Anak dan Marjinalisasi Sosial
Di awal ramadhan ini,
khususnya di bulan Juli ada tanggal penting yaitu terkait anak-anak. Tanggal, 23
Juli diperingati sebagai hari anak nasional. Kegembiraan anak-anak terus
memancar di wajahnya sambil menjalankan ibadah puasa. Kesabaran dan keceriaan
anak-anak sedang diuji, apakah bertahan sampai waktu buka puasa tiba atau
berbuka di siang hari pada saat bedug zuhur. Puasa terasa nikmat bagi
anak-anak sambil bermain mengisi liburan ramadhan.
Bagi anak-anak yang tak
biasa berpuasa, bertahan sampai maghrib biasanya merupakan keistimewaan
tersendiri. Jika perjuangannya terwujud menahan lapar dan haus, kemenangan itu
pengalaman menyenangkan. Meskipun berhasil menahan haus dan lapar tetapi niat
tulusnya berpuasa merupakan pelajaran berharga bahwa ini sebagai langkah awal
memahami hakikat puasa bagi seorang anak.
Setidaknya ibadah puasa
memiliki tujuan sosial di samping tujuan pribadi seorang anak. Pertama, tujuan yang intrinsik, yaitu tujuan dalam diri
pribadinya yang sangat personal. Misalnya selain mendekatkan diri kepada Tuhan
juga bentuk manifestasi pendidikan agama yang dipelajari di sekolah. Kedua, tujuan yang bersifat konsekuensi
logis, yaitu dengan berpuasa berarti siap menahan lapar dan haus. Implikasi
sosialnya seorang anak belajar bercermin bahwa menahan lapar dan haus ini
sering dialami orang-orang yang miskin, fakir, anak-anak jalanan, dan mereka
yang terpinggirkan secara sosial dan ekonomi.
Puasa adalah salah satu sarana mendidik anak bagaimana cara bersikap dan
memahami orang lain yang tidak berpuasa. Anak dapat mempelajari penderitaan
yang dirasakan orang lain. Dengan berpuasa anak dilatih bersyukur bahwa berbuat
dan beramal baik kepada orang lain merupakan bukti cinta kepada Tuhan dan orang
yang ada disekitarnya.
Panggilan
Ontologis
Dalam wacana pendidikan
islam, dengan pendekatan pembelajaran kritis tidaklah cukup menerima suatu
pengetahuan agama hanya mengandalkan aspek kognitif dan afektif saja. Aspek
prikomotorik perlu diasah untuk mengukur sejauh mana refleksi kritis dapat
dituangkan menjadi aksi sosial. Dengan demikian, pada pembejalaran kritis, yang
diajarkan bukan belajar tentang sesuatu, tapi bagaimana seorang anak dapat
mengamalkan nilai-nilai agama secara kritis-reflektif.
Berpuasa dalam
pendidikan Islam merupakan ibadah yang harus dijalankan bagi setiap kaum
muslimin. Sebagai panggilan ontologis pada dasarnya setiap orang Islam dimuka
bumi bertugas memperjuangkan hidupnya sesuai dengan porsinya masing-masing
sebagai seorang manusia. Karena itu, panggilan ontologis semacam ini perlu
ditanamkan kepada anak-anak dengan bahasa lain yang mudah dipahami.
Menjalankan puasa bagi
seorang anak ialah pengalaman langsung yang dihasilkan lewat knowing menuju kesadaran diri. Bagaimana
mentransfer pengatahuan tentang puasa kepada anak dengan sebuah teori (knowledge) bahwa puasa itu wajib dan puasa
itu pasti merasakan haus dan lapar yang hebat. Padahal dengan mengajak anak
langsung belajar berpuasa pelajaran tentang lapar dan haus dengan sendirinya
dapat diderita anak. Kondisi semacam ini dengan sendirinya dapat dibuktikan (swabukti) kepada anak.
Atau dengan kata lain
jika seorang anak ingin mengetahui lapar dan haus dalam konteks yang lebih
sosial meraka dapat diajak ke tempat-tempat di mana fakir-miskin hidup dalam
jurang sosial yang kian terang mengemuka. Penajaman bakat dan kompetensi model
ini dapat diberikan kepada anak jika kita mau mengajarkan anak untuk saling
berbagi.
Melalui panggilan ontologis anak belajar untuk berdialog dengan realitas
sosial. Siapa diri pribadi sesungguhnya dan dari mana ia berasal. Mengapa
perbedaan sosial itu ada di saat manusia terlahir ke dunia dengan status setara
dihadapan Tuhan. Situasi ini sering kali dipertanyakan anak saat anak mencoba
memotret kondisi sosial yang ditemuinya.
Di Yogyakarta ada
sekolah swasta unik yang melakukan kegiatan bertema Jembatan Hati Pelajar.
Kegiatan didedikasikan bagi pelajar itu sendiri untuk saling berbagi. Di usia
mereka yang tergolong masih anak-anak, sikap kedermawanan mulai ditanamkan
dengan cara membantu teman yang lemah secara ekonomi dilingkungan sekolahnya
sendiri dengan menyisihkan uang sakunya.
Jadi, makna berbagi itu
sudah mulai diajarkan bahwa tindakan memberi tidak harus diwujudkan dengan
materi atau uang. Bisa dengan kepedulian sosial dalam bentuknya yang lain,
misalnya karya-karya kreatif seperti membuat tas atau keperluan sekolah yang
bermanfaat bagi orang lain. Secara pedagogis anak belum memiliki kemampuan
ekonomis untuk dapat membantu. Namun dengan kegitan seperti ini panggilan
hatinya dapat membuka mata bahwa marginalisasi sosial itu jelas-jelas ada di
depan matanya.
Marjinalisasi Anak
Sekarang ini di Indonesia proses marjinalisasi sosial begitu mudah
terlihat dengan mata telanjang. Hal itu semakin banyak melahirkan jenis the new mustadzafin yaitu beragamnya
orang-orang yang tertinggal dan terpinggirkan. Tidak hanya kaum fakir dan
miskin, tetapi juga anak-anak jalanan, kaum buruh dan kaum lemah lainnya yang tak
terlindungi dan berisiko sangat tinggi (Moeslim Abdurrahman, 2009).
Sesunguhnya banyak sekali media untuk mendeskripsikan orang-orang yang
lemah semacam ini dan siapa jatidiri mereka. Namun, yang lebih berbahaya
adalah dari lapisan usia yang masih belia. Anak-anak yang rentan secara sosial
ini kebanyakan gagal memperoleh pendidikan di sekolah. Di bulan suci ramadhan,
kehadiran mereka sering kali muncul di jalanan atau tempat-tempat lain untuk
mengais rejeki berharap ada uluran tangan kaum dermawan.
Dalam perspektif humanisme, anak-anak di usia sekolah itu memiliki harapan untuk memberdayakan diri seperti anak-anak lainnya. Jika terus terbaikan dan terpinggirkan kerisauan akan eksistensinya semakin hari terus menguat lantaran kekerasan dan perlakuan salah terhadap anak-anak begitu banyak modusnya. Karena itu, dibutuhkan reorientasi konsep filantropi yang mampu membaca marginalisasi anak yang fakir dan miskin. Kiranya momentum ramadhan adalah panggilan spiritual yang tepat waktu untuk menyelamatkan anak-anak dari keterpurukan sosial.
Dalam perspektif humanisme, anak-anak di usia sekolah itu memiliki harapan untuk memberdayakan diri seperti anak-anak lainnya. Jika terus terbaikan dan terpinggirkan kerisauan akan eksistensinya semakin hari terus menguat lantaran kekerasan dan perlakuan salah terhadap anak-anak begitu banyak modusnya. Karena itu, dibutuhkan reorientasi konsep filantropi yang mampu membaca marginalisasi anak yang fakir dan miskin. Kiranya momentum ramadhan adalah panggilan spiritual yang tepat waktu untuk menyelamatkan anak-anak dari keterpurukan sosial.
0 Komentar
Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?