Sumber: www.merdeka.com |
Dalam panggung
politik setiap orang dapat menjadi aktor penting ketika melakukan komunikasi
politik dan masing-masing partai politik memiliki tokoh atau “ikon” penting.
Gaya komunikasi yang dibangun juga berbeda-beda saat menyapa akar
rumput. Saat ini gaya blusukan yang dipopulerkan Jokowi adalah
pilihan segar sehingga banyak elite-politik mereplikanya dengan
suasana bebas dan cair.
Namun gaya
politik semacam ini di Jakarta mendapat tantangan tersendiri yang tidak hanya
mengandalkan nama besar partai tapi kelincahan manajemen kepemimpinan (blusukan)
yang dikemas sang tokoh. Jakarta dengan seribu satu persoalan yang menumpuk
perlu disikapi aktor politik seperti Jokowi dengan kepala dingin. Aspirasi
bawahan tidak dimaknai sebagai kritik menghujam melainkan peluang bertemu serta
berbagi kepada masyarakat yang majemuk.
Di antara
persoalan besar yang dihadapi Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta salah satunya
adalah bagaimana menata pedagang kaki lima (PKL) yang terus tumbuh di pasar dan
pusat-pusat keramaian yang ada disetiap ruas jalan di ibukota. Para PKL liar
dinilai telah merusak pemandangan kota Jakarta. Tata kota terlihat semrawut
terutama dengan wajah PKL yag kian solid terorganisir.
Dalam pentas
pasar tradisional pedagang dan pembeli sebagai aktor memiliki peran penting
pada perputaran arus ekonomi. Dua aktor itu di luar pasar berskala modern telah
menjadi jembatan penghubung pemenuhan kebutuhan masyarakat kelas menengah ke
bawah. Kini pasar tradisional kian merana tergilas pasar modern yang terus
berkembang pesat.
Kendati
mengalami revitalisasi dalam praktiknya pasar tradisional semakin sepi
ditinggalkan pembeli. Memang diilihat dari sejarahnya istilah PKL sudah dikenal
sejak masa penjajahan kolonial Belanda. Berdasarkan peraturan saat itu
ditetapkan bahwa setiap jalan raya yang dibangun menyediakan sarana untuk pedestrian
(pejalan kaki) yang saat ini dikenal dengan nama trotoar (Herman Malano, Selamatkan
Pasar Tradisonal, 2011).
Cerita politik
ala Jokowi-Ahok membuat tokoh politik lain panas. Suhu politik yang kian tinggi
membuat beberapa partai politik menyusun strategi dari konvensi, kampanye
media, dan riset internal untuk mengevaluasi segenap kekuatan di
kantong-kantong politik mereka masing-masing. Tak jarang beberapa lembaga riset
mengeluarkan temuan mutakhirnya di panggung politik.
Nalar Sophie
Di tengah
persiapan pemilu 2014 isu kepemimpinan nasional mulai ramai dibicarakan siapa
pasangan pilihan utama dari partai politik yang menjadi peserta pemilu
mendatang. Meski sudah beberapa nama yang ada itu pun masih prediksi sementara.
Seperti rilis yang dikeluarkan Prapancha Research (PR) di beberapa media
berdasarkan riset terbaru mendapati ada lima idola tokoh politik terpopuler.
Di antaranya
adalah Jokowi, Ahok, Dahlan Iskan, Mahfud MD, dan Gita Wirjawan. Data ini
muncul ke tengah publik di saat dunia politik berada dalam kondisi yang buruk.
Kelima tokoh itu dipilih sesuai dengan data akhir yang diolah terutama menurut
selera kaum muda menurut analis PR, Rendy Mahesa.
Tanpa menafikan temuan riset yang akan datang makna pentingnya adalah apakah dari tokoh-tokoh politik popular itu mampu menuangkan pengalamannya dalam menyikapi aspirasi masyarakat. Pencitraan parta politik ibarat retorika sophie dalam maknanya yang sempit. Turun ke bawah sekadar melemparkan kata-kata manis dan tahu akan pokok persoalan yang tengah dihadapi masyarakat.
Tanpa menafikan temuan riset yang akan datang makna pentingnya adalah apakah dari tokoh-tokoh politik popular itu mampu menuangkan pengalamannya dalam menyikapi aspirasi masyarakat. Pencitraan parta politik ibarat retorika sophie dalam maknanya yang sempit. Turun ke bawah sekadar melemparkan kata-kata manis dan tahu akan pokok persoalan yang tengah dihadapi masyarakat.
Nalar Sophie
dikalangan politikus adalah “pecinta ilmu” yang berkaitan dengan kepedulian
terhadap nasib masyarakat. Politik sebagai jalan mencari hakikat pengetahuan
merupakan wejangan yang ditempuh untuk bernegosiasi bagaimana memengaruhi orang
lain. Cinta kebijakan yang dimaknai adalah kebijakan politik pragmatis bukan
ilmu politik yang selama ini dipahami filsuf seperti Al-Farabi dengan konsep
kota utama (al-madinah al-fadilah) melalaui tata kelola pemerintahannya
yang memukau.
Berkaca dari
riset dan realitas politik yang ada saat ini, setidaknya demokrasi sebagai pilihan
yang masih relevan dapat dimaknai secara arif bijaksana oleh partai politik dan
elit politik yang menginginkan kebahagiaan politik sebagaimana konsep demokrasi
Al-Farabi. Jostein Gaarder dalam bukunya Dunia Sophie sudah memberikan
pengalaman berharga bahwa pengalaman tokoh Sophie yang dituangkan dalam
novelnya adalah pengalaman berharga memaknai kehidupan dan dunia yang dihuni
umat manusia.
Karena itu bagi
dunia keilmuan, dalam konteks politik nalar Sophie mengajak masyarakat dan
pelaku politik untuk menemukan fakta-fakta kehidupan yang sesungguhnya dengan
pengalaman. Tidak sebagai retorika politik yang selama ini dipahami ketika
melihat kaum Sophie yang pandai bersilat lidah.
0 Komentar
Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?