Pendidikan dan Jaminan Mengembangkan Ilmu
Dunia pendidikan sedang mengantisipasi dampak global ekonomi yang mengantarkan Indonesia dalam arena persaingan ketat dengan negara-negara lain. Sementara pendidikan kita masih mencari-cari fondasi pendidikan yang kokoh dan strategis menuju globalisasi. Berbeda dengan negeri “Jiran” Malaysia dan Singapore yang telah mempersiapkan generasi mudanya dengan program pendidikan yang berkualitas untuk mempososikan diri di kancah global.
Alkisah, dua negara tetangga itu dahulu sempat belajar ke Indonesia karena pendidikan Indonesia dinilai berhasil mendulang pembangunan. Sekarang, sebaliknya mereka lebih maju dari Indonesia dengan sistem pendidikan yang berani mengambil terobosan baru yang didukung oleh jaminan pemerintah dalam mengembangkan ilmu pengetahuan di negaranya masing-masing.
Dalam dunia sepak bola misalnya, Indonesia jauh tertinggal ketika berhadapan dengan klub nasional Malaysia dan Singapore. Bahkan belakangan ini selalu kalah skor di arena lapangan hijau. Jika disimak memang penduduk kedua negara itu jauh lebih sedikit dengan penduduk Indonesia. Tapi mengapa Indonesia yang jumlah penduduknya lebih banyak sulit mendapatkan sebelas orang pemain sepak bola yang unggul secara kualitas.
Atau ini merupakan persoalan bagi Indonesia yang secara tidak langsung memiliki pengaruh antara pendidikan dan kualitas hidup masyarakat untuk berprestasi. Sejatinya, publik dapat menilai dari sudut pandangnya masing-masing. Apakah sejauh ini kualitas hidup masyarakat telah memenuhi syarat bahwa negara dengan segala program kerja dan kinerjanya menjamin kualitas hidup masyarakat. Sementara, masyarakat belum merasakan dampak positif yang begitu berarti.
Obyektifikasi PendidikanTahun ini adalah awal pemerintahan baru dengan program kerjanya. Suatu kesempatan untuk menilai kembali sistem pendidikan yang sudah berjalan. Sebagai masyarakat awam, kita tahu betul arti penting pendidikan untuk masa depan generasi muda. Oleh karena itu, diperlukan rumusan pendidikan nasional yang betul-betul relevan dengan kondisi masyarakat Indonesia. Untuk itu, pemerintah berusaha semaksimal mungkin merumuskannya melalui Departemen Pendidikan Nasional dengan usulan-usulan kebijakan strategis guna meningkatkan kualitas pendidikan.
Mengawali masa kerjanya, Mendiknas, Muhammad Nuh mengajukan empat pilar rencana pengembangan pendidikan. Pertama, sekolah harus ada, oleh karena itu, kelayakan sekolah harus diperhatikan. Kedua, menetapkan biaya pendidikan yang terjangkau (tidak gratis) meskipun masyarakat akan dikenakan biaya pendidikan seminimal mungkin yang telah ditetapkan. Ketiga, peningkatan kualitas pendidikan yang didukung oleh pilar terakhir yaitu adanya jaminan bagi peserta didik dalam mengembangkan ilmunya dan menciptakan lapangan pekerjaan setelah lulus dari masa belajarnya.
Berdasarkan empat pilar rencana pengembangan pendidikan nasional di atas, tentu saja secara obyeketif diknas telah memetakan persoalan pendidikan. Di atas kertas empat pilar pendidikan itu setidaknya dapat diterjemahkan oleh dinas pendidikan sampai ke jajarannya di sekolah. Bukan dengan penilaian subyektif yang selama ini menimbulkan tumpang tindih seperti yang termanifestasi melalui otonomi pendidikan. Padahal dilapangan sampai saat ini kenyataannya berbeda.
Meminjam obyektifikasi Islam Kuntowijoyo dalam konteks pendidikan sesungguhnya obyektifikasi pendidikan disuguhkan untuk mencapai cita-cita obyektif yaitu seperti empat pilar rencana pengembangan pendidikan nasional yang sedang berlangsung sekarang ini. Begitu juga dengan ujian nasional (UN). Bagaimana UN menjadi penilaian yang obyektif sebagai sarana evaluasi pendidikan bagi peserta didik.
Berangkat dari orientasi ini, pada intinya obyektifikasi pendidikan bertujuan untuk mewujudkan tujuan dan cita-cita pendidikan nasional sehingga terwujud masyarakat belajar yang sejahtera. Salah satunya, bagaimana peserta didik dapat mengembangkan ilmu pengetahuannya. Hal ini sejalan dengan proses pendidikan yang berusaha mengkonstruk perumusan kurikulum yang mempertimbangkan perubahan sosial, kultural dan kondisi politik yang sedang berlangsung (Jerome S. Bruner, The Process of Education: 1963).
Menurut Bruner dengan mempertimbangkan hal itu, sekolah semestinya menjadi kontributor kecerdasan sosial dan emosional kepada peserta didik yang nantinya berguna dalam kehidupannya. Dengan demikian, antara gagasan Bruner dan empat pilar rencana pemgembangan pendidikan dapat menghasilkan sintesa pendidikan ke depannya dalam upaya mengembangkan ilmu pengetahuan yang tentu saja melibatkan kaum intelektual dan ilmuwan tanpa harus melihat disiplin ilmu yang berbeda.
Dengan semangat inilah obyektifisasi pendidikan dapat digulirkan yang pada akhirnya masyarakat dan peserta didik dapat jaminan dari pemerintah untuk mengembangkan ilmu pengetahuannya tanpa harus takut hasil penelitian dan observasinya dilarang hanya karena penilaian politis dan subyektif seperti yang baru-baru ini terjadi terhadap pelarangan buku yang dinilai mengganggu ketertiban umum.
Namun, lebih dari itu kita berharap ilmu pendidikan dapat melakukan transformasi sosial yang mampu membangkitkan kesadaran masyarakat tentang arti penting dan strategis pendidikan bagi anak-anak dan generasi muda. Selanjutnya, pendidikan dengan fungsinya tidak melulu menjelaskan realitas sosial yang sedang terjadi tapi bagaimana ia menjadi gagasan sosial yang menggerakan perubahan sosial itu sendiri.
Menyingkirkan Imaji
Dalam lapangan pendidikan kritis, untuk mewujudkan transformasi sosial, pendidikan tidak memerlukan pencitraan yang mempesona. Yang diperlukan adalah bagaimana pendidikan sebagai gagasan sosial mampu menempatkan masyarakat untuk berinteraksi sosial bersama dengan dunianya agar mampu mengubah ketimpangan sosial. Sebab, bila pendidikan memainkan perannya seperti ini secara tidak langsung masyarakat akan terpesona tanpa perlu menciptakan pencitraan yang pada dasarnya hanya berjalan di tempat (involusi).
Mengenai pembaruan pendidikan, pemerintah diharapkan jangan sekadar menonjolkan imaji yang baik dalam menyelenggarakan sistem pendidikan nasional melalui pencitraan di media massa. Kenyataannya pendidikan yang terjangkau pun belum berhasil terwujud. Seyogianya para pemangku program memprioritaskan infrastruktur pendidikan yang pokok dan tidak membebankan peserta didik seperti masih adanya pungutan gedung sekolah bagi siswa baru.
Di samping itu, alokasi anggaran pendidikan agar jangan mendukung pelestarian birokrasi semu, tapi juga secara nyata harus berjalan keberlangsungannya bagi seluruh insan pendidikan, seperti sekolah masyarakat, kepala sekolah maupun guru agar dapat mengembangkan metode pembelajaran yang humanis dan menyenangkan. Tentunya diikuti dengan akuntabilitas, transparansi dan bebas penyalahgunaan serta harmonisasi antara kebijakan pusat dan daerah.
Itu merupakan pekerjaan rumah yang sampai saat ini memang masih belum selesai. Masyarakat bersama-sama pemerintah harus menjawab permasalahan itu. Bukan diselesaikan dengan beberapa kali rancangan undang-undang tentang turunan sistem pendidikan nasional. Seribu kalipun ganti menteri tanpa komitmen yang tulus proses pendidikan tidak akan pernah menemukan standar kualitas yang layak. Masyararat kembali terperosok dalam lingkaran kemiskinan dan kebodohan karena pendidikan sebatas dijadikan pencitraan politik tapi menelantarkan upaya mengembangkan ilmu pengetahuan. Wallohu ‘alam
0 Komentar
Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?