March 20, 2011



Krisis kepemimpinan di Timur Tengah yang terus bergolak melahirkan pembacaan kritis-produktif terhadap wacana kepemimpinan. Hal ini tidak dapat mengesampingkan wacana dan ideologi Arab yang berdampingan dengan kekuatan politik Eropa dan Barat. Sejauh mana revolusi kepemimpinan menemukan titik terang yang dapat memberikan inspirasi bagi pemimpin dibelahan dunia untuk memberikan medium pengetahuan bagi umat manusia.

Revolusi kepemimpinan menempatkan wacana tentang pedagogi kepemimpinan untuk melengkapi pengetahuan sosial. Khususnya pengatahuan sosial atas masa depan suatu bangsa dan pemimpinnya. Karenanya, pendidikan adalah penemuan secara bertahap atas ketidaktahuan kita. Demikian ungkapan Will Durant yang dikutip Stephen R. Covey dalam bukunya The 8th Habits, Melampaui Efektivitas, Menggapai Keagungan (2005). Covey mengajak kita semua untuk menilai tentang pengetahuan manusia yang terus meningkat seiring dengan kadar ketidaktahuan manusia.

Setidaknya ungkapan di atas, juga memvisualisasikan hidup dan kebijaksanaan yang dijalani manusia dalam hal ini diwakili oleh cucu, anak dan orangtua sebagai tiga generasi yang menjaga kewibawaan moral dalam prinsip serta spirit kepemimpinan. Paling tidak tujuannya agar manusia selalu belajar bahwa semakin banyak yang diketahui, semakin tahu bahwa manusia tidak mengetahui.

Di negara ini, misalnya dalam lingkup pengetahuan sosio-politik karena penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang akhirnya timbul persoalan hukum dan korupsi yang sulit menemukan titik terang. Kebijakan yang tidak tegas, kaburnya tahanan ke luar negeri, perusahaan menghindari pajak, suap-menyuap, menjadi sajian hidup masyarakat yang melelahkan. Tidak sekadar rumit, persoalannya pun kerap berakhir dengan ketidakpastian.

Dalam kasus seperti ini, manusia bukan lagi makhluk sosial yang siap berbagi dan melayani. Manusia makhluk yang penuh misteri dan kepalsuan. Pengetahuan politik yang sekiranya menumbuhkan kebijaksanaan tak ubahnya akrobat retorika. Melumpuhkan integritas, solidaritas dan soliditas sosial yang jauh dari kerendahan hati dan keberanian. Mentalitas berkompetisi berubah menjadi wahana tarik-ulur yang semata-mata hanya berkutat pada soal kekuasaan.

Pemimpin Pelayan

Sesungguhnya, setiap orang pemimpin. Secara psikis dalam jiwanya yang tenang terkandung kesiapan untuk berkompetisi (Najati, al-Qur’an dan Psikologi: 2001). Dari kultur di mana ia tumbuh idealnya kompetisi ekonomi, politik, ilmiah atau jenis-jenis kompetisi lainnya yang berkembang dalam berbagai kultur manusia mengandung prinsip pedagogis atas ketidaktahuannya. Dalam Islam dorongan berkompetisi sangat dianjurkan, asalkan berkompetisi dalam kebaikan.

Setiap pemimpin akan menjaga kewibaan moral bukan dengan pencitraan. Adalah tepat jika Abraham Lincoln mengatakan cara paling pasti untuk mengungkap karakter seseorang bukanlah melalui kesulitan tetapi dengan memberinya kekuasaan. Apakah dengan kekuasaannya dia akan menjadi pemimpin yang terbuka, kooperatif atau memiliki karakter lain.

Kita semua berharap, tidak menginginkan satu karakter pemimpin, tapi kombinasi dari berbagai karakter yang melahirkan karakter pemimpin pelayan. Karakter pemimpin progresif yang mewariskan sikap kerendahan hati, keberanian, kebijaksanaan, dan mentalitas berkelimpahan sebagaimana dicita-citakan Islam.

Kerendahan hati merupakan jenis kepribadian dalam al-Qur’an yang berkaitan dengan hubungan kekeluargaan dan kemasyarakatan. Dia adalah pemimpin yang akan bersatu menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran. Keberanian adalah salah satu karakter kuat lainnya yang mewarnai proyeksi kebijakannya dalam menyeimbangkan kepincangan sosial.

Keberanian membuncah untuk melawan rasa takut akan hilangnya kekuasaan, kepercayaan publik, reputasi yang buruk, bahkan rasa takut dari keadaan rakyatnya yang miskin dan bodoh. Pemimpin pelayan hanya takut kepada Yang Maha Kuasa. Sebab dengan rasa takut itu ia akan terhindar dari murka dan azab-Nya. Senantiasa bijaksana menghadapi persoalan yang dihadapi.

Pemimpin pelayan tidak akan mengeluh atas segala kekurangannya. Justeru kritik tajam merupakan proses didaktika untuk melengkapi pengetahuan secara bertahap. Dengan demikian dia akan mendefinisikan kepempinan sesuai dengan kapasitas keilmuannya. Pemimpin pelayan akan mengkomunikasikan segala persoalan yang melilit bangsa dengan merangkul kalangan ilmuwan, cendekiawan agamawan serta elemen masyarakat lainnya.

Jiwa yang Hidup

Perkembangan akal manusia dalam pandangan kritis Erich fromm menyebabkan manusia tersungkur ke dalam situasi anomali. Ketidakseimbangan dan kesenjangan mewarnai belantika hidupnya. Terbukti, kritiknya terhadap manusia semakin menguatkan bahwa di abad modern ini pengembaraan abadi manusia kian kontradiksi dengan eksistesinya sebagai manusia.

Dikotomi hidup manusia dalam mengemban amanah sebagai khalifah untuk mengelola bumi melahirkan beragam makna kepemimpinan. Suatu kepemimpinan yang menyangkut bidang-bidang kehidupan kemasyarakatan yang menimbulkan konsep kekuasaan. Dalam Islam konsep kepemimpinan dapat dijumpai melalui istilah khalifah, imamah, imarah, ulul ‘amri dan ulul albab.

Istilah-istilah kepemimpinan itu hubungannya dengan soal kepentingan masyarakat dalam realitas sejarah dan realitas politik belakangan ini menjadi gambaran yang abstrak. Padahal negara dengan prinsipnya sudah mewadahi kepentingan masyarakat agar mendapat perhatian yang layak. Prinsip ini mendorong terbukanya makna kepemimpinan (khalifah) dalam mencerdasi spirit demokrasi.

Betapapun abstraknya istilah pemimpin dan kekuasaan saat ini, minimal pemimpin dapat mencerdasi suatu perkara agar tidak berlarut-larut. Ketegasan pemimpin sangat dinanti masyarakat. Pemimpin adalah pelayan. Pelayan yang memanusiakan bawahan, menyejahterakan masyarakat bersama-sama mengejar medali kemakmuran. Sehingga spiritualitas dalam diri turut menyadarkan jika kekuasaan itu cepat berlalu.

Spirit pemimpin pelayan menandakan jiwa yang hidup. Jiwa yang hidup senantiasa dinamis, bergerak, tidak mandek, dan putus asa. Tanggap terhadap persoalan kecil dan besar. Pemimpin yang memiliki pendirian teguh, akan memiliki sandaran kuat karena ia bersandar pada kebenaran dan keadilan. Itulah pemimpin pelayan. Memiliki rasa optimis tidak risau kehilangan harapan serta rasa gembira.

Penulis adalah Peminat Sosiologi Pendidikan, Peneliti al-Wasat Foundation Jakarta.

0 comments:

Post a Comment

Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?