May 15, 2011

“Distorsi Spiritual” Kaum Belia

Oleh: Nazhori Author


Dalam bukunya Menemukan Makna Hidup (2004) Djohan Effendi secara terang mendeskripsikan perihal agama yang menjadi amat bermakna manakala manusia dihadapkan pada berbagai tikungan sosial yang mencemaskan. Bahkan agama yang dipeluk dalam sanubari seseorang menjadi kian hambar manakala manusia tidak lagi menemukan jurang terjal yang bakal menjadi batu penguji buat membuktikan tinggi rendahnya kualitas iman seseorang.

Kiranya, ungkapan Djohan di atas bertalian dengan peristiwa yang belakangan ini membuat resah para orang tua. Betapa tidak, beberapa putra-putri mereka diketahui hilang meninggalkan rumah tanpa sebab yang diketahui. Singkat cerita, mereka dibujuk oleh sekelompok orang yang diduga ingin mendirikan Negara Islam Indonesia.

Sementara itu, kegundahan para orang tua semakin menguat setelah mendengar dan menyaksikan pengakuan para korban di layar kaca. Yang amat mengejutkan sebagian korban mahasiswa-mahasiswi yang sedang menuntut ilmu di beberapa perguruan tinggi. Hal ini dibuktikan dengan pengakuan para korban yang berasal dari salah satu perguruan tinggi Islam swasta di Malang, Jawa Timur.

Berdasarkan peristiwa itu, pihak berwajib sedang menelusuri soal prekrutan meresahkan ini yang disinyalir menggunakan metode cuci otak dengan doktrin sesat spiritual. Tidak hanya itu, Kementerian Agama juga mengajak kerjasama dengan seluruh pimpinan perguruan tinggi untuk mencegah peristiwa yang sama kembali terjadi menimpa generasi muda.

Kecemasan ini beralasan karena tidak setiap hari aktivitas kaum belia bisa dipantau perguruan tinggi dan sekelompok keluarga. Jangan sampai kita kehilangan kesempatan untuk melindungi mereka sebagai bekal masa depan. Karena itu, kualitas perhatian dan kepedulian semua pihak sangat dibutuhkan kaum belia sehingga kebutuhan akan kesadaran spiritual mendapat media aktualisasi yang tepat.

Distorsi Spiritual
Sejak kelahirannya, manusia menunjukkan suatu kecintaan pada yang sakral dan spiritual. Lewat pandangan ini manusia dalam inti wujudnya merupakan makhluk religius (homo religious). Agama, karenanya dalam catatan Kahlil Gibran tentang falsafah agama, secara abadi digoreskan dalam setiap inti eksistensi manusia dan bukan hak istimewa beberapa lembaga saja.

Agama dan manusia merupakan dua variabel yang sulit dipisahkan. Begitu pula agama bagi kaum belia sebagai penuntun dan petunjuk betul-betul menjadi pegangan hidup. Adalah suatu keniscayaan jika dalam pendidikan, mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi penanaman dasar-dasar pendidikan Islam diberikan sebagai kerangka penguatan ranah kognitif, afektif dan psikomotorik.

Lantas mengapa akhir-akhir ini generasi muda kita mudah mengalami kecemasan spiritual sehingga mudah terdistorsi. Padahal asupan pendidikan agama diberikan dengan gizi cukup. Penyebabnya, di samping karena faktor globalisasi dalam arti luas hingga menyeret ke arah yang lebih materialistik dan hedonistik, juga disebabkan rasa pahit agama yang dirasakan kalangan kaum belia. Miris menyaksikan mereka saat terpengaruh bujuk rayu yang menyesatkan, seperti doktrin - salah kaprah - jihad yang dilakukan M. Syarif dengan bom bunuh diri.

Boleh jadi, peristiwa penculikan mahasiswa-mahasiswi melalui cuci otak untuk hijrah menuju negara Islam merupakan suatu evidensi empirik. Artinya terjadi kecocokan antara teori pendidikan Islam dalam hal ini pengetahun tentang Islam yang dimaknai atau dipahami kaum belia secara parsial dengan peristiwa penculikan. Oleh sebab itu, dapat digunakan untuk menjelaskan kasus dan teorinya mengapa terjadi distorsi spiritual di kalangan generasi muda.

Satu alasan lain mengapa spiritualitas agama mudah sirna dalam diri manusia dan khususnya bagi kaum belia karena agama dimaknai secara pesimis. Manusia bersikap takabur dengan kemampuan akalnya sampai merasa acuh atau masa bodoh karena kenikmatan duniawi telah menuntunnya kepada sikap apatis. Dalam bingkai teologis spiritualisme berada dipinggiran tujuan yang baik namun tidak pernah menumbuhkan akar dalam jiwa.

Kaum belia mudah resah dan takut jika kehidupan yang dijalaninya menjadi sia-sia. Sehingga hakikat beragama dalam kesadaran hidup tidak membawa kepada kebenaran sesuai dengan apa yang diyakini. Meski demikian, kondisi semacam ini masih bisa dideteksi kendati kesadaran beragama baru dalam tahap kognitif. Jauh-jauh hari William James sudah menasehati kepada kita semua bahwa selama manusia masih memiliki naluri kecemasan dan berpengharapan, maka selama itu ia beragama (Djohan Effendi, 2004).

Pertanyaannya, beragama yang seperti apa. Tentu saja beragama berdasarkan Islam yang dicontohkan Rasulullah SAW. Penuh dengan ketulusan dan kedamaian. Tolong-menolong antar sesama, saling nasehat-menasehati dan menyerukan amar ma’ruf nahi munkar. Maka dengan kecemasan, sejatinya manusia mendapatan kesempatan untuk berikhtiar dan belajar meraih tempat bersinggah yang menenteramkan.

Pembelajaran Spiritual
Peristiwa penculikan yang dialami kaum belia hendaknya menjadi media pembelajaran spiritual masyarakat dan para pemangku kepentingan. Justeru dalam posisi demikianlah Islam sebagai pandangan hidup membuktikan potensinya yang rasional serta kritis. Di mana pengalaman keberagamaan manusia bukan sekadar laboratorium spiritual melainkan sebagai pisau analisa dalam memaknai doktrin ketuhanan.

Agama dalam proses perubahan sosial dituntut menjadi lebih kreatif. Keterlibatannya tidak hanya terbatas pada konsep teologis, tetapi bagaimana supaya agama dalam tataran praktis berperan sebagai garda depan perubahan sosial. Dalam dimensi tindakan (action) manusia dapat berteologi mengkombinasikan aspek kognitif, afektif dan psikomotorik.

Dengan demikian, pendidikan agama tidak sebatas proses belajar mengajar, apalagi dalam konsep schooling, tetapi lebih merupakan proses inkulturasi dan akulturasi, yaitu proses memperadabkan generasi muda (Moeslim Abdurrahman, 2005). Sederhananya, menyentuh aspek psikologis-pedagogisnya yang memotivasi insan muda dalam menumbuhkan suasana keagamaan yang kritis-transformatif.

Dalam hal ini tampak ada keterkaitan dengan isyarat dalam ajaran Islam yang mendorong kaum muslimin-muslimat untuk mendidik, melatih, dan membina generasi muda sesuai dengan konteks zaman. Agar terjadi proses transfer pengetahuan yang adekuat kepada generasi muda. Sebab pengetahuan agama membutuhkan disiplin ilmu lain yang diperoleh di luar singgasana lembaga pendidikan.

Untuk itu unsur pedagogis menjadi suatu sikap yang amat penting, dalam membekali kebutuhan spiritual generasi muda. Motivasi spiritual yang sifatnya internal ini akan memberikan upaya yang luar biasa dalam meningkatkan kualitas diri secara lebih mandiri melalui pendidikan agama sehingga dapat membedakan mana jalan spiritual yang menyejukkan dan menyesatkan. Wallohu ‘alam

Tulisan ini didukung oleh ARLIVA sebuah Produk Kesehatan Wanita

0 comments:

Post a Comment

Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?