June 7, 2008

Kemiskinan Di Sekitar Kita

Oleh: Nazhori Author

Media Indonesia
Selasa, 29 November 2005 00:00 WIB

* Nazhori Author, Penulis adalah anggota Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah, alumnus STAIN Purwokerto, tinggal di Jakarta.



MESKIPUN gaji buruh naik, saya merasa belum cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang semakin mahal. Belum ongkos ke sekolah dan biaya SPP anak saya. Padahal masih ada adiknya yang sakit amandel. Kalau kambuh saya merasa sedih. Saya ingin sekali anak saya segera dioperasi agar sakitnya sembuh. Sementara itu, suami saya tidak bekerja. Kalau ada proyek bangunan baru bisa kerja. Kalau tidak ada ya, di rumah saja.

Demikian ungkapan hati seorang ibu yang bekerja sebagai buruh pabrik di Jakarta. Ketika mendengar gaji buruh di Jakarta akan naik sesuai dengan standar upah minimum Provinsi DKI Jakarta. Kenaikan upah minimum provinsi di DKI Jakarta sebesar Rp819.000 dari angka sebelumnya Rp750.000 atau naik 13 - 15%. Rencananya kenaikan upah minimum provinsi akan diberlakukan pada setiap perusahaan.

Dari gambaran di atas, masyarakat miskin harus dihadapkan pada dua konflik nilai yang tidak dapat dihindarkan. Pertama, kabar gembira kenaikan upah (pay hike) menjadi pelepas kesedihan dalam menanggung beban kehidupan ekonomi yang semakin berat. Kedua, seiring akan naiknya upah minimum provinsi, dalam kesempatan lain usaha untuk memperjuangkan hidup masih terganjal di tengah rendahnya daya beli masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pokok yang semakin tinggi.

Kerangkeng kemiskinan
Kondisi itu sebenarnya tidak saja dirasakan oleh buruh pabrik atau perusahaan swasta, tetapi juga pegawai negeri sipil golongan rendah. Bahkan beberapa perusahaan terpaksa mengeluarkan keputusan kepada beberapa karyawannya berupa pemutusan hubungan kerja (PHK). Alhasil jika dicermati jumlah pengangguran sebelum kenaikan BBM berjumlah 30 juta jiwa sekarang naik dua kali lipat, menjadi 60 juta jiwa. Sebuah angka yang fantastis di negara yang berpenduduk padat ini.

Kata kemiskinan merupakan kata tepat untuk disandingkan dengan jumlah keluarga yang hidup dalam kerangkeng kemiskinan. Karena tugas pokok keluarga seperti ini adalah bahwa setiap perjuangan mempertahankan hidup senantiasa menuntut semangat pengorbanan. Tanpa semangat dan pengorbanan, mustahil usaha untuk mempertahankan hidup berlangsung lama. Sebab hidup di zaman seperti ini tidak ada yang gratis. Mungkin sangat pas jika diibaratkan dengan ungkapan there is no such thing as free lunch.

Faktor kemiskinan sangat mepengaruhi maju mundurnya negara dunia ketiga yang berimbas kepada masyarakatnya terutama adalah keluarga sebagai komunitas terkecil. Tidak terkecuali bagi ayah atau anak laki-laki dewasa pencari nafkah yang bekerja di sektor agraria dan industri. Kaum perempuan dan anak-anak pun mengalami dan menjadi imbas proses pemiskinan ini.

Bangsa yang sedang mengalami proses perubahan politik, ekonomi, sosial, dan budaya ini, lupa bahwa gerak masyarakat juga turut mengikutinya. Maka tidak selamanya keputusan dan kebijakan yang dibuat akan menguntungkan masyarakat selama proses perubahan itu masih dipengaruhi dan diintervensi dari luar. Selain itu, tidak sepenuhnya menaruh kepercayaan kepada kebebasan individu (personal liberty ), pemilikan pribadi (private property) dan inisiatif individu serta usaha swasta (private enterprise) dapat meningkatkan kualitas dan kesejahteraan hidup masyarakat.

Malah yang terjadi adalah kecemburuan sosial, kekerasan, teror, dan tindakan kriminal yang dilakukan masyarakat terus bertambah karena homo homini lupus telah menjadi panglima. Sebagai contoh, belum lama ini tertangkapnya buronan pembunuh seorang pengusaha di Subang, Jawa Barat. Para pemuda miskin yang mengaku direkrut oleh jaringan teroris karena sesat pikir doktrin jihad serta maraknya penyiksaan dan penjualan anak-anak yang berkedok yayasan.

Kemiskinan tidak sekadar kata, tetapi telah berubah menjadi tempat untuk memenjara manusia. Tidak peduli dari mana harta itu diperoleh kaum miskin yang penting perut dapat diisi. Dalam kesempatan lain, si kaya terus memupuk harta tanpa memedulikan si miskin. Tidak hanya potensi jasmani yang telah terpenjara, tetapi rohani yang mendasari sikap dan moral turut pula terpenjara.

Miskin demokrasi
Dalam iklim demokratis, hak memaksa dan membuat kebijakan yang dimiliki negara setidaknya sudah tidak lagi lahir dalam dua sektor (dual sectors) yaitu negara dan masyarakat. Tapi berbeda dengan yang dikemukakan oleh Wuthtnow sosiolog Amerika dalam M Dawam Rahardjo (2002), masyarakat lahir dari tiga model sektor (three sectors model). Pertama, sektor pasar (market sector), kedua sektor negara (state sector), dan sektor sukarela (voluntary sector atau third sector) yang menganut nilai sentralnya sendiri.

Lebih jauh ia memaparkan bahwa dalam tiga model masyarakat itu, sektor pasar bekerja berdasarkan persaingan bebas yang mengejar keuntungan (profit motive). Sektor negara, bekerja berdasarkan monopoli kekuasaan yang bersifat memaksa, baik yang sifatnya demokratis atau otoriter. Sedangkan sektor ketiga berdasarkan nilai kesukarelaan dan altruistis (memerhatikan kepentingan orang lain) sebagai nilai utama.

Mengutip tiga model masyarakat yang ditawarkan Wuthtnow di atas, dalam konteks masyarakat Indonesia dapat dilihat pada saat proses pemiskinan sedang berlangsung. Di sektor pasar khususnya persaingan industri terus bergejolak. Industri hiburan yang bernuansa spiritual yang menyuguhkan cerita tentang kekayaan, kesalehan, perempuan durhaka dan serakah, sampai pada hal-hal gaib terus menghibur masyarakat setiap hari yang tengah diimpit kemiskinan. Atas nama persaingan industri, faktor-faktor produksi, dan menekan pengeluaran biaya produksi, perusahaan melakukan PHK para karyawannya.

Di sisi lain, sektor negara dengan monopoli kekuasaan mengeluarkan kebijakan yang dirasa cukup pahit bagi masyarakat. Di seberang sana para wakil rakyat sedang asyik masyuk berebut kue kekuasaan, buntut dari persoalan reshuffle kabinet. Yang sebelumnya mereka sempat mengajukan proposal kenaikan tunjangan, sedangkan lembaga berlogo timbangan menambah ketidakseimbangan kondisi sosial masyarakat karena dililit masalah. Iklim demokratis tidak lagi memberikan ruang kepada publik untuk berpartisipasi melainkan telah digadaikan untuk kepentingan politik dan kekuasaan oleh kelompok tertentu. Akhirnya yang terjadi adalah tidak saja proses pemiskinan namun juga proses pemiskinan makna demokrasi.

Membangun ruang publik
Sedangkan di sektor ketiga, kesukarelaan dan rasa kemanusiaan berusaha melawan ketidakseimbangan sosial tersebut dengan kekuatan yang sangat terbatas. Mengingat ruang publik sebagai basis kekuatan civil society yang berperan melindungi hak-hak manusia kelompok marginal dan terpinggirkan belum terbangun dengan solid. Sungguhpun demikian, sektor ketiga ini adalah kekuatan minoritas yang masih tetap menunjukkan perannya dalam fungsinya menjaga kontrol sosial.

Dengan demikian ruang publik dapat dibangun kembali sebagai gerakan kultural melawan kekuasaan dan kemiskinan yang masih menggurita. Tentunya melibatkan semua pihak seperti lembaga sosial, budaya, agama dan lainnya untuk membangun gerakan investigasi sebagai praksis dan aksi strategi yang mempunyai komitmen dan transformasi sosial. Tanpa itu semua masyarakat kita yang pluralis akan terpenjara dalam kemiskinan.

----------------------------------------
Sumber: Media Indonesia Online

Copyright © 2005 Media Indonesia Online. All rights reserved

0 comments:

Post a Comment

Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?