Sekolah Anti Pendidikan

Oleh: Nazhori Author


Pemenuhan anggaran pendidikan adalah persoalan utama pembangunan sektor pendidikan negara dunia ketiga. Tiadanya persamaan dan kesempatan yang mencolok dipandang sebagai dampak dari ekonomi politik negara yang bersangkutan. Dalam kasus Indonesia, kebijakan wajib belajar tidak tuntas menyelenggarakan pendidikan yang dapat diakses oleh masyarakat yang lemah secara ekonomi.


Tidak mengherankan jika hasil riset Indonesia Corruption Watch (ICW) sejak tahun 2003 hingga 2007 di beberapa daerah antara lain Jakarta, Garut, Tangerang, Lombok, Makasar, Padang, Banjarmasin, Sumba dan Bau-Bau, memperlihatkan terjadi anomali dalam pendidikan. Kenaikan anggaran pendidikan justru diikuti kenaikan biaya yang ditanggung oleh orang tua murid untuk penyelenggaraan sekolah.


Masalah lain yang sangat miris ialah disahkannya UU tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang tidak sejalan dengan elan vital otonomi perguruan tinggi. Alih-alih ingin memberdayakan perguruan tinggi agar berkualitas, yang terjadi justeru membuat pakubumi industri pendidikan. Perguruan tinggi ibarat perusahaan yang dimiliki seseorang dengan saham penuh dipundaknya.

Itulah yang terjadi, jika meminjam teori ekonomi yang mengatakan kelemahan dan ketidakmampuan negara menjadi dasar terbentuknya sintesis privatisasi, yang membangun argumentasi mendukung kepemilikan swasta daripada kepemilikan publik (Kate Bayliss dalam Tumiwa dkk, 2007). Dikhawatirkan dengan dikeluarkannya UU tentang BHP menjadi dasar adanya ketidakmampuan negara untuk melindungi lembaga publik.


Salah satu konsekuensinya boleh jadi yang awalnya tidak jelas akan menjadi jelas pertalian antara pengetahuan sekolah dengan konsumerisme investasi di mana kapitalisme berhasil melumpuhkan dan memanipulasi sistem pendidikan. Alhasil menurut Gintis pendidikan mempunyai keuntungan ekonomis oleh karena ia memungkinkan sementara golongan untuk merebut monopoli-monopoli profesional dan teknis atas pekerjaan yang menguntungkan dan sektor-sektor yang penting (Philip Robinson, 1986).


Pasar Budaya
Menyoal pendidikan dan struktur kesempatan merupakan daya upaya untuk membedah hak-hak warga negara atas pendidikan. Kondisi ini mengingatkan gagasan Collins tentang pasar budaya (cultural market) yang menentukan struktur dan kontak-kontak dalam sistem pendidikan bukan hanya produk kekuatan-kekuatan ekonomi melainkan campuran berbagai kepentingan yang mengkristal.


Laiknya sebuah pasar para pembelinya pun membeli secara sadar tapi untuk keperluan yang berbeda-beda. Sebagai contoh menjamurnya sekolah dengan berbagai standard dan kurikulum untuk memenuhi kebutuhan pemilik sekolah sekaligus memegang kontrol yang berperan melindungi kepentingan-kepentingan kaum gentry.


Dalam hal ini, menarik untuk mengemukakan kembali tesis korespondensi tentang adanya hubungan antara pendidikan dan negara secara memadai dengan deskripsi kebijakan pendidikan di Indonesia. Alasannya diluar persoalan pendidikan dan negara ada peran dari tangan dingin intelegensia administratif yang secara sederhana memiliki daya paksa yang lebih besar dari pada masyarakat dan perekonomian.


Dengan demikian pasar budaya yang melanda sistem pendidikan mengisyaratkan hubungan antara pendidikan dan produksi yang memiliki suatu komponen ekonomik dan juga status serta komponen-komponen birokratik. Hal ini jelas akan mempengaruhi kebijakan pendidikan karena pendidikan ibarat pasar yang berkompetisi mencari konsumen. Akibatnya mereka yang punya uang mendapatkan layanan pendidikan.


Belum lagi dengan out put pendidikan yang siap diperebutkan dalam pasar kerja. Wajar jika di perguruan tinggi terjadi inflasi ijazah yang berlebihan dan berujung pada bertambahnya pengangguran intelektual yang belum terserap di lapangan kerja. Sementara si miskin tak berdaya seraya menunggu keajaiban datang agar bisa kembali ke bangku pendidikan.


Lemahnya komitmen pada anggaran pendidikan di Indonesia merupakan indikasi bahwa pendidikan tidak menjadi prioritas untuk melindungi hak masyarakat untuk memperoleh pendidikan. Harapan tumbuhnya masyarakat belajar sepertinya tidak akan terwujud terlebih jika sekolah tidak peka pada situasi ini dan tidak berwajah demokratis.


Ambang Intoleransi
Setiap sistem pendidikan di suatu negara akan mengalami persoalan, paradoks dan kontradiksi. Masyarakat harus menerima tatanan yang baru berlaku untuk menerima tanpa reaksi pedagogis. Keinginan guru, orangtua murid selalu tidak sejalan dengan aspirasi pembuat kebijakan. Hubungan antara pendidikan dan perekonomian sama tidak pastinya, berubah dan dimeriahkan oleh keputusan politik yang pada dasarnya mengalami ambang intoleransi.


Di satu sisi pendidikan harus melakukan transformasi kultural, di sisi lain transformasi struktural secara tidak langsung mengalami kontradiksi dengan realitas sosial masyarakat. Semakin mahalnya biaya pendidikan saat ini salah satu bentuk suramnya wajah pendidikan yang dibangun atas kebudayaan “hegemonik” dengan wujudnya yang baru dalam kesemarakan demokrasi.


Sekolah sebagai lembaga rasional yang sehat dalam perjalanannya justeru menimbulkan efek yang bertentangan dengan apa yang dicita-citakannya. Sekolah bersifat anti pendidikan dan tidak humanis. Tujuan pendidikan untuk memperluas akses berubah menjadi membatasi dan menghambat upaya untuk memperkaya kemanusiaan.


Inilah kenaifan pendidikan yang mengabaikan aspek kultural di mana kekuatan struktural dilambangkan oleh model-model teknik-birokratik yang merasionalisasikan pendidikan dengan kekuatan globalisasi yang notabene tidak ramah terhadap ikhtiar pedagogis. Pendidikan tidaklah mutlak melainkan merupakan produk tindakan manusia dalam periode historis tertentu.


Otonomi pedagogis merupakan kebutuhan asasi lembaga pendidikan, tapi dengan akses dan kesempatan yang belum memadai tidak dapat dijadikan alasan untuk mengeluarkan kebijakan BHP dan lepas komitmen terhadap anggaran pendidikan 20 persen dari pemerintah. Wallohu ‘alam

Posting Komentar

0 Komentar