May 26, 2015

Bike to Coffee Break



Selepas salat Ashar, di masjid al-Biruni Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), tidak jauh dari RSIJ Cempaka Putih, seorang lelaki bercelana pendek, berkaos putih lengan pendek menyeduh kopi. Asap proses kimiawi 1 sachet kopi yang bercampur air panas membumbung ke atas. Mataku seperti tertarik medan magnet untuk menghampiri lelaki bersepeda tua warna biru yang cat-nya sudah mulai memudar.

Lelaki itu mengulum senyum, sambil menawarkan kopi kepadaku yang duduk di atas meja kayu beralas kerdus. Secangkir kopi panas telah diterima seorang mahasiswa yang baru saja memesannya. Aku pun memesan 1 cangkir kopi hitam. Tak begitu lama, kopi panas beraroma menyengat sudah siap dihidangkan di atas meja. Lumayan ada sedikit jeda untuk menyegarkan badan yang sedikit letih sambil menunggu dimulainya acara Aksi Bersama Untuk Sesama yang digelar mahasiswa Teknik UMJ untuk solidaritas Rohingya.

Sebelum kopi surut, ada suatu yang menarik saat aku melihat 3 termos berwarna merah, hijau dan biru muda. Di samping termos itu ada wadah tempat gorengan yang isinya sudah tak bersisa disamping termos es. Selain itu, di keranjang depan sepeda ada banyak rencengan kopi sachet aneka rasa dan minuman soft drink bergelantungan. Hmmmmm, ide cerdas penggagas kopi keliling yang luar biasa, pikirku. Hanya orang kreatif yang bisa menangkap peluang rejeki di kota Jakarta.

Lalu, penjual kopi keliling itu berkisah. Sudah lima bulan dia berjualan kopi keliling di bilangan Cempaka Putih. Selain itu sasaran keramaian menjadi pilihan tepat untuk mangkal, katanya. Sebut saja Ujang (37), lelaki asal Sumedang ini rela meninggalkan pekerjaannya sebagai karyawan Toko Elektronik di kawasan Senen. Bukan waktu yang singkat, 7 tahun sudah dia menafkahi isteri dan kedua anaknya. Segala rupa merek barang elektronik masih tersimpan di memorinya.

Ujang mengaku, pemilik toko elektronik masih mengharapkan dia kembali bekerja di toko miliknya. Namun, Ujang belum memutuskan untuk kembali ke tempat kerja asalnya. “Ada alas an kuat Mas,” cerita Ujang kepadaku. Apa alasannya Kang? Tanyaku kembali bertanya. Pertama, Ujang mendapat banyak waktu senggang untuk berkumpul bersama keluarga. Kedua, bagi Ujang, jual kopi keliling memiliki daya tarik tersendiri sejak lima bulan terakhir ini, katanya.

Ujang tidak sendiri. Masih ada penjual kopi keliling lain yang berputar-putar mencari tempat yang strategis. Ujang mengaku, waktu bekerjanya hanya 7 sampai 8 jam sehari. Mulai dari Pukul 10.00 wib sampai pukul 17.00 wib. Selebihnya terserah Ujang, mau kembali pulang atau melanjutkan berkeliling, jelasnya.

Sepeda dan peralatan lengkap yang dibawanya tidak milik sendiri. Ada bos yang mengkoordinir, tambahnya. Ujang salah satu penjual kopi keliling yang berjumlah 150 orang di kawasan Senen, Cempaka Putih dan sekitarnya. Ujang bercerita, selain bos tempat ia menjual kopi kelilingnya, ada bos lain yang memiliki armada sepeda lebih dari 200 unit. Pemiliknya ada yang asli Madura, Garut, dan Brebes, kata Ujang.

Bayangkan saja Mas, jika semua sepeda itu keluar keliling di kawasan Jakarta Pusat. Berapa gelas kopi terjual dalam satu hari, cerita Ujang meyakinkan ku. “Jika satu penjual kopi keliling bisa menjual 20 sampai 30 gelas sehari, itu rejeki yang patut disyukuri,” paparnya. Para penjual kopi keliling mendapatkan laba sebesar 10 persen satu gelasnya. Selebihnya untuk pemilik. Jika rata-rata satu gelas kopi Rp 3000,- sampai Rp 4000,- hasil profit sharing-nya lumayan untuk menambah kepul asap dapur, tambahnya bersemangat.

Sejauh yang saya ketahui, sejak 2011, penjual kopi keliling sering terlihat di kawasan Menteng dan Cikini. Selain itu, di sekitar Monas, Gambir, Taman Menteng, Taman Suropati, Thamrin, Kebonsirih, dan sekitarnya juga sering dijumpai. Kendati jumlahnya banyak, pintu rejeki sudah ada pada tempatnya masing-masing.

Dalam perjalanannya, penjual kopi keliling terus bertambah. Tidak secepat perkembangan warung kopi, kedai kopi, kafe atau tempat lain yang lebih berkelas dengan suasana yang tentu berbeda. Warung kopi yang mudah dijumpai di sekitar kita biasanya langsung menyajikan mie rebus atau bubur kacang hijau. Penjualnya, asal Kuningan atau Sumedang, Jawa Barat. Yang pasti, semuanya memiliki karakternya sendiri-sendiri untuk menyapa penikmat kopi.

Suasana, aroma dan kentalnya serbuk hitam ini selalu diburu pecinta kopi. Tak hanya itu, campuran dan kombinasi aneka rasa menjadi pilihan lain dalam menikmati secangkir kopi. Bersama teman sejawat, dan di mana pun tempatnya kopi selalu menjadi teman di saat senggang.

Nikmatnya kopi ada pada selera masing-masing setiap orang. Kopi yang nikmat ada dalam sudut pandang setiap orang juga. Ada yang suka dengan kopi siap saji (sachet), kopi hasil ramuan Barista, atau kopi hasil racikan Dee dalam novelnya Filosofi Kopi (2006) yang enak dibaca. Bagi Dee menghirup aroma kopi dan mengalami langsung saat minum adalah kenikmatan luar biasa dengan karakternya yang kuat.

Semua kenikmatan itu diceritakan Dee, padahal saya belum sempat meminumnya sedikitpun. Dee menyuguhkan kopi tulis yang tidak pernah dirasakan sebelumnya. Begitu juga dengan kopi keliling, karakter kuatnya dinanti para penikmatnya. Bike to Coffee Break satu keunikan di tengah gemerlap Jakarta yang seakan tak pernah mati. Mari saatnya minum kopi…!

0 comments:

Post a Comment

Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?