Judul : Soekarno dan Muhammadiyah
Editor : Faozan Amar
Penerbit : Al-Wasath Publishing House, Jakarta
Tebal : XX + 90 halaman
Terbit : Juni, 2009
Editor : Faozan Amar
Penerbit : Al-Wasath Publishing House, Jakarta
Tebal : XX + 90 halaman
Terbit : Juni, 2009
Salah satu pemimpin dan pemikir
kenegaraan terbesar di Asia di antaranya adalah Soekarno. Dengan gegap gempita
menentang penjajahan dan penindasan manusia. Demikian sikap kepemimpinan
Soekarno ketika memimpin Bangsa Indonesia sebagai Presiden RI pertama. Soekarno
tidak hanya dikenal sebagai negarawan. Sebutan, orator, ideolog, intelektual,
politisi juga disematkan kepada jati dirinya.
Inilah tokoh fenomenal yang dimiliki
bangsa Indonesia. Di samping itu, gagasan Nasakom yang diproklamasikannya
menuai kontroversi di jamannya. Di sisi lain, Soekarno dipuji, dihormati bahkan
dicaci orang yang tidak setuju dengan gagasannya. Soekarno tetap Soekarno bukan
yang lain. Ada sisi lain yang perlu diketahui masyarakat Indonesia yaitu
pemikirannya tentang Islam dan Muhammadiyah.
Sudah banyak karya yang ditulis
tentang Soekarno. Namun, tulisan tentang Soekarno dan Muhammadiyah yang diulas
buku ini dari berbagai sumber layak untuk disimak, dibaca dan didiskusikan.
Buku kecil setebal 90 halaman ini memberikan informasi kepada pembaca yaitu
bagaimana kiprah Soekarno dalam tubuh organsasi Islam yang bernama
Muhammadiyah.
Dalam buku ini dipaparkan bahwa
refleksi pemikiran sosial-keagamaan Soekarno tumbuh dari pengembaraan
spiritualnya baik dalam pengasingan, penjara, dialog dan hasil korespondensinya
dengan sejumlah tokoh Islam sekaliber KH. Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah,
H.O.S. Tjokroaminoto dari Serikat Islam (SI), M. Natsir dari Masyumi, A. Hassan
dari Persatuan Islam (Persis), KH. Mas Mansur dan tokoh lainnya. Dari sinilah
butir-butir pemikiran Islamnya muncul secara rasional, transformatif, progresif
dan elastis.
Memahami Islam
Islam Sontoloyo adalah istilah
kontroversial yang pernah dilontarkan oleh Soekarno. Menurutnya, dalam buku
tersebut dijelaskan: “Secara harfiah makna sontoloyo (jawa) bisa
bermakna sebagai kekonyolan, ketidakbecusan, ataupun kebodohan. Penggunaan kata
sontoloyo dalam tulisannya “Islam Sontoloyo” oleh
Soekarno lebih untuk merujuk kepada muslim (kelompok) yang memandekkan
perkembangan pemikiran Islam melalui penafsiran tunggal untuk kepentingan diri
atau kelompoknya semata”(h. 18-19).
Melalui gagasan Islam Sontoloyo,
Soekarno sesungguhnya bukan ingin mengecilkan makna Islam itu sendiri. Di balik
itu, Soekarno pada dasarnya ingin mengajak umat Islam untuk memahami Islam dari
kacamata lain sesuai dengan tuntutan jaman. Atau dengan bahasa yang lain
seperti dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi (1963) Soekarno berharap
agar kaum muslim dan muslimat dapat memudakan pengertian Islam agar lebih
bijaksana. Demikian ungkapannya meminjam istilah pemikir Islam terkemuka Sayid
Amir Ali.
Oleh sebab itu, dilengkapi dengan
kepandaian bahasa dan kepiawaiannya memahami Islam dengan semangat pembaruan,
Soekarno dengan lantang mengkritisi paham keagamaan yang fatalistik. Secara
teologis, dalam persoalan fikih misalnya, Soekarno melihat fikih bukanlah
sekadar syarat dan rukun dalam beribadah semata melainkan dalam konteksnya
dengan peradaban Islam fikih memiliki dimensi spiritual dan dimensi duniawi.
Maka pemahamannya harus bersandarkan pada kedua dimensi tersebut. Ini haruslah
dilakukan secara proporsional sesuai dengan watak asli dari fikih itu sendiri.
Contoh lainnya zakat, seperti
diuraikan dalam buku ini bahwa sesungguhnya zakat dalam Islam adalah semangat
dan bentuk pembebasan manusia atas sebuah keadaan yang penuh kekurangan dan
kemiskinan struktural dengan didasarkan pada solidaritas dan kolektivitas umat.
Bukan hanya sebuah ritual formal belaka atas kewajiban muzakki untuk
mengeluarkan zakat pada nisab tertentu, demikian menurut Soekarno.
Sisi Kemuhammadiyahan
Berpijak dari wawasan Soekarno
tentang Islam, buku mungil ini juga menguraikan sisi kehidupan spiritual
Soekarno yang jatuh hati pada Muhammadiyah yang berilian dengan ide pembaruan.
Ketertarikannya dengan Muhammadiyah sejalan dengan ikhtiar Soekarno untuk
membuka tabir kemajuan peradaban di balik kata Islam dari tokoh-tokoh
pencerahan Islam seperti Muhammad Abduh, Jamaluddin al-Afghani, sampai
proklamator kebangkitan Islam Ali Pasha, Arabi Pasha, Ahmad Bey Agayeff, dan
Mohammad Ali, yang menghiasi wawasan keislaman dan kemuhammadiyahannya.
Menariknya, ketika Soekarno
dipindahkan oleh Belanda dari Flores ke Bengkulen, maka Soekarno resmi masuk
menjadi anggota Muhammadiyah pada tahun 1938. Bersama Saudara Hasan Din di
Bengkulen Soekarno berpartisipasi aktif dalam kegiatan dakwah Muhammadiyah.
Yang kemudian menjadi mertua beliau karena ayah dari Fatmawati, seorang
perempuan yang dinikahi Soekarno.
Dalam bagian ketiga buku ini,
dikisahkan bahwa Presiden Soekarno hadir dalam penutupan Muktamar Muhammadiyah
Setengah Abad pada 25 November 1962 di Jakarta. Dalam penutupan Muktamar pada
waktu itu, Soekarno mengucapkan: “Sekali Muhammadiyah, tetap Muhammadiyah!”
Dan yang membuat suasana menakjubkan adalah saat Presiden Soekarno mengatakan:
“Sejak saya menjadi Presiden Repulik Indonesia, saya belum pernah ditagih
kontribusi. Jadi saya minta agar supaya sejak sekarang ditagihlah kontribusi
saya ini”.
Secara garis besar, dalam buku ini
dapat dilihat bagaimana seorang Bung Karno meletakan Islam sebagai alat
melintasi zaman. Bung Karno tidak hanya mengupas kulit Islam yang paling luar,
kepiawaian dalam menafsirkan makna Islam, serta keberanian mendekonstruksi kata
Islam sesuai konteks zaman menentukan gagasan ke-Islamannya yang progresif. Selamat
membaca.
0 Komentar
Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?