Musim layangan bagi
anak-anak merupakan situasi yang menyenangkan. Selepas pulang sekolah, sehabis
ashar adalah waktu yang pas untuk bermain layangan. Udara di sore hari tidak
terlalu panas sehingga mata tidak terlalu silau saat menatap layangan di udara.
Ke mana pun angin berhembus
layangan siap diulur dengan benang setingi-tingginya. Tak jarang di antara mereka
saling adu kuat di udara. Siapa yang putus dari benang saat itu juga layangan
terhempas di udara terbang jauh sampai jatuh tiba saatnya.
Untuk memeroleh
layangan anak-anak cukup membeli di sekitar tempat tinggal mereka. Tentu saja
layangan yang diperoleh berikut benang dan benang tajam khusus untuk adu kuat
di udara. Sore itu, di tepi perlintasan kereta api di daerah Klender anak-anak
ramai bermain layangan. Namun ada situasi berbeda saat itu. Dari jauh terdengar
suara seperti memanggil. Lalu semakin dekat suara itu. Ternyata seorang anak
sedang menjajakan layangan.
Adi, begitu anak itu disapa
oleh anak-anak yang biasa membeli layangan darinya. Yang menarik dari Adi, ia
menjajakan layangan tidak menetap di suatu lapak atau tempat yang biasa
dilakukan oleh para pedagang. Ia
berjualan layangan keliling di sekitar Penggilingan, dari gang satu ke gang
lainnya. Layangan, layangan......layangan.....suara itu yang sering saya dengar
di sore hari.
Suatu waktu, saya momong anak untuk jalan-jalan
di sore hari. Seperti biasa bersama anak saya ini jalan-jalan sore sambil
melihat kereta api yang melintas. Kebetulan, mungkin sama seperti anak balita
lainnya, Asfar nama anak saya, sangat antusias jika diajak melihat kereta api
yang panjang melintas dihadapannya.
Adi si penjual layangan keliling terlihat duduk di
antara bantalan kereta api yang sampai saat ini dalam proses pembuatan proyek
DDT (double-double track) PT. KAI. Dengan topi yang dibalik ke belakang,
Adi begitu semangat menawarkan layangan kepada anak-anak di sekitarnya.
Layangan 1000 rupiah, ayo siapa beli, siapa beli, teriaknya mengundang agar didekati.
Lantas, saya pun penasaran untuk mendekati, tapi bukan
untuk membeli layangan. Yang membuat saya bergegas untuk menghampiri Adi adalah
kerdus yang dibawanya sebagai teman setia menjual layangannya saat berkeliling.
Langkah saya pun untuk mendekatinya terhenti. Di antara barisan bantalan kereta
api itu saya duduk bersama Asfar. Melihat layangan dan benang yang ada di dalam
kardus itu.
Tak berhenti sampai di situ, rasa penasaran saya
terhadap kerdus itu usai dihadapannya. Tapi mata tetap tertuju ke arah kerdus
yang bertempel kertas putih. Di kertas itu tertulis print cetak yang membuat
saya takjub. Tulisan itu berbunyi: Bersaing Sehat Dalam Berusaha, Belajar
Jujur Dari Hal Kecil. Entah apa yang terlintas dalam pikiran saya. Yang
pasti, saya mendapat pelajaran berharga dari sosok anak kecil bersahaja itu.
Saya tidak tahu apa
maksud Adi dengan tulisan itu. Dan apa yang ada dalam benak Adi, masih terus
menggelayuti isi kepala saya. Atau Adi sedang belajar memaknai ikhtiarnya
selama ini dengan berjualan layangan keliling. Bisa juga Adi sedang “berdakwah”
atau mengajarkan kita untuk bersikap jujur dalam melakukan sesuatu. Yang jelas,
Adi sendiri telah memulai berupaya untuk belajar dari hal kecil tentang apa
yang telah dilakukannya saat ini.
Adi adalah sosok anak yang tidak sekolah. Belum ada informasi sedikut pun yang berhasil ku kantongi
kenapa ia tidak bersekolah. Itu pun jujur dari pengakuannya saat saya tanya, kamu
sekolah kelas berapa? Apakah ada sesuatu yang membuatnya harus berhenti sekolah
saya pun tak mengerti. Kendati Adi tidak bersekolah layaknya anak-anak seusianya,
bagi saya Adi sedang bersekolah dalam konteks kehidupan yang nyata.
Ia secara tidak
langsung mengajarkan sesuatu yang lain berupa pesan positif dari tulisan yang
dibuatnya di kerdus itu. Ia menjadi anak yang berbeda di tengah anak-anak lain
yang sedang asyik bermain layangan. Tak ada alasan malu (apalagi takut dihina)
oleh anak-anak yang lain, begitu saat saya melihat wajahnya yang polos.
Sesekali ia bercanda dan ceplas-ceplos berbicara yang mengundang tawa anak-anak
yang lain.
Namun, pada saat
bersamaan, mungkin tanpa kita sadari, kita tidak mampu melakukan apa yang telah
Adi lakukan saat ini. Adi bagiku ibarat cermin sosial yang telah menampilkan
wajah seorang anak yang mencoba memuliakan kehidupan dengan keberanian dan apa
adanya. Terima kasih Adi, Kamu telah menjadi guru di sekolah kehidupan.
0 Komentar
Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?