Berjumlah
6 orang, usia mereka relatif muda, tetapi keuletan untuk berikhtiar masih
tersimpan dalam kesehariannya untuk bertahan hidup. Tak seperti kebanyakan
orang pada umumnya, yang bekerja ditempat layak, bersih dan berpenampilan necis.
Enam orang tersebut klop menelusuri lorong gang satu ke lorong gang
lain. Yang dituju bukan rumah ke rumah untuk meminta-minta atau mengamen.
Namun, selokan air yang ada disepanjang depan rumah pemukiman padat. Tak hanya
selokan di sisi kiri, selokan di sisi kanan tak luput dari pencarian mereka.
Siang
itu, panas matahari menyengat tubuh pemuda yang berada dalam selokan. Peluh
membasahi baju yang menutupi badannya. Setiap jengkal selokan yang kotor dan
bau itu dikaisnya mencari sesuatu yang bernilai ekonomi. Hanya berbekal magnet
dan sebilah kayu para pemuda itu terus mencari. Kantong tas lusuh selalu berada
disampingnnya untuk memasukan benda-benda yang mereka temukan dari selokan yang
airnya mengalir bercampur limbah rumah tangga.
Sayapun
terusik, aktivitas apa yang sedang dilakukan para pemuda itu. Penasaran, hanya
itu yang terlintas dalam benakku. Dari jauh saya mendekati, berharap tidak
menganggu atau menyinggung aktivitasnya. Sementara mereka terus berjalan
perlahan disepanjang selokan. Seiring waktu, saya terus mendekat dan
memerhatikan apa gerangan yang dilakukan pemuda-pemuda itu. Dengan memberanikan
diri, akhirnya saya semakin mendekat dan bertanya. Bang, boleh saya tahu, apa
isi dalam tas, tanyaku. Boleh, silakan jawab pemuda itu.
Yang
Ku peroleh dari isi dalam tas lusuh itu ternyata sendok, logam besi seperti
paku, kawat, baut, dan lainnya yang berkarat. Selain itu, ada beberapa keping uang
logam yang berhasil mereka kumpulkan. Rasa penasaran pun hilang, komunikasi itu
telah mengobati rasa ingin tahuku yang begitu kuat. Sebagai manusia yang sama
seperti apa yang mereka pikirkan, saya berpikir ternyata kuasa Tuhan telah
memberikan banyak jalan setiap orang untuk mencari rejeki. Rejeki akan datang
bagi manusia yang mau berusaha, itu janji Tuhan.
Hal
itu luar biasa. Di saat sebagian orang mencari rejeki, menganggur bahkan tak
sanggup melakukan apa pun 6 pemuda itu tanpa rasa malu fokus menggali rejeki
dari selokan yang berpasir hitam. Selokan berpasir inilah yang menjadi
tantangan bagi mereka untuk dikeruk lalu dikais dengan sorot mata tajam. Jika
Tuhan menghendaki mungkin ada barang berharga yang diperolehnya. Ibarat sebuah
tim mereka saling mengingatkan apakah selokan yang lain sudah ditelusuri.
Seingatku,
pekerjaan seperti itu sebetulnya saat 15 tahun yang lalu pernah dijumpai di
Jakarta yang dekat dengan aliran kali. Biasanya mereka membawa semacam tampah
besi berlubang (berbentuk wajan) sebagai penyaring dan memisahkan antara pasir,
kerikil, dan logam yang terbawa didalam wajan penyaring. Dalam perjalanannya, mungkin
sudah jarang atau tidak pernah dijumpai lagi pekerjaan-pekerjaan ini, hilang
dari pandangan mata.
Dalam
kesempatan yang lain, beruntung saya menemukan kembali situasi itu. Sekarang
kondisinya berbeda, ekspansi mereka tidak lagi berada dikali untuk
mengeksplorasi logam, melainkan mereka menemukan lahan baru dan tempat yang
lebih banyak. Meminjam istilah Hermawan Kertajaya, mereka telah melakukan
inovasi target dalam eksplorasinya, candaku seraya tersenyum. Lagi-lagi, di
sini saya mendapat pelajaran berharga berkenaan dengan rejeki dan manusia.
Orang
lain boleh mempersepsikan pekerjaan yang dilakukan para pemuda itu jauh dari
layak. Tapi bagiku, pekerjaan-pekerjaan itu sebagaimana dikatakan Kiyai “Cak
Nun” Mbeling adalah pekerjaan agama. Alasannya, mereka telah berikhtiar untuk
memenuhi tanggung jawabnya sebagai suami atau bahkan seorang individu dewasa
yang harus memenuhi kebutuhan hidup dengan cara dan jalan yang halal.
Mati,
jodoh dan rejeki wajib ada dalam kuasa Tuhan. Selanjutnya, logika manusia berbeda dengan logika alam maupun klenik. Karena
manusia diberi kebebasan (freedom), untuk itulah manusia wajib berusaha.
Ikhtiar mengoptimalkan segenap potensinya untuk diaktualkan. Kita sebagai manusia,
sepakat secara teologis memiliki kadar potensi yang sama. Namun secara filosofis,
gerak potensi itu hasilnya akan berbeda dalam sisi aktualitasnya.
Rasulullah saw,
tidak menyukai orang muslim kuat yang putus asa. Apalagi takut akan nasib dan
kegagalan. Kegagalan diperoleh karena kesuksesan tidak diraihnya. Kesuksesan
ada karena kegagalan tidak diinginkan oleh setiap manusia. Selama ini, mungkin
kita sering mencibir pekerjaan yang dilakukan orang karena memang kita tidak
mengetahuinya secara lebih detail. Hidup itu memilih, ketika tak terpilih bukan
berarti tidak ada. Tapi aktualitas yang belum optimal. Bertahan atau mundur
bukan jawaban.
Jauh sebelumnya,
mungkin ada pekerjaan-pekerjaan lain yang dilakukan setiap orang yang
barangkali lebih buruk dari 6 pemuda itu. Namun jangan sampai kita tidak
bersyukur apa yang telah kita miliki dan nikmati sampai saat ini. Hikmah tidak
sekadar diperoleh dari apa yang telah kita lakukan, melainkan datang dari situasi
lain yang barangkali orang lain sudah melakukannya. Perlu disadari bahwa kondisi
apapun merupakan media pembelajaran yang sangat berharga. Wallohu ´alam
0 Komentar
Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?