pemberdayaan yang produktif. Dengan demikian nilai tambah tidak lain adalah investasi sosial yang dapat mengangkat martabat mustahik sebagai penerima manfaat dan kebahagiaan bagi muzaki.

Selanjutnya dunia kedua adalah dunia mental. Bertalian dengan psikologis yang meliputi wawasan pengalaman manusia. Lembaga amil zakat nasional di Indonesia dari waktu ke waktu terus berbenah diri seiring dengan tantangan yang menyertainya. Dalam kurun waktu itulah setiap ujian, tantangan, kelemahan dan kesempatan terpantul menjadi pengalaman yang memantiknya untuk terus melakukan inovasi dari aspek tata kelola, program pemberdayaan dan distribusi yang pada akhirmya memacu ujung tombaknya yakni penghimpunan (fundraising) untuk sekreatif mungkin bereksperimen dan berkolaborasi lintas komunitas profesional.

Revolusi industri 4.0 sebagai tantangan sekaligus pengalaman yang berharga bagi lembaga amil zakat dalam melakukan tata kelola mengedepankan akuntabilitasnya agar bisa diukur.

Pada aras ini lembaga amil zakat kembali diuji nyalinya dalam memanfaatkan sains yang berbasis data melalui mekanisme algoritma dalam menjalankan roda filantropi islam untuk meningkatkan kualitas layanannya kepada muzaki dan pemangku kepentingan.

Di tahap selanjutnya, di mana dunia ketiga sebagai dunia objektif dalam teori dan praksis filantropi islam para pelakunya dituntut melakukan kritik sosial maupun internal untuk menguji apakah sejauh ini dasar-dasar pemikiran filantropi islam dalam praktiknya sudah memenuhi tujuan utama yang ditargetkannya.

Di samping membutuhkan waktu dan peran pakar untuk mengupasnya tawaran Hilman Latief tentang Fatwa-Fatwa Kontemporer Filantropi Islam layak dipertimbangkan. Para pelaku filantropi islam dan akademikus bisa bersama-sama berinteraksi menjangkau dunia deskriptifnya dengan kajian spesifik yang mampu melahirkan temuan-temuan baru yang kontemporer untuk membandingkan dan melengkapi diskursus sebelumnya.

Seiring berjalannya waktu, zakat sebagai investasi sosial sangat dinanti perannya untuk mengukur dampak penyaluran zakat kepada penerima manfaatnya. Di sisi lain zakat harus terus digelorakan sebagaimana kewajiban pajak yang berpautan dengan kebermaknaan literasi finansial.

Literasi Finansial

Gegap gempita zakat sejatinya tidak terbatas pada bulan suci ramadhan. Di luar itu, pada dasarnya bagaimana zakat dapat menghadirkan wawasan yang membangkitkan literasi finansial bagi umat Islam. Pada aspek lain juga bagaimana zakat dapat menemukan relevansinya bagi edukasi perencanaan keuangan yang tepat sebagaimana umat Islam dapat merencanakan aspek-aspek kehidupannya dalam menentukan aktivitas pendidikan, kesehatan dan lainnya.

Setiap ramadhan umat Islam terbiasa merencanakan aktivitasnya yang berakhir dengan mudik. Mudik dianggap agenda penting yang tidak bisa dilewatkan mengingat dalam peristiwa mudik perputaran ekonomi berkembang dengan pesat nilainya. Sama halnya dengan zakat, perintah menunaikannya merupakan agenda spiritual yang penting dan perlu direncanakan dengan matang agar kebahagiaan Idul Fitri yang dilengkapi dengan menunaikan zakat berdampak luas bagi para penerima manfaatnya.

Nazhori Author, Dosen LPP AIK Prof. Dr. Hamka Jakarta

Sumber : Republika 

0 comments:

Post a Comment

Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?