Di sini, manusia betul-betul kehilangan ruang yang dimilikinya. Orang-orang kota kehilangan ruang metropolisnya, sementara orang-orang desa kehilangan ruang naturalnya dalam skala sosial-budaya yang khas. Selain ruang fisik ini, ruang abstrak pun dalam skala makro hampir saja tak ditemukan oleh negara sebagai penentu ruang kebijakan yang sesungguhnya.
Dalam serangan virus mematikan ini, ketika ruang fisik diperebutkan bahkan untuk suatu aktivitas kenikmatan, ruang abstrak kembali diuji dengan merebaknya kabar bohong bahwa virus ini hanya rekayasa belaka, sarat konspirasi. Bahkan keketatan sains pun tak mampu menjawab dan menyadarkan masyarakat untuk memberikan fakta bahwa dunia sekarang ini sedang tidak baik dan virus ini telah mengancam kehidupan manusia.
Para ahli dan tenaga kesehatan yang menjadi garda depan berusaha membuktikan kondisi ini melalui ruang maya, bahwa yang menjadi korban bukan hanya mereka yang sedang ditangani tapi paramedis juga terancam nyawanya dalam ruang tindakan. Cara manusia menata ruang memang tidak bisa dilepaskan dari spasi waktu dan pilihan yang paling prioritas.
Ruang yang Terbatas
Teringat apa yang disampaikan sosiolog kebudayaan seperti Georg Simmel bahwa dalam lalu lintas budaya yang padat dan ruwet. dimensi ruang fisik perlu didekati kembali dalam ruang pemaknaan (abstraksi) yang dapat mengalirkan informasi yang rasional. (AB. Widyanta, 2002). Informasi itu berupa data-data informasi yang menjadi pengalaman budaya manusia yang setiap gerak-geriknya dalam relasi sosial memiliki keterbatasan.
Keterbatasan itu ada dalam tindakan berbudaya yang dilakukan manusia dalam pergerakan ekonomi dan budaya konsumsi. Merujuk pendapat Simmel, relasi psikologis dan intelektual antara individu merupakan suatu relasi yang diterima secara objektif dalam memenuhi kebutuhannya yang dipengaruhi oleh persepsi dan pengalaman itu sendiri dalam kompleksitas hidupnya yang terfragmentasi. Artinya ruang dan keterbatasan itu sangat ditentukan oleh manusia itu sendiri dalam setiap fenomena kehidupan modern.
Semua orang ingin hidupnya berjalan normal. Namun tidak untuk kali ini dalam situasi pandemi. Segenap sisi kehidupan sosialnya terbatas. Oleh karena itu, keikhlasan untuk menunda kebahagiaan dan kenikmatan di luar rumah adalah keniscayaan. Harus diakui manusia tanpa ruang ibarat buah catur tanpa papan permainan. Tidak ada langkah untuk bergerak padahal pilihannya hanya hitam dan putih.
Setali tiga uang dengan kondisi pandemi, pilihannya dalam keterbatasan ini hanya untuk keselamatan atau siap untuk terinfeksi virus mematikan ini. Maka pembatasan skala mikro saat ini adalah pilihan yang tak bisa ditawar. Kebaikan puncak (summum bonum) yang harus dipilih untuk keselamatan bersama yang di dalamnya juga ada seni untuk menjadi bahagia sebagai tindakan akal budi sebagaimana nasihat bijak Epicurus.
Menunda Kenikmatan
Pesan kenikmatan yang disampaikan Epicurus tidak semata-mata dalam bentuk kebahagiaan fisik semata; kenikmatan batin tetap perlu dijaga sebagai wujud bahwa totalitas jasmani manusia pada prinsipnya yang membutuhkan ruang dalam pandangan yang atomistik sekalipun membutuhkan ruang untuk bahagia.
Pada dasarnya mereka yang tidak percaya akan pandemi ini dapat berkaca pada Epicurus tentang prinsip kebijaksanaan yang "kasat mata". (Seni Berbahagia, 2019). Menurutnya bahwa makna tidak ada yang lahir dari yang tiada, adalah prinsip sebab akibat. Prinsip umum yang secara universal disepakati.
Mereka yang tidak percaya pandemi adalah orang yang tidak mampu menunda kenikmatan sehingga masih percaya kabar burung bahwa kekhawatiran dan rasa takut yang dialami banyak orang merupakan hasil dari konspirasi untuk menekuk agama. Bahkan mereka membungkus kabar pahit pandemi dengan balutan agama sebagai propaganda.
Bagi mereka yang tak percaya ada pandemi, menganggap situasi ini adalah rekayasa dan tipu muslihat lainnya yang disebarluaskan hanya untuk kepentingan politik tertentu. Mereka yang tak percaya pandemi lupa bahwa mereka mengingkari prinsip eksistensi dan kebahagiaan yang dipegang Epicurus tentang "yang tak terlihat bukan berarti tiada". Prinsip ini mengandung makna bahwa meski kematian tak terlihat kapan akan terjadi, namun hal itu mutlak dialami bagi setiap makhluk hidup.
Kehidupan ini, kendati sebagian ada yang tak terlihat bukan berarti mudah untuk dianggap sebagai ketiadaan. Oleh karena itu, jika mereka menganggap virus yang tak kasat mata ini sebagai sesuatu yang tiada, boleh jadi mereka yang tak percaya pandemi tak bisa menerima realitas kehidupan yang kompleks ini, karena apa yang mereka tidak ketahui saja tidak dapat diakui sebagai suatu informasi yang memadai.
Epicurus sejatinya tidak bermaksud mengajak manusia untuk melupakan kematian. Lebih dari itu, bagaimana ia mengajak kita untuk menikmati kehidupan sebagai seni hidup berbahagia dengan sederhana dan terbatas. Bukan kehidupan yang bermakna hedonis, melainkan kehidupan yang mengarahkan untuk mencapai kebahagiaan. Menata hidup dengan mensyukuri apa yang kita miliki bukan dengan sesuatu yang tidak atau belum kita miliki.
Dalam ajaran kebijaksanaannya, Epicurus juga mengajak kita untuk tidak berlebih-lebihan. Menjauhkan sikap dan pikiran yang berlebihan dari rasa sedih, khawatir, takut dan tidak bahagia. Manusia hidup untuk berpengetahuan yang tujuannya mencapai kedamaian pikiran dan menyingkirkan rasa takut dan kegelisahan yang ada dalam diri manusia (antaraxia).
Jika kita masih ingin mendapat kebahagiaan (antaraxia) dan keselamatan selama
pandemi yang tidak tahu kapan akan berakhir, nasihat Epicurus untuk menunda
kenikmatan sesaat di luar rumah dan kembali ke entitas keluarga layak
dipikirkan kembali. Karena untuk bahagia membutuhkan kedisiplinan tinggi dan
mematuhi aturan main dengan dedikasi yang penuh kesabaran untuk menerima
realitas kehidupan di tengah budaya konsumeristik yang kompleks. Sehingga dalam
realitas pandemi ini sesungguhnya bukan berarti takut pada kematian, tetapi
kita takut terhadap apa yang tidak kita ketahui.
Nazhori Author, Dosen LPP AIK Universitas Prof. Dr. Hamka Jakarta
Sumber: Detik.com