Setelah
mendengar bunyi dering ponsel, tanganku berusaha meraih ponsel yang tidak
biasanya diletakkan di atas meja, khawatir anakku dapat menjangkaunya. Barangkali
bunyi itu hanya pesan biasa kawan, sekedar ucapkan selamat pagi atau pesan lain
dari aplikasi mobile chatting yang
tak kunjung berhenti.
Sorot
mataku membuka satu per satu aplikasi yang tersedia. Namun, saat masuk ke media
sosial berlogo kicau burung, angka 1 muncul di bar mention. Antara membuka dan tidak, secangkir teh hangat menggoda
dengan asap tipis yang terus mengepul ke atas.
Menu
berita pagi di lini masa Twitter masih
seputar politik yang terus bergerak. Bosan bercampur gundah sebelum membaca
detailnya. Akhirnya, aku kembali membuka bar mention yang sempat ku urungkan tadi. Rupanya, ada kawan sosial
media yang baru saja kembali studi dari negeri Kangguru beberapa bulan lalu
mengabarkan berita dari surat kabar nasional tentang perempuan dan filantropi.
Dari
judul yang ada, seperti membius pikiranku untuk membaca lebih jauh. Setidaknya
ada relasi kuat, antara berita dan aktivitas yang ku jalani saat ini bermuara
pada filantropi. Kali ini bukan soal charity
semata, melainkan isu perempuan yang lepas dari pengamatan masyarakat pada umumnya.
Ihwal
berita tersebut, judulnya begitu menohok “Ormas Islam dan LAZ, Kurang
Perhatikan Pemberdayaan Perempuan” (Republika, 16 April 2015). Dari sudut
pandang tertentu mungkin saja bisa terjadi. Kendati dalam berita itu tidak ada
data yang dapat dirujuk, berita ini di sisi lain memiliki semangat pesan kuat
yang ingin disampaikan kepada khalayak.
Adalah
Amelia Fauziah sebagai sumber berita itu. Seorang Doktor dan Peneliti Filantropi
di UIN Jakarta. Dia intens mengamati perkembangan dunia filantropi di
Indonesia. Bukan kebetulan jika Amelia melempar isu perempuan. Kaca mata
berbeda telah disuguhkannya bahwa ada sesuatu yang penting dibicarakan soal
perempuan.
Menurut
Amelia, organisasi amal zakat belum terlalu maksimal dan serius memberdayakan
ekonomi perempuan. Ihwal pemberdayaan ini terpaksa kalah dengan program jangka
pendek mereka. “Sebab, ada anggapan sektor tersebut kurang prioritasnya
dibanding kegiatan lain yang dianggap memiliki orientasi ibadah,” tuturnya.
Padahal, pemberdayaan
ekonomi terhadap perempuan sangat penting. Penyebabnya, karena pemberdayaan dan
pendidikan menjadi wilayah darurat. Maksudnya, perempuan secara tidak langsung
selalu berkenaan dengan memperbaiki spiritualitas anak-anak dan keluarga,
tambahnya. “Karena selama ini, baik anak-anak dan keluarga merupakan wilayah
domestik yang berkaitan erat dengan perempuan,” ujar Amelia.
Amelia juga mengaku sudah ada beberapa ormas Islam besar yang sudah cukup baik memberdayakan perempuan. Menurutnya, sudah ada beberapa ormas yang cukup maju dalam memberdayakan perempuan. Ia menegaskan, program-program yang dilakukan sejumlah ormas itu sudah sepantasnya mendapat dana zakat. “Sehingga mereka bisa lebih memaksimalkan dalam pemberdayaan tersebut,” tambahnya.
Paparan Amelia penulis kutip secara utuh di atas. Hal ini sebagai pesan inti yang sampai detik ini mungkin ada yang belum mengetahui topik pembicaraan yang dimaksud. Ada banyak hal yang melatarbelakangi, tentu tidak dapat dikupas satu persatu. Tapi, isu-isu terkini (kekerasan, kemiskinan dan kesehatan) terkait perempuan berdasarkan hasil penelitian patut diangkat sebagai pelengkap.
Data
Komnas Perempuan pada 2014, misalnya, jumlah kekerasan terhadap perempuan
sebanyak 293.220 kasus. Jumlah ini meningkat dibandingkan tahun 2013 sebanyak
279.688 kasus. Faktanya, dari 2010, angka ini selalu menunjukkan tren yang
terus melambung. Kasus kekerasan ini masih didominasi di lingkungan rumah
tangga, selebihnya terjadi dalam komunitas, dan fasilitas umum yang tidak aman
bagi perempuan. Tidak terkecuali di tempat kerja dan buruh migran perempuan.
Dalam
aspek kesehatan, aksesnya pun sulit dijangkau perempuan-perempuan miskin.
Menurut Women Research Institute, kajian
tentang pelayanan kesehatan merupakan salah satu masalah yang diidentifikasi
dan sering dihadapi oleh perempuan miskin. Mereka tak memiliki akses dalam
memanfaatkan fasilitas kesehatan. Masalah tersebut terkait erat dengan
fasilitas dan pelayanan kesehatan itu sendiri, keluarga, dan masalah sosial
budaya lainnya. Kebijakan publik mengenai pemenuhan hak-hak dasar akan memberi
pengaruh pada peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin, di mana perempuan kelompok
masyarakat yang paling rentan.
Perempuan,
Komunitas dan Kelas Menengah
Sesungguhnya
apa hubungannya antara perempuan, komunitas dan kelas menengah. Mengapa perlu
diketengahkan? Hemat penulis, sepanjang yang penulis ketahui beririsan dengan
apa yang telah diungkapkan Amelia Fauziah di awal tadi. Yaitu posisi perempuan
dan titik koordinat sosialnya selama ini memang berada dalam deteksi radar
dunia filantropi.
Sekali
lagi sudut pandang perempuan itu sendiri yang menjadi pisau bedah mengupas
keberadaan perempuan. Di luar wacana maskulinitas, laki-laki sudah mulai
berbicara hal ini dari sudut pandang perempuan, ingat bukan dari sudut pandang laki-laki.
Artinya, ada titik temu antara laki-laki dan perempuan ketika berbicara soal
berbagi menanggung pemberdayaan perempuan.
Tanpa
komunitas dan kelas menengah, siapa yang akan peduli dengan nasib perempuan
saat negara absen dari prahara yang menimpa perempuan termasuk anak-anak dan
lansia. Untuk itu, ulasan Yuswohady menarik disimak dalam bukunya Marketing To The Middle Class Moslem
(2014). Sebagai pakar dan praktisi marketing, dia ingin mengajak pembaca
melalui bukunya untuk Kenali Perubahannya, Pahami Perilakunya, Petakan
Strateginya.
Dengan
menggunakan konsep Konsumen Kelas Menengah
Moslem, dia mengatakan konsumen yang terus tumbuh besar itu baik di luar
dan di dalam komunitas di Indonesia jumlahnya mencapai 87 persen. Jika jumlah
itu terkoordinasi dengan baik, persoalan perempuan yang menjadi salah satu isu
kekinian dapat diminimalisir. Yaitu dengan kekuatan filantropi, berbagi dan peduli
terhadap sesama dengan aksi bersama.
Selanjutnya,
Yuswohady memetakan kelas menengah muslim itu dengan empat tipe, antara lain:
apatis, rasionalis, kompromis, dan universalis. Sebetulnya, tipe ini pernah
dibahas oleh tokoh pedagogi Brazil, Paulo Freire dengan tiga tipe kesadarannya:
magis, naïf dan kritis. Di sini Yuswohady dengan bernas dan jeli meramunya
menjadi empat tipe kelas menegah muslim dengan pendekatan yang nyaris berbeda
Pada
tipe pertama, sosok konsumen muslim dipahami sebagai orang yang memiliki
pengetahuan, wawasan, dan kondisi ekonominya masih rendah. Tipe konsumen
pertama ini, memiliki kepatuhan terhadap nilai-nilai Islam (agama) yang juga
rendah.
Untuk
tipe kedua, profil konsumen muslim ini adalah orang yang memiliki pengetahuan, open-minded,
dan wawasan luas, namun tingkat kepatuhan pada nilai-nilai Islam (agama) juga
masih rendah.
Sementara
profil konsumen tipe ketiga, diidentifikasi sebagai konsumen muslim yang pada
umumnya taat beribadah dengan kualitas amat sangat, mereka mewujudkan nilai-nilai
Islam (agama) secara normatif. Di sisi lain dibekali dengan wawasan terbatas, konservatif
dan tradisional. Profil ini, cenderung kurang membuka diri terhadap nilai-nilai
di luar Islam (agama) terutama nilai-nilai yang datang dari Barat.
Terakhir,
sosok konsumen muslim yang tidak sebatas memiliki wawasan luas dan pola pikir yang
universal. Mereka juga melek teknologi (digital
online), namun taat dalam menjalankan perintah agama. Di samping itu, mereka
lebih toleran, open-minded, dan inklusif dari sikap, pola pikir dan
pergaulan.
Gambaran
di atas, sesungguhnya hanyalah pemetaan yang didasari pada suatu identifikasi
berbasis riset. Yang pada gilirannya dapat dijadikan cara pandang untuk
memotret perempuan dan filantropi. Sebagai referensi filantropi strategis,
ulasan ini hanya ingin sekedar berbagi info bahwa perempuan, komunitas dan kelas
menengah adalah wacana yang menarik dikaji.
Apalagi
komunitas-komunitas di Indonesia, digawangi oleh kaum muda, perempuan yang memiliki
kesamaan ide, misi dan visi untuk aksi edukasi dan pemberdayaan. Mereka tidak
sebatas hobi, mereka juga kaum profesional yang ingin berbagi, hanya saja
keterbatasan komunikasi belum berjalan optimal.
Secara
universal, yang menjadi tipe terakhir, sejatinya dapat menjadi suatu model
bahwa aksi kepedulian dan berbagi (filantropi) terhadap suatu apapun termasuk
perempuan setidaknya berangkat dari spirit keindonesiaan. Hal ini agar semua
pihak yang berkepentingan dapat merasakan nikmatnya kebersamaan tanpa
mengganggu latarbelakang sosial masing-masing. Di sana sudah ada CSR, lembaga
filantropi (LAZ) yang siap bersinergi kapan pun dan di mana pun. Sudah saatnya
komunitas dan kelas menengah menoleh dan membuka lembaran-lembaran filantropi
yang terkait dengan perempuan atau hal lain secara inklusif. Semoga bermanfaat.
0 Komentar
Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?