Pendidikan versus Globalisasi
Oleh: Nazhori Author
Krisis ekonomi global yang melanda dunia semakin menandakan kebijakan ekonomi internasional malah menciptakan kebangkrutan dan kemiskinan-kemiskinan baru. Kenyataan itu terlihat jelas di mata para pelaku ekonomi yang bereaksi di sektor perdagangan dan aliran dana mengalami kepanikan. Di Indonesia dampaknya begitu terasa dalam kehidupan masyarakat sehari-hari bahkan akan semakin merisaukan jika dampaknya merambah ke bidang kesehatan dan pendidikan.Di bawah jebakan kapitalisme global proses pembangunan di negara miskin dan berkembang terus berjalan mengikuti situasi sulitnya memenuhi kebutuhan hidup, pendidikan, kesehatan, lapangan kerja, jaminan sosial dan kerusakan lingkungan hidup.
Di sisi lain sebagai ideologi pertumbuhan ekonomi globalisasi memiliki potensi dan nilai strategis (Mansour Fakih, 2001).Selebihnya yang menjadi persoalan adalah bagaimana memanfaatkan potensi dan nilai strategis dari globalisasi tersebut. Padahal untuk menghadapi globalisasi tidak cukup dengan sumber daya alam yang berlimpah ruah. Perlu didukung oleh sumber daya manusia yang unggul. Di mana untuk menciptakan manusia yang berkualitas hanya akan diperoleh melalui pendidikan yang berkualitas.
Sampai saat ini globalisasi masih diperdebatkan. Paradoksnya justeru globalisasi dibedah, dibela bahkan dikritik dalam bidang pendidikan. Bersama itu pula pendidikan tidak berdaya menghadapi globalisasi dengan berbagai macam bentuknya. Faktanya hegemoni globalisasi telah berhasil menancapkan kukunya di Indonesia.
Perspektif Pedagogis
Menimbang globalisasi dari perspektif pedagogis berarti melihat dan membaca globalisasi dari potensi manusia. Karena manusialah yang menjadi inovator dan agen dalam proses pembangunan. Sejalan dengan itu, manusia juga berperan sebagai faktor produksi yang secara teknis menggunakan keterampilannya yang diperoleh dari sistem pendidikan untuk berjuang mempertahankan kualitas hidup.
Di sini, kesempatan untuk memperoleh pendidikan dapat dijadikan tolok ukur sejauh mana sumber daya manusia dipersiapkan untuk menghadapi tantangan masa depan. Sebaliknya, tertutupnya akses dan kesempatan untuk memperoleh pendidikan sama dengan menambah angka kemiskinan. Sebab kemiskinan akan dapat dilenyapkan jika kaum miskin diberikan kesempatan untuk mengenyam pendidikan.
Untuk kasus Indonesia, pendidikan dan peluang hidup dapat dilihat dari terbukanya lapangan pekerjaan yang kompetitif. Lapangan pekerjaan yang tersedia tidak dapat menampung banyaknya pengangguran, di luar lemahnya skill yang dimiliki pencari kerja dan faktor kemujuran. Wajar jika kesenjangan terus menganga karena perbedaan dalam struktur kesempatan untuk memperoleh pendidikan ada pada realitas struktur sosial masyarakat yang terkotak-kotak dalam kelas sosial.
Melihat kenyataan ini, merujuk kepada prediksi Robert Young (1986) di jaman modern ini anak yang duduk dibangku sekolah di dunia ketiga tidak akan memasuki sektor modern. Penyebabnya menurut Young adalah surat tanda tamat belajar yang mengatur tenaga kerja di sektor modern berdasarkan hukum permintaan dan penawaran. Young menambahkan kekuatan pasar diperbesar pula oleh suatu kecenderungan sekuler untuk menambah jumlah peserta didik yang diterima lembaga pendidikan. Maka akibatnya lebih banyak lagi orang yang bersaing untuk memperoleh pekerjaan yang sama.
Pandangan menarik tentang potensi manusia juga diungkapkan Arief Budiman (1995) bahwa yang kurang dipersoalkan adalah bagaimana menciptakan kondisi lingkungan, baik lingkungan politik maupun lingkungan budaya, yang bisa mendorong lahirnya manusia kreatif. Sehingga individu merasa bahagia, aman dan nyaman untuk bisa kreatif dalam memecahkan persoalan hidup.
Dengan kata lain, strategi menghadapi globalisasi yang berpijak dari pendidikan agar dapat melahirkan kelas menengah yang terdidik sejatinya dapat diuji. Sejauh mana kekuatan kelas menengah menghadapi proses globalisasi yang didukung oleh demokrasi politik. Apakah negara ini akan keluar dari jebakan globalisasi atau sebaliknya menjadi ladang subur eksploitasi alam dan korupsi di tengah arus deras pasar bebas.
Harus diakui kualitas pendidikan di Indonesia belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Sebagai contoh tantangan akan prestasi sumber daya manusia dalam menurunkan setengah angka kemiskinan menjelang Millenium Development Goals (MDGs) pada tahun 2015. Sulit memang untuk mengejar target tersebut mengingat dibutuhkan sumber daya manusia yang handal dan tidak sedikit.
Peran Civil Society
Dalam era pasca industri dan kemajuan teknologi informasi tugas dan tanggung jawab pendidikan semakin berat. Pendidikan tidak saja dituntut menunjukkan kualitasnya untuk menghasilkan out put yang sesuai dengan kebutuhan jaman. Pendidikan juga dituntut meningkatkan anggarannya yang tidak seimbang dengan jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 200 juta.
Ironis memang memperjuangkan anggaran pendidikan 20 persen sesuai amanat undang-undang dasar. Banyak energi yang terkuras untuk membiayai pendidikan dengan kenaikkan anggaran yang hanya 15,6 persen berdasarkan Perubahan Atas UU No 45 Tahun 2007 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2008 (UU APBN-P 2008).
Faktanya kesenjangan dalam dunia pendidikan masih saja tejadi meski dana BOS dan BLT sudah disalurkan. Di samping itu, masih ada guru yang mengabdi lebih dari 3 sampai 5 tahun namun kesejahteraannya belum terpenuhi. Kondisi fisik sekolah juga patut diperhitungkan. Berdasarkan data Depdiknas sisa ruang kelas rusak pada tahun 2009 sebanyak 135.194 ruang kelas tersebar di semua propinsi di tanah air, yakni dengan tingkat kerusakan ringan antara 0-10 persen sebanyak 1.331 ruang kelas terdapat di 19 propinsi, antara lain Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Jambi, Maluku, NTB, Papua, Bangka Belitung, Sulawesi Utara, Kalimantan Tengah dan sebagainya.
Pendidikan merupakan salah satu dari agenda jangka panjang dengan mendasarkan kepada kebutuhan pembangunan manusia. Tanpa pendidikan yang memadai mustahil suatu bangsa kuat menghadapi proses globalisasi. Pendidikan memainkan peran penting dalam kelangsungan hidup umat manusia. Dengan demikian diperlukan komitmen yang sungguh-sungguh dari pemerintah dan para pemangku kepentingan.
Oleh karena itu, peran dan dukungan civil society sangat penting bagi upaya negara berkembang untuk melakukan reformasi pendidikan. Sudah saatnya civil society mengajukan tawaran kepada pemerintah agar memanfaatkan utang luar negerinya untuk memberdayakan sektor pendidikan. Sehingga dukungan civil society secara politis memberikan tekanan kepada pemerintah untuk meningkatkan akses dan kualitas pendidikan kepada masyarakat dengan kebijakan yang demokratis.
Bila perlu dengan memperkuat delegasi Indonesia di lembaga keuangan internasional dengan mengagendakan diplomasi kemanusiaan tanpa menghilangkan potensi yang dimiliki bangsa Indonesia. Yang tidak menutup kemungkinan bagi negara berkembang proses liberalisasi perdagangan dapat dijadikan nilai strategis untuk memaksimalkan pembangunan ekonomi yang bertumpu pada pendidikan dan kemanusiaan. Wallohu ‘alam
Di sisi lain sebagai ideologi pertumbuhan ekonomi globalisasi memiliki potensi dan nilai strategis (Mansour Fakih, 2001).Selebihnya yang menjadi persoalan adalah bagaimana memanfaatkan potensi dan nilai strategis dari globalisasi tersebut. Padahal untuk menghadapi globalisasi tidak cukup dengan sumber daya alam yang berlimpah ruah. Perlu didukung oleh sumber daya manusia yang unggul. Di mana untuk menciptakan manusia yang berkualitas hanya akan diperoleh melalui pendidikan yang berkualitas.
Sampai saat ini globalisasi masih diperdebatkan. Paradoksnya justeru globalisasi dibedah, dibela bahkan dikritik dalam bidang pendidikan. Bersama itu pula pendidikan tidak berdaya menghadapi globalisasi dengan berbagai macam bentuknya. Faktanya hegemoni globalisasi telah berhasil menancapkan kukunya di Indonesia.
Perspektif Pedagogis
Menimbang globalisasi dari perspektif pedagogis berarti melihat dan membaca globalisasi dari potensi manusia. Karena manusialah yang menjadi inovator dan agen dalam proses pembangunan. Sejalan dengan itu, manusia juga berperan sebagai faktor produksi yang secara teknis menggunakan keterampilannya yang diperoleh dari sistem pendidikan untuk berjuang mempertahankan kualitas hidup.
Di sini, kesempatan untuk memperoleh pendidikan dapat dijadikan tolok ukur sejauh mana sumber daya manusia dipersiapkan untuk menghadapi tantangan masa depan. Sebaliknya, tertutupnya akses dan kesempatan untuk memperoleh pendidikan sama dengan menambah angka kemiskinan. Sebab kemiskinan akan dapat dilenyapkan jika kaum miskin diberikan kesempatan untuk mengenyam pendidikan.
Untuk kasus Indonesia, pendidikan dan peluang hidup dapat dilihat dari terbukanya lapangan pekerjaan yang kompetitif. Lapangan pekerjaan yang tersedia tidak dapat menampung banyaknya pengangguran, di luar lemahnya skill yang dimiliki pencari kerja dan faktor kemujuran. Wajar jika kesenjangan terus menganga karena perbedaan dalam struktur kesempatan untuk memperoleh pendidikan ada pada realitas struktur sosial masyarakat yang terkotak-kotak dalam kelas sosial.
Melihat kenyataan ini, merujuk kepada prediksi Robert Young (1986) di jaman modern ini anak yang duduk dibangku sekolah di dunia ketiga tidak akan memasuki sektor modern. Penyebabnya menurut Young adalah surat tanda tamat belajar yang mengatur tenaga kerja di sektor modern berdasarkan hukum permintaan dan penawaran. Young menambahkan kekuatan pasar diperbesar pula oleh suatu kecenderungan sekuler untuk menambah jumlah peserta didik yang diterima lembaga pendidikan. Maka akibatnya lebih banyak lagi orang yang bersaing untuk memperoleh pekerjaan yang sama.
Pandangan menarik tentang potensi manusia juga diungkapkan Arief Budiman (1995) bahwa yang kurang dipersoalkan adalah bagaimana menciptakan kondisi lingkungan, baik lingkungan politik maupun lingkungan budaya, yang bisa mendorong lahirnya manusia kreatif. Sehingga individu merasa bahagia, aman dan nyaman untuk bisa kreatif dalam memecahkan persoalan hidup.
Dengan kata lain, strategi menghadapi globalisasi yang berpijak dari pendidikan agar dapat melahirkan kelas menengah yang terdidik sejatinya dapat diuji. Sejauh mana kekuatan kelas menengah menghadapi proses globalisasi yang didukung oleh demokrasi politik. Apakah negara ini akan keluar dari jebakan globalisasi atau sebaliknya menjadi ladang subur eksploitasi alam dan korupsi di tengah arus deras pasar bebas.
Harus diakui kualitas pendidikan di Indonesia belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Sebagai contoh tantangan akan prestasi sumber daya manusia dalam menurunkan setengah angka kemiskinan menjelang Millenium Development Goals (MDGs) pada tahun 2015. Sulit memang untuk mengejar target tersebut mengingat dibutuhkan sumber daya manusia yang handal dan tidak sedikit.
Peran Civil Society
Dalam era pasca industri dan kemajuan teknologi informasi tugas dan tanggung jawab pendidikan semakin berat. Pendidikan tidak saja dituntut menunjukkan kualitasnya untuk menghasilkan out put yang sesuai dengan kebutuhan jaman. Pendidikan juga dituntut meningkatkan anggarannya yang tidak seimbang dengan jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 200 juta.
Ironis memang memperjuangkan anggaran pendidikan 20 persen sesuai amanat undang-undang dasar. Banyak energi yang terkuras untuk membiayai pendidikan dengan kenaikkan anggaran yang hanya 15,6 persen berdasarkan Perubahan Atas UU No 45 Tahun 2007 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2008 (UU APBN-P 2008).
Faktanya kesenjangan dalam dunia pendidikan masih saja tejadi meski dana BOS dan BLT sudah disalurkan. Di samping itu, masih ada guru yang mengabdi lebih dari 3 sampai 5 tahun namun kesejahteraannya belum terpenuhi. Kondisi fisik sekolah juga patut diperhitungkan. Berdasarkan data Depdiknas sisa ruang kelas rusak pada tahun 2009 sebanyak 135.194 ruang kelas tersebar di semua propinsi di tanah air, yakni dengan tingkat kerusakan ringan antara 0-10 persen sebanyak 1.331 ruang kelas terdapat di 19 propinsi, antara lain Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Jambi, Maluku, NTB, Papua, Bangka Belitung, Sulawesi Utara, Kalimantan Tengah dan sebagainya.
Pendidikan merupakan salah satu dari agenda jangka panjang dengan mendasarkan kepada kebutuhan pembangunan manusia. Tanpa pendidikan yang memadai mustahil suatu bangsa kuat menghadapi proses globalisasi. Pendidikan memainkan peran penting dalam kelangsungan hidup umat manusia. Dengan demikian diperlukan komitmen yang sungguh-sungguh dari pemerintah dan para pemangku kepentingan.
Oleh karena itu, peran dan dukungan civil society sangat penting bagi upaya negara berkembang untuk melakukan reformasi pendidikan. Sudah saatnya civil society mengajukan tawaran kepada pemerintah agar memanfaatkan utang luar negerinya untuk memberdayakan sektor pendidikan. Sehingga dukungan civil society secara politis memberikan tekanan kepada pemerintah untuk meningkatkan akses dan kualitas pendidikan kepada masyarakat dengan kebijakan yang demokratis.
Bila perlu dengan memperkuat delegasi Indonesia di lembaga keuangan internasional dengan mengagendakan diplomasi kemanusiaan tanpa menghilangkan potensi yang dimiliki bangsa Indonesia. Yang tidak menutup kemungkinan bagi negara berkembang proses liberalisasi perdagangan dapat dijadikan nilai strategis untuk memaksimalkan pembangunan ekonomi yang bertumpu pada pendidikan dan kemanusiaan. Wallohu ‘alam
0 Komentar
Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?