Paling
tidak, gerakan modernisasi busana komunitas perempuan muslimah itu sebagai
jawaban kepada masyarakat tentang pergeseran cara pandang dalam memaknai busana
serta penutup aurat. Dalam hal ini, hijab tidak hanya sebagai penutup kepala,
tapi model inovatif yang mengikuti trend berbusana untuk menjembatani perempuan
yang belum terbuka hatinya mengenakan jilbab.
Ibarat
sebuah kapal yang membelah gelombang, busana dan hijab yang mengikuti
perkembangan jaman menampilkan metafora membelah gerak air yang deras dan
tinggi dalam ruang hidup keseharian kaum perempuan. Representasinya
bergelombang agar bisa didekati secara teologis maupun lewat pengalaman sosial.
Pengalaman
Sosial
Banyak
cerita dari pengalaman sosial yang dialami perempuan dalam mengenakan busana
muslimah. Misalnya Dian Pelangi pendiri komunitas Hijabers. Sosok perempuan
muda bertalenta ini banyak mendapat pengalaman untuk mendesain baju. Selain
banyak belajar dari ibunda ia juga mendapat kesempatan yang melambungkan
namanya setelah mengikuti peragaan busana di Melbourne, Australia empat tahun
silam.
Berbekal
kepiawaiannya merancang busana muslim komunitas hijab yang digawanginya menjadi
rujukan serta buah bibir kaum hawa saat berkeinginan mengenal busana muslim
secara lebih dekat. Dengan model ini, tidak sekadar talenta yang berbicara.
Proses mendapatkan ilmu mengenal hijab tidak melulu diperoleh dari ikhtiar
berpikir. Tetapi melalui sesuatu yang lain yaitu dari pergaulan yang luas
sebagai wujud pengalaman sosial.
Yang
sesungguhnya menyita perhatian adalah hijab tidak lagi diekpsloitasi untuk
diperdebatkan terkait aurat wanita. Apalagi diletakan dalam konsepsi (tashawur)
yang terkesan hitam-putih. Namun, yang lebih penting adalah bagimana hijab ini
penilaiannya dapat dibuktikan (tashdiq) tidak dalam batasnya yang spiritual
saja. Memang, akan jauh lebih menantang jika manfaat hijab dapat dibuktikan
secara empirik lewat pengalaman sosial.
Dengan
begitu, perjalanan spiritual seorang perempuan dalam mengenakan penutup aurat
secara personal dapat dituangkan lewat jalan berbagi salah satunya melalui
komunitas hijab. Dalam pandangan ini, semisal visi busana muslimah berdasarkan
fungsi demonstratifnya akan dengan mudah dipahami sehingga fungsi intuitifnya
bagi perempuan akan menjadi buah inpirasi terhadap dirinya dan orang lain.
Contoh
lain yang bisa dijadikan inspirasi sosok perempuan muda muslimah bertalenta
adalah Fatin Shiqia Lubis. Suara uniknya di ajang pencarian bakat salah satu
televisi swasta sangat menyita perhatian publik. Khusunya remaja putri
seusianya yang jatuh hati dengan penampilan Fatin yang memukau. Selain mahir
berbahasa Inggris, sisi lain yang menjadi sumbu pengetahuan terhadap remaja
muslim adalah dari trend berbusananya.
Sosok
pelajar berbakat ini juga menjadi pengalaman sosial yang berharga. Kehadirannya
di mata pemirsa secara tidak langsung untuk menutupi anomali kalangan remaja
yang terjangkit budaya pop. Dengan demikian Fatin menampilkan sisi lain dari
seorang pelajar yang berangkat dari kultur berbeda. Di sana penampilannya mampu
memediasi banyak kultur. Dengan cara yang sama lewat pengalaman sosialnya,
Fatin merupakan sosok yang mewakili remaja putri dalam penyampaian pesan
edukasi mengenai hijab dalam nuansa yang populis-religius.
Ini
merupakan gambaran lain dari pengalaman sosial perempuan dan hijab. Kendati
demikian, dalam logika konkret kategori-kategori perempuan dan pengalaman
sosial itu yang jelas pada konteksnya saat ini merupakan cermin sosial yang
dapat dijadikan pelajaran bahwa dalam dinamikanya hijab dan perempuan akan
selalu terkoneksi dengan perubahan sosial dan ekonomi yang melingkupinya.
Sosialita
Perempuan
Belakangan
ini cara orang berkomunikasi dan bersosialisasi tidak lagi satu arah. Era
sosial media telah membawa pada suatu situasi di mana cara orang bertatap muka
tidak mengenal batas geografis. Semua orang dapat berinteraksi dengan
kecanggihan digital kemajuan teknologi hanya dengan layar sentuh. Mereka
berkiprah menunjukkan jatidirnya di jagad sosial.
Walaupun
memiliki kelemahan tidak mampu bertatap muka secara langsung, namum cara
berinteraksi melalui media sosial dipilih sebagai pendekatan yang ampuh untuk
memobilisasi informasi kepada masyarakat. Di sisi lain, media sosial ibarat
juru dakwah yang dapat berbicara kepada semua orang dengan cepat dan efektif.
Boleh dikata, banyak cara pandang yang muncul dalam media sosial seebagai
cermin sosialita.
Tak
dipungkiri, peran sosial perempuan begitu cepat tersebar dengan kemajuan
teknologi yang tidak tepikirkan sebelumnya. Terlepas dari makna sosialita yang
berkembang saat ini tapi secara positif banyak nilai-nilai edukatif yang dapat
disampaikan kepada masyarakat bahwa perempuan dengan batasan auratnya mampu
menampilkan dakwah alternatif di ranah publik.
Melalui
saluran komunikasi seperti ini justeru umpan balik seputar dunia perempuan dan
hijab terus bekerja dalam konteks sibernetika yang dapat dikontrol. Pesan kuat
yang disampaikannya menghasilkan respon yang mewakili perempuan-perempuan muda
berbakat sebagai tauladan inspiratif. Di sini, kajian seputar perempuan dan
busana mendapatkan tempat transmisi yang tepat serta efisien.
Perempuan
dan hijab telah menampilkan realitas yang menyatakan pentingnya model
berkomunikasi antara perempuan, busana dan keinginan tersembunyinya dalam
balutan pengalaman budaya dan sosial. Pandangan ini berarti perempuan muslimah
dari latar belakang berbeda mempersepsikan realaitas hijab secara berbeda.
Persis
apa yang disampaikan John Fiske (2007) dalam studi budaya dan komunikasi bahwa
persepsi yang berbeda bukan satu-satunya proses pembacaan fisik di dalam diri
seseorang persepsi pun merupakan wacana kebudayaan yang akan terus berkembang.
Begitu pun dengan perempuan dan hijab akan terus menyingkap makna yang
tersembunyi di dalamnya. Wallohu' alam
0 Komentar
Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?