Showing posts with label Hikmah. Show all posts
Showing posts with label Hikmah. Show all posts

March 20, 2011



Krisis kepemimpinan di Timur Tengah yang terus bergolak melahirkan pembacaan kritis-produktif terhadap wacana kepemimpinan. Hal ini tidak dapat mengesampingkan wacana dan ideologi Arab yang berdampingan dengan kekuatan politik Eropa dan Barat. Sejauh mana revolusi kepemimpinan menemukan titik terang yang dapat memberikan inspirasi bagi pemimpin dibelahan dunia untuk memberikan medium pengetahuan bagi umat manusia.

Revolusi kepemimpinan menempatkan wacana tentang pedagogi kepemimpinan untuk melengkapi pengetahuan sosial. Khususnya pengatahuan sosial atas masa depan suatu bangsa dan pemimpinnya. Karenanya, pendidikan adalah penemuan secara bertahap atas ketidaktahuan kita. Demikian ungkapan Will Durant yang dikutip Stephen R. Covey dalam bukunya The 8th Habits, Melampaui Efektivitas, Menggapai Keagungan (2005). Covey mengajak kita semua untuk menilai tentang pengetahuan manusia yang terus meningkat seiring dengan kadar ketidaktahuan manusia.

Setidaknya ungkapan di atas, juga memvisualisasikan hidup dan kebijaksanaan yang dijalani manusia dalam hal ini diwakili oleh cucu, anak dan orangtua sebagai tiga generasi yang menjaga kewibawaan moral dalam prinsip serta spirit kepemimpinan. Paling tidak tujuannya agar manusia selalu belajar bahwa semakin banyak yang diketahui, semakin tahu bahwa manusia tidak mengetahui.

Di negara ini, misalnya dalam lingkup pengetahuan sosio-politik karena penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang akhirnya timbul persoalan hukum dan korupsi yang sulit menemukan titik terang. Kebijakan yang tidak tegas, kaburnya tahanan ke luar negeri, perusahaan menghindari pajak, suap-menyuap, menjadi sajian hidup masyarakat yang melelahkan. Tidak sekadar rumit, persoalannya pun kerap berakhir dengan ketidakpastian.

Dalam kasus seperti ini, manusia bukan lagi makhluk sosial yang siap berbagi dan melayani. Manusia makhluk yang penuh misteri dan kepalsuan. Pengetahuan politik yang sekiranya menumbuhkan kebijaksanaan tak ubahnya akrobat retorika. Melumpuhkan integritas, solidaritas dan soliditas sosial yang jauh dari kerendahan hati dan keberanian. Mentalitas berkompetisi berubah menjadi wahana tarik-ulur yang semata-mata hanya berkutat pada soal kekuasaan.

Pemimpin Pelayan

Sesungguhnya, setiap orang pemimpin. Secara psikis dalam jiwanya yang tenang terkandung kesiapan untuk berkompetisi (Najati, al-Qur’an dan Psikologi: 2001). Dari kultur di mana ia tumbuh idealnya kompetisi ekonomi, politik, ilmiah atau jenis-jenis kompetisi lainnya yang berkembang dalam berbagai kultur manusia mengandung prinsip pedagogis atas ketidaktahuannya. Dalam Islam dorongan berkompetisi sangat dianjurkan, asalkan berkompetisi dalam kebaikan.

Setiap pemimpin akan menjaga kewibaan moral bukan dengan pencitraan. Adalah tepat jika Abraham Lincoln mengatakan cara paling pasti untuk mengungkap karakter seseorang bukanlah melalui kesulitan tetapi dengan memberinya kekuasaan. Apakah dengan kekuasaannya dia akan menjadi pemimpin yang terbuka, kooperatif atau memiliki karakter lain.

Kita semua berharap, tidak menginginkan satu karakter pemimpin, tapi kombinasi dari berbagai karakter yang melahirkan karakter pemimpin pelayan. Karakter pemimpin progresif yang mewariskan sikap kerendahan hati, keberanian, kebijaksanaan, dan mentalitas berkelimpahan sebagaimana dicita-citakan Islam.

Kerendahan hati merupakan jenis kepribadian dalam al-Qur’an yang berkaitan dengan hubungan kekeluargaan dan kemasyarakatan. Dia adalah pemimpin yang akan bersatu menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran. Keberanian adalah salah satu karakter kuat lainnya yang mewarnai proyeksi kebijakannya dalam menyeimbangkan kepincangan sosial.

Keberanian membuncah untuk melawan rasa takut akan hilangnya kekuasaan, kepercayaan publik, reputasi yang buruk, bahkan rasa takut dari keadaan rakyatnya yang miskin dan bodoh. Pemimpin pelayan hanya takut kepada Yang Maha Kuasa. Sebab dengan rasa takut itu ia akan terhindar dari murka dan azab-Nya. Senantiasa bijaksana menghadapi persoalan yang dihadapi.

Pemimpin pelayan tidak akan mengeluh atas segala kekurangannya. Justeru kritik tajam merupakan proses didaktika untuk melengkapi pengetahuan secara bertahap. Dengan demikian dia akan mendefinisikan kepempinan sesuai dengan kapasitas keilmuannya. Pemimpin pelayan akan mengkomunikasikan segala persoalan yang melilit bangsa dengan merangkul kalangan ilmuwan, cendekiawan agamawan serta elemen masyarakat lainnya.

Jiwa yang Hidup

Perkembangan akal manusia dalam pandangan kritis Erich fromm menyebabkan manusia tersungkur ke dalam situasi anomali. Ketidakseimbangan dan kesenjangan mewarnai belantika hidupnya. Terbukti, kritiknya terhadap manusia semakin menguatkan bahwa di abad modern ini pengembaraan abadi manusia kian kontradiksi dengan eksistesinya sebagai manusia.

Dikotomi hidup manusia dalam mengemban amanah sebagai khalifah untuk mengelola bumi melahirkan beragam makna kepemimpinan. Suatu kepemimpinan yang menyangkut bidang-bidang kehidupan kemasyarakatan yang menimbulkan konsep kekuasaan. Dalam Islam konsep kepemimpinan dapat dijumpai melalui istilah khalifah, imamah, imarah, ulul ‘amri dan ulul albab.

Istilah-istilah kepemimpinan itu hubungannya dengan soal kepentingan masyarakat dalam realitas sejarah dan realitas politik belakangan ini menjadi gambaran yang abstrak. Padahal negara dengan prinsipnya sudah mewadahi kepentingan masyarakat agar mendapat perhatian yang layak. Prinsip ini mendorong terbukanya makna kepemimpinan (khalifah) dalam mencerdasi spirit demokrasi.

Betapapun abstraknya istilah pemimpin dan kekuasaan saat ini, minimal pemimpin dapat mencerdasi suatu perkara agar tidak berlarut-larut. Ketegasan pemimpin sangat dinanti masyarakat. Pemimpin adalah pelayan. Pelayan yang memanusiakan bawahan, menyejahterakan masyarakat bersama-sama mengejar medali kemakmuran. Sehingga spiritualitas dalam diri turut menyadarkan jika kekuasaan itu cepat berlalu.

Spirit pemimpin pelayan menandakan jiwa yang hidup. Jiwa yang hidup senantiasa dinamis, bergerak, tidak mandek, dan putus asa. Tanggap terhadap persoalan kecil dan besar. Pemimpin yang memiliki pendirian teguh, akan memiliki sandaran kuat karena ia bersandar pada kebenaran dan keadilan. Itulah pemimpin pelayan. Memiliki rasa optimis tidak risau kehilangan harapan serta rasa gembira.

Penulis adalah Peminat Sosiologi Pendidikan, Peneliti al-Wasat Foundation Jakarta.

Read More …

January 11, 2011

Melestarikan Tradisi Rihlah

Oleh: Nazhori Author


Satu alasan mengapa negara-negara maju menekankan pentingnya pendidikan dalam meningkatkan kapasitas warga negaranya adalah untuk menjawab tantangan zaman. Tujuan memprioritaskan pendidikan diharapkan kemampuan belajar baik di dalam lembaga pendidikan maupun belajar mandiri (otodidak) dapat meningkatkan spirit kehidupan rohani dan jasmani.

Kemampuan belajar (Learning Capability) merupakan energi pedagogis yang harus dilestarikan. Menurut Mochtar Buchori (2001) kemampuan belajar ialah kemampuan untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, atau wawasan baru tanpa terlampau banyak tuntunan dari orang lain. Sering juga diartikan dengan kemampuan belajar secara mandiri.

Dalam konteks tradisi rihlah (perjalanan mencari ilmu) kemampuan belajar sudah dilakukan para kaum shopie (bijak) di zaman Yunani kuno dan Islam klasik. Dari tradisi rihlah inilah ilmuwan-ilmuwan besar lahir dengan beberapa karya penting yang sangat berpengaruh di seantero dunia. Nama-nama besarnya ikut mewarnai khazanah ilmu pengetahuan sampai saat ini.

Rihlah dalam Islam
Rihlah atau perjalanan mencari ilmu secara khusus dijelaskan dalam Alquran dan hadis. Misalnya dalam (Q.S. al-Mujadalah: 11) yaitu “Allah akan meninggikan derajat orang yang beriman dan mencari ilmu beberapa derajat”. Firman-Nya yang lain (Q.S. Luqman: 27) “Seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah keringnya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat (ilmu) Allah. Sesungguhnya Allah Maha Agung lagi Maha Bijaksana. Dijelaskan dalam ayat lain, “Terangkan kepada-Ku dengan keterangan yang berdasarkan ilmu, jika kamu memang bisa membuktikan suatu kebenaran” (Q.S. al-An’am: 143).

Konteks tiga ayat ini adalah mengenai anjuran Islam kepada setiap muslim untuk menuntut ilmu. Sehingga tradisi rihlah yang terdapat di kalangan umat Islam terus tumbuh. Sementara jangkauan ilmu manusia, di samping terbatas juga tidak sempurna. Tiga ayat tersebut saling melengkapi untuk memberikan motivasi kepada setiap muslim untuk mencari ilmu.

Karena menuntut ilmu dinyatakan wajib, maka kaum muslim pun menjalankannya sebagai ibadah. Dan, janji Allah amat jelas akan meninggikan derajat dan kemampuan belajar bagi yang beriman dan berilmu. Hal ini diperkuat juga dalam hadis Nabi: “Barang siapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah memudahkan jalannya ke surga”.

Pendidikan Islam menerangkan bahwa rihlah boleh dilakukan setiap muslim ke tempat yang jauh walau sampai ke negeri Cina, asalkan mencari keutamaan ilmu, seperti digambarkan dalam sebuah hadis. Rihlah merupakan suatu konsekuensi menjalankan perintah Rasulullah. Atas dasar itu, rihlah adalah ikhtiar meningkatkan kualitas penalaran manusia yang sebelumnya terbatas.

Dengan kemampuan itu maka manusia memiliki ilmu. Manusia mampu mengidentifikasi segala sesuatu dengan panca indera dan intuisinya. Dengan kemampuan itu pula, menurut Dawam Rahardjo dalam Ensiklopedi al-Qur’an (2002) manusia bisa melakukan komunikasi dan transfer pengetahuan kepada orang lain, tidak saja di antara yang hidup dalam satu generasi, melainkan juga ke generasi berikutnya.

Secara historis tradisi rihlah telah dipraktikan di Indonesia. Kondisi itu dapat dilihat pada awal abad ke-20. Berdasarkan penelitian Karel A. Steenbrink (1986) dalam bukunya Pesantren, Madrsah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern dijelaskan bahwa pendidikan yang paling sederhana, seluruhnya dipusatkan pada Alquran dan disebut pengajian al-Qur’an.

Steenbrink menambahkan, para santri tidak pernah membayar uang sekolah dan semacamnya untuk pendidikan yang mereka terima, karena ilmu pengetahuan agama tidak boleh diperjualbelikan dengan uang. Begitu pula mereka tidak membayar sewa gedung yang sederhana yang tersedia di pesantren. Umumnya para santri datang dari berbagai daerah untuk belajar. Demikian gambaran rihlah saat itu.

Sedangkan untuk belajar agama yang lebih mendalam, Kota Mekah merupakan pusatnya. Biasanya tradisi rihlah dilakukan setelah ibadah Haji, banyak kaum muslim yang memanfaatkan waktu senggangnya belajar kepada ulama terkenal di Mekah. Tidak diragukan lagi setelah cukup menimba ilmu mereka kembali ke tanah air berbekal pengetahuan untuk saling berbagi. KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asy’ari dan A. Hassan merupakan tiga contoh ulama berpengaruh yang bergelut di jalur rihlah.

Bahkan waktu itu, secara otodidak orang Indonesia belajar kepada orang Belanda untuk mempelajari manajemen pendidikan. Hasilnya sekolah-sekolah modern bediri meski sederhana sebagai tempat bagi anak-anak, kaum perempuan dan pemuda belajar. Tidak heran jika tokoh-tokoh pemuda kala itu mendirikan organisasi yang cukup berpengaruh. Hal ini sebagai wujud dari ikhtiar mereka melakukan rihlah.

Rihlah Masa Kini
Dalam era ilmu pengetahuan dan teknologi, sudah saatnya Learning Capability menjadi perhatian serius tanpa melupakan tradisi rihlah. Keberanian untuk mengajukan alternatif pembelajaran (alternative learning) harus ditempuh agar menghasilkan suatu hal yang baru. Artinya dapat bersanding dan kemudian berkompetisi sehingga menghasilkan agen perubahan sosial (agent of change) yang tangguh.

Tradisi rihlah dari waktu ke waktu terus mengalami perubahan sesuai dengan konteks zaman. Berdirinya lembaga-lembaga pendidikan yang baru dan spesifik suatu pertanda rihlah harus dikemas sesuai dengan kebutuhan. Untuk itu, makna rihlah mengalami pergesaran sesuai dengan tuntutan zaman. Namun, ada sebagian yang tetap bertahan sebagai warisan budaya dan intelektual yang perlu dilestarikan.

Bangsa Indonesia perlu berbangga hati, karena banyak sarjana-sarjana Indonesia yang belajar ke luar negeri untuk rihlah. Lembaga-lembaga pendidikan tumbuh subur dengan kreativitas dan inovasinya besar harapan para remaja dan pemuda dapat memilih ilmu pengetahuan yang diminati. Mengingat ketatnya persaingan dalam rangka memberikan layanan pendidikan yang berkualitas kepada masyarakat.

Kita semua berharap dengan tradisi rihlah masa kini dapat menghasilkan pemikiran dan gagasan pendidikan yang holistik. Pada gilirannya dapat menyumbangkan strategi pengembangan pendidikan dalam menghadapi dinamika tantangan di tengah persaingan nasional dan global. Dengan semangat ini, di bidang pendidikan semoga terjadi transformasi sosi-kultural yang mampu memetakan persoalan bangsa.

Kontribusi akademik dan sosial sangat dinanti perannya sebagai wujud kepedulian kita terhadap keadaan bangsa dewasa ini. Sikap ini secara sosiologis-pedagogis terkait dengan soal rihlah masa kini diakui membutuhkan ongkos sosial yang tidak sedikit. Nyatanya, penyelenggaraan pendidikan tanggung jawab masyarakat bukan pemerintah. Hasilnya biaya pendidikan ditanggung masyarakat bukan peserta didik.

Selayaknya masyarakat tidak perlu risau mencari wahana rihlah (sekolah dan madrasah/ kaum cerdik pandai) karena semuanya sudah terfasilitasi. Tradisi keilmuan seperti sekarang ini sejatinya dimanfaatkan sebaik mungkin. Terutama dalam meningkatkan kemampuan belajar generasi muda yang secara tidak langsung sedang berusaha melestarikan tradisi rihlah di abad modern. Wallohu ‘alam
Read More …

October 11, 2010

Indonesia Book Fair 2010

Oleh : Nazhori Author


Pada 2 Oktober 2010, tepatnya hari Sabtu, di Senayan, Jakarta dibuka Indonesia Book Fair 2010. Pameran buku ini diikuti berbagai macam penerbit dari dalam dan luar negeri, perpustakaan dari berbagai instansi dan pemerintah daerah, media massa, toko buku, dan lain-lain. Tidak lain salah satu tujuannya adalah meningkatkan daya baca dan beli masyarakat terhadap buku sebagai jendela informasi dunia.

Bagi masyarakat, pameran buku merupakan pesta buku yang istimewa. Karena berbagai macam buku tersedia dengan harga yang terjangkau. Di samping itu, melalui pameran buku masyarakat diharapkan dapat meningkatkan tradisi membaca dan menulis di saat tradisi lisan masih sangat dominan dalam cara masyarakat berkomunikasi setiap hari.

Kuatnya tradisi lisan sedikit banyak mengabaikan tradisi membaca dan menulis. Padahal membaca dan menulis merupakan pesan pengetahuan yang terdapat dalam al-Qur’an. Pantas jika buta aksara adalah penyakit yang dirisaukan oleh setiap negara di belahan bumi ini sebab akan mengakibatkan masyarakat menjadi bodoh dan miskin.

Seperti dilaporkan UNESCO pada hari Aksara Internasional 8 September 2010 disebutkan bahwa Buta aksara atau buta huruf adalah ketidakmampuan seseorang untuk mengidentifikasi, mengerti, menerjemahkan, membuat, mengkomunikasikan dan mengolah isi dari rangkaian teks yang terdapat pada bahan-bahan cetak dan tulisan yang berkaitan dengan berbagai situasi. Di dunia ini jumlah buta huruf masih banyak terdapat di negara-negara miskin dan berkembang atau negara dunia ketiga.

Pesan Membaca al-Qur’an
Di tengah kemajuan teknologi informasi yang kita nikmati saat ini, masih banyak ditemukan penyandang buta aksara yang tersebar di berbagai pelosok daerah di Indonesia. Yang lebih mengenaskan di antara mereka yang buta aksara berada di usia produktif (15-30 tahun) tidak mengerti membaca dan menulis. Terutamanya yang dominan adalah kaum perempuan.

Dari data terakhir yang dicatat Kemendiknas di tahun 2009, jumlah penduduk yang buta aksara adalah sebanyak 8,7 juta penduduk yang tersebar di beberapa wilayah di Indonesia. Direktorat Jenderal Pendidikan Non Formal Kementrian Pendidikan Nasional, Hamid Muhammad mengungkapkan jumlah perempuan yang masih buat aksara di Indonesia lebih besar dibandingkan dengan lelaki. “Dari komposisi penduduk buta aksara, 64 persen perempuan masih buta aksara (Koran Tempo, Senin, 06 September 2010).

Inilah tugas berat pendidikan bagaimana mengentaskan buta aksara yang menimpa seseorang di usia produktif. Dalam Islam al-Qur’an telah menekankan tentang pentingnya membaca dan menulis. Hal ini dimaksudkan agar manusia senantiasa belajar untuk memaknai dan memuliakan kehidupan agar lebih bermakna. Sehingga pemahaman akan pengetahuan dan keagamaannya menjadi bekal hidup di dunia dan akhirat.

Adalah sangat relevan jika pertama kali ayat al-Qur’an diturunkan ke muka bumi yaitu surat al-’Alaq dan al-Qalam. Di dalam kedua surat tersebut menurut Imam al-Khazin (1995) di dalam Tafsir al-Khazin al-Musamma libabi al-Ta’wil fi Ma’ani al-Tanzil (dalam Abdul Mu’ti, Deformalisasi Islam, 2004) kata al-Qalam, yang berarti kegiatan membaca dan menulis disebutkan diawal surat. Nun, demi kalam dan apa yang mereka tulis, demikian tafsir pedagogis ayat tersebut.

Tidak diragukan lagi, sejak al-Qur’an diwahyukan Abdul Mu’ti (2004) berpendapat bahwa menulis berkembang menjadi tradisi baru masyarakat Arab. Tradisi ini memperkuat halaqah ilmiah di mana para sahabat secara resiprocal saling membaca, mengoreksi, dan menyempurnakan bacaan dan hafalan al-qur’an. Tidak mustahil dalam perkembangannya muncul beberapa ahli hadis dan tafsir.

Hingga pada zaman keemasan Islam, berbagai macam judul buku ditulis tentang fikih, ibadah, astronomi, kedokteran, matematika, dan lain sebagainya. Tradisi ilmiah tumbuh seiring dengan kebebasan berpikir, berdialog dan berkumpul untuk menciptakan sekolah pengetahuan yang sampai saat ini karya-karya tersebut menjadi buku-buku referensi yang tak lekang ditelan waktu.

Seiring dengan modernitas dan kemajuan teknologi informasi sekarang ini, buku-buku menjadi guru kedua (second tutorial) dalam mendidik masyarakat untuk memperoleh pengetahuan. Ditambah lagi dengan buku-buku online yang tersedia di jaringan internet semakin memupuk harapan tradisi membaca dan menulis kian tumbuh di tengah masyarakat untuk mengurangi buta aksara. Dengan catatan akses informasi dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat di seluruh pelosok tanah air.

Buku Jendela Pengetahuan
Buku dalam arti luas adalah mencakup tulisan atau gambar yang ditulis atau dilukis dalam suatu media. Dalam Kamus Besar Bahas Indonesia (2002) buku berarti lembar kertas yang berjilid, berisi tulisan atau kosong. Ada juga yang berisi tulisan atau gambar yang dapat dilihat dan dibaca. Tulisan atau gambar ini kemudian disebut dengan pengetahuan.

Dahulu dalam sejarah peradaban Islam para sahabat dan pengikut Nabi, agar hafalan mereka tentang al-Qur’an dan hadisnya tidak hilang atau lupa dianjurkan untuk ditulis. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib r.a.bahkan berpesan dalam suatu riwayatnya kurang lebih demikian, “Ikatlah ilmu dengan menuliskannya”. Pesan ini belakangan menjadi judul populer sebuah buku berjudul Mengikat Makna yang ditulis Hernowo.

Buku tersebut pada dasarnya menurut Hernowo (2001) menekankan pentingnya memadukan aktivitas membaca dan menulis dengan displin agar dua kegiatan tersebut dapat memberikan makna (manfaat) kepada pelakunya. Dan, bukan hanya buku yang dapat diikat maknanya, kehidupan diri kita sehari-hari pun dapat diikat maknanya. Sederhananya, buku tersebut diharapkan dapat membuat masyarakat Indonesia untuk mampu dan mau membaca dan menulis secara “fun“.

Oleh karena itu, buku sebagai jendela dunia merupakan salah satu sarana bagaimana mengikat makna kehidupan dalam sebuah tulisan. Membaca dan menulis adalah dua kegiatan yang dianjurkan Islam, terutama jika ingin mencerdasi (mengkhalifahi) lika-liku kehidupan dengan ilmu. Membaca dapat mengajak diri kita ke lembah-lembah pengetahuan di mana mata air ilmu berada.

Membaca juga memotivasi diri kita untuk bertafakur, mengolah hati dan pikiran dengan jernih secara sistematis. Sehingga dalam menemukan ilmu dan mengamalkannya manusia tidak takabur dan besar kepala terhadap orang lain. Sebaliknya, Hernowo mengatakan (2001) menulis akan membantu kegiatan membaca agar tidak sia-sia. Menulis dapat menata dan menyusun seluruh pengetahuan yang masuk ke dalam diri menjadi arsip-arsip ilmu yang kaya dan mudah diakses kembali. Sehingga, ‘mengikat makna’ sejalan dengan semangat mencari ilmu.

Karena itu, pameran buku yang digelar di Jakarta setiap tahun ini, bukan sekadar pesta buku tahunan yang diselenggarakan secara rutin. Lebih jauh lagi diharapkan sebagai media berbagi informasi dan pengetahuan khususnya kepada masyarakat. Semoga tradisi membaca dan menulis menjadi counter culture untuk memberantas buta aksara dan buta moral. Wallohu ‘alam
Read More …

September 8, 2010

Dari Mudik Jadi Mudhik

Narablog: Nazhori Author



Ramadhan adalah bulan yang ditunggu-tunggu setiap kaum muslim di belahan bumi ini. Selain mengharap pahala dan barokah, di bulan mulia ini pula ampunan dari Allah menjadi motivasi spiritual tersendiri dan bersifat privasi. Karena itu, segenap umat muslim benar-benar menikmati menjaga lapar, dahaga dan amarah agar tidak tergoda dari bujuk rayu syahwat yang menggelora.

Dalam menyambut hari kemenangan (Idul Fitri) setelah melewati ujian di bulan ramadhan ada satu tradisi unik di Indonesia yaitu mudik. Suatu peristiwa budaya yang tidak hanya bertumpu pada silaturahim lebih dari itu mudik merupakan ajang atau tempat berkumpul sesama kerabat di kampung halaman. Sedih, gembira, tangis dan tawa bercampur menjadi satu cerita untuk berbagi kenikmatan (tahaaduts bi ni’mah).

Mudik dalam perspektif budaya selalu memerlukan intensitas peristiwa atau momentum terutama seperti di bulan ramadhan ini. Dari sanalah kekuatan paguyuban di kampung halaman membuncah sebagai salah satu unsur pembentuk komunikasi spiritual dan sosial sesama kerabat. Dan mampu melintasi sekat-sekat status sosial saat mencari nafkah di kota.

Dari kampung halaman ini lahirlah kosakata mudik. Mudik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002) adalah pulang ke kampung halaman. Biasanya seminggu menjelang lebaran sudah banyak orang yang mudik. Merekalah pemudik yang rindu ke udik (kampung halaman). Setiap tahun menjelang lebaran muncul peristiwa bahasa, istilah, dan trend yang menjadi ciri khas tersendiri di bulan ramadhan yaitu mudik. Sehingga lebaran tidak terasa nikmat jika tidak pulang kampung.

Inilah fitri sebuah jalan agar manusia kembali kepada fitrahnya. Di sini, setiap manusia dituntun melalui empat jalan kebajikan, yaitu puasa ramadhan, memperbanyak salat sunah, sedekah, membayar zakat fitrah, dan saling memaafkan kesalahan. Nuansa kebajikan sangat kental di bulan ramadhan karena memang Islam menekankan kebajikan untuk memperkuat fondasi iman.

Senada dengan mudik. Fitrah dalam konteks ini menekankan dan mengingatkan kepada orang-orang dari desa yang pergi ke kota untuk mencari nafkah dan menjadi sukses agar selalu ingat sejatinya dari mana ia berasal. Seseorang tidak akan menjadi sukses jika tidak ada niat dan ikhtiar dari desa untuk mencari rejeki di kota. Tanpa keberadaan kota mustahil orang desa tertarik datang ke kota.

Oleh karena itu, mudik sudah menjadi bagian dari masyarakat Indonesia. Idul fitri hanyalah momentum atau peristiwa spiritual yang mengalami kontak langsung dengan budaya sehingga tampilannya semakin kompleks dan kosmopolitan. Hal ini tercermin dari ekspresi para pemudik, bahwa modernisasi menyebabkan mobilitas individual yang mengharuskan mereka pulang ke kampung halaman meninggalkan kota untuk sementara.

Di samping itu, jika dahulu mudik menggunakan moda transportasi kapal laut, kereta api dan bus, kini mudik bisa ditempuh dengan menggunakan sepeda motor dan mobil dari hasil jerih payahnya di kota. Bahkan bagi mereka yang betul-betul sukses pesawat menjadi pilihan utama sebagai moda transportasi untuk pulang kampung. Jika dipikir-pikir biaya mudik memang tidak sedikit, tapi rasa bahagia dan cinta kasih mampu menepisnya.

Ada dua wajah di saat mudik lebaran yang mengisi ruang spiritual dan sosial itu. Di satu sisi, spiritualisme mudik menarik garis antara silaturahim dan kekerabatan. Namun di sisi lain, energi mudik juga mengandung referensi ke situasi yang paradoksal.

Misalnya mudik dengan kendaraan roda dua yang melebihi batas, karena di dalamnya tersimpan kata hati-hati. Jika tidak maka akan mengalami kecelakaan. Dalam suasana mudik yang gembira kadang-kadang, pemudik lupa atas keselamatan dirinya dan orang lain sehingga mengaburkan substansi dari mudik itu sendiri. Sehingga ada orang yang salah paham dengan mudik sehingga menjadi paradoksal.

Contoh lain misalnya, sudah tahu penuh dan sesak masih ada pemudik yang membawa barang-barang melebihi kapasitas dan kemampuannya. Akhirnya menjadi menyiksa diri. Atau bagi pemudik yang kurang hati-hati dalam mengendarai yang berakibat fatal karena kecelakaan, seperti dikabarkan oleh media cetak belakangan ini.

Mudik merupakan peristiwa sosial yang terjadi berbarengan dengan motivasi spiritual di bulan ramadhan. Barangkali kondisi semacam ini semakin menguatkan agama secara fungsional bagi para pemeluknya khususnya umat muslim. Ada semacam hubungan positif antara agama dan solidaritas organik di dalam masyarakat modern yang sarat dengan pembagian kerja.

Bagi sosiolog seperti Durkheim, solidaritas organik tidak dapat dilambangkan oleh hal-hal atau benda-benda yang sakral. Tapi tanpa melakukan upaya sakralisasi, mudik sendiri secara tidak langsung menjadi lambang atau simbol bagi umat muslim apabila lebaran akan tiba. Sehingga secara psikologis motivasi untuk pulang ke kampung halaman menjadi suatu kebiasaan yang khas dan unik.

Bahkan tidak jarang terjadi adanya rasa tidak puas apabila menjelang lebaran tidak pulang kampung. Sementara faktor ekonomi tidak mendukung bagaimana caranya agar dapat pulang kampung. Tinggal yang tersisa ialah rindu akan kampung halaman dan silaturahim yang tertunda sementara.

Selain itu, mudik juga bermakna kerinduan antara anak dan orangtua. Pantas jika dalam ajaran Islam yang menyeluruh barangkali tidak ada perkara yang sedemikian pentingnya seperti hubungan antara anak dan orangtua. Demikian pesan berbakti kepada orangtua dalam peristiwa mudik. Tidak terkecuali terhadap keseluruhan keluarga dan kerabat untuk menunjukkan sikap hormat dan sopan santun.

Dari keterangan singkat ini, jelas bahwa mudik tidak bisa dipisahkan dari peran dan fungsi agama. Karena di dalamnya terdapat dua dimensi hidup manusia, yaitu ketuhanan dan kemanusiaan. Persaudaraan dan pertalian cinta kasih mampu menjembatani kerinduan yang lama terpendam. Di kampung halaman dengan mudik semua bisa menjadi tertawa (bahasa arab: mudhik) tentang makna hidup dan kampung halaman. Wallohu ’alam
Read More …

August 4, 2010


Cobek dan Kisah Bocah-Bocah Letih


Narablog: Nazhori Author







Ulekan, ya itu namanya atau cobek, piring batu yang digunakan sehari-hari untuk menggiling cabai, bawang dan rempah-rempah lainnya. Cobek biasa digunakan di dapur rumah, restoran, rumah makan, dan warteg. Sebuah alat menggiling rempah-rempah peninggalan sejarah di zaman batu (megalitikum dan neolitikum) yang sampai saat ini masih berguna.

Kendati sekarang muncul alat giling generasi baru seperti blender yang praktis, tetap saja cobek menjadi pilihan utama untuk menggiling rempah-rempah agar menghasilkan cita rasa yang khas. Bentuk dan beratnya pun menjadi keunikan tersendiri. Apalagi, jika cobek itu menemani para ibu rumah tangga di dapur hampir puluhan tahun, akan semakin unik. Untuk mendapatkannya bisa dibeli di pasar tradisional terdekat.

Ini bukan cerita, tapi fakta. Cobek yang biasa terdapat di pasar tradisional sekarang ada di pinggir jalan. Tepatnya di sepanjang jalan raya Transyogi, Cibubur, Jakarta Timur. Sebuah jalan yang hampir setiap hari dilalui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Seperti diketahui sepanjang jalan raya Transyogi adalah jalan raya yang di sisi kanan dan kirinya terdapat perumahan mewah dan elit.

Mungkin Anda akan tercengang melihatnya. Cobek tersebut tidak dijajakan di warung atau toko alat-alat perlengkapan dapur. Tapi dijajakan persis di pinggir jalan. Ingin tahu siapa penjualnya? Penjualnya adalah anak-anak di usia sekolah. Suatu hari pernah saya bertanya. Berapa berat cobek yang dipikul itu, dik? Beratnya bisa mencapai 5 Kg lebih mas. Mendengar jawaban itu, kaki terasa lemas sepertinya.

Setahun lebih sudah bocah-bocah pemikul cobek itu berada. Atau bisa jadi lebih dari itu. Waktu terus berlalu. Lagi-lagi fakta menuliskan cerita baru lagi. Ternyata, bocah penjual cobek keberadaannya tidak hanya di pinggir jalan Transyogi. Mereka ada di sekitar perumahan tepatnya di Gunungputri, Bogor. Salah satunya di lingkungan perumahan Griya Bukit Jaya.

Entah sudah berapa banyak masyarakat yang mengangkat cerita tentang bocah-bocah itu di media online. Tapi kemunculannya belakangan mengundang tanda tanya. Konon keberadaannya diorganisir. Singkatnya, ada yang mengantar dan menjemput. Siapa gerangan yang memanfaatkan keluguan dan kelemahan bocah-bocah itu. Seharusnya mereka menikmati hari-harinya di sekolah. Bermain dengan teman-teman sebaya, mengisi hari demi hari dengan canda dan tawa.

Beberapa pekan yang lalu, mereka kembali dengan aktivitasnya dengan memikul cobek yang berat itu. Di wajahnya tersimpan masa depan yang hampir punah. Dengan pakaian lusuh mereka tertidur pulas beralas koran tanpa peduli udara dingin dan kotor di malam hari. Rupanya tak ada beban sedikit pun di wajah mereka. Tapi, sorot matanya yang sayu tidak dapat menyembunyikan keletihannya.

Namun, belakangan ini timbul pertanyaan yang kerap mengusik hati nurani kita. Apakah mereka bagian dari korban eksploitasi anak? Atau korban dari proses pemiskinan yang kian hari terus berubah bentuk dan kejadiannya. Fenomena ini bukan hanya di satu tempat, bisa jadi ada cerita yang sama di tempat yang berbeda, bagi Anda yang pernah menemukannya.

Apa salah bocah-bocah itu? Mengapa harus menanggung beban berat itu. Kita yakin mereka masih punya kesempatan untuk keluar dari lingkaran yang menjerat hak-hak dasar mereka. Atau kita harus menunggu bapak-ibu sosial yang akan mengulurkan tangannya untuk mereka?
Read More …