Pendidikan Perempuan dan Ekofeminisme

Oleh: Nazhori Author



Asal mula adalah kata, ungkap Subagio Sastrowardoyo dalam sajaknya. Memang kata adalah sarana untuk memahami. Dalam pengertian yang lain kata berarti pemahaman atau konstruksi sosial yang berpengaruh terhadap keberadaan seseorang. Sampai hari ini, asal mula adalah kata, yang dikenalkan penyair tersebut mengundang perdebatan terkait dengan peran sosial-politik kaum perempuan.

Diakui konstruksi sosial dalam masyarakat menempatkan posisi perempuan lebih rendah dari laki-laki baik secara kultural maupun agama. Hal ini memaksa kekuatan perempuan dalam membutuhkan “kata” yang tidak hanya melindungi tapi memberdayakan. Upaya memberdayakan perempuan saat ini sudah mulai terlihat dengan terlibat di bidang pendidikan, sosial dan politik.

Pada dasarnya pendidikan merupakan sarana untuk memberdayakan dan menumbuhkan kesadaran perempuan dalam proses membangun relasi sosialnya. Misalnya persoalan yang sedang aktual adalah wacana keterwakilan perempuan dalam lembaga politik. Sejauh mana perempuan dapat mengakrabi dunia politik di tengah budaya patriarki yang sangat kental.

Hal ini bukan berarti kaum perempuan ingin setara dengan kepemimpinan laki-laki tapi bagaimana perempuan mendapat kesempatan yang sama dengan laki-laki di luar tugas-tugas domestiknya. Di samping itu, sebisa mungkin berusaha untuk merubah paradigma. Dari paradigma lama ke paradigma baru yang menghormati martabat perempuan. Salah satunya adalah meminimalisir kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan.

Oleh karena itu, di sini komitmen perempuan perlu ditelaah kembali. Selebihnya bagaimana mempromosikan komitmen tersebut untuk masa depan perempuan dan demokrasi. Demokrasi yang memihak adalah demokrasi yang tidak menuntun perempuan untuk aktif berjuang di sistem ideologi dan politik, tapi juga sistem lain seperti hukum, ekonomi, sosial, pendidikan dan budaya.

Melibatkan Perempuan
Sejak kuota 30 persen bagi perempuan diproklamasikan pada pemilu legislatif 2004, bersamaan dengan itu juga kesadaran pendidikan politik semakin tumbuh di kalangan perempuan. Meskipun dalam struktur partai politik masih minim tapi akhir-akhir ini sudah ada kecenderungan naik di setiap partai politik. Sehingga ada panorama yang baru dengan tampilnya perempuan di panggung politik.

Atas dasar itu, keterbelakangan dan ketertinggalan perempuan bangkit untuk menyelamatkan perempuan dari kemiskinan. Oleh karena itu, pendidikan bagi perempuan sangat mendesak diberikan untuk merubah cara pandang lama yang sangat menyudutkan perempuan. Seperti perempuan harus di dapur, perempuan tidak pantas menjadi pemimpin dan citra negatif lainnya yang merendahkan perempuan.

Demikian juga interaksi perempuan dan agama yang sering ditafsirkan dengan menggunakan ideologi patriarki. Terutama respon umat Islam terhadap perempuan di masyarakat di satu sisi mengatakan sudah sesuai dengan ajaran Islam di sisi lain masih diskriminatif. Padahal menurut Asma Barlas (2005), pembacaan Al-Qur’an di kalangan muslim yang cenderung patriarki dan misoginis pada dasarnya bukan bersumber dari Al-Qur’an melainkan dari para penafsirnya.

Melibatkan perempuan untuk menghasilkan keputusan di sektor publik mustahil terwujud jika menafikan pendidikan perempuan menyangkut hak, status dan kedudukannya. Dalam perjalanannya usaha itu mendapat kendala karena beragamnya cara pandang tentang gender dan feminisme dengan varian gerakannya pada praktiknya belum dapat membawa perempuan ke situasi yang lebih baik.

Melihat kenyataan itu, akhirnya persoalan mereka beralih sekitar bagaimana perempuan dengan kualitas femininnya dapat merubah dunia melalui perannya sebagai ibu, pengasuh dan pemelihara di dalam keluarga dan dilingkungan sekitarnya. Para feminis ini menamakan dirinya ekofeminis (Ratna Megawangi, 1996 dalam Membincang Feminisme).

Berbeda dengan teori feminis modern yang melihat individu lepas dari pengaruh lingkungannya dan berhak menentukan jalan hidupnya. Menurut Ratna, ekofeminisme adalah teori yang melihat individu secara lebih komprehensif, yaitu sebagai makhluk yang terikat dan berinteraksi dengan lingkungannya. Menariknya bagi Ratna persinggungannya dengan agama lebih kepada aspek spiritual, internal dan substantif.

Ekofeminisme berpandangan bahwa sebelum masuk ke dalam lingkungan sosial yang lebih luas, melibatkan perempuan dalam lingkungan keluarga adalah salah satu bagian dari agendanya. Dalam pembaruan demokrasi sosial keluarga menjadi topik inti dalam politik modern. Mengingat dalam keluarga kesejahteraan, perlindungan dan pendidikan anak merupakan tujuan terpenting. Inilah pentingnya melibatkan perempuan di mana pendidikan dalam keluarga yang melihat perempuan dan pendidikan sebagai kerja pedagogis yang antisipatoris.

Komitmen Perempuan
Dalam kacamata Islam perempuan memiliki komitemen untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik di dalam keluarga dan masyarakat. Di jaman modern ini, perempuan dituntut untuk meneguhkan komitmennya di tengah bercampur baurnya antara jenis kelamin dan jurang sosial. Baik laki-laki dan perempuan adalah agen moral yang memiliki komitmen untuk dapat hidup bersama dengan harmonis.

Perbedaan laki-laki dan perempuan dalam bentuk fisik dan biologisnya merupakan esensi kemanusiaan. Keduanya tetap dihadapan Tuhan akan dinilai dari kualitas keimanannya. Diskriminasi, citra negatif dan kekerasan adalah bagian dari upaya perempuan dan laki-laki mencari jatidiri kemanusiaannya. Pada kenyatannya hal itu semua terjadi dalam kehidupan laki-laki dan perempuan di dunia.

Feminisme sebagai alat analisis sejatinya ingin melihat kembali hak, status dan kedudukan perempuan dalam realitas sosialnya. Dengan melihat sejarah dan kondisi kekinian untuk meraih keadilan dan kesederajatan. Maka dari paparan di atas sesungguhnya komitmen perempuan adalah mendapatkan perlakuan yang adil dan sederajat tanpa diskriminasi dan kekerasan.

Posting Komentar

0 Komentar