Setelah heboh deklarasi Jokowi (jokowi effect) menjadi calon presiden dari Partai PDI-P,
orang ramai membicarakan di surat kabar atau di jejaring media sosial yang
berselisih paham atas masalah suksesi kepemimpinan Indonesia ke depan. Isu
janji dan meninggalkan tugas di manfaatkan untuk menciptakan situasi politik bahwa
setiap orang boleh melontarkan kritik sengit dan membangun.
Sehingga situasi yang mulai memanas ini terus berlanjut pasca pemilihan
umum anggota legislatif. Demokrasi sebagai wadah berekspresi semakin dikuatkan
dayanya bagi setiap orang yang ingin memanifestasikan energi akal, nafsu dan
amarahnya. Demikianlah adanya, politik hari ini telah menampilkan suatu
pengetahuan yang majemuk bagi setiap warga negara yang berharap bangsa ini
pulih dari penyakit kronisnya di tangan seorang pemimpin.
Politik di alam nyata bagi para caleg adalah gagasan segar yang mampu
melahirkan suatu jenis pengetahuan langsung melalui kemampuan akal dan
inderawi. Dengan pengetahuan politiknya citra diri dibangun oleh para caleg
melalui iklan-iklan memikat yang berada di setiap sudut atau tempat yang mudah
dipandang setiap orang.
Tidak ada pesan pesimis,
semuanya menggelorakan spirit perubahan. Dari beberapa program unggulannya
diformulasikan bahwa inilah pemimpin masa depan. Sementara, di alam nyata bagi
para awam, mereka tidak memiliki banyak hubungan apalagi interaksi dengan para
pemilih. Bahkan tidak mengenal sosok wajah caleg yang ditempel di sekitar
lingkungan rumah mereka. Jika pun ada hanyalah tim kecil yang bergerak dari
rumah ke rumah dengan pesan politiknya.
Lantas, jika wajah politik
itu sendiri adalah pemimpin yang dipilih sebagai wakil rakyat untuk menyuarakan
kepentingan rakyat, apakah keberadaanya statis atau dinamis? Seandainya di alam
nyata, sejatinya pemimpin itu bersifat dinamis dan dapat dilihat daya inderawi.
Kenyataannya, para calon pemimpin yang menebar pesona di mana-mana statis
dengan mempertahankan identitasnya seiring berjalannya waktu hingga saat
pencoblosan.
Tampuk Kewenangan
Pemilu pada hakikatnya
adalah mencari tempat dimana sesungguhnya kewenangan itu berada. Di Indonesia
kewenangan menjelma dalam suatu kata kekuasaan. Antara kewenangan dan kekuasaan
merupakan dua kata berbeda. Kekuasaan dalam politik masa kini senantiasa hadir
dalam suatu rekonstruksi politik merebut kursi kepemimpinan dan suara rakyat.
Segala cara ditempuh atas nama ketidakpuasan (quwwat asy-syahwat) dengan perilaku politik menyimpang.
Kekuatan materi
terkonsentrasi untuk memperkuat legitimasi politik yang melupakan krisis
kepemimpinan manusia modern. Korupsi merambah ke mana-mana seperti banyak
terjadi belakangan ini menimpa aktor-aktor politik dan pejabat publik yang
menanggalkan wibawa hukum. Kekuasaan terkait amat erat dengan atribusi
seseorang yang sukses di jalur politik yang gila kehormatan serta ingin
dipandang berhasil.
Gelanggang kekuasaan
adalah satu dasar episteme yang fundamental bagaimana politik dijalankan.
Wacana dan kebenaran dibentuk oleh kuasa melalui suatu bentuk berpikir yang
tidak disadari sebelumnya. Segala yang ada dalam objek politik disiapkan ke
dalam suatu persepsi yang dikonsepsikan lewat pendekatan teoritis-kuantitatif.
Lalu kekuasaan dibentuk dengan definisi sebagai suatu wacana politik yang
diakui dan benar.
Sulit membedakan mana partai Islam dan non-Islam. Secara tajam
pembicaraan kekuasaan lebih bergema ketimbang kewenangan. Kewenangan menyangkut
ide manusia sebagai pemimpin. Ia merupakan hikmah yang mewujud dalam kearifan
praktis. Sayang, hikmah ini telah ditinggalkan di pangung politik. Padahal
kewenangan dirumuskan untuk berbagi pendapat, sikap dan perbuatan bagaimana
etika sosial berperan mencari jalan keluar bagi seorang pemimpin saat prahara
datang.
Hikmah inilah yang saat ini sulit ditemukan dalam arena politik modern.
Suatu ide politik yang berada dibalik alam nyata. Kendati secara konseptual ada
dalam alam ide para pemimpin kita semua. Karena masih berbentuk konsepsi ia
tersingkirkan oleh ide kekuasaan yang lebih populis. Bertalian pada kewenangan
yang pada dasarnya terkait dengan manusia sebagai pemimpin dimuka bumi.
Manusialah yang memiliki wewanang untuk membawa hidup dan matinya suatu entitas
manusia.
Suatu ciri yang menonjol dari manusia adalah fitrah sucinya yang
mewariskan jiwa kepemimpinan. Dengan jiwa manusia sebagai pemimpin berada dalam
ranah ilmu dan amal. Begitupun dalam politik yang juga berada dalam ranah ilmu
dan amal. Politik dapat dijiwai pada akal budi (intellectual) dan dapat dijiwai dengan perangkat indra (sensible soul). Teori hikmah yang
diturunkan al-Kindi tersebut melalui sifat jiwa sesungguhnya berlaku bagi
segenap ilmu pengetahuan praktis yang mencakup individu dan kelompok masyarakat.
Karena itu, tujuan terakhir hikmah ini bagi pemimpin dan kewenangannya
adalah moralitas luhur. Ilmu dan amal politik seperti apa yang nanti akan
diwariskan para pemimpin untuk generasi selanjutnya. Bukankah ini merupakan
bagian dari agenda politik masa depan yang persiapannya tentu dibalik alam
nyata bagi insan politik yang memburu kekuasaan di alam nyata. Wallohu ‘alam
0 Komentar
Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?