Ada tiga program
besar pembaruan pendidikan yang dirintis oleh Menteri Pendidikan Nasional,
Bambang Sudibyo, yaitu perluasan dan pemerataan akses, peningkatan mutu dan
relevansi, serta peningkatan good governance dan pencitraan publik.
Salah satu turunan program besarnya yang menarik dan menjadi polemik adalah
persoalan standar kelulusan.
Dengan mengacu
pada PP No 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan ditetapkan kerangka
dasar manajemen pendidikan melalui standardisasi, penjaminan mutu, dan
akreditasi. Meskipun sangat berat upaya ini harus segera direalisasikan
mengingat standar mutu pendidikan nasional masih tertinggal dari negara lain,
khususnya di Asia Tenggara.
Ujian Nasional
(UN) kali ini jauh lebih berat dengan standar kelulusan rata-rata 5,25 dari
sebelumnya 5,00 dengan enam mata pelajaran. Nada pesimistis pun keluar dari
sebagian masyarakat karena ditengarai membelenggu siswa.
Kebijakan UN
dinilai sangat paradoks dengan realitas pendidikan yang belum merata di daerah-daerah
kendati faktanya UN tetap berlangsung. Persoalan UN merupakan satu dari sekian
persoalan pendidikan yang melilit sistem pendidikan nasional. Karena itu,
berbagai tanggapan terhadap pelaksanaan UN adalah cermin kesadaran masyarakat
terhadap persoalan pendidikan.
Menumbuhkan
kesadaran
Ungkapan tidak ada perubahan sosial tanpa teori perubahan sosial juga berlaku
untuk pembaruan pendidikan. Dari sanalah kita akan melihat dinamika pendidikan
sebagai akibat dan gejala zaman yang diikuti dengan perubahan sosial (Robinson,
1986). Pendidikan adalah sarana untuk menciptakan realitas sosial baru dan
bentuk kesadaran. Dia pun diubah oleh kesadaran.
Masyarakat dan
pendidikan sebagai dua variabel amat sulit dipisahkan. Pendidikan dan
masyarakat mempunyai peranan masing-masing. Pendidikan tidak akan berperan
sebagai agen perubahan jika konstruk kesadaran manusia tidak ditumbuhkan.
Kata kunci untuk
menumbuhkan kesadaran masyarakat hanya dengan pembelajaran (dibaca:
pendidikan). Pakar pendidikan Islam, Abdurrahman an-Nahlawy (1989), mengatakan
diperlukan sinergi yang kuat antara tarbiyah, ta'lim, ta'dib untuk
proses pendidikan. Hans Wehr menambahkan istilah pendidikan dengan lafal tahzib
baru, yang berarti penghilangan yang jelek, perbaikan, pembetulan, pelatihan,
perintah, pendidikan, penumbuhan, dan kebudayaan (dalam Rahman, 2001).
Bertolak dari
keempat lafal tersebut, pendidikan diharapkan mampu membentuk kesadaran manusia
yang sesungguhnya (insan kamil) untuk memperoleh derajat yang tinggi di
hadapan Allah SWT. Kesadaran baru manusia pada akhirnya akan menimbulkan pola
dan perilaku dan sikap humanisnya yang membawa nilai-nilai spiritual dengan
seimbang melalui rasionalisasi kepentingan.
Berangkat dari
pemahaman bahwa pendidikan adalah hasil rekayasa manusia untuk mengonstruk
kesadarannya, sikap dan perilaku manusia pada dasarnya dapat menciptakan
tatanan hidup yang lebih manusiawi. Adapun klimaks kondisi moral yang merosot
saat ini lebih disebabkan oleh pengingkaran manusia terhadap potensi fitrahnya,
bukan karena lemahnya sistem pendidikan.
Sejauh kita
hidup di tengah bangsa yang diempas globalisasi, tidak bijak jika kita
mengadili pendidikan. Bertambahnya porsi hegemoni dan materialisme sangat
terasa menggeser nurani dan akal manusia. Secanggih apa pun sistem pendidikan
dirancang, tapi jika nafsu dan angkara menjadi medan perjuangannya, tetap saja
hak-hak hidup manusia akan terabaikan.
Aristoteles
telah mengingatkan bahwa arti penting tujuan pembangunan negara harus sejalan
dengan tujuan individu sebagai warga negara. Artinya, pembangunan suatu negara
akan tercapai jika didukung oleh pendidikan yang baik.
Melalui
pendidikan harusnya sikap dan budaya politik masyarakat dapat tumbuh seiring
dengan tumbuhnya partai-partai baru yang mendapatkan kepercayaan dari masyarakat.
Selanjutnya, dapat kita lihat dinamika pendidikan saat ini masih sangat
dipengaruhi oleh dinamika politik.
Dapat dilihat
dengan jelas dari hasil pilkada di beberapa daerah. Kondisi politik ini senada
dengan pandangan Buchori (Pendidikan
Antisipatoris: 2001) mengenai jenis budaya politik yang sedang hidup dalam
suatu masa dapat dilihat dari cara-cara membimbing rakyat, cara-cara
memperebutkan kepercayaan rakyat, dan cara-cara penggunaan kekuasaan.
Hasil keputusan
politik melalui pilkada sesungguhnya dapat membantu agenda besar pendidikan,
seperti pemerataan akses pendidikan di daerah sehingga mutu pendidikan menjadi
lebih bagus serta memiliki relevansinya dengan kecakapan intelektual masyarakat
untuk membangun daerahnya masing-masing. Cita-cita ini diyakini bisa terwujud tergantung
dari sikap dan budaya politik pemangku otoritas yang menghargai dan mau berbagi
beban untuk pendidikan masyarakat.
Berbagi beban
Pendidikan sebagai upaya sadar membangun manusia adalah bentuk lain dari agenda
new social movement. Pendidikan dalam ranah budaya seperti lembaga
lainnya dalam masyarakat sudah sedemikian kuat mengakar. Repotnya, mitos
tentang sekolah juga sudah menjadi tradisi yang kuat di samping pengaruh
globalisasi dan ekonomi kapitalisme.
Meminjam istilah
Roem Topatimasang, sekolah telanjur menjadi candu yang memikat masyarakat.
Padahal, dalam kenyataannya dan dalam kemestiannya tidaklah demikian.Lalu, mengapa ia
mesti dibebani dengan sejuta keharusan dan pembatasan yang malah makin
mempersempit ruang gerak, wawasan, dan dinamikanya sendiri (Roem Topatimasang, Sekolah Itu Candu: 1999). Sekolah
belakangan ini telah dikeramatkan oleh pengaruh politik dan ekonomi sehingga
kehilangan peran kritisnya yang memihak masyarakat. Sekolah dalam konteks
reproduksi sosial dan budaya apa pun atributnya dewasa ini berubah sebagai
lembaga publik yang mahal.
Di tengah
kepengapan pendidikan ini, upaya pemerintah menuntaskan wajib belajar sembilan
tahun sepertinya terganjal profil utang negara pada lembaga keuangan
internasional. Berdasarkan statistik ekonomi keuangan Indonesia Juni 2005,
utang Indonesia sampai dengan triwulan pertama 2005 hampir 135 miliar dolar AS
(Pramudya dkk, 2007). Ditambah lagi dengan uang negara yang dikorupsi koruptor,
sepertinya anggaran 20 persen untuk pendidikan semakin jauh dari harapan.
Melalui utang
diharapkan aliran dana dari modal swasta akan diikuti terbukannya lapangan
pekerjaan. Namun, fakta membuktikan sebaliknya. Pengangguran intelektual
semakin membengkak jumlahnya. Pada 2 Mei 2008
yang diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional, kita selayaknya
menjadikannya sebagai momentum untuk refleksi pedagogis guna meneguhkan
kesadaran kolektif. Kita yakin pendidikan adalah gagasan kemanusiaan yang mampu
melakukan perubahan yang lebih baik.
Tulisan ini
dimuat pada Harian Republika, 3 Mei 2008.
0 comments:
Post a Comment
Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?