June 3, 2011


Rata Penuh
"Perguruan Tinggi Negeri didesak murah", isu ini tidak disangka muncul kembali dan ramai diperbincangkan setelah sekian lama mengemuka tanpa kepastian. Dengan nuansa politis, DPR membentuk Pantia Kerja Rancangan Undang-undang Perguruan Tinggi Negeri (RUU PTN) untuk menekan biaya pendidikan tinggi yang dinilai terlampau mahal. Keputusan membuat Panja RUU PTN tersebut diambil ketika Komisi X mengadakan Rapat Gabungan dengan sejumlah menteri di Gedung DPR RI (Koran Jakarta, 31/5/2011).

Bayangkan saja, lulusan sekolah menengah umum yang sederajat masih mengeluhkan biaya pendidikan tinggi yang mahal. Bahkan, sudah banyak calon mahasiswa yang diterima melalui jalur undangan masih mengeluhkan tingginya biaya kuliah. Tidak hanya itu, pada tingkat sekolah menengah pertama dan menegah umum para orang tua juga mengeluhkan hal yang sama, terutama untuk sekolah rintisan bertaraf internasional.

Persoalannya menurut anggota DPR, untuk menempuh kuliah menjadi tidak terjangkau bagi sebagian kalangan karena kesalahan konsep pengelolaan anggaran pendidikan. Anggaran lebih menjurus untuk gaji guru, sementara anggaran pendidikan tinggi dikorbankan. Berdasarkan kenyataan ini, lalu di mana peran otonomi perguruan tinggi di saat anggaran untuk pendidikan tinggi berada dalam profil yang sangat rendah.

Maka, dilihat dari isu ini, terdapat kebijakan besar yang sepertinya bias dalam menjembatani bagaimana agar biaya pendidikan tinggi dapat terjangkau. Pertama, lemahnya kebijakan politik anggaran pendidikan yang kuat dan transparan. Kedua, tidak konsistennya kebijakan pendidikan yang bertumpu pada pemerataan akses pendidikan tinggi kepada masyarakat secara merata.

Dinamika Perguruan Tinggi
Ketika persoalan biaya menjadi alasan klasik, mereka yang baru lulus SMU melanjutkan ke perguran tinggi di saat yang sama antara perguruan tinggi dan dunia kerja, ada kalanya terdapat perbedaan dalam pola dinamika. Dengan menarik, Mochtar Buchori (2001) mengatakan bahwa perguruan tinggi kita tidak selalu mampu mengikuti dinamika yang terdapat dalam dunia kerja.

Akibatnya, menurut Buchori, bagian-bagian tertentu dari perguruan tinggi kita menghasilkan lulusan-lulusan yang secara relatif mudah dapat menemukan pasar kerja, sedangkan pada bagian-bagian yang lain mengalami kesukaran menembus pasar kerja. Hasilnya, para lulusan perguruan tinggi menerima kerjaan di bawah taraf pendidikan mereka (under employment).

Pada dasarnya, jalur-jalur studi yang terdapat dalam perguruan tinggi terbagi dalam dua jenis, yaitu jalur akademis dan jalur profesional. Tapi kenyataannya, dua jalur studi tersebut dalam perkembangannya mengalami perubahan yang sama dalam hal biaya setiap tahunnya. Sementara di sisi lain, kehidupan ekonomi tidak cukup berkembang akibat perubahan drastis dunia kerja yang menuntut efisiensi biaya produksi.

Dalam pada itu perlu juga diketahui, dinamika perguruan tinggi juga mengalami perubahan yang cepat dalam bidang pengembangan jalur studi yang akademis dan profesional. Sehingga, belakangan ini terdapat beberapa perguruan tinggi, baik yang umum dan Islam, maupun yang negeri dan swasta membuka jurusan baru berdasarkan tingkat kebutuhan masyarakat.

Hanya saja konsekuensinya untuk mendapatkan jalur-jalur studi tersebut membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Situasi inilah yang dikeluhkan lulusan SMU yang keluarganya berada dalam tingkat ekonomi yang terbatas. Perkembangan pendidikan tinggi tak ubahnya proses industrialisasi yang tumbuh dalam arena pendidikan.

Kendati demikian, minat masuk seleksi perguruan tinggi negeri tahun ini masih menjadi pilihan bagi mereka yang pantang menyerah untuk menjemput masa depan. Pada gilirannya, pendidikan tetap merupakan sebuah pilihan untuk membuka diri menghadapi dinamika perubahan ekonomi dan sosial. Ini pun menutup peluang bagi keluarga miskin untuk dapat bersaing secara baik dengan mereka yang bergelimang fasilitas ekonomi.

Barang kali, inilah ironi kehidupan kita sekarang ini. Kapitalisme berwawasan pendidikan telah meruntuhkan sendi-sendi kehidupan sosial kita karena kesenjangan pendidikan berhubungan secara kasat mata dengan kesenjangan ekonomi. Ia telah berubah ke dalam bentuk barang mewah yang sulit dijangkau. Apalagi, seleksi ketat di perguruan tinggi berkualitas tidak sebatas pertarungan akademik, tapi pertarungan ekonomi yang bergerak dengan nyata.

Risiko Ketidakpastian
Perdebatan anggaran pendidikan yang tidak berujung dan sulit dipahami pada masa sekarang tidak lain merupakan jenis risiko berkadar tingkat tinggi. Sama persis dengan ungkapan Anthony Giddens dalam The Third Way jika manusia dalam hidup ini harus mengambil banyak pilihan yang mengandung risiko, yaitu risiko yang memiliki konsekuensi yang amat jauh.

Gambaran ini kurang lebihnya sama dengan apa yang terjadi di negara ini. Ketidakpastian semakin menyelimuti krisis ekonomi, pendidikan, politik, hukum, dan kepemimpinan yang belakangan ini terus mengemuka. Indonesia seakan tidak mampu mengendalikan setiap persoalan yang melilit hingga terpuruk dalam ketidakpastian. Ironisnya, ketidakpastian ini dianggap sebagai hal yang biasa-biasa saja.

Oleh karena itu, sulit untuk diterima akal sehat jika pemerintah atas nama kemajuan, di tengah-tengah tekanan ekonomi dan politik, justru melepaskan dukungan terhadap dunia pendidikan. Dengan kata lain, tindakan semacam ini dapat dilihat sebagai upaya pemerintah mengabaikan hak-hak masyarakat untuk memperoleh pendidikan yang layak.

Kendati dalam pengelolaan perguruan tinggi mengedepankan pendekatan nirlaba yang otonom dan menekankan penjaminan mutu, transparansi, serta akuntabilitas. Faktanya, wajah pendidikan tinggi kita masih memancarkan aura pendidikan yang sulit dijangkau. Merujuk Richard Falk (1995) seperti dikutip Buchori, jika pemerintah mengabaikan pendidikan merupakan suatu kemungkinan yang cukup nyata akan timbulnya kultur pemerintah yang tidak manusiawi.

Pun, ketidakpastian ini melalui sistem politik menenggelamkan kesadaran demokrasi yang selama ini dijunjung tinggi. Tidak sedikit pun memahami realitas yang terjadi karena semua telah disihir dalam kondisi depersonalization yang membuat mereka tidak mampu memberikan kontribusi berarti untuk sebuah ikhtiar humanisasi manusia yang bersifat pedagogis antisipatoris.

Jika gejala ini masih seperti ini, Indonesia melalui United Nations Partnership For Development Framework (UNPDF) tahun kerja 2011-2015 untuk mengejar target tingkat partispasi masyarakat dalam akses pendidikan di perguruan tinggi dari angka 18 persen di 2009 sampai 25 persen di 2014 akan sulit terwujud. Malah, ketidakpastian akan semakin menganga seiring dengan kebijakan politik praktis yang melemahkan dinamika perguruan tinggi. Wallahu‘alam

0 comments:

Post a Comment

Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?