Judul tulisan di
atas adalah pertanyaan mengenai Indonesia. Indonesia sebagai sebuah negara yang
ada dalam benak pikiran pembaca budiman. Pembaca bebas melihat Indonesia dari
sudut pandang manapun. Nusantara atau negara kepulauan adalah kebenaran faktual
ketika merujuk identifikasi Indonesia. Atau boleh jadi ciri-ciri dari Atlantis
yang hilang selama berabad-abad yang lalu sebagaimana didedahkan Profesor
Arysio Santos yang kemudian dibukukan dalam judul ‘Atlantis, The Lost Continent
Finally Found’.
Dalam buku
tersebut Santos mengupas apik bahwa benua Atlantis (yang diduga adalah Indonesia?)
tenggelam hingga mencapai dasar laut. Bencana gempa bumi dan gulungan ombak
besar menyapu bersih daratan Atlantis yang berada di Selat Sunda. Kabar Kota
Atlantis yang dalam penelitian Santos diperkirakan hilang 11.600 tahun silam
masih mengundang tanda tanya dan misteri besar.
Para pembaca
budiman yang sudah melahap habis karya Santos ini pastinya hafal betul dengan kekayaan
alam yang ada diperut bumi Benua Atlantis. Kesuburan tanahnya, keanekaragaman
hayatinya, rempah-rempahnya, dan kelebihan lainnya yang dimiliki Benua
Atlantis. Segala keunikannya adalah potret nyata tentang Indonesia sebagai
peradaban besar yang kita huni sampai detik ini.
Atlantis
mengisyaratkan sejumlah fakta yang dekat dengan Indonesia. Sampai saat ini pun,
ciri-ciri itu diyakini banyak kalangan adalah Indonesia. Untuk itu, sejenak kita
kembali melihat Indonesia dalam ruang dan waktu saat ini. Bukan melihat Indonesia
dalam panggung politik, ekonomi, pendidikan, budaya atau semangat Tim Nasional
Indonesia U 19. Namun melihat Indonesia yang berada dalam fakta bahwa sampai
hari ini kita hidup dalam negara yang rawan bencana.
Para pakar
Geologi berpendapat bahwa Indonesia berada di tiga titik pertemuan lempeng
tektonik yang mengitarinya. Selain diapit lempengan itu, Indonesia juga
merupakan jalur The Pasicif Ring of Fire
(Cincin Api Pasifik), yang merupakan peta vulkanik bahwa gunung-gunung yang ada
di kepulauan Indonesia adalah gunung api potensial di dunia. Selain itu,
berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) disebutkan
sebanyak 61 juta jiwa di 315 kabupaten dan kota berada di daerah bahaya
banjir, serta 124 juta jiwa berada di daerah bahaya longsor di 274 kabupaten
dan kota.
Dalam
data sementara BNPB, dipaparkan bahwa dari 1 Januari 2014 hingga 16 Februari
2014 tercatat 282 kejadian. Dampaknya 197 orang tewas, 64 luka-luka, 1,6 juta
jiwa mengungsi dan menderita, puluhan ribu rumah rusak dan lainnya. Dampak
ekonomi juga sangat besar. Perkiraan awal kerugian dan kerusakan akibat bencana
banjir bandang Sulut Rp 1,87 trilyun, erupsi Gunung Sinabung Rp 1 trilyun,
banjir Pantura Rp 6 trilyun, banjir Jakarta Rp 5 trilyun dan lainnya. Belum
lagi bencana lainnya selama 2014 ini.
Pertanyaannya
apakah rakyat Indonesia sudah siap menerima bencana sebagai keniscayaan? Jika sudah
siap, bagaimana menghadapinya? Pengetahuan, pemahaman dan kesadaran tentang
bencana menjadi penting dikemukakan. Namun, belum menjadi sebuah sikap atau
literasi hidup yang mudah dipraktikkan. Setidaknya Atlantis yang hilang dapat
menjadi modal, semangat atau motivasi bahwa bencana yang menghancurkan “Negara
Madani” ribuan tahun silam itu hanya sebagian dari bukti dan jejak sebuah negara
yang rawan bencana saat itu. Inipun jika kita masih memiliki asa jika Atlantis
adalah Indonesia sebagai negara rawan bencana sekarang ini.
Jatuhnya korban
dan kerugian akibat rangkaian bencana seperti gempa, banjir, longsor, dan
puting beliung sudah tidak terhitung. Belum lagi beberapa persoalan yang
dihadapi para pengungsi terutama terkait tempat tinggal, mata pencaharian, dan
sumber-sumber kehidupan lainnya yang hilang pascabencana yang menimpa beberapa
wilayah di Indonesia. Maka perlu dilakukan kesiagaan untuk mengurangi risiko
bencana.
Situasi ini
menjadi relevan untuk diuraikan terkait gagasan Gerakan Indonesia Siaga. Sebuah
lembaga penanggulangan bencana berpengalaman seperti MDMC Indonesia dapat
dijadikan rujukan bahwa antisipasi bencana melalui pengorganisasian dan edukasi
adalah jawaban aktual yang diwujudkan dalam rangkaian kegiatan yang tepat sasaran
dan berdaya guna.
Praktisi
manajemen risiko bencana, Rachmawati Husein, Ph.D mengatakan Indonesia Siaga adalah
ikhtiar kesiap-siagaan menghadapi bencana. Aktivasinya meliputi pengetahuan dan
sikap terhadap resiko bencana, pengorganisasian, pemasangan, dan pengujian
sistem peringatan dini, penyediaan dan penerapan barang pasokan pemenuhan
kebutuhan dasar, penorganisasian, penyuluhan, pelatihan, gladi tentang
mekanisme tanggap darurat dan penyiapan lokasi evakuasi serta rencana evakuasi.
Gerakan Indonesia Siaga sendiri telah
diwujudkan MDMC Indonesia dan LAZISMU dalam rangkaian aksi diantaranya Sekolah
Siaga Bencana, Rumah Sakit Siaga Bencana, Relawan Siaga Bencana, Lumbung Siaga,
Komunitas Siaga Bencana (Jama’ah Tangguh
Bencana) dan recovery atau
rehabilitasi pascabencana. Dengan kata lain, konsep ini adalah menumpahkan ide Humanitarian Rescue dalam suatu program berbentuk layanan gerak kemanusiaan dengan
fokus utama penanganan bencana dan kesehatan masyarakat melalui sistem layanan
yang terintegrasi.
Selanjutnya,
apakah kita siap melakukannya? Atau baru merespon setelah bencana terjadi. Kita
semua berharap individu, kelompok atau komunitas dapat menjadi peniup peluit (whistle blower) dalam mengurangi risiko
bencana. Tujuan hikmah tulisan ini tidak lain adalah untuk mengajak setiap
orang dan belajar bersama bahwa upaya kesiapsiagaan menghadapi bencana menjadi
keharusan bagi semua orang.
Akhir kata,
semoga spirit dan antusiasme para pembaca menjadi pemantik untuk berbagi wacana
kepada yang lain walau hanya mendengar di waktu senggang. Wallohu ‘alam.
0 Komentar
Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?