Tafsir Pedagogis Nasihat Luqman

Oleh: Nazhori Author





Menuntut ilmu merupakan salah satu aspek yang diwajibkan oleh Islam. Wajib bagi seorang muslim laki-laki dan perempuan. Amar pedagogis ini diperkuat dengan kata mutiara yang berbunyi tuntutlah ilmu walau ke negeri Cina. Artinya akses untuk memperoleh pendidikan adalah hak setiap orang meski menuntut ilmu di tempat yang jauh dan terpinggirkan.

Ada yang berpandangan untuk memperoleh pendidikan yang layak maka akses pendidikan perlu dibuka lebar agar tidak terjadi kesenjangan antara pendidikan di kota dan di desa. Dalam perjalanannya untuk meningkatkan akses, tantangan yang membentang sekarang adalah target Wajib Belajar (WAJAR) Sembilan Tahun yang harus tuntas pada tahun 2008.

Disebut tuntas kalau APK (Angka Partisipasi Kasar) SMP/MTs sudah mencapai 95%. Menurut Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Prof. Dr. Suyanto, target pencapaian Wajib Belajar Sembilan Tahun sebagai tantangan berat di tengah situasi ekonomi dewasa ini yang loyo. Kebijakan pendidikan tidak semata-mata mengejar kuantitas tapi mempertimbangkan kualitas dan mutu pendidikan nasional (Gatra, 29 Oktober 2005).

Lantas apa maksud pendidikan gratis yang selama ini diwacanakan kepada masyarakat. Faktanya tidak ada pendidikan gratis yang ada hanya pendidikan dengan biaya murah dan terjangkau. Itupun aksesnya masih sulit dijangkau oleh sebagian masyarakat. Yang lebih menyedihkan pendidikan gratis dijadikan sarana politik untuk memikat masyarakat di tengah kemunkaran sosial yang sedang berlangsung.

Mutiara Pendidikan

Dalam keadaan seperti ini persoalan yang melilit adalah sejauh mana political will pemerintah untuk memperbaiki keadaan pendidikan nasional secara serius. Soalnya sekarang tidak cukup menghadapi persoalan hidup yang dirasakan masyarakat dengan kesabaran sementara bahaya besar kemiskinan dan melebarnya kesenjangan sosial yang merongrong kehidupan manusia memicu kemunkaran sosial baru yang siap melenyapkan manusia lainnya.

Sampai saat ini persoalan anggaran pendidikan masih menjadi perdebatan yang tak kunjung selesai. Para ahli memiliki diagnosa masing-masing terhadap nasib pendidikan kita. Jika dilihat secara fungsional-edukatif pendidikan belum mampu menciptakan generasi mendatang yang kuat untuk menghadapi segala bentuk perubahan yang fundamental.

Padahal segala upaya sudah dikeluarkan untuk membaca dan menafsirkan UUD 1945 dan UU Sistem Pendidikan Nasional mengenai kewajiban negara untuk mengelola pendidikan yang berkualitas. Di samping itu, dengan kekayaan alam yang dimiliki bangsa ini terbesit asa untuk mendapatkan mutiara pendidikan yang terpendam jauh di dasar laut kehidupan.

Terlepas dari upaya penafsiran tentang pendidikan di atas, ada mutiara pendidikan berupa nasihat dari Luqman yang terkandung dalam Al-Qur’an, Surat 31:17. Adapun butir-butir nasihatnya adalah mendirikan shalat, amar ma’ruf nahi munkar, dan bersikap sabar. Meski terjadi perbedaan pendapat apakah Luqman Al-Hakim Nabi atau bukan, yang jelas beliau adalah sosok pendidik, ayah, pempimpin, sekaligus pribadi manusia yang patut diteladani.

Terkait dengan shalat sebagai nasihat Luqman yang pertama, Prof. Dr. Ziaul Haque (2000) mengatakan bahwa shalat adalah konsep universal, kesadaran moral yang tidak berbatas waktu, dan ide sosial ekonomi atas dasar keadilan, cinta kasih dan persaudaraan. Shalat tidak dibatasi oleh berbagai bentuk, ritus, waktu dan tempat. Ia merupakan kesadaran mulia yang membebaskan, egaliter, tulus dan ikhlas. Sholat juga merupakan keadaan jiwa dan hati yang tenang.

Namun dalam kenyataannya dengan shalat masih saja ada seseorang yang melakukan kemunkaran struktural dan kultural. Meski tidak terlihat jelas, nyatanya telah terjadi proses pemiskinan dan pembodohan. Tidak sedikit yang menumpuk harta dan berfoya-foya bahkan korupsi. Simak saja ketidaktenangan jiwa dan hati anggota Dewan yang belakangan tersandung kasus korupsi.

Begitulah cerita pilu anggota Dewan yang kita dengar dari media massa. Kehidupan politik tidak selalu berjalan mulus dan memberikan contoh pendidikan politik yang santun kepada masyarakat. Dan bukan berarti politik tidak penting, sebaliknya untuk apa kekuasaan itu digunakan apakah untuk amar ma’ruf atau amar munkar.

Kondisi ini tidak jauh bebeda dengan apa yang dialami oleh saudara-saudara kita yang secara instant ingin sukses dan memenuhi keinginan hawa nafsunya. Sayang memang, tapi dengan pendekatan burhani nasihat Luqman memberikan ilustrasi kuat dan nyata di masyarakat. Sebab sudah terjadi proses interaksi antara kenyataan (tasawur) dan evidensi empiriknya (tashdiq). Inilah realitas yang sesungguhnya bukan sebaliknya.

Perintah bersabar bukan berarti menerima sesuatu apa adanya. Tapi bagaimana sikap sabar itu berubah menjadi kekuatan dan sikap mental untuk merubah diri dari kondisi lingkungan yang kotor dan pasif. Seperti dikatakan Muhammad Abduh bahwa sabar adalah menahan diri dari segala sesuatu yang tidak disenangi serta kekuatan jiwa dalam menggunakan kebijakan bagi setiap langkah perbuatan.

Dalam kacamata pendikakan, nasihat Luqman pada dasarnya merupakan alat diagnosa pedagogis untuk melihat kondisi pendidikan baik secara makro dan mikro. Jadi, jika penyakit yang diderita pendidikan sudah dapat ditelusuri tinggal diputuskan apakah melorotnya kualitas pendidikan kita salah satunya disebabkan oleh kemunkaran-kemunkaran sosial.

Problem Interpretasi

Yang jelas, kemunkaran sosial mengalami proses kreatif dengan seribu macam modus operandinya. Apakah memang telah terjadi kesalahan resep untuk mengobati seperti yang terjadi dengan bangsa ini. Mengapa di masyarakat beredar daging busuk dan pemaksaan berat badan hewan atau dikenal dengan daging gelonggongan.

Dengan demikian banyak kejadian yang tidak diketahui atau dianggap biasa oleh masyarakat, padahal fakta-fakta rill yang kini muncul ke permukaan adalah salah satu bentuk dari kemunkaran sosial yang melemahkan sikap sabar dan mental seseorang dalam memenuhi hawa nafsunya. Hal inilah yang memancing Alexis Carel untuk berkata akal manusia telah mengalami kemajuan pesat, tapi hati mereka masih tetap lemah (Murtadha Mutahhari, 1986).
Setiap masyarakat memiliki zamannya sendiri untuk menggerakkan daya sosialnya terhadap realitas kehidupannya. Ini dikarenakan persepsi interpretasi tentang realitas kehidupan yang berbeda. Tidak mustahil terjadi manipulasi, spkelulasi dan emosi untuk menafsirkan persoalan agama dan sosial manusia. Boleh jadi ini termasuk dari penyimpangan manusia terhadap agamanya yang berujung kepada kemunkaran sosial.

Bagi Mutahhari (1986) penyimpangan agama disebabkan oleh pengingkaran manusia terhadap eksistensi Tuhan yang seringkali bersumber dari pandangan politik yang bertentangan dengan kepentingan mereka. Penyimpangan agama juga dipicu rasa takut pada diri manusia yang belebihan. Seperti takut miskin, takut kekuasaannya diambil orang lain dan ketakutan-ketakutan lainnya yang merusak tanggung jawab serta spiritualitas manusia.

Oleh karena itu, belajar dari nasihat Luqman bagaimana interpretasi-interpretasi yang merugikan manusia diluruskan kembali sehingga tumbuh pengetahuan baru dan memiliki dimensi pendidikan sosial yang emansipatoris. Nasihat Luqman merupakan upaya historis dan pedagogis menyadarkan manusia dari kemiskinan teologi untuk membaca realitas zaman yang terus berubah. Wallohu ‘alam

Penulis adalah Alumnus Jurusan Tarbiyah (PAI) STAIN Purwokerto

Posting Komentar

0 Komentar