Jangan pernah ragu untuk berbagi. Yakinlah bahwa
berbagi itu kidung cinta yang menjelma dalam setiap kata yang keluar dari akal
dan lubuk hati terdalam. Ia adalah simpul kesadaran yang pada saatnya akan
menjadi aksi bagi insan yang mengalaminya. Filantropi adalah sebuah ajaran
leluhur yang sampai saat ini dan seterusnya akan terus tumbuh dan berkembang.
Ia ada dalam suatu tradisi, budaya, agama dan situasi lain yang tertanam begitu
kuat.
Tak kalah penting, pemahaman mengenai ini dalam konsep
kedermawanan yang sejauh ini ada dalam persepsi setiap orang bukanlah suatu
yang final. Filantropi justeru akan terus berkembang dengan segenap isu yang
menyertainya. Apalagi informasi tentang hal itu terus up to date terutama
pada acara peluncuran (launching) hasil studi dan diskusi hangat dengan
tema :“Lever for Change: Philanthropy in Select South East Asian
Countries“ yang digelar lembaga yang fokus pada studi filantropi, gerakan
dan penguatan masyarakat sipil (PIRAC) yang bekerja sama dengan Lien Center for
Social Innovation serta Perhimpunan Filantropi Indonesia (PFI).
Acara yang berlangsung di Hotel Sultan, Jakarta ini
(03/12/2014) menampilkan peneliti utama yaitu Prapti Upadhyay dan Crystal
Hayling, keduanya dari Singapore Management University melalui lembaga risetnya
Lien Center for Social Innovation. Adapun pembicara lain
adalah Hamid Abidin sebagai peniliti dari Public Interest Research and
Advocacy Center (PIRAC). Hadir dalam acara tersebut lembaga filantropi
seperti Dompet Dhuafa, Lazismu, Rumah Zakat, Pundi Amal SCTV, Pundi Perempuan, Non
Profit Organization (NPO), Kementerian Agama, dan lembaga lain yang tidak
dapat disebut satu persatu.
Dipandu moderator Ratna
Fitriani, aktivis dari Indonesia untuk Kemanusiaan diskusi ini dimulai di Asean
Room. Dalam diskusi itu Ratna juga nantinya bertindak sebagai brief translastor
untuk dua narasumber Prapti dan Crystal. Mengingat objek kajian yang
dibeberkan adalah terkait filantropi di negara-negara Asia Tenggara, yang juga
terkait dengan isu-isu filantropi di Indonesia, Hamid Abidin memaparkannya
setelah Crystal dan Prapti, papar Ratna.
Diketahui bahwa
pertumbuham ekonomi di Asia dalam tiga dekade terakhir ini menurut hasil studi
Lien Center for Social Information telah mendorong terjadinya perubahan peta
kemakmuran yang bertalian dengan kegiatan filantropi. Disebutkan dalam hasil
studi oleh Bank Swiss UBS yang bersinergi dengan sekolah bisnis INSEAD serta
sebuah laporan dari Economist Intelligence tentang filantropi keluarga
di Asia (Family Philanthropy) ditemukan bahwa telah terjadi peningkatan
partisipasi di kalangan orang-orang kaya baru khususnya Asia dalam usaha-usaha
filantropi.[1]
Lantas studi ini dalam
kajiannya menuangkan empat karakteristik kunci sebagai temuannya yaitu:
kekayaan mereka dihasilkan melalui perusahaan keluarga yang besar atau
perusahaan yang berafiliasi dengan negara; sumbangan amal diarahkan oleh
keluarga; dengan beberapa penasehat profesional; memberi terinspirasi dari
keinginan untuk mentransfer nilai-nilai dari satu generasi ke generasi berikutnya
bersama dengan kekayaannya; dan berderma dimulai dengan keluarga, kemudian
berkembang ke klan, selanjutnya ke masyarakat setempat.
Crystal mengatakan
penelitian ini sudah ada sebelumnya di mana faktor intrinsik sangat terkait
dengan pola memberi (charity) di masyarakat. Karena itu, di sini kami
akan memberikan sudut pandang lain, yaitu dari sisi ekstrinsik, paparnya.
Faktor ekstrinsik itu menurut Crystal adalah suatu kebijakan publik yang
menjadi instrumen dalam mempola gaya dan takaran filantropi secara kelembagaan.
Dengan kata lain, ada semacam aturan dan tata kelola yang dibuat oleh negara
misalnya yang mendorong individu atau lembaga untuk berderma atau menghimpun
dana sosial. Corporate Social Responcibility (CSR) sebagai contoh, ungkapnya.
Namun yang menjadi
catatan adalah konsep filantropi yang dimaksud adalah filantropi strategis.
Artinya di sana ada suatu rencana sistematis dan terukur sehingga tujuan dan
capaiannya memberikan dampak sosial terhadap masyarakat. Dan, studi ini tentu
tidak akan bermakna jika tidak ada respon dan kerjasama dari para semua pihak (stakeholders).
Di negara-negara Asia Tenggara filantropi yang digerakan oleh swasta telah
mengaktivasi suatu informasi berharga yang manfaatnnya dapat dirasakan publik.
Tanpa tindak lanjut,
studi yang dilakukan secara personal maupun oleh lembaga-lembaga non-profit
akan mengalami kegagalan yang berakhir pada kebuntuan. Setidaknya studi
filantropi yang dibeberkan dapat menemukan konteksnya. Sejalan dengan itu,
Crystal mengungkapkan maka perlu edukasi kembali kepada semua pihak sebetulnya
apa itu filantropi dan charity di sisi lain. Hal ini untuk menunjukkan tentang persepsi semua orang
mengenai konsep filantropi. Maka filantropi strategis mendesak dibutuhkan untuk
menemukan hal-hal mendasar (context of discovery) yang selanjutnya dapat
dijadikan rujukan (context of justification) untuk menilai makna
filantropi yang bersentuhan dengan proses perubahan sosial di dalamnya.
Lalu, sejauh mana
sesungguhnya filantropi institusi itu dalam makna strategisnya? Dan mengapa
begitu penting? Dalam perspektif civic education diterangkan bahwa peran
masyarakat sipil merupakan komponen utama dalam tegaknya pilar-pilar demokrasi.
Di luar tembok negara, masyarakat sipil yang berbalut kain LSM dan nirlaba
(NPO) secara sosilogis memiliki peran untuk mengedukasi, mengadvokasi dan
menggerakan gagasannya dalam bentuk aksi. Apa yang tidak dilakukan oleh negara
atau hilangnya hak-hak dasar masyarakat dapat dipotret oleh lembaga-lembaga ini
sebagai pintu masuk menyuntikan kesadaran kritis ke tengah masyarakat.
Saat ini, telah banyak
berkembang lembaga-lembaga non profit tadi yang pada dasarnya sebagai jawaban
atas ideologi pembangunan yang berkembang di negara dunia ketiga. Globalisasi
sebagai tatanan dunia yang tak kenal belas kasihan dalam kenyataannya telah
banyak menceritakan ketimpangan, ketidakadilan dan kemiskinan akut. Terlebih
lagi, panggung publik adalah medan kajiaan NPO ini, maka ikhtiar pemberdayaan
dan penyadaran (awarness) merupakan keniscayaan yang harus didorong
bagaimana akses masyarakat terhadap informasi dapat menemukan batu pijakannya.
Selain itu, dalam skala
tertentu NPO tidak memiliki sumber kapital, yang dimiliki hanya gagasan dan
semangat untuk mengoptimalkan sumber daya sosial yang bermanfaat untuk
masyarakat. Karena itu, kajian agama, ekonomi, seni, pendidikan, sosial,
budaya, humaniora, dan lainnya merupakan saluran untuk mengelola aktivitas
filantropi yang strategis. Kendati demikian, di luar sana ada banyak lembaga
filantropi (agama/ZIS) dan lembaga lain yang turut berkecimpung hal itu adalah
tantangan bagaimana elemen-elemen masyarakat sipil tersebut dapat
berkolaborasi.
Bagi Crystal, organisasi
masyarakat sipil dan filantropi merupakan irisan dalam suatu elemen yang
kesamaannya dalam aspek-aspek tertentu terdapat hubungan yang integral. Bahkan
studi ini, dalam banyak kasus, menemukan bahwa filantropi merupakan sumber daya
yang besar dari pendapatan bagi NPO dan usaha sosial, terutama bagi mereka yang
baru tahap merintis. Peneliti ini menunjukkan bagaimana situasi itu, khususnya
di Barat aktivitas filantropi begitu kuat terorganisir. Mereka bermain
strategis dan mengakar kuat dalam panggung sosial.
Sementara dalam konteks Asia
Tenggara, dari beberapa negara yang dipilih seperti Filipina, Singapura, dan
Indonesia, antara charity dan filantropi memiliki pengalaman-pengalaman
sendiri dalam suatu lembaga filantropi. Di Filipina, lembaga filantropi dalam
lingkungan politik terentu mendapat kesempatan untuk bersinergi dengan NPO
lainnya. Hal itu ditandai dengan adanya dukungan dan tingkat kepercayaan
masyarakat terhadap lembaga filantropi.
Untuk itu, di Filipina sumber dana dari korporasi merupakan hal
penting bagaimana aktivasi filantropi dapat berjalan. Di lain pihak,
yayasan-yayasan yang berdiri dan terpercaya turut andil sebagai penyandang
dana. Sementara itu, pemerintah mendukung sektor non-provit yang perwujudan
dari kebijakannya melayani biaya-biaya yang dibutuhkan oleh masyarakat seperti
kontrak dan layanan publik. Dengan begitu, perkembangan itu tetap tidak
mengganggu yayasan-yayasan lain yang sudah lama berdiri. Bahkan, di Filipina
kultur hibrida lembaga filantropi strategis terus tumbuh dan menjadi kekuatan
sosial domestik yang dalam perkembangannya nanti berperan sebagai filantropi
domestik yang dananya tidak bersumber dari dana-dana dari negara luar.
Pengalaman lain berkenaan
dengan filantropi strategis juga berlangsung di Singapura. Gambaran itu sangat
menarik, di mana pemerintah melalui regulasinya secara pro-aktif ikut
mengembangkan filantropi di negaranya. Bahkan menerapkan kebijakan khusus untuk
memajukan sektor filantropi itu sendiri.
Menurut Prapti Upadhyay, di Singapura filantropi
strategis dapat digambarkan dengan beberapa hal di antaranya: kontribusi
berderma sektor swasta pertumbuhannya menjadi lebih dari
dua kali lipat dalam lima tahun terakhir,
hal ini didorong oleh kemakmuran ekonomi, kerangka pajak progresif, dan insentif pemerintah seperti pencocokan program hibah.
Di kondisi yang lain, filantropi kelembagaan telah
menjadi lebih umum dengan meningkatnya sumbangan amal
dari perusahaan dan organisasi filantropi.
Sementara filantropi swasta telah
berkembang dengan konstan, pemerintah (yang masih tetap penyandang dana terbesar dari non-profit sektor dan organisasi yang
disponsori pemerintah terus dilakukan untuk memainkan
peran yang dominan dalam
memberikan sosial dan
kesejahteraan jasa).
Hal ini kontras dengan banyak negara lain di kawasan Asia Tenggara, infrastruktur pendukung yang lebih besar justeru dari sektor non-profit dan sampai batas tertentu, filantropi
di Singapura berkembang dengan baik.
Beberapa faktor yang berkontribusi
terhadap hal ini, termasuk
investasi pemerintah yang signifikan
dalam fasilitator dan kapasitas
lembaga, jasa konsultasi perbankan diarahkan untuk penduduk Singapura. Dan adanya peluang dari non-profit
internasional, beberapa di antaranya
adalah penyedia layanan dukungan
untuk filantropis dan organisasi non-profit.
Seperti kebanyakan negara Asia, pendidikan merupakan fokus agenda
strategis untuk sebagian filantropi
swasta, diikuti oleh kesehatan dan pembangunan sosial.
Namun Prapti juga mencontohkan negara lain yang
dapat dijadikan referensi, India misalnya. Diketahui bahwa India merupakan
negara yang jumlah penduduknya termasuk besar. Tingkat kesejahteraan ekonomi
dan sosial di negara itu juga mengalami ketimpangan karena penduduk miskin di
India termasuk dalam situasi yang akut. Hanya saja di sana, lembaga filantropi
strategis dapat berperan sehingga upaya edukasi dan pemberdayaan dapat
teraktivasi dalam batas-batas tertentu.
Sekali lagi dalam penyampaiannya Prapti
menekankan arti penting edukasi bagi masyarakat dan semua pihak tentang
filantropi itu sendiri yang secara makna berbeda dengan charity yang
bersifat jangka pendek. Sehingga ada semacam kesadaran untuk saling mengenal
dan mengetahui yang muaranya terjalin kohesi sosial antar lembaga, komunitas
dan lainnya untuk bersama-sama mengembangkan komunitas filantropi.
Uraian senada juga disampaikan Hamid Abidin,
dalam konteks Indonesia filantropi tidak dapat dipisahkan dari latar historis
bangsa Indonesia. Dalam perkembangannya di Indonesia ruh filantropi tumbuh di
awal 1990-an. Dalam perjalanannya di era 1995 lembaga-lembaga filantropi lain
terus tumbuh dan tidak memengaruhi lembaga filantropi pertama yang sudah
berdiri bahkan capaian penghimpuannya juga tidak berkurang, dan lembaga yang
baru terus naik dalam ranah fundraising.
Barulah di tahun 2000 hingga saat ini
lembaga-lembaga filantropi menunjukkan eksistensi. Filantropi perusahaan, yayasan
keluarga, Lembaga ZIS, filantropi masyarakat, filantropi komunitas sampai
dengan filantropi media tumbuh bak jamur di musim penghujan. Hal itu,
disempurnakan dengan semakin tingginya angka kelas menengah dan akses informasi
teknologi media (sosial media) yang membuat setiap orang saling bertukar
informasi dan pengalaman. Dan di saat itu pula pola-pola berderma di masyarakat
turut mengalami perubahan yang pada akhirnya terjadi ruang privasi dalam
konteks berderma.
Misalnya orang yang berderma dalam lembaga
filantropi tertentu tidak ingin disebutkan namanya. Padahal, dalam konteks
filantropi strategis transpransi dan keterbukaan informasi menjadi sangat
penting untuk saling bertukar informasi. Dalam konteks lain, hal itu untuk
membuka nilai edukasi bahwa dalam memilih program filantropi memerlukan
evaluasi sehingga antara lembaga filantropi dan orang yang berderma bisa saling
berinteraksi.
Hamid menambahkan, mungkin doktrin teologis
tentang “tangan di atas lebih baik dari tangan dibawah“ tidak mendapatkan makna
atau tafsir kontekstualnya yang pada akhirnya terjadi kegagalan dalam
mempersepsi apa itu berbagi. Untuk itu, perlu ada edukasi kembali bahwa tafsir
sosial tentang filantropi perlu ditinjau kembali. Jadi dalam situasi lain juga,
jangan hanya soal ijtihad yang dapat merekonstruksi tafsir di ranah fundraising
saja, melainkan sejauh mana ijtihad itu mampu menghasilkan makna baru dalam
menafsirkan delapan asnaf yang menjadi fokus kajian pemberdayaan filantropi
Islam.
Sementara itu, di ranah kebijakan publik juga
perlu dikritisi. Karena ini menyangkut aturan main (role playing) di
mana sesungguhnya posisi oraganisasi filantropi yang berbasis agama dan
filantropi berbasis NPO. Rezim Orde Baru memang merupakan pengalaman yang pahit
bagi NPO untuk merasakan udara segar dalam berserikat dan berkumpul. Namun
dalam perkembagannya pasca reformasi kebijakan publik yang menjadi objek kajian
penelitian ini dalam konteks faktor Ekstrinsik di Indonesia sepenuhnya tidak
cukup menggembirakan.
Inovasi kebijakan yang tertuang dalam
undang-undang, dewasa ini bagi filantropi dan sektor non-profit lebih besar
tertuju pada UU No. 36/2008. Yang di dalamnya dalam UU itu menyediakan
pembebasan pajak penghasilan, pada sumbangan keagamaan, pendapatan NPO yang
bekerja di ranah pendidikan, riset, sepanjang sebagai laba yang diputar kembali
dalam program tersebut untuk mendukung sektor publik. Hal ini termasuk dengan
amal personal dan perusahaan untuk penanggulangan bencana, riset, pembinaan dan
pelatihan, pembangunan sarana-prasarana publik, serta untuk keperluan publik
dalam memenuhi syarat untuk pemotongan pajak dari pajak penghasilan.
Di samping, kajian penting lainnya adalah dari
undang-undang yang berpotensi menguntungkan sektor non-profit dengan
menciptakan sumber daya dukungan filantropi domestik yang berkelanjutan adalah
UU No. 40 tahun 2007. Seperti disebutkan sebelumnya dalam bab ini, UU tersebut
berusaha untuk mendorong praktik bisnis yang bertanggung jawab, khususnya di
kalangan perusahaan pertambangan dan mereka yang memanfaatkan sumber daya alam
Indonesia, dengan mewajibkan mereka menghabiskan setidaknya 2 persen dari
keuntungan mereka pada program-program CSR.
Tampaknya, berdasarkan kajiajn PIRAC, Hamid
membeberkan bahwa ada banyak informan kunci, percaya bahwa pedoman tata kelola yang
jelas dari pemerintah terkait dikeluarkannya kewajiban CSR untuk pendidikan
masa depan Indonesia, kesehatan, dan kebutuhan sumber daya manusia atau
mekanisme untuk memastikan bahwa hal tersebut mengatasi tantangan sosial secara
terus-menerus, akan berfungsi untuk meningkatkan potensi hukum yang berdampak
sosial dan juga akan menciptakan aliran pendapatan yang berkelanjutan bagi NPO
yang bekerja di daerah tersebut.
Selanjutnya, terkait aturan dan tata kelola ini,
Hamid juga mengurai persoalan yang terjadi dalam lembaga ZIS yang bertalian
dengan organisasi masyarakat. Sejak dikeluarkannya Peraturan Pemerintah yang merupakan pelaksana langsung
ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, yaitu Peraturan
Pemerintah Nomor 14 Tahun 2014 telah diundangkan. UU tersebut menurut Hamid
juga menjadi isu krusial yang pada praktiknya menyentuh lembaga pengelola zakat
yang tidak berbasis ormas.
Satu hal lagi, terkait
kreasi dan inovasi selama ini agenda program yang terjadi dan dialami
lembaga-lembaga filantropi masih menjadi pekerjaan rumah. Karena bagi Hamid
belum ada sesuatu yang baru dalam inovasi program filantropi. Hanya cara
pandang dan pendekatannya yang baru. Sebetulnya hal ini pernah diungkap dalam
penelitian Hilman Latief dalam karyanya Melayani Umat: Filantropi islam dan
Ideologi Kesejahteraan Kaum Modernis (2010) yang memotret dinamika gerakan filantropi Muhammadiyah: doktrin, wacana,
kebijakan, praktik, proses mobilisasi, dan dilema pengorganisasiannya. Menurut
Hamid, selama ini yang sedang dilakukan lembaga filantropi sudah pernah
dilakukan Muhammadiyah. Jauh sebelum negara ini berdiri, filantropi kesehatan,
pendidikan, sosial dan ekonomi telah tumbuh di tubuh organisasi modern ini,
paparnya merujuk buku Hilman Latief.
Pedagogi Filantropi
Dari uraian di atas, di sini penulis yang hadir
dalam acara itu, tentu tidak dapat menyimpulkan atau mengurai secara lebih jauh
karena keterbatasan data dan waktu. Namun, sejauh yang penulis cerna setidaknya
dari tiga pembicara di atas ada titik temu yang menurut hemat penulis layak
untuk diajukan yaitu terkait pedagogi filantropi.
Mengapa pedagogi filantropi, karena dalam konteks
ini wacana dan kajian akan hal ini penting dikemukakan. Selain itu, jika
terjadi kegagalan dalam mempersepsi filantropi tentu sangat memengaruhi cara
pandang dan praktik filantopi itu sendiri di tengah publik terutama masyarakat
yang meyakini bahwa filantropi adalah selain ajaran agama juga ajaran leluhur
yang sampai saat ini masih terus berlangsung.
Pedagogi filantropi itu sendiri merupakan edukasi
kedermawanan. Secara bahasa filantropi dari bahasa Yunani, yaitu philein, "cinta"
dan anthropos, "manusia", adalah tindakan seseorang yang
mencintai sesama sehingga menyumbangkan uang, waktu, tenaga dan hal lain yang
bermanfaat untuk menolong orang lain disebut filantropi. Dalam Islam ia dikenal
dengan sedekah, infak, wakaf dan zakat. Intinya suatu tindakan berbagi untuk
menolong, membantu dan memberdayakan orang yang lemah secara sosial, ekonomi,
budaya dan lainnya.
Filantropi sebetulnya tidak
hanya ada dalam agama Islam saja, dalam agama lain filantropi juga menjadi
ajaran dan etika bagi setiap pemeluknya. Hal ini dapat dilihat pada buku Miriam
Frenkel dan Yaacov Lev (Ed) yang berjudul Charity and Giving in Monotheistic
Religion (2009), dijelaskan disana bahwa tradisi memberi dan berbagi dalam
agama monoteistik telah menjadi suatu inspirasi untuk menggambarkan dunia di
mana ada suatu simbiosis mutualisme dalam mengatasi kesenjangan ekonomi anatara
yang kaya dan miskin.
Untuk itu, filantropi
sebagai ilmu dan gerakan sudah ada dalam sejarah agama di dunia hingga sampai
saat ini. Dalam Islam sendiri, manusia sesungguhnya makhluk yang tidak memiliki
apapun secara esensial. Karena secara fitri manusia ada potensi maka ia
berusaha untuk melengkapi ketidaksempurnaannya itu. Karena itulah, dalam
maknanya yang esensial saat manusia memiliki (property) disaat itulah ada
hak orang lain. Seutuhnya kepemilikan itu bukan milik manusia, namun secara
eksistensial makna milik sesungguhnya hanya milik Allah semata.
Dengan demikian, filantropi
sebagai ilmu, secara epistemologi merupakan kebenaran yang dalam konteks nilai pengetahuan memiliki kesesuaian
dalam bentuk mental pengetahuan dan objek realitasnya. Bahkan secara keilmuan filantropi
hadir dalam benak setiap orang tanpa perlu pembuktian (self evidence). Misalnya,
saat kita memberi sesuatu kepada orang, tanpa perlu perantara kita langsung memberikan.
Kendati secara empirik realitasnya ada disekitar kita. Hanya saja terkadang
tidak valid karena hanya hasil pencerapan inderawi. Namun jika diketahui secara
langsung dan ikut mengalami dalam realitas itu barulah kebenaran akannya terbukti
tanpa keraguan.
Dengan kata lain, dalam
suatu proposisi konsep filantropi ada pada konsep mental dan eksternal. Jadi,
filantropi adalah objek yang dipahami dan manusia sebagai subjek yang memahami.
Bersamaan dengan itu, karena filantropi merupakan konsep umum (universal) maka
ia mencirikan (konsep memberi). Konsep yang hadir dalam benak. Ia ditemui dalam
dan melalui pengalaman mental, tanpa menggunakan seperangkat indera atau
perantara atau cerapan yang lain juga. Kita memahami bahwa konsep ‘filantropi’
tidak menunjukan memberi tertentu, melainkan berlaku pada memberi yang lain tak
berhingga. Maka, proposisi konsep memberi adalah universal ia adalah benar
secara keilmuan.
Barulah saat manusia
mengetahui filantropi ini secara konseptual, filantropi dapat diterapkan dalam
sesuatu yang lain dengan konsep yang berbeda, seperti sedekah, charity,
infak, CSR, beasiswa, bantuan, hibah atau lainnya yang pada hakikatnya bermakna
memberi. Selain sebagai tindakan rasional dan sadar, memberi juga merupakan
dasar etis manusia untuk memahami dan mencintai orang lain. Di sinilah nilai
aksiologis memberi (filantropi) sebagai pengetahuan amali.
Berpijak dari sinilah upaya
meletakkan pedagogi filantropi semakin penting dikemukakan, untuk menjembatani keraguan
dan ketaksesuaian saat memahami apa itu filantropi. Dus,bila telah
memiliki persepsi yang sama akan definisi filantropi itu tidak mustahil setiap
individu, kelompok, komunitas atau perusahaan dapat melakukan strategi
filantropi yang fungsinya untuk memahami masalah sosial dilingkungannya.
Sehingga mereka yang tersingkirkan secara sosial dapat berpartisipasi dalam hal
pemberdayaan terhadap sesama. Wallohu ‚alam
[1] Dalam ringkasan eksekutif,
peneliti merujuk data dari UBS-INSEAD mengenai Study on Family Philanthropy
in Asia yang diterbitkan UBS Philanthropy Service tahun 2011 di
Singapura.
0 Komentar
Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?