Pesantren dan Information Literacy


Oleh Nazhori Author



Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang unik. Sampai sekarang di tengah pembaruan sistem pendidikan, pesantren baik yang tradisional dan modern masih tetap menjaga tradisi dan kulturnya yang khas. Lembaran-lembaran kitab kuning klasik yang menyajikan tafsiran dan penjabaran Islam tidak lekang ditelan jaman dan menjadi rujukan populer kaum santri dalam melihat realitas kehidupan.

Pesantren sebagai bagian dari sistem pendidikan Islam di lingkungan masyarakat dalam perkembangannya memiliki corak tersendiri. Coraknya ada yang bersifat individu dan tidak melembaga dan ada juga yang bercorak kelompok dan melembaga. Sebagai pendidikan Islam luar sekolah (non formal) yang menonjol pesantren tidak hanya dilengkapi pondok dan masjid tapi sudah mengalami perubahan dengan dilengkapi madrasah dengan kurikulum yang disesuaikan dengan pemerintah.

Dalam menjawab tantangan jaman muncul beberapa pesantren modern yang di samping sektor pendidikan keislaman klasik, juga mencakup semua tingkat sekolah umum dari tingkat sekolah dasar hingga pendidikan tinggi. Paralel dengan itu diselenggarakan juga pendidikan keterampilan (Manfred Ziemek, dalam Widodo, 2001). Saat ini, pesantren yang identik dengan kopyah dan sarung, santri dan kiai dalam proses transformasinya telah membawa lembaran-lembaran kitab kuning menuju sebuah persepsi dialog peradaban Islam.

Belakangan ini ada kabar menarik yaitu internet masuk pesantren. International Center for Islam and Pluralism (ICIP) meluncurkan program pendidikan baru, “Open Distance, dan E-Learning (ODEL) untuk Transformasi Masyarakat Islam melalui Pesantren” di Hotel Nikko Jakarta, awal pekan lalu. Program yang didukung oleh Ford Foundation ini bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat pesantren dalam perolehan ilmu pengetahuan yang berbasis teknologi informasi dan komunikasi (ICT) (SINDO, 12 April 2008).

Meredam Dikhotomi
Sejarah peradaban Islam menceritakan bahwa menjelang akhir abad ke-16 dunia Islam memutuskan diri dari sains dan teknologi. Tentu saja hal ini dimanfaatkan bangsa-bangsa Eropa dan Amerika untuk membangun peradabannya dengan kemajuan IPTEK. Sedangkan bangsa Islam harus terlena dengan terpecahnya umat Islam dalam kantong-kantong kelompok yang berujung pada stagnasi pemikiran Islam.

Kejumudan umat Islam di atas tidak hanya dampak dari penjajahan Barat kepada dunian Islam, modernisasi juga berperan aktif yaitu dengan masuknya pendidikan budaya Barat yang mempengaruhi budaya tradisional setempat yang dibangun sejak lama. Hal ini sebagai dampak dari menghembusnya cara pandang pemikiran sarjana Barat yang berupaya memisahkan antara ilmu dan agama.

Implikasinya sangat tajam terutama di bidang pendidikan. Kenyataan ini dirasakan oleh sistem pendidikan di madrasah, perguruan tinggi Islam dan pesantren. Bahkan di Indonesia sempat muncul wacana dikhotomi sistem pendidikan. Akhirnya dualisme sistem pendidikan mengundang perdebatan antara illmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Rasa khawatir pun muncul sebagai akibat dari munculnya pendidikan Islam yang sekularistik, rasionalistik dan materialistik.

Menurut Ziauddin Sardar (1986) salah satu penyebab dualisme sistem pendidikan Islam, diterimanya budaya Barat secara total bersama dengan adopsi ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga umat Islam tidak bisa menyajikan wajah Islam secara kaffah. Merujuk pendapat Sardar, cukup beralasan jika sistem pendidikan Islam mengalami kesenjangan, disorientasi dan merasa inferior dalam arus deras perubahan sosial.

Oleh karena itu, seperti ditawarkan Sardar umat Islam harus meletakkan epistimologi dan teori sistem pendidikan yang bersifat mendasar. Dengan demikian umat Islam harus berani mengembangkan pengetahuan dan mengartikulasikannya, dengan pendekatan-pendekatan yang sifatnya ilmiah dengan memanfaatkan IPTEK sebagai aktivitasnya. Maka secara tidak langsung umat Islam dengan sendirinya berusaha meredam dikhotomi sistem pendidikan dengan cara memadukan sistem tradisional dan sistem modern.

Sejalan dengan pendapat Sardar tersebut, dewasa ini kita dapat menyaksikan dengan tumbuh suburnya lembaga-lembaga pendidikan Islam yang mencoba mengintegrasikan corak tradisional dengan corak modern bahkan ada yang bertaraf internasional dengan pendekatan terpadu dan berwawasan global. Termasuk di dalamnya pesantren-pesantren yang mencoba hadir menjawab tantangan jaman dan harus mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat muslim secara multidimensional. Sementara dalam suasana yang berbeda perguruan tinggi Islam, organisasi keagamaan dan civil society organization (CSO) secara bertahap ikut andil memfasilitasi dialog peradaban dengan kegiatan penelitian yang meletakan peradaban Barat (ghorbiyah) dan Timur (syarqiyah).

Menggali Information Literacy
Dalam bukunya Islam Transformatif (1995) Moeslim Abdurrahman menyatakan, sejarah menunjukkan, peranan pesantren selama ini adalah sebagai agen ortodoksi Islam yang paling penting. Ini berarti, lebih banyak memperhatikan bagaimana menjaga kesinambungan pemurnian ajaran Islam dari tarikan akulturatif berbagai unsur sistem kepercayaan lokal atau asing, yang dianggap menyimpangkan Islam dari keasliannya.

Yang menarik dari pendapatnya Moeslim Abdurrahman adalah ketika pesantren dalam konteks sosial berperan sebagai agen ortodoksi yang secara otomatis menyaring budaya lokal dan budaya asing. Dengan cara pandang ini pesantren menunjukkan perannya juga sebagai agen perubahan sosial. Dan itu bukan berarti pesantren berusaha menghindari globalisasi sebagai fakta, tapi pesantren telah ditantang oleh modernisasi bagaimana membuka jendela dunia tanpa harus melepas sarung dan menutup lembaran-lembaran kitab kuning.

Faktanya pesantren tidak bisa melepaskan diri dari arus globalisasi sebagai perubahan sosial. Justeru sebaliknya pesantren mendapat tugas berat. Meminjam pendapat Moeslim Abdurrahman, dengan realitas sosial seperti inilah hendaknya pesantren merumuskan pertanyaan untuk menjawab tantangannya. Dengan kata lain realitas sosial sebagai variabel pendidikan agama. Artinya pesantren sebagai bagian dari sistem pendidikan Islam mampu menghadirkan dan mengemas kesalehan melalui pendekatan pengajaran dan pelatihan dengan proses yang reflektif dan dialogis melalui sumber-sumber pembelajaran.

Dalam suasana modernisasi sekarang ini, sumber-sumber belajar sangat beragam. Oleh karena itu bagaimana pesantren dapat memanfaatkannya sebagai sumber informasi. Kemajuan teknologi dan informasi harus tidak harus menjadi kebutuhan penting dalam melihat transformasi pesantren. Intervensi IPTEK harus segera diwujudkan seperti program internet masuk pesantren yang diluncurkan ICIP. Sebab jika masyarakat membiarkan pesantren buta total (totally illiterate) terhadap IPTEK adalah kesalahan besar.

Sudah saatnya pesantren maju guna menghadapi ekonomi informasi dan teknologi agar tidak buta informasi. Oleh karena itu, saran Shapiro dan Hughes (dalam Buchori, 2001) tentang pentingnya information literacy bagi mahasiswa perlu dipertimbangkan. Istilah ini berarti pendidikan yang mampu membekali para mahasiswa dengan pengetahuan yang membuat mereka mampu mengatur diri mereka sendiri berdasarkan pengetahuan yang mereka miliki. Tidak menutup kemungkinan kaum santri di pesantren sangat memerlukan konsep information literacy yang dapat membangkitkan etos kerja di pesantren dan memacu semangat kewirausahaan. Wallohu ‘alam.

Posting Komentar

0 Komentar