”Freedom of Speech and Expression is Not Without
Limit?”
Pasca-penyerangan
kantor redaksi majalah Charlie Hebdo, pemerintah Perancis mengumumkan
darurat keamanan. Pihak kepolisian diinstruksikan untuk siaga tingkat tinggi
mengamankan fasilitas umum, pusat perbelanjaan, kantor-kantor media dan tempat
lainnya.
Peristiwa terjadi saat majalah menampilkan kartun satire yang memicu kemarahan.
Digambarkan majalah itu menghina Nabi Muhammad di halaman sampulnya. Seperti dikutip laman Times, Jumat (9/1) umat Muslim Perancis murka
karena surat kabar itu menampilkan kartun sosok Nabi Muhammad SAW. Kartun itu dinilai sudah kelewat
batas.
Dikabarkan 12
awak redaksi ditembak saat rapat redaksi. Stephane
Charbonnier, sebagai pimpinan redaksi serta
tiga kartunis “nakal“, Jean Cabut, Bernad Velhac, dan Georges Wolinski terkapar
meregang nyawa ditangan 2 pria bertopeng hitam lengkap dengan senapan laras
panjang.
Dunia
dibuat heboh, aksi solidaritas, dukungan dan kecaman meluas menanti respon.
Masyarakat dibuat terperangah, media online dan sosial media ramai-riuh dikunjungi
netizen. Situs web berbagi video seperti Youtube terus diburu, penikmat video
di seluruh dunia seakan dahaga mengenai kabar berita itu.
Kendati
demikian, seminggu setelah peristiwa itu, Charlie Hebdo tetap terbit, seperti
biasa menampilkan kartun lagi. Seperti
diberitakan Kompas mengutip AFP, Selasa, (13/01/2015) Charlie Hebdo
menampilkan “figur suci“ Nabi Muhammad dengan mimik sedih dan air mata menetes
jatuh dipipinya. Dalam kartun itu tangan Nabi memegang
tulisan “Je Suis Charlie“ (Kami
adalah Charlie). Slogan itu ditampilkan sebagai langkah menolak aksi kekerasan
untuk menanggapi kartun yang dibuat Charlie Hebdo. Sementara di atas sorban tertulis ’’Tout
Est Pardonne’’, yang artinya semua telah dimaafkan.
Majalah
Cahrlie Hebdo laris manis, edisi baru itu mendapat suntikan dana dari
pemerintah. Bahkan, majalah itu akan diterjemahkan ke dalam 16 bahasa di
seluruh dunia atas permintaan pembaca. Bagaimana respon selanjutnya bagi umat
Islam di seluruh dunia? Apakah kebebasan berbicara dan berekspresi tanpa
batas ?
***
Charlie
Hebdo memang kontroversial. Di Perancis sendiri, polah-tingkah majalah itu tak
mampu membuat orang bergeming. Tak hanya agama, politikus dan situasi sosial
pun menjadi sasaran empuk redaksi. Baru belakangan ini, Charlie Hebdo merasakan
tamparan langsung yang membuat majalah terkapar oleh aksi heboh Kouachi
bersaudara.
Beruntung
majalah ini masih bisa bernafas lega, sistem hukum sipil yang diterapkan dapat
tumbuh diatas tanah sekularisme yang kaya akan gagasan mode fashion.
Demokrasi dan kebebasan, pasaca-revolusi Perancis 1789, terus tumbuh kembang.
Hal ini, sejalan dengan carut marutnya dan kontroversialnya postmodernisme yang
lahir di Perancis dari gagasan liar Jean. F Lyotard. Dengan kata lain, aksi
kontroversialnya setimpal dengan dampak postmodernisme sebagai mode intelektual
yang disambut dengan reaksioner.
Tidak
ada gagasan atau narasi besar, yang ada serpihan-serpihan narasi yang berserak
sebagai kreativitas lokal. Mungkin narasi kecil ini yang mengilhami Charlie
Hebdo. Bahasa dan ruang tanpa makna hadir dalam dapur redaksi yang pada
akhirnya, karikatur satire itu sendiri adalah permainan bahasa (penumpang
gelap) yang duduk di kursi kebebasan pers.
Dalam
perspektif ini, postmodernisme adalah instrumen pamungkas bagi Charlie Hebdo
dan awaknya. Melalui pengetahuan sekalipun, apapun termasuk komunikasi media
mau tidak mau harus berubah seiring dengan transformasi yang bernama
postmodernisme. Charlie Hebdo pun bebas melantai di bursa saham ide yang
berupaya menolak dan tidak percaya terhadap segala narasi besar yang ada
termasuk agama.
Peristiwa
itu, dari sudut pandang etika jurnalistik, mengacu pada sembilan elemen jurnalismenya
Bill Kovach tentu dalam posisi tumpang tindih. Di satu sisi, ia harus
independen dan bebas dari kepentingan siapapun, di sisi lain terkait etika
jurnalistik dan kesiapan untuk menerima kritik yang berujung pada maut sulit
untuk ditempatkan mengingat ia bertentangan dengan hati nurani orang lain.
Charlie
adalah satu dari sekian media yang lantang melakukan satirisme. Namun, dengan
hati nurani yang paling dalam kita semua menolak segala bentuk kekerasan.
Kekerasan yang dilakukan Kouachi bersaudara tentu tidak dibenarkan, dalam
situasi lain, kekerasan verbal-grafis Charlie meski dalam bentuk karikatur juga
tidak bisa ditolerir karena beraroma rasis.
Sudut
pandang berbeda saat melihat Charlie Hebdo tentu bisa dipetik dari panggung
yang lain. Seperti disajikan dalam diksusi publik yang di gelar di gedung PP
Muhammadiyah pada Senin, (26/1/2015). Dalam diskusi yang dimoderatori Alpha
Amirrachman itu menampilkan pembicara yang diantaranya adalah Abdurrahman
Fachir, Wakil Menteri Luar Negeri RI, Hidayat Nurwahid Wakil Ketua MPR, Esti
Handayani (menggantikan A. Fachir) dan Andar Nubowo kandidat Doktor Ehess
Perancis, dan Direktur IndoStrategy.
Dalam
sambutannya, Abdurrahman Fachri mengatakan peristiwa Charlie Hebdo telah
membuat ketegangan. Dan sampai hari ini telah memunculkan berbagai sudut
pandang. Semoga dalam diskusi ini akan ada informasi yang menarik, katanya saat
mengucapkan terima kasih. Fachri sendiri hanya berbicara sebentar karena ada
tugas lain, Ia digantikan Esti Handayani.
Hal
senada disampaikan Ketua Umum Muhammadiyah Din Syamsuddin, kepada umat Islam
diseluruh dunia, terutama di Indonesia agar tidak terpancing dan bereaksi berlebihan.
Hal itu, sebetulnya juga pernah dilontarkan saat CDCC, sebagai pusat studi
dialog dan kerjasama antar peradaban mengadakan diskusi pertengahan Januari
yang lalu.
“Sikap
dan reaksi berlebihan akan hanya akan menambah kekacauan di dunia“, kata Din. Dibelahan
dunia lain, khususnya negara Islam muncul reaksi serupa. Hal ini buruk bagi
kehidupan global. Sementara Charlie Hebdo tidak menyadari apa yang telah
diperbuatnya, bahkan sangat merugikan umat Islam, katanya. Makna kebebasan dan berekspresi perlu
ditinjau kembali, dalam deklarasi universal pun hak-hak manusia memiliki
batasan, apalagi dalam agama Islam, tandasnya.
Kebebasan
berbicara yang tumbuh di Barat dan menjadi budaya di sana dalam takaran
tertentu tidak bisa dipertanggung jawabkan.“Karena itu, harus ada kesepakatan global
baik pada skala negara-negara di PBB maupun dalam konteks masyarakat untuk
membuat aturan main berupa kode etik
agar mencapai tatanan hidup bersama yang baik dan menjaga kerukunannya“,
tegasnya dalam diskusi itu yang bertajuk Freedom of Speech and Expression is
Not Without Limit?
Dalam konteks
sehari-hari, Din menambahkan kebebasan berbicara dan ekspresi seakan tidak ada
batasnya. “Padahal semua itu ada batasnya. Semua telah diatur, hanya saja ada
etika dalam melaksanakannya“, papar Din yang banyak makan garam dalam wacana
dialog antar agama-iman di pentas global. Semua tidak ada yang absolut, ada
sesuatu yang memang layak diperjuangkan, yang perlu disepakati dan itu ada
sebagai batasan, ujarnya.
Sementara itu,
Esti Handayani sebagai pembicara pertama mengatakan, masyarakat Indonesia yang plural
dan sebagian besar umat Islam mengutuk kekerasan yang terjadi dalam
kasus Charlie Hebdo. Namun masyarakat juga sadar dan tahu bahwa ada
sesuatu yang salah dari satire yang sesungguhnya merupakan kultur dari Prancis itu sendiri. “Seyogianya
Charlie sadar bahwa konteksnya satire tersebut
ketika disebarkan secara global dapat menimbulkan kontrovesi,” kata Esti.
Sampai saat ini,
masyarakat Indonesia sudah menunjukkan kebesarannya dalam toleransi sebab tidak
bereaksi secara berlebihan, namun lebih dapat mengkondisikan situasi secara
lebih jernih, elegan setelah peristiwa itu terjadi. Dalam diskusi itu, Esti
menampilkan beberapa pandangan-pandangannya terkait provokasi yang menimbulkan
respon positif dan negatif. “Kita tahu dalam
isu ini ada perbedaabn cara pandang dan reaksi. Tapi dalam konteks lain, itu
adalah suatu cara melumpuhkan yang menggunakan atas nama Tuhan, itu
salah,“ kata Esti.
Esti mengatakan,
Hak Asasi Manusia melindungi kebebasan berbicara dan berekspresi. Dalam Islam pun
kita dapat berkaca pada Nabi saat berbicara dan berekspresi. Ada semacam etika
yang perlu diperhatikan saat berbicara dan berekspresi, katanya. Esti
mencontohkan beberapa aktivasi kebebasan berbicara dan berekspresi, Sumpah
Pemuda misalnya, yang merupakan bagian kebebasan bereskpresi dan berbicara
dalam sejarah Indonesia.
Kebebasan
berbicara dan berekspresi yang diatur negara juga diatur setiap negara yang
menghormati agama dan kepercayaan. Misalnya tertuang dalam deklarasi
universal hak asasi manusia. Pandangan ini juga bisa merujuk pada International Covenant on Civil and
Political Rights dengan bersandar pada artikel 19, terang Esti memastikan.
Selain
itu, Indonesia memiliki prinsip kebebasan berbicara dan berekspresi yang sesuai
dengan kebhinekaan dan menghormati para pendiri bangsa ini. Indonesia telah melakukan dialog bersama dalam forum-forum
dialog internasional, kata Esti menjelaskan. Indonesia sebagai negara plural
dan harmoni dalam komunitas internasional maupun dialog intermedia global telah
mempromosikan dialog antar agama dan dialog antar budaya. Ini dilaksanakan pada
acara Focus Discussion Group yang
digelar Kementerian Luar Negeri, 19 Januari yang lalu.
Dari kacamata
hubungan internasional, Esti telah memberikan penjelasan bagaimana kebebasan berekspresi
dan berbicara diteropong dalam konvensi internasional. Sejauh ini, Esti mengabarkan
bahwa batasan dalam kebebasan berbicara dan berekpsresi di kancah internasional
dapat dilihat untuk membedah Charlie Hebdo. Untuk konteks Indonesia, masyarakat
bisa membandingkan dengan situasi dalam negeri di mana umat Islam turut
merespon positif dan negatif.
Pandangan
berbeda disampaikan Hidayat Nurwahid. Menurutnya, kebebasan berbicara dan berekspresi
dalam kesadaran manusiawi. “Sesuatu yang tanpa batas itu tidak ada,“ katanya.
Ia mengibaratkan kebebasan berbicara dan berekspresi dengan olahraga sepakbola,
itu contoh gampang, bebernya.
Dalam sepakbola,
kebebasan dan ekspresi dapat dilihat. Tapi dalam kenyataannya terbatas. Padahal
dalam dunia sepakbola menjunjung tinggi sportivitas, terangnya. Pemain sekelas
Christiano Ronaldo dalam hal lain telah menyuguhkan tontonan sepakbola yang
berkualitas, namun di kondisi yang berbeda ia telah melakukan kesalahan saat
bermain tidak fairplay, ungkapnya.
Di panggung
politik, demokrasi dipandang sebagai sistem yang terbaik. Dalam aplikasinya
demokrasi tetap ada batasnya, sambung pentolan partai berlogo padi dan kapas
itu. “Tentu ada mekanisme yang dibatasi juga jadi ada aturan yang membatasi
semua harus diikuti, tuturnya. Limitasi ada nyatanya, karena begitulah
kehidupan yang berperadaban, kata Hidayat menambahkan.
Untuk itu, dalam
konteks Charlie Heboh, canda Hidayat, pemaknaaan terhadap realita yang
berhubungan dengan limitasi, dan bagaimana mendudukan masalah tersebut
setidaknya diletakan secara proporsional. Sekali lagi, semua itu ada batasnya.
Dalam konteks media juga mengapa kebebasan berekspresi sesungguhnya tidak
memotong aturan yang berlaku, tutur Hidayat.
Hidayat
mengatakan, peradaban dibangun dalam dialog yang santun. Maka dalam menyikapi
dunia internasional seperti di Perancis juga diatur dengan adanya batasan dan bagaimana
melindungi warga negaranya. Orang muslim di Perancis hanya ingin Nabinya
dihormati, tandasnya.
Perilaku
ketidakadilan di Perancis sangat nyata terlihat, yang pada akhirnya
memicu tindakan radikalis. Pada dasarnya tidak perlu menggunakan cara radikal.
Islam menghormati semua orang dari mana saja latar belakangnya maupun
negaranya. Negara manapun tidak menginginkan kekerasan atau konflik. Deklarasi
internasional dan Islam menginginkan harmoni. Poin terakhir UUD 45 juga memberi
landasan soal berbicara dan berekspresi yang diikuti tanggung jawab. Inilah jatidiri
peradaban dan keunggulannya.
Berangkat dari
kekisruhan Charlie Hebdo, Direktur IndoStrategy, Andar Nubuwo, mengajukan
pertanyaan yang menggelitik. Apakah karikatur itu Nabi Muhammad, seperti yang
dipersepsikan selama ini. “Bisa jadi karikatur satire itu, mengggambarkan
Muhammmad yang lain. Atau Muhammad Andar Nubowo,“ imbuhnya tersenyum. Ada
banyak nama Muhammad. Dan, pada taraf
ini ada perbedaan pemahaman di Perancis soal satirisme, paparnya.
Pertama, Andar
mengatakan, di Perancis itu satire merupakan
suatu hal yang lumrah. Namun bagi kalangan muslim, kristen yahudi, dan pemeluk
agama yang merasa terhina, satire mengundang persoalan, bebernya. Di ketahui, Inggris dan Perancis sama-sama sebagai
negara yang menerapkan demokrasi. Negara itu memisahkan agama dan demokrasi. Tapi
dalam praktiknya berbeda. Di Perancis saat melakukan satire tidak ada
hubungannya dengan agama, apalagi figur-figur suci, kata Andar.
Kedua, tragedi
ini puncak gunung es dari diskusi publik berkenaan dengan kehadiran muslim di Eropa.
Dalam sejarah misalnya, Andar mengungkapkan, jika kekuatan Islam tidak
dibendung di Perancis kemungkinan besar Eropa dikuasai Islam. Kemudian ada
sejarah kolonialisme, di mana orang Islam dijadikan serdadu untuk perang. Kaum
muslim di Perancis ini adalah buah imigrasi di Eropa pasca perang dunia kedua.
Andar menambahkan, muslim hadir untuk merekonstruksi Perancis dan Eropa yang
hancur. Pada 1960-an, imigran muslim bekerja jadi buruh mereka tidak
berpendidikan, mereka hidp dan menetap di sana, katanya.
Selanjutnya,
generasi kedua pasca imigran mereka hadir dengan sebagai orang Islam Perancis
yang terdidik. “Mereka melek hukum dan mengerti bagaimana hak-hak mereka juga
harus diperhatikan negara, kupas kandidat Doktor Ehess, Perancis itu.
Andar
menceritakan, dulu saat perdana menteri Perancis, Nicholas Sarkozi menjabat, ada
semacam banalitas di mana simbol-simbol Islam lebih menonjol. Wajar jika terjadi
perdebatan, terutama bagi kalangan politik berhaluan ultra-nasionalis yang tidak
menginginkan Islam hadir diEropa. Pada 2004, Nicholas melarang simbol-simbol
agama tidak boleh dipasang dalam lembaga pendidikan.
Pasca-terjadinya
serangan 11 September, ada isu gerakan radikalisasi agama, terutama imigran-imigran
yang tidak terdidik merasa terdiskriminasi yang akhirnya melakukan gerakan
radikalisasi. Demokrasi, sekulerisme dan sejenisnya adalah omong kosong bagi
imigran Islam radikal, ungkap Andar membeberkan. Tak hanya itu,
ada juga warga Perancis yang masuk Islam dan menikah dengan orang Islam yang
belajar Islam dengan cara konservatif.
Pemerintah
Perancis saat itu terkejut. Mereka kaget mengapa ada hijab, burkah, jilbab. Tradisi
burkah tidak ada dalam Islam, itu tradisi gurun pasir, kata Andar menceritakan
pengalamannya belajar saat bergaul dengan orang-orang Perancis. Andar
mengatakan, Charlie Hebdo merupakan isu yang sekian kalinya setelah aksi
memakai burkah warga Perancis yang mengendarai mobil dan diberhentikan polisi.
Selanjutnya,
Andar mengatakan bagaimana posisi kita melihat Charlie Hebdo. Padahal di
Perancis, satirisme merupakan karya seni. Bagi orang yang tidak memiliki selera
humor tinggi, tentu berbeda saat mempersepsi suatu karya seni. Dengan
kecerdasan yang tinggi, sebetulnya kita bisa melihat kartun itu, sebagai karya
seni atau karya lain sebagai hasil kreasi yang menciptakannya.
Kendatipun
demikian, Andar juga melihat Charlie Hebdo dalam sudut pandang globalisasi.
Merujuk Olivier Roy dalam Globalised Islam,
gerakan Islam maupun gerakan Islam transnasional saat ini melihat globalisasi
selain sebagai ancaman, juga sebagai peluang bagaimana nilai-nilai Islam dapat
mendunia melalui gerakan maupun pengetahuan yang disebar lewat teknologi informasi.
Pandangan
Olivier Roy itu ada benarnya. Sebab salah satu prasyarat demokrasi adalah
bagaimana globalisasi dan impresinya pada tatanan dunia saat ini, dan benturan
peradaban di sisi lain saling bertemu, dan tak satu orang pun dapat membendung
atau menghentikannya. (Author).
0 Komentar
Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?