Berita kekerasan di panggung pendidikan kembali lagi terjadi, di Papua seorang guru mengadu dua siswinya layaknya seorang petinju. Alasannya, kedua siswi tersebut sering bertengkar di sekolah. Tidak hanya itu, kekerasan juga terjadi di lingkungan aparat keamanan yang diduga hanya sandiwara. Itulah ironi yang sering terjadi berulang-ulang di dalam arena pendidikan kita belakangan ini. Tanpa mengenal tempat, waktu dan siapa pelakunya, kekerasan ibarat bahaya laten yang terus menghantui.
Mirisnya, kejadian itu berhasil direkam dengan kamera tersembunyi dan tersebar luas ke tengah masyarakat. Betapa tidak, pendidik dan peserta didik kita yang terkenal santun kini tiba-tiba seperti terlihat beringas dan buas. Rasa prihatin dan sedih bercampur mengharu biru. Apa yang salah dengan sistem pendidikan kita. Mungkin itu ungkapan yang keluar dari mulut kita.
Sulit menerkanya asal-asul kekerasan ini. Jelasnya, ada kaitan yang resiprokal antara pendidikan, kekerasan dan situasi sosial yang dialami masyarakat. Setiap orang tidak tahu kapan kekerasan akan berhenti. Meski tidak dapat ditebak kapan terjadinya fakta di lapangan dapat dijadikan bukti jika amuk massa, angkara siswa, dan bentuk kekerasan lainnya yang menimpa anak-anak dan kaum perempuan masih tetap ada di sekitar kita.
Peristiwa kekerasan dengan mudah dilansir beberapa media massa ibukota dan daerah berdasarkan data kuat yang diterima serta dilaporkan pihak berwajib. Selain itu, kita masih mempercayai bahwa masyarakat kita masih sehat, tidak berada dalam lingkungan masyarakat yang sakit meski impitan ekonomi menjadi teman akrab kehidupan sehari-hari.
Sebuah “Dogma” Perspektif tulisan ini, bukan ingin berbagi tentang kesedihan. Tapi ingin melihat dan mengajak pembaca dari kacamata pedagogis terkait dengan peristiwa kekerasan yang terjadi di lingkungan pendidikan. Pendidikan sebagai tempat terhormat harusnya steril dari tindakan kekerasan baik yang dilakukan secara fisik maupun non-fisik.
Terlebih dalam dunia yang serba hitam putih dan dikotomik. Perbedaan bisa menjadi warna yang indah seperti pelangi. Dan, suatu saat perbedaan bisa menjadi petaka jika disikapi dengan hati yang keras serta mata dan telinga yang tetutup hawa nafsu. Dalam dunia pendidikan, ungkapan senior dan junior secara tidak sadar sering terucap dari bibir peserta didik.
Begitu pula relasi sosial antara guru dan peserta didik berada dalam hubungan subyek dan obyek. Guru tidak lagi memandang peserta didik sebagai mitra belajar untuk memecahkan persoalan bersama melainkan guru menghegemoni peserta didiknya. Kekerasan yang terjadi di sekolah biasanya dilakukan oleh teman sebaya dan kawan bermain atau dikenal dengan bullying.
Ada banyak latar belakang yang menyebabkan terjadinya bullying seperti persaingan dan perbedaan yang pada akhirnya menimbulkan sikap saling mengejek, memaki, mendorong, memukul bahkan dengan kekerasan verbal. Alhasil, sungguh merisaukan. Bullying seperti sebuah “dogma” kekerasan yang tumbuh subur antar generasi di sekolah. Angkara pada peserta didik - yang mestinya punya potensi positif - membuncah akibat tradisi kekerasan di kalangan remaja.
Sementara itu lewat disiplin ilmu psikologi sosial apa yang disebut dengan psikopati dan juvenile deliquency seolah-olah telah melembaga di tengah masyarakat. Apakah gangguan emosi merupakan “kanker” di kalangan pelajar kita secara berjamaah. Sebuah krisis emosional yang menyedihkan, yang menimpa banyak di antara kita.
Bullying sebagai gangguan emosi pada dasarnya tidak hanya menyerang orang lain tapi menyerang diri sendiri. Artinya terperangkap dalam lingkaran yang tidak ada komunikasi dan kehilangan batas-batas kesabaran. Meminjam konsep pemikiran Tony Lake (1985) tentang syaraf otonomik, bullying dalam konsep ini boleh jadi yang dialami para peserta didik adalah jawaban yang muncul lewat sistem syaraf otonomik ketika emosi timbul dan merasa terpojok.
Persoalan bullying, dilihat dari lapangan psikologi pendidikan mencoba mengarahkan pada lingkungan sekolah tempat anak belajar berinteraksi dengan teman sebaya. Dalam hal ini menyoroti relasi sosial peserta didik terkait dengan sikap dan tingkah lakunya. Sedangkan dari kacamata psikologi belajar, apakah tempat belajar (sekolah) mempengaruhi proses belajar mengajarnya yang berdampak pada minat dan sikap mentalnya.
Tidak menutup kemungkinan interaksi sosial yang tidak sehat antar teman sebaya di sekolah dipengaruhi faktor lingkungan dari luar yang dibawa ke sekolah oleh peserta didik yang berujung pada tindakan kekerasan. Atau, situasi belajar yang tidak menyenangkan dan membosankan yang membuat peserta didik merasa tertekan dan bertindak nakal. Semua ini bagian integral dari buah simalakama yang bernama kenakalan remaja.
Gangguan emosi yang mewabah di usia rentan itu semoga bukan penyakit psikis yang banyak diprediksi sebagai bagian dari gejala psikopatik. Bagaimana pun bullying merupakan penyimpangan dan gangguan kepribadian yang tidak bisa dibaca dari satu sisi melainkan, mungkin akumulasi dari himpunan persoalan sosial yang dialami masyarakat yang berubah menjadi persoalan kemanusiaan.
Peserta didik yang notabene adalah sosok remaja ingin mendapat perhatian dan pengakuan. Mereka agresif seiring dengan tumbuhnya masa pubertas yang diiringi dengan krisis identitas. Secara sosiokultural, menurut Kak Seto, bullying disebut juga reproduksi rasa frustrasi akibat tekanan hidup dan hasil imitasi dari lingkungan orang dewasa yang dijadikan referensi oleh para remaja bahwa kekerasan bisa menjadi jalan lain pemecahan masalah.
Krisis Pendidikan Bullying sebagai contoh masalah yang dihadapi pendidikan sekarang tidak mungkin dihadapi dengan paradigma pendidikan lama. Karena kekerasan itu sendiri dibentuk dari pengalaman-pengalaman lama. Menurut Mochtar Buchori (1994) semakin menumpuknya persoalan dalam pendidikan kita salah satu indikasinya kita masih terlalu menggantungkan diri kepada pola-pola pandangan dan pikiran lama tadi.
Tidak ada terobosan-terobosan baru di arena pendidikan. Padahal persoalan pendidikan adalah krisis yang menyangkut krisis epistimologi dan manajemen pendidikan. Meskipun sudah ada pendekatan baru dalam pendidikan tapi masih dipandang sebagai sesuatu yang asing. Misalnya yang sederhana dulu ada Persatuan Orang tua Murid dan Guru (POMG), sekarang ada Komunitas Pendidikan.
Dalam hubungan ini, peristiwa bullying boleh jadi sebagai faktor lain dari tidak berfungsinya komunitas pendidikan sebagai buku penghubung antara sekolah, murid dan orang tua. Pendeknya, tiga jenis lingkungan pendidikan, yaitu: lingkungan pendidikan keluarga, lingkungan pendidikan di sekolah, dan lingkungan pendidikan di luar sekolah tidak berjalan efektif.
Pada dimensi ini, sejatinya komunitas pendidikan berperan sebagai garda depan pengembangan kompetensi sosial peserta didik yang berangkat dari pertautan tiga jenis lingkungan pendidikan itu. Sehingga kebiasaan-kebiasaan belajar (learning habits) tidak tumbuh karena dominannya pengaruh dari luar yang dialami peserta didik.
Untuk mengantisipasi tindakan bullying di sekolah, ada beberapa upaya yang dapat dilakukan oleh tiga lingkungan pendidikan. Pertama, komitmen untuk melakukan komukasi pendidikan yang terkait dengan persoalan sekolah dan peserta didik. Kedua, komitmen yang menyangkut kesadaran budaya terhadap perlunya visi pendidikan yang humanis. Terakhir, membuat kontrak kerjasama dari ketiga lingkungan pendidikan itu untuk memerangi dan mencegah tindakan kekerasan. Wallohu ‘alam
Penulis adalah Alumnus Jurusan Tarbiyah (PAI) STAIN Purwokerto
0 Komentar
Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?