August 4, 2010


Cobek dan Kisah Bocah-Bocah Letih


Narablog: Nazhori Author







Ulekan, ya itu namanya atau cobek, piring batu yang digunakan sehari-hari untuk menggiling cabai, bawang dan rempah-rempah lainnya. Cobek biasa digunakan di dapur rumah, restoran, rumah makan, dan warteg. Sebuah alat menggiling rempah-rempah peninggalan sejarah di zaman batu (megalitikum dan neolitikum) yang sampai saat ini masih berguna.

Kendati sekarang muncul alat giling generasi baru seperti blender yang praktis, tetap saja cobek menjadi pilihan utama untuk menggiling rempah-rempah agar menghasilkan cita rasa yang khas. Bentuk dan beratnya pun menjadi keunikan tersendiri. Apalagi, jika cobek itu menemani para ibu rumah tangga di dapur hampir puluhan tahun, akan semakin unik. Untuk mendapatkannya bisa dibeli di pasar tradisional terdekat.

Ini bukan cerita, tapi fakta. Cobek yang biasa terdapat di pasar tradisional sekarang ada di pinggir jalan. Tepatnya di sepanjang jalan raya Transyogi, Cibubur, Jakarta Timur. Sebuah jalan yang hampir setiap hari dilalui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Seperti diketahui sepanjang jalan raya Transyogi adalah jalan raya yang di sisi kanan dan kirinya terdapat perumahan mewah dan elit.

Mungkin Anda akan tercengang melihatnya. Cobek tersebut tidak dijajakan di warung atau toko alat-alat perlengkapan dapur. Tapi dijajakan persis di pinggir jalan. Ingin tahu siapa penjualnya? Penjualnya adalah anak-anak di usia sekolah. Suatu hari pernah saya bertanya. Berapa berat cobek yang dipikul itu, dik? Beratnya bisa mencapai 5 Kg lebih mas. Mendengar jawaban itu, kaki terasa lemas sepertinya.

Setahun lebih sudah bocah-bocah pemikul cobek itu berada. Atau bisa jadi lebih dari itu. Waktu terus berlalu. Lagi-lagi fakta menuliskan cerita baru lagi. Ternyata, bocah penjual cobek keberadaannya tidak hanya di pinggir jalan Transyogi. Mereka ada di sekitar perumahan tepatnya di Gunungputri, Bogor. Salah satunya di lingkungan perumahan Griya Bukit Jaya.

Entah sudah berapa banyak masyarakat yang mengangkat cerita tentang bocah-bocah itu di media online. Tapi kemunculannya belakangan mengundang tanda tanya. Konon keberadaannya diorganisir. Singkatnya, ada yang mengantar dan menjemput. Siapa gerangan yang memanfaatkan keluguan dan kelemahan bocah-bocah itu. Seharusnya mereka menikmati hari-harinya di sekolah. Bermain dengan teman-teman sebaya, mengisi hari demi hari dengan canda dan tawa.

Beberapa pekan yang lalu, mereka kembali dengan aktivitasnya dengan memikul cobek yang berat itu. Di wajahnya tersimpan masa depan yang hampir punah. Dengan pakaian lusuh mereka tertidur pulas beralas koran tanpa peduli udara dingin dan kotor di malam hari. Rupanya tak ada beban sedikit pun di wajah mereka. Tapi, sorot matanya yang sayu tidak dapat menyembunyikan keletihannya.

Namun, belakangan ini timbul pertanyaan yang kerap mengusik hati nurani kita. Apakah mereka bagian dari korban eksploitasi anak? Atau korban dari proses pemiskinan yang kian hari terus berubah bentuk dan kejadiannya. Fenomena ini bukan hanya di satu tempat, bisa jadi ada cerita yang sama di tempat yang berbeda, bagi Anda yang pernah menemukannya.

Apa salah bocah-bocah itu? Mengapa harus menanggung beban berat itu. Kita yakin mereka masih punya kesempatan untuk keluar dari lingkaran yang menjerat hak-hak dasar mereka. Atau kita harus menunggu bapak-ibu sosial yang akan mengulurkan tangannya untuk mereka?

0 comments:

Post a Comment

Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?