Setelah menunggu selama 1 jam dengan secangkir kopi, Imam
Prihadiyoko datang bersama adiknya, lalu duduk bersama Adi Rosadi, Nazhori Author
dan Nanang Q el-Ghazal dari pegiat filantropi. Sejenak melepas penat, dan seketika itu
obrolan panjang bermula. “Berbagi dan komunitas menjadi topik menarik,” kata
Imam mengawali saat secangkir teh hangat ada dihadapannya dari tangan
pramusaji.
Bersamaan dengan itu, Imam bercerita tentang Muhammadiyah sejauh
yang ia ketahui selama menekuni surat kabar di Batavia. Muhammadiyah telah menyita perhatiannya sebagai pewarta,
dari sana pula Imam mengikuti perkembangan Muhammadiyah dari gerakan pemikiran,
ekonomi, pendidikan, dakwah, budaya dan filantropi.
Syahdan, Imam tepat sedang bersama awak Lazismu, tentu saja
potret filantropi menjadi tema kunci bincang-bincang sore itu, tak jauh dari
pohon rindang, di halaman gedung plaza Senayan, Jalan Jendral Sudirman, Jakarta. Imam mengatakan, sebetulnya ketika menyimak
filantropi di organisasi sebesar Muhammadiyah, “Ada banyak cerita yang dapat
digali dari sana,” katanya. Apalagi dengan keberadaan Muhammadiyah di seluruh
Indonesia, hal-hal kecil dapat memicu aktivitas menarik, demikian ungkapnya
lugas.
Hanya saja menurut Imam, dari kelebihan yang ada di filantropi
Muhammadiyah informasi tentang jejaring masih belum banyak terungkap. Padahal,
ada banyak warta yang dapat disajikan ke masyarakat dan warga Muhammadiyah
khususnya. “Karena itu, kekuatan jejaring perlu disiapkan sehingga ada semacam
jurnalistik warga (citizen journalism) berbasis filantropi,” terangnya.
Hatta, Nanang menyambut pembicaraan itu. Saya pikir, apa yang ada dalam
benak Mas Imam, sama dengan apa yang saya pikirkan selama ini. “Ketika melihat
Muhammadiyah dengan sumber daya yang ada, sesungguhnya ada banyak perspektif yang
dapat ditelisik terkait filantropi,” katanya. Filantropi itu, bisa dilihat
sebagai peluang komunikasi dan pesan dakwah yang kaya akan konten, sambungnya.
Sayangnya, masih ada jejaring yang mengalami kesulitan bagaimana
aktivitasnya selama ini dapat diceritakan ke masyarakat. “Sekali lagi, bahasa
lisan masih terpapar sementara bahasa tulis tersingkir,” ungkapnya. Untuk itu,
dibutuhkan keterpaduan informasi antar jejaring sehingga dapat saling belajar
dengan memanfaatkan media teknologi informasi, jelasnya.
Ibarat penulis sejarah, bagaimana sejarah itu dibuat dan
diceritakan. Ingatan adalah instrument bagaimana sejarah dapat diceritakan dari
generasi ke generasi secara turun menurun. “Kendati ingatan tak pernah kuat dan
mapan, maka menuliskan dengan pena di atas kertas adalah cara lain merawat
ingatan yang tidak stabil itu, tandas Nanang.
Nanang mengakui, dalam waktu dekat ini, sebelum muktamar
Muhammadiyah di Makassar, ada semacam bongkahan informasi yang dapat dikantongi
oleh jejaring dalam bentuk serpihan kiat bagaimana mengolah jurnalistik
filantropi. Hal ini penting diungkap sebagai signifikansi penguatan informasi
antar jejaring yang telah berbagi aktivitas dan akan disiarkan ke masyarakat.
Tentu saja hal itu mengundang ketertarikan, Imam mengatakan, siapa
lagi yang akan mencatat sejarah Muhammadiyah, selain orang Muhammadiyah
sendiri. Sekecil apapun aktivitas itu, ketika ditulis, “Kelak dalam hitungan
waktu akan menjadi cerita sejarah yang akan dibaca generasi selanjutnya,” tutur
Imam. Sama dengan penelitian tentang Muhammadiyah, kendati karya akademis,
isinya dapat menjadi informasi berharga sebagai sejarah, katanya.
Kemungkinan yang paling mendesak pelatihan Jurnalistik. Adi mengatakan,
ada beberapa hal yang bisa disajikan untuk aktivasi jurnalistik filantropi.
Pertama, terkait peserta dan perguruan tinggi umum atau Muhammadiyah. “Untuk
peserta bisa mengajak kawan-kawan ortom yang aktif di kampus, atau mahasiswa
yang tertarik dengan jurnalistik. Terkait perguruan tinggi ini hanya sebagai
tempat kegiatan pelatihan itu diselenggerakan,” jelasnya.
Adi berharap, dengan pelatihan ini dapat mengakomodir kebutuhan
jejaring berkenaan dengan kegiatan pemberitaan. “Para peserta yang lolos ikut
pelatihan ini, dapat bergabung atau menjadi koresponden jejaring Lazismu yang
ada di Indonesia, pungkasnya.
Hal senada diungkapkan Author, para peserta yang sudah mendapat
pelatihan tersebut juga bisa langsung bergabung dengan jejaring Lazismu yang
ada. Apalagi sebagai kontributor atau relawan tentu jejaring akan sangat
antusias menerima kehadiran para contributor berita dan relawan berita,
terangnya.
Untuk ke depannya, pelatihan jurnalistik filantropi bisa di adakan
di kota-kota yang lain dengan harapan dapat menjaring peserta. Imam
menambahkan, dengan pelatihan yang nanti akan diaktivasi Lazismu, programnya
dapat dikembangkan bisa melalui teknik fotografi dan teknik pengambilan gambar
(video) untuk melengkapi kegiatan jurnalistik filantropi.
Selain
itu, data tren media sosial juga menunjukkan bahwa selain informasi digital
yang berkembang, jurnalistik warga begitu gencar menguat. Situasi itu, dapat
dimanfaatkan jejaring untuk bertukar informasi baik lewat blog atau media
lainnya terkait kegiatan filantropi yang dilakukan oleh komunitas belakangan
ini.
0 Komentar
Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?