Sindo Opini Sore
Ekspresi Pedagogi ’’Anarkis”
Senin, 31/03/2008
NAZHORI AUTHOR, Peneliti Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) Jakarta.
Senin, 31/03/2008
NAZHORI AUTHOR, Peneliti Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) Jakarta.
’’Apa yang sering dikerjakan oleh pendidikan? Dibendungnya aliran sungai yang bebas berkelok-kelok.” (Henry David Thoreau, 1850)
Ekspresi kemarahan mahasiswa tidak dapat dibendung lagi. Aksi anarkistis mahasiswa Universitas Haluoleo Kendari dipicu dari gerakan demonstrasi dan gerakan advokasi yang dilakukan mahasiswa terhadap pedagang kaki lima (PKL) yang akan ditertibkan pemerintah daerah setempat.Situasi semakin akut saat mahasiswa menggelar demonstrasi di Kantor Wali Kota Kendari dengan aparat kepolisian. Kita semua menyayangkan tindakan tersebut.Apa pun alasannya,sejatinya antara mahasiswa dan aparat dapat menahan sikap amarahnya.
Melihat kondisi Kendari yang mema-nas beberapa terakhir,Wakil Gubernur Sultra Saleh Lasata menyatakan telah muncul keprihatinan dari Menteri Dalam Negeri Mardiyanto (SINDO,30/3). Satu sisi demonstrasi dan gerakan advokasi mahasiswa kepada PKL merupakan gerakan moral yang tumbuh dari tanggung jawab sosial mahasiswa selaku kaum terpelajar yang peka terhadap realitas sosial di sekelilingnya. Di sisi lain gerakan mahasiswa itu menjadi ’’nokta merah”ketika berhadapan dengan aparat yang tidak sadar akan posisinya yang notabene sebagai pemangku keamanan.
Irasionalitas Komunikatif
Berbicara mengenai gerakan mahasiswa dan gerakan advokasinya tidak lepas dari kebebasan mimbar akademis dan iklim demokrasi.Di samping itu,ketimpangan sosial sebagai realitas yang tidak dapat dihindari merupakan sumber kegelisahan mahasiswa yang tidak berujung.Baik di tingkat nasional maupun lokal,gerakan mahasiswa akan selalu muncul selama masih ada sebuah kebijakan yang pincang dan dampaknya dialami masyarakat terutama mereka yang lemah.
Dalam masyarakat demokratis,terciptanya ruang publik (public sphere) akan berdampak positif pada komunikasi masyarakat yang sehat.Dalam konteks gerakan mahasiswa yang berujung rusuh di Kendari dapat dilihat sebagai matinya ruang publik karena saluran komunikasi yang tersumbat.Hal itu bisa disebabkan legitimasi kekuasaan dan lemahnya sarana dan prasarana sebagai instrumen yang tidak terdistribusi dengan arif sehingga melahirkan kekerasan.
Hal tersebut menjadi pemandangan yang menarik,khususnya negara- negara berkembang di mana sistem pemerintahan dengan segenap aspek politik,ekonomi,sosial, budaya,hankam,agama,dan pendidikannya harus berhadapan dengan lokus baru globalisasi yang menyelinap masuk ke setiap penjuru wilayah suatu segara sebagai penumpang gelap pembangunan dan demokrasi.
Dari beberapa contoh kerusuhan yang pernah terjadi di Indonesia, bahkan sampai sekarang yang melibatkan masyarakat dan kaum terpelajar, itu sesungguhnya merupakan cermin ekspresi pedagogi ’’anarkis” yang bersumber dari ketidakmampuan sebuah negara dalam menghadapi kristalisasi produk-produk globalisasi yang terus menggurita melalui ilmu pengetahuan dan teknologi, budaya, agama, perluasan pasar (ekspansi ekonomi),dan politik.
Habermas (1984) menjelaskan bahwa pada hakikatnya masyarakat demokratis dapat menggugah kedewasaan dan otonomi masyarakat sebagai tindakan komunikatif. Sementara itu,hakikat negara demokrasi merupakan bangunan sistem kekuasaan yang berpijak dari rasionalitas kekuasaan.
Artinya,kekuasaan dikatakan irasional jika kekuatan sebuah negara sampai ke tingkat wilayah dijalankan dalam sebuah sistem komunikasi yang irasional. Sebagai contoh kecil penertiban PKL yang sering kita saksikan selalu bermuara pada kerusuhan karena dinilai sangat merugikan PKL di mana relokasinya membutuhkan biaya yang sangat besar dan tidak sebanding dengan penghasilan mereka.
Contoh lainnya, mahalnya biaya pendidikan padahal memperoleh pendidikan hak bagi setiap warga negara. Dengan menggunakan teori kritis masyarakat, Habermas mencoba melakukan suatu kritik emansipatoris yang membongkar konsep demokrasi untuk mendekonstruksi irasionalitas kekuasaan yang pada gilirannya sedang merekonstruksi rasionalitas kekuasaan yang demokratis dengan mengedepankan sikap dialogis komunikatif.
Aksi anarkistis mahasiswa di Kendari sebetulnya dapat ditelusuri dengan meminjam teori tindakan komunikatifnya Habermas.Pada dasarnya, mahasiswa,PKL, aparat, dan wali kota merupakan subjek komunikasi yang dapat berperan melakukan komunikasi dialogis.Bukan sebagai objek atau subjek yang mengeksploitasi objek dan saling memanfaatkan untuk kepentingan pragmatis.Seandainya mereka semua berperan dan saling berpartisipasi satu sama lainnya dan membuka ruang untuk berefleksi tidak menutup kemungkinan terjadi saling pengertian.
Tidak dengan menggunakan simbol- simbol kekerasan yang memancing orang lain untuk bertindak anarkistis. Kebebasan mimbar akademis yang dilakukan mahasiswa di luar kampus pada hakikatnya merupakan gagasan yang otentik dalam merespons ketimpangan sosial.Namun,suasana akan menjadi berbeda jika yang ditunjukkan adalah irasionalitas komunikaitf.
Pedagogi ’’Anarkis”
Dalam kerangka pedagogi kritis aksi mahasiswa yang berubah menjadi anarkistis sangat merugikan mahasiswa dan citra humanis pendidikan. Kejadian ini telah merobek kain putih pendidikan yang menghargai dan menghormati ruang dialogis. Hal ini bagi pendidikan pernah digambarkan oleh Henry David Thoreau (1850) dengan pertanyaan apa yang sering dikerjakan oleh pendidikan? Dibendungnya aliran sungai yang bebas berkelok-kelok. Karena itu,untuk menghindari kepada paham anarkisme yang tidak pernah padam alangkah baiknya kita belajar dari aliran pendidikan anarkistis.
Anarkistis tidak melulu bermakna “chaos”.Anarkistis dalam perspektif pendidikan yang menjadi falsafah dasar gerakannya tidak lain adalah menghendaki sebuah masyarakat yang adil dan bersatu. Perbedaan antara gagasan kita dengan ide para anarkis adalah mereka yakin bahwa manusia bisa sepenuhnya menjadi makhluk sosial.Bila tiap individu sungguh-sungguh bebas,masyarakatnya pun akan bebas.Mereka ingin agar masyarakat diatur berdasarkan kerja sama sukarela dan pengendalian diri oleh setiap individu sendiri, bukan lewat kekuasaan pemaksa (Hoffman dalam Naomi,2001). Jadi,’’kaum anarkis”––menurut Naomi––adalah unik dibanding kelompok- kelompok gerakan lain lantaran tak punya doktrin dan program yang tunggal bagi semua anggota.
Lebih khas lagi,nyatanya mereka bisa bersatu,erat berhubungan satu sama lain,dan lebih saling bergantung untuk mempertahankan semangat sehubungan dengan kejadiankejadian kontemporer. Karena itulah,gerakan mahasiswa yang kritis adalah gerakan mahasiswa yang berbasis moral dan transformatif bersama massa rakyat guna menciptakan ruang-ruang demokrasi untuk berekspresi dengan tindakan komunikatif. Harapannya semoga pemerintah menyadari bahwa suara mahasiswa adalah suara kemanusiaan yang menginginkan keadilan.Wallohu‘alam.(*)
0 comments:
Post a Comment
Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?