June 7, 2008

Buku, Guru dan Kebebasan Pedagogis

Oleh : Nazhori Author



Dalam salah satu beritanya harian Kompas (16/2/2008) mewartakan bahwa Guru Ditantang Buat Naskah Buku. Yang lebih menarik dalam lead berita tersebut dengan lugas diwartakan seperti ini “Guna memudahkan akses pemilikan buku pelajaran bagi siswa SD-SLTA, pemerintah menantang para guru untuk mengajukan naskah buku teks pelajaran. Naskah yang dinyatakan lolos Badan Standar Nasional Pendidikan akan dibeli Depdiknas Rp 100 juta-Rp 175 juta per buku”.

Berpijak dari berita menarik di atas hal ini merupakan tantangan dan kesempatan bagi guru dalam meningkatkan kompetensinya. Di samping itu, berita ini bisa menjadi terobosan baru seorang guru untuk menakar sejauh mana kualitas materi ajar yang akan disampaikan kepada peserta didik. Kesempatan ini, juga sekaligus mengikis citra guru yang selama ini melekat sebagai “perantara” penerbit buku.


Aktualisasi Guru
Ketika Rene Descartes mengatakan cogito ergo sum (saya berpikir, karena itu saya ada), ia meyakini bahwa manusialah subyek itu, manusialah dasar tempat berpijak semua yang ada (being). Kebenaran dijadikan dasar untuk menggugah kesadaran manusia yang sesungguhnya untuk berinteraksi dan beraktualisasi dengan realitas kehidupan. Sejatinya guru dapat belajar dari filosofi kesadaran Descartes untuk dijadikan kaca cermin sejauh mana peran dan fungsi guru selama ini.


Apakah aktualisasi guru hanya berhenti di dalam ruang kelas. Atau ada ruang baru untuk melakukan refleksi kritis yang dapat dilakukan guru untuk melakukan perubahan sosial melalui arena pendidikan. Jika dicermati sebenarnya guru telah diberikan kesempatan oleh pemerintah untuk memperkaya potensinya. Kesempatan yang diberikan oleh pemerintah itu pertama, kebijakan sertifikasi guru yang tidak lain adalah sebagai sarana dan media untuk menuju profesionalisme. Kedua, Kebijakan pemerintah dalam hal ini Depdiknas melalui BSNP untuk membeli hak cipta guru yang menulis buku naskah.


Pertanyaannya adalah sejauh mana guru dapat memanfaatkan peluang-peluang tersebut di tengah banyaknya persoalan guru yang semakin kompleks. Atau guru harus terus meratapi nasibnya yang tak kunjung selesai meraih kesejahterannya. Sudah saatnya guru bangun dari tidur lelapnya untuk meraih cita-cita sebagai pahlawan tanda jasa yang selama ini hanya sekadar istilah yang sudah terlanjur melekat. Kebebasan pedagogis guru hanya dapat diraih jika guru dengan panggilan hatinya berusaha untuk melakukan aktualisasi yang berawal dari refleksi kritisnya untuk menafsirkan persoalan pendidikan sebagai bagian dari persoalan bangsa.

Tantangan membuat naskah buku pelajaran bukankah impian yang selama ini dinanti-nantikan guru sebagai bentuk dari kebebasan pedagogis. Menulis naskah buku adalah medan pergumulan pedagogis yang harus diraih guru karena gurulah yang mengetahui situasi sekolah, peserta didik, buku ajar, dan persoalan pendidikan lainnya yang dihadapi setiap hari.


Oleh karena itu, aktualisasi kesadaran pedagogis ini sangat penting dan senada dengan apa yang pernah ditawarkan Freire tentang pentingnya menciptakan sebuah kesadaran otentik melalui jalan perjuangan pedagogis dan kultural. Freire juga mengajak guru untuk merobohkan tembok hegemoni yang kokoh di arena pendidikan dan ilmu pengetahuan. Sehingga tercipta praktik pedagogis yang humanis dan transformatif.


Kebebasan Pedagogis
Mochtar Buchori dalam bukunya Pendidikan Antisipatoris (2001) pernah menggagas tentang arti pentingnya kebebasan pedagogis bagi guru. Ia mengatakan kebebasan pedagogis bagi guru adalah mengembalikan peran dan fungsi guru yang sesungguhnya untuk menentukan pilihannya dalam melakukan tugasnya bersama peserta didik di sekolah.


Di sini yang dimaksud dengan tugasnya adalah tugas guru sebagai pendidik yang menentukan bahan ajar, metodenya, bukunya dan cara mengevaluasinya tanpa ada tekanan dari pihak manapun. Dengan demikian kebebasan pedagogis kaitannya dengan guru dan tantangan membuat naskah buku merupakan pilihan strategis untuk melihat kembali filosofi pendidikan yang sesungguhnya.

Dalam setiap proses transformasi, selalu diberikan peluang dan kesempatan memilih dari mana perubahan itu harus dimulai. Maka, di sinilah guru dalam konteks transformasi sosial pedagogis diharapkan dapat memulainya dari momentum menulis naskah buku untuk merebut kembali kebebasan pedagogisnya yang hilang selama ini.


Penulis adalah Alumnus Jurusan Tarbiyah (PAI) STAIN Purwokerto, Tinggal di Gunungputri, Bogor

0 comments:

Post a Comment

Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?