http://samotalis.com
Krisis utang Eropa menyisakan
persoalan pelik untuk memilih di antara dua menempuh jalan penghematan
atau pertumbuham ekonomi. Hal ini terungkap dalam pertemuan para pemimpin
negara G-8 saat mencari solusi krisis keuangan yang melanda negara-negara
itu. Dikabarkan bahwa pertemuan penting itu segenap negara mendukung
langkah penghematan sebagai solusi memperbaiki zona ekonomi Eropa (Sindo, 22 Mei 2012).
Dalam pertemuan itu masing-masing pemimpin negara kembali menuangkan
komitmennya untuk memulihkan kegiatan ekonomi untuk menyikapi Yunani
yang berisiko keluar dari zona Eropa. Perhatian mereka fokus pada krisis
yang menimpa Yunani karena beberapa negara di Eropa merupakan kreditor
atau pemegang obligasi pemerintah Yunani. Kerisauan semakin membuncah
manakala Yunani melepaskan diri dari ekonomi zona Eropa dengan kondisi
politik yang tidak stabil.
Berdasarkan informasi tersebut tahun lalu sudah diprediksi jika peluang
revitalisasi keuangan global kembali mendapat sorotan. Padahal sampai
detik ini krisis keuangan internasional masih dalam zona bahaya. Itupun
sangat berbeda dengan krisis sebelumnya tiga tahun lalu, kini episentrumnya
telah menyebar ke tiga titik yaitu Eropa, Amerika, dan Jepang (Tempo, Edisi 14-20/11/2011).
Di sisi lain, tampilnya kekuatan ekonomi China menjadi tantangan tersendiri.
Situasi ini dipicu dengan membaiknya kinerja ekonomi negeri Tirai Bambu
yang mendorong transaksi keuangan di zona Asia terus merangkak naik.
Dalam situasi lain persoalan geopolitik yang bersentuhan dengan Timur
Tengah, energi dan pengurangan ekspor minyak Iran turut memengaruhi
proses pemulihan ekonomi di AS dan Uni Eropa. Kendati upaya diplomatik
terus dilakukan dengan memberikan sanksi terhadap negeri Mullah itu.
Ideologi dalam Diplomasi
Dalam skema globalisasi ikhtiar diplomasi menjadi
isu srategis yang berperan mengambil putusan-putusan penting. Di forum
internasional seperti G-8 gambaran globalisasi yang terkait dengan tata
kelola keuangan internasional beserta lembaga-lembaga yang berada di
dalamnya memainkan peran terhadap profil ekonomi global dengan sentuhan
tangan kekuatan diplomasi.
Hanya saja kekuatan suara-suara di jalur diplomatik
melukiskan kekuatan negera-negara maju semata saat negara-negera berkembang
dengan kekuatan yang tidak menonjol ikut berpatisipasi dalam struktur
yang tidak adil di lembaga keuangan internasional. Ali Alatas dalam
pengantarnya pada buku Menjinakkan Metakuasa Globalisasi (2008) menuturkan dominasi negara-negara maju
dan sekutunya amat memengaruhi mekanisme tata kelola berikut aspek globalisasi
ekonomi yang menyertainya dan berdampak negatif pada kepentingan negara-negara
berkembang.
Melalui diplomasi ideologi globalisasi bekerja
sebagai kekuatan politik sekaligus ekonomi. Melihat negara-negara adikuasa
dan maju dengan segala kekuatannya meminjam ungkapan John Fiske (2007)
salah satu strategi hegemoni yang penting adalah dengan membangun anggapan
umum (commom sense) agar dapat diterima sebagai referensi ampuh
melakukan transformasi lewat kerja-kerja ideologi yang tersembunyi.
Cara kerja ini disajikan lembaga-lembaga keuangan
internasional ketika memberi obat mujarab kepada negara-negara berkembang
untuk mengendalikan stabilisasi keuangan justeru yang diperoleh malah
de-stabilisasi finansial dan kebangkrutan (Sugeng Bahagijo, Globalisasi Menghempas Indonesia: 2006). Dengan kebijakan moneter yang superketat
ideologi bersemayam dalam praktik diplomasi memperlemah pasar finansial
negara berkembang yang berbuah petaka pemutusan hubungan kerja, utang
dan kemiskinan.
Karena itu, ideologi globaslisasi dalam konteks
krisis finansial Eropa yang termanifestasi dalam pertemuan G-8 di Camp
David, Maryland, dengan butir-butir kesepakatan pemulihan ekonomi yang
dibangun bukanlah seperangkat nilai atau gagasan yang statis, namun
merupakan sebuah praktik. Di mana setiap anggota memposisikan sebagai
bagian pengguna ideologi globalisasi yang akan merespon dan mengatasi
krisis keuangan Uni Eropa.
Ideologi globalisasi sebagai tanda akan berbicara
kepada masyarakat dunia di sinilah kami bertemu dan merumuskan. Selain
itu, ilmu dan kekuatan teknologi yang akan mendistribusikan guna menjalankan
kuda troya globalisasi. Dengan begitu, anggapan umum yang telah dirumuskan
mengabaikan potensi atau kemungkinan bahwa penyebab krisis keuangan
Uni Eropa lebih bersifat finansial ketimbang persaingan kekuatan politik,
militer dan ekonomi global.
Meski cara penanganan krisis finansial di masing-masing
negara tersebut berbeda mereka akan mengartikulasikan anggapan umum
itu sebagai peluang atau kesempatan mereformasi sistem keuangan. Peluang
investasi dibedah ulang agar memiliki daya tarik walaupun cara kerja
ideologi globalisasi yang diterapkan masih menjual isu pertumbuhan,
stabilitas dan penguatan fiskal yang bertumpu pada sistem kapitalisme
kekinian.
Dialektika Sokrates
Membaca krisis keuangan Uni Eropa dari perspektif
dialektika yang melibatkan kekuatan ilmu pengetahuan dan teknologi,
ekonomi, politik serta pertahanan merupakan cara kerja diplomatik yang
melihat isu globalisasi sebagai hal yang dianggap penting. Bila dipandang
dari kacamata kaum sofis kekuatan negara-negara dominan adalah raksasa
ekonomi yang akan mengambil keuntungan dalam panggung kompetisi global
dengan metode dialektika.
Kondisi semacam ini dapat ditinjau dalam percaturan
geopolitik yang melibatkan negera-negara maju. Misalnya dalam mengkaji
soal keamanan, juga perubahan iklim, pasar energi, ketahanan pangan,
Afghanistan, Suriah dan peralihan menuju demokrasi yang sedang terjadi
di Timur Tengah dan Afrika Utara. Tidak terkecuali persoalan nuklir
yang melibatkan negara Iran dan Korut.
Sementara itu, langkah-langkah geopolitik dengan
kekuatan politik dan militer yang ditempuh dan tak jarang memakan banyak
korban. Kondisi ini menjadi paradok dengan nilai-nilai demokrasi dan
kemanusiaan yang selama ini dijunjung tinggi. Maka berkaca pada dialektika
Sokrates, seorang filsuf Yunani Kuno yang mempertanyakan seberapa penting
tujuan hidup manusia, kesenangan dan kehebatan.
Apakah tujuan perdamaian dunia identik dengan
kebanggaan dan kehebatan kekuatan militer yang ditopang oleh kekuatan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang menelan korban jutaan nyawa manusia.
Seberapa hebat sistem keuangan lembaga-lembaga internasional dalam memberikan
solusi terhadap negara-negara berkembang yang pada akhirnya terjebak
dalam perangkap utang yang mematikan.
Dialektika Sokrates sesungguhnya ingin mempertanyakan
dan menyadarkan setiap orang tentang makna dalam suatu kata. Bukankah
globalisasi sebagai suatu konsep metakuasa berimplikasi pada jutaan
orang diseluruh dunia yang bergantung pada kegiatan ekonomi. Krisis
Eropa mencerminkan globalisasi tidak bermakna peluang melainkan ancaman
setiap negara dalam menghadapi kekuatan lembaga keuangan internasional.
0 Komentar
Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?