Showing posts with label Hikmah. Show all posts
Showing posts with label Hikmah. Show all posts

July 9, 2021

Ruang Kenikmatan yang Hilang

 


Semua bermula dari makhluk tak kasat mata. Tidak lebih, yang ada porak poranda (collaps). Daya hancurnya semakin kuat menekan. Tidak ada lagi batas desa dan kota, sekarang semua merasakan dampaknya. Dalam hitungan detik, semua orang yang terdampak dan merasakan gejalanya membutuhkan ruang; ruang untuk ditangani, ruang untuk sehat, dan ruang-ruang lain yang tak bisa diperoleh dengan kesendirian.

Di sini, manusia betul-betul kehilangan ruang yang dimilikinya. Orang-orang kota kehilangan ruang metropolisnya, sementara orang-orang desa kehilangan ruang naturalnya dalam skala sosial-budaya yang khas. Selain ruang fisik ini, ruang abstrak pun dalam skala makro hampir saja tak ditemukan oleh negara sebagai penentu ruang kebijakan yang sesungguhnya.

Dalam serangan virus mematikan ini, ketika ruang fisik diperebutkan bahkan untuk suatu aktivitas kenikmatan, ruang abstrak kembali diuji dengan merebaknya kabar bohong bahwa virus ini hanya rekayasa belaka, sarat konspirasi. Bahkan keketatan sains pun tak mampu menjawab dan menyadarkan masyarakat untuk memberikan fakta bahwa dunia sekarang ini sedang tidak baik dan virus ini telah mengancam kehidupan manusia.

Para ahli dan tenaga kesehatan yang menjadi garda depan berusaha membuktikan kondisi ini melalui ruang maya, bahwa yang menjadi korban bukan hanya mereka yang sedang ditangani tapi paramedis juga terancam nyawanya dalam ruang tindakan. Cara manusia menata ruang memang tidak bisa dilepaskan dari spasi waktu dan pilihan yang paling prioritas.

Ruang yang Terbatas

Teringat apa yang disampaikan sosiolog kebudayaan seperti Georg Simmel bahwa dalam lalu lintas budaya yang padat dan ruwet. dimensi ruang fisik perlu didekati kembali dalam ruang pemaknaan (abstraksi) yang dapat mengalirkan informasi yang rasional. (AB. Widyanta, 2002). Informasi itu berupa data-data informasi yang menjadi pengalaman budaya manusia yang setiap gerak-geriknya dalam relasi sosial memiliki keterbatasan.

Keterbatasan itu ada dalam tindakan berbudaya yang dilakukan manusia dalam pergerakan ekonomi dan budaya konsumsi. Merujuk pendapat Simmel, relasi psikologis dan intelektual antara individu merupakan suatu relasi yang diterima secara objektif dalam memenuhi kebutuhannya yang dipengaruhi oleh persepsi dan pengalaman itu sendiri dalam kompleksitas hidupnya yang terfragmentasi. Artinya ruang dan keterbatasan itu sangat ditentukan oleh manusia itu sendiri dalam setiap fenomena kehidupan modern.

Semua orang ingin hidupnya berjalan normal. Namun tidak untuk kali ini dalam situasi pandemi. Segenap sisi kehidupan sosialnya terbatas. Oleh karena itu, keikhlasan untuk menunda kebahagiaan dan kenikmatan di luar rumah adalah keniscayaan. Harus diakui manusia tanpa ruang ibarat buah catur tanpa papan permainan. Tidak ada langkah untuk bergerak padahal pilihannya hanya hitam dan putih.

Setali tiga uang dengan kondisi pandemi, pilihannya dalam keterbatasan ini hanya untuk keselamatan atau siap untuk terinfeksi virus mematikan ini. Maka pembatasan skala mikro saat ini adalah pilihan yang tak bisa ditawar. Kebaikan puncak (summum bonum) yang harus dipilih untuk keselamatan bersama yang di dalamnya juga ada seni untuk menjadi bahagia sebagai tindakan akal budi sebagaimana nasihat bijak Epicurus.

Menunda Kenikmatan 

Pesan kenikmatan yang disampaikan Epicurus tidak semata-mata dalam bentuk kebahagiaan fisik semata; kenikmatan batin tetap perlu dijaga sebagai wujud bahwa totalitas jasmani manusia pada prinsipnya yang membutuhkan ruang dalam pandangan yang atomistik sekalipun membutuhkan ruang untuk bahagia.

Pada dasarnya mereka yang tidak percaya akan pandemi ini dapat berkaca pada Epicurus tentang prinsip kebijaksanaan yang "kasat mata". (Seni Berbahagia, 2019). Menurutnya bahwa makna tidak ada yang lahir dari yang tiada, adalah prinsip sebab akibat. Prinsip umum yang secara universal disepakati.

Mereka yang tidak percaya pandemi adalah orang yang tidak mampu menunda kenikmatan sehingga masih percaya kabar burung bahwa kekhawatiran dan rasa takut yang dialami banyak orang merupakan hasil dari konspirasi untuk menekuk agama. Bahkan mereka membungkus kabar pahit pandemi dengan balutan agama sebagai propaganda.

Bagi mereka yang tak percaya ada pandemi, menganggap situasi ini adalah rekayasa dan tipu muslihat lainnya yang disebarluaskan hanya untuk kepentingan politik tertentu. Mereka yang tak percaya pandemi lupa bahwa mereka mengingkari prinsip eksistensi dan kebahagiaan yang dipegang Epicurus tentang "yang tak terlihat bukan berarti tiada". Prinsip ini mengandung makna bahwa meski kematian tak terlihat kapan akan terjadi, namun hal itu mutlak dialami bagi setiap makhluk hidup.

Kehidupan ini, kendati sebagian ada yang tak terlihat bukan berarti mudah untuk dianggap sebagai ketiadaan. Oleh karena itu, jika mereka menganggap virus yang tak kasat mata ini sebagai sesuatu yang tiada, boleh jadi mereka yang tak percaya pandemi tak bisa menerima realitas kehidupan yang kompleks ini, karena apa yang mereka tidak ketahui saja tidak dapat diakui sebagai suatu informasi yang memadai.

Epicurus sejatinya tidak bermaksud mengajak manusia untuk melupakan kematian. Lebih dari itu, bagaimana ia mengajak kita untuk menikmati kehidupan sebagai seni hidup berbahagia dengan sederhana dan terbatas. Bukan kehidupan yang bermakna hedonis, melainkan kehidupan yang mengarahkan untuk mencapai kebahagiaan. Menata hidup dengan mensyukuri apa yang kita miliki bukan dengan sesuatu yang tidak atau belum kita miliki.

Dalam ajaran kebijaksanaannya, Epicurus juga mengajak kita untuk tidak berlebih-lebihan. Menjauhkan sikap dan pikiran yang berlebihan dari rasa sedih, khawatir, takut dan tidak bahagia. Manusia hidup untuk berpengetahuan yang tujuannya mencapai kedamaian pikiran dan menyingkirkan rasa takut dan kegelisahan yang ada dalam diri manusia (antaraxia).

Jika kita masih ingin mendapat kebahagiaan (antaraxia) dan keselamatan selama pandemi yang tidak tahu kapan akan berakhir, nasihat Epicurus untuk menunda kenikmatan sesaat di luar rumah dan kembali ke entitas keluarga layak dipikirkan kembali. Karena untuk bahagia membutuhkan kedisiplinan tinggi dan mematuhi aturan main dengan dedikasi yang penuh kesabaran untuk menerima realitas kehidupan di tengah budaya konsumeristik yang kompleks. Sehingga dalam realitas pandemi ini sesungguhnya bukan berarti takut pada kematian, tetapi kita takut terhadap apa yang tidak kita ketahui.

Nazhori Author, Dosen LPP AIK Universitas Prof. Dr. Hamka Jakarta

Sumber: Detik.com 

Read More …

January 19, 2021

Pedagogi Kritis sebagai Vaksin Merdeka Belajar


Merdeka Belajar masih dijadikan tema penting Kemendikbud di tahun 2021. Dalam siaran persnya, selain perhatian Kemendikbud terhadap guru dan peserta didik di tengah bencana pandemi, program digitalisasi sekolah dan pembelajaran online akan terus diprioritaskan dengan sarana penunjang baik model bahan ajar dan model media pendidikan digitalnya. Tak hanya itu, peserta didik bertalenta, berprestasi akan mendapat pembinaan khusus sebagai wujud penguatan pendidikan karakter.

Selain pendidikan vokasi dan peningkatan kualitas kurikulum, yang menarik dicermati adalah tentang kampus merdeka dan merdeka belajar. Dalam praktiknya di masa pandemi ini, kurang lebih Kemendikbud telah berusaha memberikan yang terbaik bagi mahasiswa dan perguruan tinggi secara kelembagaan. Kemudahan dan keringanan yang diberikan setidaknya dapat menjadi bagian dari solusi pendidikan dan proses pencarian makna pedagogi kritis.

Dalam perjalanannya perguruan tinggi sejauh ini masih menjadi tempat yang tepat bagi insan akademik untuk melakukan proses reproduksi sosial. Paling tidak, merdeka belajar di tengah pandemi dapat memberikan efek yang manjur bagaimana pendidikan dalam maknanya yang luas ikut memberikan kekebalan tubuh dan pikiran kepada masyarakat yang dirundung keraguan.

Sebagai contohnya adalah para akademisi dari berbagai macam latar belakang keilmuan memberikan informasi bahwa vaksin merupakan kebutuhan mendesak untuk melawan Covid-19. Secara sains dan agama para akademisi telah menggambarkan nilai pentingnya sehingga masyarakat tidak ragu atas pelaksanaan vaksinasi yang akan dilakukan pemerintah secara bertahap ini.

Pedagogi kritis terhadap informasi vaksin yang benar dan tidak mengandung hoax adalah langkah nyata untuk memastikan bahwa masyarakat tahu dan persepsinya terhadap manfaat vaksin mampu menguatkan keyakinannya setelah selama ini berjibaku bertahan dari virus mematikan itu dengan mentaati protokol kesehatan secara disiplin.

Diketahui bahwa penyebaran virus corona memasuki tahun 2021 ini masih terus meluas jangkauannya. Sebagai bencana global, ihwal dampak dan sebab-akibatnya masih terus ditelusuri. Yang tak kalah penting, bagaimana merespons laju penularannya ketika bencana alam juga melanda Indonesia. Ini tugas berat bagi pelaku sukarelawan di bidang kemanusiaan, karena itu merdeka belajar yang ada di berbagai kampus merdeka sangat dinanti perannya untuk memberikan sumbangsih di tengah bencana yang tak kunjung selesai.

Para pelaku merdeka belajar juga perlu mewarnai bagaimana meyakinkan masyarakat agar tetap waspada terhadap informasi yang bertebaran dengan nilai kebenaran yang jauh dari bisa dipertanggungjawabkan. Bukankah informasi-informasi yang tak bertanggung jawab ini juga bagian dari virus yang harus diperangi dan dilawan?

Meminjam teori pedagogi kritis Henry Giroux (2020) dalam Race, Politics and Pandemics Pedagogy (google book editions) bahwa pandemi yang dialami umat manusia seluruh dunia ini bukan sebatas krisis kesehatan. Wabah yang kian menggurita ini merupakan krisis medis, yang dalam bentuk lainnya juga bermakna krisis agama, politik, etika, pendidikan, dan demokrasi.

Merdeka belajar sebagai bagian dari pedagogi kritis dan reproduksi sosial adalah sarana yang memadai untuk menciptakan narasi yang kuat dan narasi yang populis untuk melawan ketidakadilan dalam masyarakat yang disebabkan oleh benturan-benturan sosial-politik yang selama ini terus diproduksi baik secara massal dan online.

Kekebalan Sosial

Untuk membebaskan masyarakat dari pandemi medis dan pandemi krisis sosial, diperlukan suara hati agar suara-suara kebencian dan suara-suara tak bertanggung jawab lainnya dapat tersingkirkan dari arena kehidupan yang bermartabat. Peran pemerintah juga menjadi amat penting untuk menjaga stabilitas kehidupan sosial dari setiap benturan sosial yang jika dibiarkan dapat dikonsumsi oleh masyarakat dan menjadi asupan informasi tak bergizi (clash of ignorance).

Dengan saling menjaga dan menghormati perbedaan pada dasarnya masyarakat telah ikut berpartisipasi melatih pikiran dan sikap kritis layaknya sebuah vaksin yang melatih tubuh untuk menjaga kekebalan. Kekebalan sosial tak akan terwujud jika pedagogi kritis tak menemukan ruang untuk melakukan reproduksi sosial yang mampu melibatkan semua aktor dan lapisan masyarakat.

Untuk mewujudkan kekebalan bersama, dibutuhkan sikap lapang dada dan memberikan kesempatan kepada mereka yang tengah berjuang melawan pandemi menyusun strategi memutus mata rantai virus. Jika hal tersebut terlaksana, peran sains dan keilmuan lainnya akan turut memberikan kekebalan terhadap alasan dan argumentasi yang menyertainya sehingga masyarakat mendapat informasi yang baik dan benar.

Kebijakan pemerintah untuk memilih vaksin yang tepat sesuai dengan sasaran yang ada di Indonesia merupakan suatu putusan dilematis yang dikeluarkan melalui kebijakannya. Belum lagi menyangkut kehalalannya yang sudah diterbitkan oleh Majelis Ulama Indonesia sebagai bukti bahwa secara agama tak perlu lagi meragukan. Dan melalui lembaga itu, masyarakat diminta agar tak lagi mempertanyakan kehalalan vaksin corona, karena vaksin itu suci dan memenuhi syarat setelah diaudit.

Hikmah dari merdeka belajar di tengah pandemi pada prinsipnya adalah seruan untuk para insan pendidikan untuk menjadikan pedagogi kritis sebagai pusat pembelajaran politik bagi masyarakat. Mengembangkan wacana kritis yang sehat adalah bagian bagaimana reproduksi sosial ditransformasikan ke dalam suatu kehidupan di mana manusia membutuhkan visi ketuhanan agar setiap agen perubahan dapat merangkul setiap perbedaan di saat nihilisme juga menjangkiti sebagian masyarakat.

Individualisme fanatik pada cara pandang dan ideologi tertentu sesungguhnya juga bagian dari masyarakat yang membutuhkan komunikasi dan ruang sosial yang pada kondisi tertentu berbeda jalan dalam memandang nilai-nilai demokrasi. Pada gilirannya setiap dari individu juga sedang melaksanakan prinsip-prinsip nilai merdeka belajar kendati dengan persepsi yang berbeda. Namun dalam suatu kondisi yang partikular mereka masih menyadari bahwa pandemi ini ternyata masih ada di tengah teori konspirasi yang tak pasti.

Nazhori Author, Dosen LPP AIK Universitas Prof. Dr. Hamka Jakarta

Sumber : Detik.com

Read More …

May 28, 2019

Zakat dan Literasi Finansial

 

Sampai detik ini zakat diyakini sebagai solusi  pengentasan kemiskinan. Pilar penting zakat diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemandirian ekonomi umat. Di samping itu seperti tertuang dalam Masterplan Arsitektur Keuangan Syariah Indonesia, zakat dapat memberikan dampak sosial yang luas terhadap model keuangan syariah.

Pandangan optimis tersebut diperkuat lagi dengan wawasan empiris yang menunjukkan tumbuhnya lembaga-lembaga filantropi Islam yang mengelola, mengimpun dan mendistribusikan dana zakat, infak dan sedekah. Dalam kesempatan lain kesadaran masyarakat untuk berbagi didukung oleh teknologi finansial dan informasi digital yang memberikan kemudahan untuk berzakat dan berdonasi melalui berbagai macam saluran.

Dalam catatan BAZNAS rasa optimis ini akan terus tumbuh dengan melihat potensi zakat di Indonesia yang diperkirakan mencapai Rp 230  triliun pada 2018 bahkan diperkirakan meningkat menjadi Rp 499 triliun di tahun berikutnya. Dengan demikian makna zakat dalam sudut pandang yang beragam bergerak dinamis dan terbuka untuk ditelisik lebih jauh lagi.

Pada kerangka ini zakat dalam konteks transformasi sosial meminjam istilah Karl R Popper (All Life is Problem Solving, 1999) di era masyarakat terbuka sebagai elan vital  mendekatkan jalan keluar persoalan kehidupan manusia yang kompleks.

Tentu saja dengan catatan zakat sebagai fakta empiris tidak meninggalkan status deduktifnya dalam diskursusnya yang objektif. Karena itu, interpretasi terhadapnya turut memberikan andil bagaimana mendefinisikan kembali delapan penerima manfaatnya yang sejalan dengan perubahan zaman.

Sejalan dengan epistemologi pemecahan masalah (problem solving) Popper yang bersifat situasional zakat dalam praksisnya bertranformasi dalam dunia fisik, mental dan objektif. Dengan kata lain zakat menyesuaikan diri dengan persoalan-persoalan baru yang memerlukan adaptasi secara berkelanjutan.

Tiga Dunia dalam Tranformasi Sosial

Merujuk pandangan Popper tentang teori tiga dunianya, dunia fisik sebagai dunia pertama merupakan segala yang ada dalam dunia ini baik yang benda hidup atau benda mati. Adapun dalam konteks zakat keberadaannya memiliki nilai guna. Dunia fisik ini juga merupakan sesuatu yang memiliki nilai tambah. Suatu benda yang dapat diolah sehingga menghasilkan nilai ekonomi. Air, tanah, binatang ternak dan benda mati lainnya dapat menjadi harta benda yang menghasilkan dalam bentuk kekayaan.

Tanpa harta yang bersifat menghasilkan maka peristiwa memberi dan menerima tidak akan terwujud. Dengan harta benda seseorang atau lembaga dapat menunaikan zakat, infak, sedekah bahkan CSR untuk memberikan sesuatu baik secara karitas maupun pemberdayaan yang produktif. Dengan demikian nilai tambah tidak lain adalah investasi sosial yang dapat mengangkat martabat mustahik sebagai penerima manfaat dan kebahagiaan bagi muzaki.

Selanjutnya dunia kedua adalah dunia mental. Bertalian dengan psikologis yang meliputi wawasan pengalaman manusia. Lembaga amil zakat nasional di Indonesia dari waktu ke waktu terus berbenah diri seiring dengan tantangan yang menyertainya. Dalam kurun waktu itulah setiap ujian, tantangan, kelemahan dan kesempatan terpantul menjadi pengalaman yang memantiknya untuk terus melakukan inovasi dari aspek tata kelola, program pemberdayaan dan distribusi yang pada akhirmya memacu ujung tombaknya yakni penghimpunan (fundraising) untuk sekreatif mungkin bereksperimen dan berkolaborasi lintas komunitas profesional.

Revolusi industri 4.0 sebagai tantangan sekaligus pengalaman yang berharga bagi lembaga amil zakat dalam melakukan tata kelola mengedepankan akuntabilitasnya agar bisa diukur.

Pada aras ini lembaga amil zakat kembali diuji nyalinya dalam memanfaatkan sains yang berbasis data melalui mekanisme algoritma dalam menjalankan roda filantropi islam untuk meningkatkan kualitas layanannya kepada muzaki dan pemangku kepentingan.

Di tahap selanjutnya, di mana dunia ketiga sebagai dunia objektif dalam teori dan praksis filantropi islam para pelakunya dituntut melakukan kritik sosial maupun internal untuk menguji apakah sejauh ini dasar-dasar pemikiran filantropi islam dalam praktiknya sudah memenuhi tujuan utama yang ditargetkannya.

Di samping membutuhkan waktu dan peran pakar untuk mengupasnya tawaran Hilman Latief tentang Fatwa-Fatwa Kontemporer Filantropi Islam layak dipertimbangkan. Para pelaku filantropi islam dan akademikus bisa bersama-sama berinteraksi menjangkau dunia deskriptifnya dengan kajian spesifik yang mampu melahirkan temuan-temuan baru yang kontemporer untuk membandingkan dan melengkapi diskursus sebelumnya.

Seiring berjalannya waktu, zakat sebagai investasi sosial sangat dinanti perannya untuk mengukur dampak penyaluran zakat kepada penerima manfaatnya. Di sisi lain zakat harus terus digelorakan sebagaimana kewajiban pajak yang berpautan dengan kebermaknaan literasi finansial.

Literasi Finansial

Gegap gempita zakat sejatinya tidak terbatas pada bulan suci ramadhan. Di luar itu, pada dasarnya bagaimana zakat dapat menghadirkan wawasan yang membangkitkan literasi finansial bagi umat Islam. Pada aspek lain juga bagaimana zakat dapat menemukan relevansinya bagi edukasi perencanaan keuangan yang tepat sebagaimana umat Islam dapat merencanakan aspek-aspek kehidupannya dalam menentukan aktivitas pendidikan, kesehatan dan lainnya.

Setiap ramadhan umat Islam terbiasa merencanakan aktivitasnya yang berakhir dengan mudik. Mudik dianggap agenda penting yang tidak bisa dilewatkan mengingat dalam peristiwa mudik perputaran ekonomi berkembang dengan pesat nilainya. Sama halnya dengan zakat, perintah menunaikannya merupakan agenda spiritual yang penting dan perlu direncanakan dengan matang agar kebahagiaan Idul Fitri yang dilengkapi dengan menunaikan zakat berdampak luas bagi para penerima manfaatnya.

Nazhori Author, Dosen LPP AIK Prof. Dr. Hamka Jakarta

Sumber : Republika 

Read More …

September 20, 2018

Zakat sebagai Investasi Sosial, Mengukur Pemberdayaan yang Berkelanjutan




Mengukur pemberdayaan ekonomi bisa dilihat dari motifnya, bisa dari motif keuntungan dan motif sosial. Bagi lembaga amil zakat, motif sosial sepadan dengan spirit agama yang menekankan kemaslahatan dan perlindungan. Karena tujuan finalnya (maqosid syari'yah) sebagai nilai utama yang memberi makna terhadap asas kemanfaatan.

Dalam kerangka pemberdayaan zakat yang berkelanjutan, Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), Lazismu dan Social Return on Investment (SROI) Network Indonesia menggelar seminar Development Forum dengan tajuk Zakat sebagai Investasi Sosial. Acara berlangsung di Gedung Dakwah Pimpinan Pusat Muhammadiyah (20/9/2018).

Read More …

August 10, 2018

Di Tangan Pak Lambang, Cargo Gratis Berbuah Empati untuk Para Korban Bencana



Siang itu sebuah pesan daring muncul di layar ponsel (7/8/2018). Pesan itu langsung saya buka, rupanya flyer yang berisi info Cargo Gratis. Dibawahnya tertulis “posko pengiriman bencana gempa Lombok”. Saya belum mengerti apa maksud pesan itu. Namun didalamnya tercantum nomor kontak dan alamatnya.
Segera saya menanyakan kepastian info itu ke nomor pengirim. Lalu dijawab betul. Keingintahuan saya terus membuncah, memastikan kembali dengan bertanya. Betul Pak. Silakan datang ke tempat kami di bilangan Manggarai, jawabnya. Terima kasih, jawab saya. Izinkan saya besok datang ke sana. Dengan senang hati, jawabnya memperkenalkan diri dengan nama Lambang. 
Tadi pagi, saya meluncur ke lokasi sesuai alamat yang tertera dalam pesan yang disampaikan. Sepanjang perjalanan, jasa pengiriman cargo mudah ditemui sampai dengan Stasiun Manggarai. Sebuah sentra jasa pengiriman paket dengan moda transportasi darat. Perusahaan cargo menjamur di kawasan ini. 
Banyak Truk besar di sini. Ini menambah keyakinan saya untuk segera menuju info tempat jasa pengiriman cargo gratis untuk melayani bencana gempa Lombok. Pukul 09.00 WIB, saya tiba. Persis di depan kantor yang dituju. Beberapa karyawan berseragam terlihat sedang menata barang-barang yang menumpuk.
Selebihnya dua karyawan sedang menimbang barang mencari berat aktual dengan menggeser logam kuningan yang mirip dacin. Di sebelahnya pick up sedang bongkar muat diringi suara mesin forklift. Beberapa karyawan bertanya kepada saya. Mencari siapa Mas? Pak Lambang jawab saya. Ditunggu mas sedang keluar sebentar.
Tak berapa lama, Pak Lambang datang. Ia mengajak saya menuju ruang kantornya di lantai dua. Tapi rasa penasaran itu masih menghantui saya. Tak sabar rasanya ingin bertanya soal Cargo Gratis kepada Pak Lambang. Tiba-tiba Pak Lambang membuka percakapan. Cargo Gratis Pak? Sebentar Mas. Baik Pak, sambil menahan udara dingin ruang ber-AC. 
Begini Mas. Pada 2007, saat terjadi gempa di Sumbar, hati saya tergerak untuk membantu masyarakat yang akan mengirimkan bantuan untuk korban bencana. Itu awal mula gagasan Cargo Gratis muncul, ceritanya. Waktu itu saya baru kenal facebook. Peristiwa bencana Sumbar memantik ide saya untuk menawarkan jasa Cargo Gratis kepada masyarakat. 
Saat itu saya baru merintis usaha jasa pengiriman, yang baru berjalan sejak 2002. Tempat masih ngontrak seadanya. Karyawan tidak banyak. Melalui Facebook saya infokan. Beberapa hari saya iklankan. “Hanya satu orang yang mengirimkan melalui jasa Cargo gratis ini,” kenangnya. Meski satu orang, saya tidak putus asa, tetap saya kirimkan. “Mungkin masih ada yang tidak tahu info ini,” tuturnya.
Selanjutnya saya membuat akun Twitter. Tujuannya untuk mempromosikan jasa pengiriman usaha yang saya geluti kala itu. Saya masih belajar bagaimana menggunakan Facebook dan Twitter itu sampai 2010. 
Bersamaan dengan itu, kira-kira Oktober 2010, Gunung Merapi meletus. Saya mengikuti berita di televisi dan sosial media. Korbanya cukup banyak, termasuk yang fenomenal Mbah Marijan dan Wedus Gembel, katanya. Ide Cargo Gratis muncul lagi. Saya infokan kembali lewat Facebook dan Twitter. 
Alhamdulillah, tanggapan masyarakat luar biasa. Semangat saya untuk membantu terus menyala. Sampai-sampai saya menangis. Menangis bukan karena sedih, tapi bagaimana menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul di Facebook dan Twitter. Sementara antusias masyarakat membantu para korban terus datang untuk menggunakan jasa Cargo Gratis. “Bingung juga, saya tetap fokus agar barang ini dapat dikirim,” pungkasnya. 
Sampai batas waktu yang ditentukan, barang-barang bantuan itu berhasil dikumpulkan. Sumbernya dari perusahaan, yayasan maupun perorangan dan komunitas. Isinya macam-macam, ada selimut, pakaian, makanan siap saji dan lain-lain sesuai kebutuhan untuk para korban bencana.
Akhirnya semua dapat diangkut dengan memberangkatkan 10 Truk besar ke lokasi bencana. Hati saya gembira. Bersama masyarakat niat itu dapat diwujudkan. Kemudian saya lanjut bertanya kepada Pak Lambang, apakah tidak rugi Pak ? Bagaimana dengan bisnis jasa pengiriman ini selanjutnya. Padahal membutuhkan biaya tidak sedikit. 
Saya juga tidak tahu Mas. Secara matematika kalau dihitung rugi. Karena moda transportasi yang tadi lancar karena bencana alam aksesnya jadi sulit. Butuh biaya besar. Perusahaan sejenis ini pasti akan berhitung. Bahkan bisa mahal harganya. Tapi karena niat awal saya ingin membantu sesama, maka pertolongan itu datang juga. 
Banyak orang yang ikut membantu, selebihnya dari saya sendiri. Waktu itu ada seorang tamu selesap subuh. Ia mencari saya. Menanyakan soal Cargo Gratis untuk bencana. Lalu saya tanya, Anda siapa? Maaf Pak, saya disuruh Bos saya, kata tamu itu, tiru Pak Lambang. Iya siapa? Lalu disebutkan, maaf saya tidak kenal. Ini titipan Pak, ternyata ada seorang donatur yang ikut tergerak hatinya untuk membantu saya. 
Sebetulnya saya hampir bingung, ternyata Tuhan menolong saya. Hari berikutnya bantuan itu terus datang untuk mendorong saya menyampaikan amanat itu kepada para korban becana. “Intinya saya hanya membantu transportasinya saja sampai ke tujuan lokasi bencana tempat korban bencana mengungsi,” ungkap Lambang. 
Gempa Lombok 
Pertanyaan kembali saya ajukan kepada Pak Lambang, Apakah gemba Lombok juga akan dilakukan hal yang sama? Iya Mas. Saya akan melakukan hal yang sama, jawab pria berumur 47 tahun ini. Sejauh ini bagaimana Pak Lambang. “Ikhtiar saja Mas, saya yakin dengan berbagi kebaikan Tuhan akan memberi jalan yang tepat” jawabnya. 
Saya hanya menggeleng-geleng kepala. Dalam benak saya, apakah dengan pengusaha jasa pengiriman yang lain juga melakukan hal yang sama. Padahal usaha yang dirintisnya dari nol ini dibangun dengan keringat peluh yang panjang kisahnya. Dan jika bilang bukan perusahaan besar yang seperti saya lihat di tempat lain. 
Pak Lambang kembali bercerita, saya masih meyakini bahwa usaha yang saya rintis ini meski berkembang tidak besar ada keberkahan di dalamnya. Ada hak orang lain juga di dalamnya. “Untung-rugi hal biasa dalam bisnis. Justeru itu tantangan bagi saya,” tandasnya. 
Bahkan lanjut Lambang, dirinya mengaku jika sudah menginfokan jasa Cargo Gratis ini, kepada lembaga filantropi. Maaf saya potong Pak Lambang. Lembaga mana itu pak ? Lembaga Amil Zakat Nasional Mas, jawabnya. Apa itu pak? Lazismu, saya sudah mengontak dengan beberapa personil amilnya. 
Hari ini saya buka layanan ini. Jika Lazismu tertarik, besar kemungkinan Lazismu daerah akan ikut memanfaatkan layanan ini. Karena Truk ini melewati jalur pantura, katanya. Jika Truk pertama saya masih belum banyak barangnya untuk bantuan korban bencana, titik-titik kantor Lazismu yang saya lewati bisa mengisinya sampai berat yang diinginkan, paparnya. 
Berapa ton Pak beratnya? Untuk truk ukuran besar (Fuso), bobotnya yang diisi bisa mencapai 12 – 15 ton. Jika antusias warga untuk membantu para korban berjalan lancar, mudah-mudahan niat untuk membantu sesama dapat terwujud, harapnya. 
Waktu menunjukkan Pukul 11.15 WIB. Panjang lebar Pak Lambang bercerita pengalaman uniknya ini sebagai pengusaha yang pantang menyerah. Keinginan kuatnya untuk terus berbagi merupakan panggilan hati. Pak Lambang juga bergiat membantu anak-anak yang tidak mampu. Salah satunya di Bukit Duri, membuka kursus bahasa Inggris untuk warga yang duafa. (na) 
*Artikel ini juga diunggah di Kumparan dan LAZISMU 
Read More …

April 12, 2018

Dapatkah Narapidana Teroris Digolongkan Penerima Zakat ?





Tradisi memublikasikan hasil penelitian di kalangan akademisi sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat tidak terbatas pada dunia akademis untuk mewujudkan tri darma perguruan tinggi. Ada banyak ruang untuk melakukan penelitian, satu di antaranya adalah dengan melibatkan komunitas masyarakat sipil dan lembaga amil zakat.

Jangkauan topik penelitian bisa digali dengan melibatkan banyak aspek. Misalnya dengan memberikan kesempatan kepada peneliti-peneliti muda potensial yang sedang kuliah strata satu di beberapa perguruan tinggi. Hal itu diwujudkan Maarif Institute yang bersinergi dengan Lazismu melalui program Maarif Fellowship (MAF) 2017. 
Dari 100 lebih proposal penelitian yang masuk, diputuskan ada 6 peneliti muda yang dinyatakan lolos dan berhak memeroleh dana hibah penelitian dari Lazismu. Para nominasinya terdiri dari: Husna Yuni Wulansari mahasiswi UGM, MK Ridwan mahasiswa IAIN Salatiga, Naomi Resti Aditya mahasiswi UGM, Nurhasanah mahasiswi Universitas Tanjungpura Pontianak, Nurul Iffakhatul Sholihah mahasiswi IAIN Surakarta dan Waskito Wibowo mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 
Dari enam nominasi itu, dua diantaranya: MK Ridwan mahasiswa IAIN Salatiga, Naomi Resti Aditya mahasiswi UGM, mendapat kesempatan pertama untuk memublikasikan hasil penelitiannya di Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA, Pasar Rebo, Jakarta (11/4/2018) yang didukung oleh Lembaga Kewirausahaan, sosial dan filantropi Islam (LKSFI) FEB Uhamka. 
Publikasi hasil penelitian ini bertajuk “Islamic Philanthropy and Sustainable Developments Goals (SDGs) Program Peace and Justice”. Ketua Lembaga Pengkajian dan Pengembangan al-Islam dan Kemuhammadiyahan (LPP-AIKA), Uhamka, Muhammad Dwi Fajri, mengatakan, hasil dari dua penelitian ini menarik, karena memotivasi mahasiswa-mahasiswi untuk terus berkarya, sehingga dapat ditularkan kepada civitas akademik yang lain untuk menambah wawasan dan pengalaman.
“Wacana ke-Islaman dan perubahan sosial memang perlu mendapat perhatian serius terutama gerakan filantropi Islam secara teori dan praktik,” tuturnya. Fajri menilai, persoalannya sekarang adalah bagaimana memahami Islam dengan cara pandang yang konstruktif agar sumber-sumber rujukan Islam klasik dalam filantropi Islam dapat dikembangkan melalui wacana Islam kontemporer. 
Ketua Badan Pengurus Lazismu, Hilman Latief, sangat mengapresiasi tema-tema penelitian yang digali para nominasi terkait filantropi Islam. Dalam pidato kuncinya, Hilman mengatakan wacana filantropi Islam selalu bersentuhan dengan keadilan sosial. “Akhir-akhir ini, telah menjadi wacana yang kembali menarik, termasuk kesadaran masyarakat sendiri untuk mempertanyakan tentang rasa keadilan sosial yang sampai detik ini terus bergulir,” pungkasnya.
Hilman menambahkan kuatnya kajian tentang keadilan sosial adalah fakta bahwa kesenjangan itu masih ada di sekitar kita. Ini juga pekerjaan rumah bagi gerakan filantropi Islam. Ia menyontohkan ketika seminggu yang lalu Lazismu berkesempatan melakukan Kick Off kegiatan filantropi kesehatan di kepulauan Maluku yang minim akses. 
Di lapangan ada kenyataan jika akses kesehatan masih belum bisa dinikmati masyarakat di kepulauan mauluku. Puskesmanya ada, tapi tenaga kesehatannya tidak mencukupi, lanjut Hilman. Ada semacam ketidakadilan sosial yang masih dirasakan sebagian masyarakat di sana. 
Sementara isu SDGs tidak hanya kesehatan saja, ada 17 isu utama yang perlu didiskusikan kembali. Dalam temuan penelitian yang dilakukan Hilman Latief beberapa tahun belakangan ditemukan bahwa kemiskinan tidak tunggal. Justeru kemiskinan itu multidimensi, tidak hanya dilihat dari seberapa besar penghasilan seorang individu, tapi seberapa nyaman keluarga menikmati akses kebutuhan dasar. “Masih ada masyarakat yang bisa sekolah, tapi sebagian lain masih ada yang tidak bisa ke dokter,” pungkasnya. 
Jadi problemnya masih kompleks, karena itu diperlukan reinterpretasi terhadap pemahaman Islam. Adapun hasil penelitian yang disuguhkan MK Ridwan soal narapidana teroris (napiter) digolongkan menjadi mustahik, adalah salah satu contohnya.
Bagaimana dengan napiter yang tidak memiliki pekerjaan, sedangkan keluarganya dikucilkan. “Maka konsep-konsep kesejahteraan juga menjadi luas. Gerakan filantropi Islam perlu terbuka untuk menjawab problem sosial yang semakin kompleks, karena penerima manfaat zakat juga beragam dan akan terus berkembang,” jelasnya.
Direktur Eksekutif, Maarif Institute, Muhamamd Abdullah Darraz, menuturkan, proses penelitian ini waktunya panjang. Program dua tahunan ini bertujuan untuk memberikan bantuan kepada peneliti muda. Baik yang belum lulus atau baru lulus. Maarif Institute mengucapkan terima kasih atas bantuan dan dukungan Lazismu. “Tahun ini bisa memperbanyak jumlah penerima peneliti muda yang lolos seleksi,” ungkapnya. 
Mereka melakukan riset selama 6 bulan. Kemudian kenapa Maarif Institute mengangkat tema ini terkait SDGs untuk keadilan dan perdamaian. Karena kasus-kasus yang menjadi fokus kali ini menurut amatan kami belum tersentuh oleh gerakan filantropi yang ada. Salah satunya, para napi yang dihukum atas kasus terorisme, jelas Darraz.
Intinya bagaimana kita melihat peluang isu-isu filantropi dapat digali sesuai dengan perkembangan yang ada. Ada banyak gerakan filantropi Islam, hampir semua belum memiliki konsen yang sama untuk melakukan gerakan filantropi sebagai respon atas gerakan radikalisme dan ekstrimisme. “Ketidakadilan sosial yang melatarbelakangi mereka menjadi gerakan radikal, ini perlu dilihat dalam kacamata filantropi Islam,” bebernya. 
Temuan Hasil Penelitian
Keenam mahasiswa yang lolos program Maarif Fellowship (MAF) 2017, dengan hasil penelitiannya sekarang ini, pada prosesnya telah mendapatkan orientasi atau pembekalan selama seminggu pada Oktober 2017. Mereka juga didampingi peneliti-peneliti senior yang mumpuni. 
Adapun dua peneliti muda yang mendapat kesempatan untuk presentasi, MK Ridwan mahasiswa dari IAIN Salatiga, memaparkan bahwa judul penelitiannya yang dipresentasikan adalah “Reinterpretasi Konsep “Mustahik” Dapatkah Napiter Digolongkan Penerima Zakat? 
Dalam kesempatan itu, Ridwan menguraikan, delapan asnaf yang selama ini diketahui secara fikih sudah final. Namun, dalam perkembangannya delapan asnaf tersebut dimaknai secara utuh. Ridwan memertanyakan tentang konsep asnaf itu sebagai penerima zakat (mustahik). 
Bagaimana dengan seseorang yang tidak termasuk kriteria delapan asnaf itu. Islam yang tampil dalam fikih zakat pada dasarnya telah memberikan jawaban terhadap orang yang berada dalam situasi sulit untuk memeroleh dana zakat. Persoalannya perkembangan sosial terus berubah, yang sudah barang tentu persoalan yang dialami manusia juga turut berubah. 
Sebagai contoh adalah seorang narapidana teroris, ujar Ridwan. Napiter keberadaanya sebagai bagian dari orang yang lemah. “Napiter tidak hanya mendapat sanksi hukum, di tengah masyarakat Napiter juga menerima sanksi sosial” paparnya.
Ia mengutarakan bahwa Napiter dan keluarganya berada dalam situasi teralienasi. Baik dalam lingkungan keluarganya sendiri dan di masyarakat. Akses mereka terputus baik secara ekonomi dan sosial. “Ada beban psikologis yang begitu kuat, maka dia berada dalam kondisi dilematis. Karena itu, Napiter dalam kondisi yang begitu lemah, maka dia dapat digolongkan sebagai mustahik,” tandasnya.
Ridwan berargumen, jika ditilik dari kacamata ekonomi, ada dua yakni kelompok ekonomi lemah dan kelompok ekonomi atas. 

Artinya orang yang diduga terlibat dalam gerakan radikal tidak memandang dia berasal dari keluarga yang ekonominya lemah dan keluarga dari ekonomi yang kuat. Kedua kondisi ekonomi itu bisa menimpa siapa saja untuk menjadi ekstrimis. 
Sebagai mantan Napiter, risiko hidup diterimanya. Jika Napiter tidak diakomodasi kemungkinan mereka akan kembali dalam kelompok gerakan radikal. Padahal mereka juga termasuk dalam kelompok rentan. Jika dia digolongkan fakir, mantan Napiter termasuk orang yang tidak memiliki penghasilan. Napiter termasuk orang yang miskin multidimensi, jika mengacu pada al-Qur’an yang mengupas tentang penerima zakat (Q.S. At-Taubah : 60). 
Dalam kesmepatan itu, Ridwan juga berpendapat bahwa, jika Napiter itu dari keluarga ekonomi kelas atas, maka kacamata fikih lebih melihatnya sebagai orang yang sednag berada dalam dunia baru. Senafas dengan orang yang baru masuk Islam, maka hatinya perlu dilunakkan untuk kembali ke jalan yang benar dan tidak merusak. 
Di samping itu, Napiter yang dalam kondisi ini, bisa diumpamakan dengan seseorang yang tinggal diperbatasan musuh. Adapun kelompom teroris, menurut Ridwan, bisa menjadi tempat kembali Napiter kelas ekonomi atas jika tidak diberdayakan dalam praktik filantropi Islam.Ridwan menilai hasil temuan dalam penelitiannya, memiliki nilai signifikan, karena belum ada langkah untuk memperlakukan Napiter sebagaimana para mustahik yang konvensional. 
Dalam kesempatan yang sama, Naomi Resti Anditya, mahasiswa Hubungan Iternasional UGM, lebih melihat keberadaan gerakan filantropi Islam pada dua organisasi masyarakat yakni NU dan Muhammadiyah. Penelitian Naomi berangkat dari ide tentang filantopi dan perdamaian. 
Judul penelitian yang diangkat Naomi, “Filantropi Islam untuk Perdamaian, Menakar Inklusivitas Lazisnu dan Lazismu di Yogyakarta”. Dalam paparannya, ia mengatakan seberapa jauh filantropi Islam mampu mewujudkan kesejahteraan sosial tanpa melihat sekat-sekat primordial. “Filantropi Islam, merupakan jembatan perdamaian dan berperan aktif dalam keadilan sosial,” katanya. 
Kedua LAZ berbasis ormas ini, menurut Naomi, sejak berdirinya, meski berbeda dalam model dakwahnya, sama-sama berdiri sebagai jawaban terhadap kolonialisme, keberadaannya juga untuk menjawab pengaruh penjajahan secara inklusif dalam model dakwah gerakannya. 
Naomi dalam temuannya, mengatakan keduamya juga berangkat dari modal sosial yang kuat. NU dengan pesantrennya terus berkembang mewujudkan nilai-nilai filantropi sebagai gerakan dakwahnya. Sementara Muhammadiyah, yang sedari awal bernuansa dakwah Islam filantropis sesuai dengan ajaran Al-Maun, filantropinya juga terus berkembang melalui gerakan amal usaha di bidang pendidikan dan kesehatan. 
Menurut Naomi, mengutip pendapat Robert Putnam, NU dan Muhammadiyah melalui gerakan filantropinya sudah mengakomodir secara terbuka untuk membantu masyarakat yang berbeda latar belakang. Modal sosial yang terbuka ini, merupakan spirit untuk membentuk jaringan, hubungan timbal-balik dan saling kepercayaan. 
Sebagai studi kasus, Naomi memang belum menemukan pengalaman kedua organisasi ini dalam menjawab konflik dengan solusi perdamaian di kawasan Yogyakarta. Naomi mengatakan, baru di tingkat pusatlah keduanya terjun menjembatani konflik-konflik sosial baik yang terjadi di dalam negeri maupun di luar negeri, seperti tragedy Rohingya misalnya. 
Selanjutnya, Naomi menuturkan, kedua LAZ berbasis ormas ini, punya tradisi filantropi yang berbeda. Uniknya keduanya membuka diri untuk melakukan sinergi secara strategis.
Naomi dalam hasil penelitiannya juga menawarkan bagaimana LAZ NU dan Muhammadiyah di Yogyakarta, untuk membangun ide gerakan filantropi dengan pendekatan binadamai. Maksudnya menurut Naomi, situasi sosial yang terus berubah sewaktu-waktu dapat memicu konflik, untuk itu, gerakan filantropi Islam memungkinkan kesempatan bagi manusia untuk hidup sejahtera dan damai. 
Hanya saja, berdasarkan temuannya, keduanya belum bisa memfasilitasi modal sosial kelompok tertentu yang keberadaannya dalam situasi tertutup. Alasaannya menurut Naomi keduanya belum memiliki sumber daya manusia yang cukup untuk bergerak ke arah sana, kendati peluangnya terbuka lebar. 
Di samping itu, kedua lembaga amil zakat ini, tetap konsisten mewujudkan perdamaian positif dengan memfokuskan diri pada peningkatan kesejahteraan ekonomi dan pendidikan melalui lembaga pendidikannnya masing-masing. 
Dari hasil temuannya tersebut, Naomi mengakui jika kedua LAZ itu belum tentu mewakili lembaga filantropi Islam lainnya. Tantangan yang dihadapi Naomi, ketika wawancara, narasumbernya masih terbatas. Karena itu, untuk mengembangkan penelitiannya, Naomi akan mengambil skala wilayah yang lebih luas dan narasumber yang lebih banyak. 
Berangkat dari dua penelitian itu, ada dua penanggap yang hadir, Dr. Ai Fatimah Nur Fuad, Lc, pengajar dari FAI Uhamka dan Robi Sugara, M.Sc, Direktur Eksekutif Indonesian Muslim Crisis Center (IMCC). Dalam catatan Ai Fatimah Nur Fuad, tradisi penelitian di kalangan mahasiswa perlu digalakkan. “Saya mengepresiasi para penerima MAF 2017 yang telah berusaha melahirkan hasil penelitian di kalangan generasi muda,” katanya.
Bagi Ai Fatimah, penetian Naomi adalah faktual. Sisi menariknya mencoba masuk dalam persoalan-persoalan yang tidak terpikirkan sebelumnya. Ada temuan menarik bahwa filnatropi Islam dapat mendorong perdamaian secara inklusif. 
Namun dalam paparan yang disampaikan, perlu digali kembali seberapa jauh kedua lembaga amil zakat ini mampu mengungkap gerakan filantropi Islam secara terbuka. Artinya belum ada sesuatu yang terlihat baik tebal dan tipisnya. Maksud Ai Fatimah sebagai tanggapan dan masukan untuk pengembangan penelitian selanjutnya, Naomi perlu investigasi lebih dalam persoalan ini.
Di awal Naomi, sudah menjelaskan keduanya memiliki modal sosial yang tebal secara internal. Tapi modal sosial yang tipis di luar NU dan Muhammadiyah justeru menjadi tantangan penelitian Naomi berikutnya. Tujuannya, nilai Ai Fatimah, untuk menggali sisi inklusif mereka. 
Senada dengan Ai Fatimah, Direktur Eksekutif IMCC, Robi Sugara mengatakan Naomi memiliki banyak peluang, bagaimana penelitiannya mampu masuk kea rah resolusi konflik. “Ini juga bisa dipertimbangkan dalam isu filantropi perdamaian,” paparnya. 
Menanggapi riset Naomi, Robi juga mengungkapkan bahwa manajemen konflik yang dijembatani solusi konstruktif dapat berguna bagi kedua LAZ ormas ini untuk berlomba-lomba melayani masyarakat duafa yang beragam latar-belakangnya. 
Pengalaman Robi ketika riset terhadap kelompok gerakan radikal yang mendukung ISIS, bahwa kelompok jihadis ini juga melakukan penghimpunan dana untuk berjuang di jalan Allah menegakkan khilafah. Di pemerintah sendiri, terutama BNPT, kelompok jihadis ini ketika lepas dari lapas, coba diajak bekerjasama meski sebagian lainnya tidak mau. Alasannya menurut Robi, mantan Napiter tidak mau karena akan melukai gerakan jihad mereka.
Meski mereka kecewa terhadap kelompknya ada kategori lain untuk Napiter yaitu mereka kuat dan masih yakin dengan perjuangannya. Soal penegakkan Islam, Robi menilai, kembalinya mantan pimpinan Jamaah Islamiyah, Nasir Abbas ke kehidupan normal’, adalah salah satu contoh kekecewaan, jika aksi bom bunuh diri seperti di Bali saat itu merupakan tindakan jihad yang keliru menurut Nasir Abbas saat itu. 
Dari paparan kedua peneliti muda itu, menurut Robi, layak diapresiasi. Ada keberanian mahasiswa-mahasiswi untuk menggiatkan tradisi riset di lingkungan akademik.

Simak ulasan ini di KUMPARAN
Read More …

June 6, 2017

Relasi Tangan Di Atas dan Tangan Di Bawah adalah Pasti




Murid-murid SD Negeri Sungkung, Bengkayang, Kalimantan Barat tersenyum bahagia. Mereka mendapatkan sepatu dari lembaga amil zakat nasional (Lazismu). Seperti dikisahkan Suhartini pegiat filantropi di Pontianak, para siswa itu menjadi perbincangan banyak orang.
 
Pasalnya, seseorang bernama Anggit Purwoto melalui akun pribadinya di penyentara sosial (instagram) mengunggah video pendek yang menampilkan empat siswa SD tersebut berseragam lusuh. Suhartini menambahkan, keempat siswa itu memakai tas kresek kumal selayaknya tas sekolah pada umumnya.
 
Resleting celana mereka rusak, namun tetap gembira berangkat sekolah tanpa alas kaki. Dengan satu buku tulis dan satu pensil, mereka mengatakan: “Pak Jokowi minta tas,” demikian kisahnya kata Suhartini setelah melihat video durasi pendek itu. 

Read More …

April 25, 2017

Mengapa Segala Sesuatu Membutuhkan Sebab ?


Salah satu dari tokoh-tokoh filsafat Muslim yang berbicara lugas tentang pemikiran-pemikiran Barat adalah Muhammad Baqir Sadr. Kepiawaiannya meramu ilmu yang berangkat dari tradisi Islam mampu melepaskan kesan pembelaan yang mengemuka dalam kancah pemikiran Islam dengan kejernihan dan kecerdasan pemikirannya. Ia sangat intens mengkaji karya-karya pemikir Islam (ilmu hikmah), tapi ia juga menyelami pemikiran-pemikiran Barat yang berkembang. Dalam karyanya yang termasyur: Falsatuna dan Iqtishaduna menjadi cetak biru pemikiranya yang dengan apik menjelaskan kritik-kritik terhadap pemikiran Barat seperti Karl Marx, Descartes, John Locke dan lain-lain. (1)

Read More …

Jakarta, Kota Yang Membahagiakan ?

Kesadaran merupakan suatu hal yang murni dan otentik. Kesadaran juga merepresentasikan diri seseorang dan teras dasar pengetahuan. 

Karenanya kesadaran bertalian dengan persepsi yang tak lain adalah pengetahuan itu sendiri. Seseorang yang sadar pastilah mengetahui sesuatu objek diluar dirinya. Meski begitu kesadaran juga pengetahuan pasti atas diri sendiri. 

Setiap orang memiliki pengetahuan dan berelasi dengan pengetahuan itu sendiri. Hal ini menjadi penting karena setiap sesuatu memerlukan pembuktian. Pengetahuan tentang Jakarta misalnya, sebagai sebuah kota dan ciri khas yang melekat pada kota Jakarta adalah macet, padat penduduk, beragam, Trans-Jakarta, Monas, dan ciri-ciri lainnya. 

Warga Jakarta sadar betul jika setiap hari lalu lintas padat. Mereka ada yang mengendarai kendaraan pribadi dan kendaraan umum. Penduduk ibukota ini juga tahu jika 19 April 2017 hari yang menentukan untuk memilih gubernur dan wakil gubernur. Secara sadar juga mereka memiliki pilihannya masing-masing di kotak suara. 

Masa kampanye yang diketahui bersama belakangan ini begitu memanas. Sehari sebelum pencoblosan pun masih saling lapor dan adu argumen. Saling dukung dan saling menjatuhkan seperti hal yang biasa dalam negara yang berdemokrasi. Isu lingkungan, korupsi, agama dan lainnya dikemas menonjol ketimbang mengemas gagasan masing-masing calon dengan beradab. 

Jika ditelusuri masing-masing calon, Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) dan Anis Baswedan pada prinsipnya adalah seorang manusia, laki-laki, serta memiliki kelebihan dan kekurangan, sama persis seperti diri pribadi kita masing-masing. Tak sesempurna seperti apa yang digambarkan orang lain. 

Ekspresi lisan dan tertulis pun akhir-akhir ini tidak menyentuh akar terdalam persoalan. Mencaci, memaki dan mengagitasi justeru dikemas seapik mungkin seolah-olah fakta yang berbicara. Meski ada bukti-bukti pendukung yang mendekati kebenaran, perlahan kabur seperti sesuatu yang mungkin terjadi dan tidak akan pernah terjadi. 

Antara mutu dan kuantitas pun menjadi tidak jelas, kabur penuh dengan gurauan. Sesekali menghibur namun tetap menghormati pillihan orang lain. Kesadaran memanipulasi informasi (hoax) seakan bentuk pengetahuan yang memiliki gizi informasi. Di sisi lain tidak menyentuh dan bertolak belakang dengan jati diri. 

Melukis orang lain adalah cara persona mengakui ada sesuatu yang lain di luar dirinya. Ada sesuatu yang berbeda yang selama ini bagian dari suatu cerita kebahagiaan. Sejiwa dengan fitrah manusia yang ingin hidup bahagia. Bagimana ingin berbahagia kalau makna kota itu sendiri berisi kekisruhan. 

Manusia sebagai makhluk sosial secara natural tidak bisa berdiri sendiri. Ia senantiasa memerlukan orang lain karena tak sanggup untuk memenuhinya sendiri. Ihwal ini, untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan spiritualnya, manusia mencetuskan konsep kota.
Sejak zaman Yunani dan Islam tempo dulu telah dikenal konsep Kota Utama. Kota yang menceritakan kebahagiaan. Kota yang mampu memberikan ketenangan hidup dan keadaban. Karena itu, filosof Muslim al-Farabi mengatakan, untuk menuju kebahagiaan hal yang terpenting adalah menentukan pemimpin dan menentukan konsep kota yang bahagia. 

Bukan konsep kota yang terbelakang (al-jahil), ramai dengan hasutan dan saling serang antar komunitas. Padahal kekisruhan itu disadari secara utuh, katanya sebagai seni mengemas demokrasi. Butuh telaah mendalam, yang tentu tidak bisa diuraikan di sini. 

Impian menuju kota utama atau bahagia, sangat ditentukan oleh pemimpin dan kepemimpinannya. Sangat ditentukan pula oleh sikap dan kedewasaan warganya. Warga yang berpendidikan tentu warga kota yang mendahulukan substansi, tidak dengan bumbu penyedap yang menyesatkan lidah untuk berkomunikasi satu dengan yang lain secara kekanak-kanakan. 

Memaknai Jakarta adalah kreativitas mental setiap warganya. Hadirnya Jakarta sebagai kota yang ramah dan bahagia sebelum memilih pemimpinnya sudah ada terlebih dahulu dalam benak kita. Visualisasi realitas Jakarta beserta entitasnya adalah bentuk kesadaran diri kita masing-masing. Itulah pengetahuan kita tentang Jakarta dan isinya. 

Untuk itu, jika masih sadar dan ingin bahagia, kembalilah ke kota dengan kualitas jiwa yang lapang. Sadar bahwa Jakarta adalah berbeda dengan kota lainnya sebagaimana berbedanya kreativitas warganya. Karena setiap derita yang dialami manusia adalah buatan manusia sendiri bukan atas nama Tuhan, dan kuasa-Nya tak akan bisa didefinisikan oleh manusia.

Sumber : Kompasiana
Read More …