Kartini dan Dimensi Pendidikan Sosial

Oleh: Nazhori Author




Raden Ajeng Kartini adalah gambaran perempuan kuat dan tegar. Sosok energik yang dengan gigih mengangkat harkat dan martabat perempuan di jaman penjajahan. Sampai saat ini kiprahnya diabadikan dalam berbagai literatur sejarah perempuan. Semangat emansipasinya menjadi model proses transformasi sosial dan budaya oleh perempuan Indonesia masa kini.

Dalam sejarah Islam, sosok Khadijah, Saudah, ‘Aisyah, Shafiyyah, adalah empat di antara perempuan salihat yang membangkitkan semangat Nabi Muhammad SAW, ketika berdakwah di Mekkah sampai hijrahnya ke Yastrib (Madinah). Tepat, jika ulama India ternama, Syaikh Syafiyyur-Rahman al-Mubarakfury, mengatakan sirah nabawiyah pada hakikatnya merupakan suatu ungkapan tentang risalah Rasulullah kepada masyarakat manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terang (Sirah Nabawiyah, 2002).

Masih banyak sosok perempuan lain yang berhasil menyumbangkan pemikiran dan gagasan pendidikan sosial yang menjadi suri tauladan bagi perempuan di Indonesia. Dari sejarah Islam dan sejarah pergerakan perempuan Indonesia terpancar semangat spiritual (ruhiyah) dan aktual (waqi’iyah) bahwa dimensi pendidikan sosial adalah fondasi menuju perempuan berkualitas.

Islam mewajibkan laki-laki dan perempuan untuk menuntut ilmu di mana saja agar mencapai derajat takwa dan berlaku adil sesama manusia. Al-Qur’an sebagai rujukan utama masyarakat Islam menunjukkan pada dasarnya mengakui kedudukan laki-laki dan perempuan adalah adil (Q.S. An-Nisaa’: 1). Di sisi lain, pendidikan Islam memandang Islam lahir dari hubungan sosial yang harmonis (simbiosis mutualisme) yang berlandaskan fitrah suci antara laki-laki dan perempuan.

Agen Pendidikan
Ibu adalah ruang kelas pertama bagi anak-anak. Demikian ungkapan pedagogis yang menempatkan perempuan pada posisi yang terhormat. Tegasnya, dalam bingkai pendidikan, perempuan memiliki dua tugas yang harus dipenuhi yaitu tugas dalam rumah tangga untuk membantu suami mendidik putra-putri tercinta. Sedangkan tugas kedua adalah membantu suami menjaga kehormatan keluarga ketika berinteraksi dalam lingkungan sosial.

Perempuan sebagai guru dan agen pendidikan, berperan menerangi putri dan pangerannya dengan ilmu pengetahuan yang menghiasi istana rumah tangganya. Uniknya, ibu menghidangi makanan yang lezat dan bergizi untuk buah hati dan suaminya. Menyirami pengetahuan agama dalam rumah tangganya menuju rumah impian masa depan (baitii jannatii).

Perjuangan Kartini dengan gerakan pendidikan perempuan berupaya mengikis struktur sosial yang tidak ramah perempuan pada waktu itu. Menentang posisi perempuan yang disubordinatkan dengan mengembalikan posisi terhormat perempuan untuk transformasi sosial yang lebih baik dan produktif. Dengan pemahaman kontekstual ini, Islam juga mengisyaratkan tidak ada diskriminasi jenis kelamin untuk berperan serta dalam kehidupan sosial baik laki-laki maupun perempuan.

Selain itu, partisipasi politik perempuan dalam partai politik sangat besar. Seperti pemilu 2009, banyak partai politik yang menominasikan caleg perempuan yang secara tidak langsung ikut memberikan kontribusi dalam politik formal. Perempuan perlahan-lahan mewarnai makna demokrasi dengan segenap peluangnya untuk memantapkan posisi tawarnya.

Kabar gembira ini layak diapresiasi untuk meningkatkan peran strategis perempuan di ranah politik, sosial, ekonomi, pendidikan dan budaya. Bahkan di dalam perusahaan yang bergerak di bidang barang dan jasa kontribusi pengetahuan dan keahlian perempuan dalam meningkatkan laba perusahaan pantas diperhitungkan di luar biaya promosi suatu produk di perusahaan.

Hal ini, tentu saja didukung oleh kesadaran aktual kaum perempuan saat melejitkan potensi dirinya melalui pendidikan. Di tengah derasnya diskursus gender dalam berbagai perspektif, perempuan sedikit demi sedikit meningkatkan kapasitasnya untuk melindungi diri dari budaya kekerasan dan tindakan kriminalitas sebagai resiko yang tidak terpikirkan sebelumnya.

Pendidikan sosial yang diterima baik dari lembaga pendidikan dan lingkungan sosial semakin mengukuhkan perempuan dapat menciptakan kebutuhan yang memiliki nilai dan manfaat dengan mendistribusikan pengetahuan dan keterampilan sebagai media perlindungannya. Pendidikan sosial ibarat payung yang melindungi kaum perempuan dari kekerasan dan ketidakadilan.

Semangat Kartini meniupkan makna pendidikan sosial bagi perempuan. Oleh karena itu, dimensi pendidikan sosial dari semangat Kartini adalah merealisasikan pendidikan perempuan yang tidak hanya sebatas instrumen pengetahuan melainkan sarana untuk berpartisipasi dalam ranah pedagogis agar kepekaan sosialnya lebih hidup dan dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat pada umumnya.

Hak atas Pendidikan
Membebaskan perempuan dari kebodohan dan kemiskinan adalah jasa-jasa perjuangan Kartini yang harus dilanjutkan oleh perempuan di abad 21. Oleh karena itu, salah satu Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) adalah mempromosikan kualitas dan pemberdayaan perempuan di sektor pendidikan yang mesti di capai oleh Indonesia.

Terlebih dengan populasi angka perempuan yang besar dari total populasi penduduk Indonesia. Ungkapan pendidikan untuk semua harus benar-benar terwujud secara nyata dan dirasakan oleh semua pihak termasuk perempuan dan khususnya anak perempuan. Alasan lain yang penting juga untuk mengangkat isu perempuan adalah fakta bahwa tingkat partisipasi perempuan dalam bidang pendidikan masih lebih rendah dibandingkan laki-laki sehingga berarti masih terdapat kesenjangan antara laki-laki dan perempuan dalam menikmati pendidikan, terutama pada pendidikan menengah dan tinggi.

Data Depdiknas menyebutkan, pada tahun 2007 persentase perempuan usia 10 tahun ke atas yang tidak atau belum pernah sekolah jumlahnya mencapai dua kali lipat dari penduduk laki-laki atau 10,64 persen berbanding 4,45 persen. Keadaan tersebut tidak jauh berbeda dengan kondisi tahun 2005 yakni laki-laki 10,67 persen dan perempuan 4,94 persen dan tahun 2006 yakni laki-laki 10,03 persen dan perempuan 4,83 persen. Sementara itu, hasil Susenas 2007 menunjukkan bahwa penduduk perempuan usai 10 tahun ke atas yang buta aksara mencapai 10,2 persen, sedangkan penduduk laki-laki hanya 4,34 persen.

Bergulirnya undang-undang otonomi daerah dan otonomi pendidikan mestinya dapat menjembatani perempuan yang terjerat dalam kemiskinan dan buta aksara. Namun, Komnas perempuan mencatat bahwa kebijakan daerah masih belum berpihak untuk memenuhi hak-hak pendidikan bagi perempuan. Komnas Perempuan mencatat ada 40 kebijakan daerah yang kondusif bagi pemenuhan hak-hak warga negara, namun sebanyak 154 kebijakan daerah bersifat diskriminatif (Republika, 23/3/2009).

Rendahnya akses pendidikan bagi perempuan merupakan hambatan yang harus dicari jalan keluarnya. Peran strategis pendidikan sosial untuk kaum perempuan adalah instrumen komunikasi yang dapat membangkitkan aktivitas kesehariannya. Upaya menata kembali kualitas hidup perempuan adalah keniscayaan meski membutuhkan waktu yang cukup panjang. Kartini telah mencobanya melalui formulasi pendidikan perempuan diakhir abad ke-19 yang lalu. Cita-cita ini akan terwujud melalui kerjasama yang harmonis antara perempuan dan laki-laki. Selamat Hari Kartini. Wallohu ‘alam

Penulis adalah Alumnus Jurusan Trabiyah (PAI) Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN), Purwokerto

Posting Komentar

0 Komentar