Membangun Nilai Kebersamaan Dalam Pendidikan Islam
Oleh : Nazhori Author
Oleh : Nazhori Author
Ikhtiar manusia untuk mencapai kesejahteraan bukan semata-mata didorong oleh kebutuhan ekonomi semata yang sifatnya personal. Di sisi lain ada dorongan-dorongan kebersamaan yang mengantarkan manusia untuk meraih kesejahteraan dalam hidupnya. Predikat khalifatullah fi al-ardli yang diberikan Tuhan kepada manusia sesungguhnya memberi ruang bagi manusia untuk hidup bersama. Nilai-nilai kebersamaan bukan sekadar pencitraan, tetapi telah melekat dan dibawa sejak azali.
Pada kenyataannya nilai-nilai kebersamaan itu secaraperlahan-lahan memudar karena manusia meng-ingkari predikat dan fitrah sucinya, termasuk di dunia pendidikan. Virus materialisme dan hedonisme belakangan ini nyaris menafikan kebutuhan untuk menghadirkan suasana religiusitas yang nyaman, tenteram dan tulus. Begitu juga dengan menyusutnya kepekaan sosial untuk berbagi beban kepada sesama yang berhak menerima. Sebagian orang yang hampir saja terdampar pada situasi ini beruntung masih memiliki fitrah manusia untuk melakukan pemberontakan spiritual, hingga menuntunnya kembali ke jalan yang lurus.Pencitraan yang baik pada diri manusia dan kemanusiaannya akhir-akhir ini berada dalam keterasingan. Aktivitas sikap dan pikir secara tidak sadar telah mempersempit makna fitrah manusia itu sendiri. Pada mulanya hanya sebuah kebutuhan dan keinginan, lambat-laun berubah menjadi kepentingan yang pragmatis dan menafikan orang-orang lain. Padahal, secara diam-diam itu berarti manusia sedang membangun penjara massal bagi napi-napi kita sendiri yang memanipulasi ruang kebersamaan menjadi ruang keterasingan.
Bekerja Sama
Dalam kacamata pendidikan Islam nilai kebersamaan sesungguhnya dapat dilihat dalam kegiatan pendidikan dan mua’malah manusia. Setiap individu membutuhkan individu dan kelompok lain untuk mencapai tujuannya dengan kebajikan. Menurut Ibnu Miskawaih (1999), kebajikan adalah titik tengah. Titik tengah di antara keburukan yang hanya dapat dicapai dengan bekerja sama.Di sinilah nilai kebersamaan tumbuh dengan cara bekerja sama. Dalam pendidikan seorang murid tidak akan berprestasi jika tidak ada kerjasama antara sekolah, orang tua dan masyarakat.
Dalam kajian fikih, zakat misalnya, sangat bertumpu pada pendekatan sosial. Karena yang menjadi medan perjuangan zakat adalah memberdayakan para mustahiq-nya. Muzakki sebagai orang yang mengeluarkan zakat selain karena untuk beribadah, juga mengharapkan efek sosialnya yang memberikan manfaat untuk kemaslahatan umat.Kebajikan yang terdapat dalam kebersamaan itu adalah murah hati, menghargai orang lain, rela, berbakti, dan tangan terbuka. Manusia adalah makhluk sosial.
Oleh sebab itu, manusia memerlukan satu tempat yang di dalamnya terdapat komunitas tertentu, agar kebahagiaan insaninya tercapai. Manusia niscaya memerlukan manusia lain selain dirinya. Dengan begitu, dia harus bersahabat dengan manusia lain, harus menyayanginya secara tulus (Ibn Miskawaih, 1999).Nilai kebersamaan dalam pandangan filsafat pendidikan Islam dapat dilihat dari konsep dasar manusia yang teosentris (M. Naquib Al-Attas, 1994). Artinya, konsep khalifah sebagai mabda’-nya dan konsep abd’ sebagai maqshad al-a‘dham. Makna khalifah dalam pendidikan merupakan titik awal, proses dan produk yang tanpa akhir sebagai tempat penanaman nilai-nilai pada dirinya.
Proses pentransferan ilmu pengetahuan, budaya, moral, etika, dan kebersamaan mempunyai daya motifator yang kreatif untuk memecahkan problematika hidup anak didik dan mampu mengubah tatanan sosial yang tidak baik.Dengan pendidikan diharapkan manusia dapat mengimplementasikan nilai-nilai yang pernah didapat dalam proses pendidikan, sehingga dalam produknya ia benar-benar menjadi khalifah Allah fi al-ardli. Kemudian konsep ‘abd sebagai maqshad al-a`dham, maksudnya segala perilaku yang merupakan produk dari pendidikan itu haruslah bertujuan untuk mengabdi kepada Tuhan yang Esa (Muthohar, 2001).
Konsep ‘abd merupakan karakter pendidikan Islam yang dinamis. Karenanya, di dunia ini tidak ada satu pun manusia yang hidup seorang diri dan terisolasi dari dunia yang lainnya. Hidup manusia selalu bergantung pada bantuan orang lain. Kerjasama adalah tujuan yang diperlukan di jagad raya ini. Untuk itu, perlu ditelaah kembali nilai-nilai kemanusiaan universal tanpa harus membedakan keragaman latar belakang manusia yang pada hakikatnya sama dan sederajat. Islam tidak melarang kerjasama dengan siapa saja, asalkan tolong-menolong dalam kebaikan (Q.s. [3]: 2).
Dalam arena pendidikan, sangat jelas diperlukan kerjasama yang harmonis dan dinamis yang harus diciptakan oleh semua pihak yang ingin menyelamatkan generasi muda. Komitmen dan tanggung jawab terhadap dunia pendidikan seharusnya fokus pada kebajikan, manfaat dan kepentingan bersama secara logis bukan semata-mata karena kepentingan yang pragmatis. Pendidikan Islam sebagai gagasan sosial memacu adanya perubahan sosial ke arah yang lebih baik, karena nilai-nilai spiritual memberikan inspirasi bagi perubahan itu sendiri.
Pendidikan Islam dalam terminologi sosial menjamin adanya nilai kebersamaan. Sementara, bekerja sama adalah aplikasi kongkret dari nilai-nilai pendidikan yang menyatu dengan pemahaman agama sebagai buah dari hasil refleksi yang membaca segenap aspek kehidupan. Hal ini, menujukkan bahwa paras nilai kebersamaan dalam pendidikan Islam berpotensi memicu lecutan sosial yang bersifat transformatif.
Kesadaran Kemanusiaan
Kesadaran kemanusiaan tidak akan teruji jika fragmentasi sosial dalam masyarakat berjalan statis. Dalam masyarakat modern globalisasi dengan doktrin ekonominya sangat memengaruhi sikap dan cara berpikir seseorang tentang makna kesadaran kemanusiaan. Karena kita telah menjadi pelaku dan sekaligus sasaran hangat laba dan kerugian. Pada situasi inilah gejolak sosial tumbuh dengan segala dampaknya.
Kesadaran Kemanusiaan
Kesadaran kemanusiaan tidak akan teruji jika fragmentasi sosial dalam masyarakat berjalan statis. Dalam masyarakat modern globalisasi dengan doktrin ekonominya sangat memengaruhi sikap dan cara berpikir seseorang tentang makna kesadaran kemanusiaan. Karena kita telah menjadi pelaku dan sekaligus sasaran hangat laba dan kerugian. Pada situasi inilah gejolak sosial tumbuh dengan segala dampaknya.
Tanpa sadar perilaku merugikan orang lain telah menjadi kebanggaan dan menjadi puncak keberhasilan, bahkan telah menjadi budaya dalam kehidupan sehari-hari. Manusia telah mengagresi kemanusiaannya. Dengan kekuasaan dan wewenangnya manusia melucuti baju kemanusiaan orang lain, yang penting tidak merugikan kelompoknya. Kondisi ini tidak akan berhenti jika nilai-nilai kebersamaan memudar, lebih-lebih di dunia pendidikan.
Erich Fromm (1996) memberikan ilustrasi menarik tentang matinya kesadaran kemanusiaan yang digambarkan bahwa bila perang nuklir belum menghancurkan manusia, seperti apakah bentuk masyarakat dan manusia yang dapat kita jumpai di tahun 2000? Lantas Fromm mengatakan di tahun 2000 ini bahkan ke depan manusia dalam proses sosial seperti ini menjadi bagian dari mesin, diberi makan dan hiburan yang cukup, tetapi pasif. Tidak hidup dan nyaris tanpa perasaan (Ma’arif, 2001).
Ilustrasi Fromm itu sepertinya, benar dan tanpa prasangka atas kesadaran kemanusian telah menjadi warna yang samar-samar. Agama dan pendidikan tidak lain hanyalah formalisasi cara berpikir dan bertindak yang mengalami involusi. Dalam perspektif pendidikan Islam, transformasi sosial dimaksudkan sebagai perubahan menuju kualitas hidup yang lebih baik. Dalam hal ini, Islam telah menegaskan prinsip-prinsip yang sekaligus menjadi pandangannya terhadap peranan agama dalam perubahan sosial.
Prinsip itu adalah kesadaran akan kemanusiaan dengan semangat kebersamaan yang ditopang oleh pendidikan.Pendidikan dengan konsep kesadaran aktualnya memberikan jalan alternatif dalam menyikapi pincangnya struktur masyarakat. Pendidikan dan agama Islam mengangkat harkat dan derajat manusia sebagai subjek yang bekerja sama dalam pembentukan sejarah dan dunianya sendiri. Inilah pendidikan yang berbasis kesadaran kolektif.
Pendidikan yang menurut Freire (dalam Dakhiri, 2000) dapat menumbuhkan pikiran kritis dalam masyarakat agar mereka dapat merefleksi diri, tanggung jawab dan peranan mereka dalam lingkungan dan memperjuangkan hak-hak mereka dan mengangkat harga diri mereka ke tingkat yang lebih manusiawi. Hal ini juga, merupakan salah satu agenda dalam pendidikan Islam untuk membangun kebersamaan.
Penulis adalah mantan aktivis IMM Cab. Banyumas, sekarang Peneliti pada Yayasan Pengembangan Anak Indonesia.
Dimuat pada Majalah Suara Muhammadiyah Edisi 16 Mei 2008 atau kunjungi http://suara-muhammadiyah.com/?cat=13">http://suara-muhammadiyah.com
Dimuat pada Majalah Suara Muhammadiyah Edisi 16 Mei 2008 atau kunjungi http://suara-muhammadiyah.com/?cat=13">http://suara-muhammadiyah.com
0 comments:
Post a Comment
Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?