June 7, 2008

Berbagi Menanggung Pendidikan

Ada tiga program besar pembaruan pendidikan yang dirintis oleh Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo, yaitu perluasan dan pemerataan akses, peningkatan mutu dan relevansi, serta peningkatan good governance dan pencitraan publik. Salah satu turunan program besarnya yang menarik dan menjadi polemik adalah persoalan standar kelulusan.

Dengan mengacu pada PP No 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan ditetapkan kerangka dasar manajemen pendidikan melalui standardisasi, penjaminan mutu, dan akreditasi. Meskipun sangat berat upaya ini harus segera direalisasikan mengingat standar mutu pendidikan nasional masih tertinggal dari negara lain, khususnya di Asia Tenggara.

Ujian Nasional (UN) kali ini jauh lebih berat dengan standar kelulusan rata-rata 5,25 dari sebelumnya 5,00 dengan enam mata pelajaran. Nada pesimistis pun keluar dari sebagian masyarakat karena ditengarai membelenggu siswa. 

Kebijakan UN dinilai sangat paradoks dengan realitas pendidikan yang belum merata di daerah-daerah kendati faktanya UN tetap berlangsung. Persoalan UN merupakan satu dari sekian persoalan pendidikan yang melilit sistem pendidikan nasional. Karena itu, berbagai tanggapan terhadap pelaksanaan UN adalah cermin kesadaran masyarakat terhadap persoalan pendidikan.

Menumbuhkan kesadaran
Ungkapan tidak ada perubahan sosial tanpa teori perubahan sosial juga berlaku untuk pembaruan pendidikan. Dari sanalah kita akan melihat dinamika pendidikan sebagai akibat dan gejala zaman yang diikuti dengan perubahan sosial (Robinson, 1986). Pendidikan adalah sarana untuk menciptakan realitas sosial baru dan bentuk kesadaran. Dia pun diubah oleh kesadaran.

Masyarakat dan pendidikan sebagai dua variabel amat sulit dipisahkan. Pendidikan dan masyarakat mempunyai peranan masing-masing. Pendidikan tidak akan berperan sebagai agen perubahan jika konstruk kesadaran manusia tidak ditumbuhkan.

Kata kunci untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat hanya dengan pembelajaran (dibaca: pendidikan). Pakar pendidikan Islam, Abdurrahman an-Nahlawy (1989), mengatakan diperlukan sinergi yang kuat antara tarbiyah, ta'lim, ta'dib untuk proses pendidikan. Hans Wehr menambahkan istilah pendidikan dengan lafal tahzib baru, yang berarti penghilangan yang jelek, perbaikan, pembetulan, pelatihan, perintah, pendidikan, penumbuhan, dan kebudayaan (dalam Rahman, 2001).

Bertolak dari keempat lafal tersebut, pendidikan diharapkan mampu membentuk kesadaran manusia yang sesungguhnya (insan kamil) untuk memperoleh derajat yang tinggi di hadapan Allah SWT. Kesadaran baru manusia pada akhirnya akan menimbulkan pola dan perilaku dan sikap humanisnya yang membawa nilai-nilai spiritual dengan seimbang melalui rasionalisasi kepentingan.

Berangkat dari pemahaman bahwa pendidikan adalah hasil rekayasa manusia untuk mengonstruk kesadarannya, sikap dan perilaku manusia pada dasarnya dapat menciptakan tatanan hidup yang lebih manusiawi. Adapun klimaks kondisi moral yang merosot saat ini lebih disebabkan oleh pengingkaran manusia terhadap potensi fitrahnya, bukan karena lemahnya sistem pendidikan.

Sejauh kita hidup di tengah bangsa yang diempas globalisasi, tidak bijak jika kita mengadili pendidikan. Bertambahnya porsi hegemoni dan materialisme sangat terasa menggeser nurani dan akal manusia. Secanggih apa pun sistem pendidikan dirancang, tapi jika nafsu dan angkara menjadi medan perjuangannya, tetap saja hak-hak hidup manusia akan terabaikan.

Aristoteles telah mengingatkan bahwa arti penting tujuan pembangunan negara harus sejalan dengan tujuan individu sebagai warga negara. Artinya, pembangunan suatu negara akan tercapai jika didukung oleh pendidikan yang baik.

Melalui pendidikan harusnya sikap dan budaya politik masyarakat dapat tumbuh seiring dengan tumbuhnya partai-partai baru yang mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Selanjutnya, dapat kita lihat dinamika pendidikan saat ini masih sangat dipengaruhi oleh dinamika politik.

Dapat dilihat dengan jelas dari hasil pilkada di beberapa daerah. Kondisi politik ini senada dengan pandangan Buchori (Pendidikan Antisipatoris: 2001) mengenai jenis budaya politik yang sedang hidup dalam suatu masa dapat dilihat dari cara-cara membimbing rakyat, cara-cara memperebutkan kepercayaan rakyat, dan cara-cara penggunaan kekuasaan.

Hasil keputusan politik melalui pilkada sesungguhnya dapat membantu agenda besar pendidikan, seperti pemerataan akses pendidikan di daerah sehingga mutu pendidikan menjadi lebih bagus serta memiliki relevansinya dengan kecakapan intelektual masyarakat untuk membangun daerahnya masing-masing. Cita-cita ini diyakini bisa terwujud tergantung dari sikap dan budaya politik pemangku otoritas yang menghargai dan mau berbagi beban untuk pendidikan masyarakat.

Berbagi beban 
Pendidikan sebagai upaya sadar membangun manusia adalah bentuk lain dari agenda new social movement. Pendidikan dalam ranah budaya seperti lembaga lainnya dalam masyarakat sudah sedemikian kuat mengakar. Repotnya, mitos tentang sekolah juga sudah menjadi tradisi yang kuat di samping pengaruh globalisasi dan ekonomi kapitalisme.

Meminjam istilah Roem Topatimasang, sekolah telanjur menjadi candu yang memikat masyarakat. Padahal, dalam kenyataannya dan dalam kemestiannya tidaklah demikian.Lalu, mengapa ia mesti dibebani dengan sejuta keharusan dan pembatasan yang malah makin mempersempit ruang gerak, wawasan, dan dinamikanya sendiri (Roem Topatimasang, Sekolah Itu Candu: 1999). Sekolah belakangan ini telah dikeramatkan oleh pengaruh politik dan ekonomi sehingga kehilangan peran kritisnya yang memihak masyarakat. Sekolah dalam konteks reproduksi sosial dan budaya apa pun atributnya dewasa ini berubah sebagai lembaga publik yang mahal.

Di tengah kepengapan pendidikan ini, upaya pemerintah menuntaskan wajib belajar sembilan tahun sepertinya terganjal profil utang negara pada lembaga keuangan internasional. Berdasarkan statistik ekonomi keuangan Indonesia Juni 2005, utang Indonesia sampai dengan triwulan pertama 2005 hampir 135 miliar dolar AS (Pramudya dkk, 2007). Ditambah lagi dengan uang negara yang dikorupsi koruptor, sepertinya anggaran 20 persen untuk pendidikan semakin jauh dari harapan.

Melalui utang diharapkan aliran dana dari modal swasta akan diikuti terbukannya lapangan pekerjaan. Namun, fakta membuktikan sebaliknya. Pengangguran intelektual semakin membengkak jumlahnya. Pada 2 Mei 2008 yang diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional, kita selayaknya menjadikannya sebagai momentum untuk refleksi pedagogis guna meneguhkan kesadaran kolektif. Kita yakin pendidikan adalah gagasan kemanusiaan yang mampu melakukan perubahan yang lebih baik.

Tulisan ini dimuat pada Harian Republika, 3 Mei 2008.


0 comments:

Post a Comment

Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?