September 8, 2010

Dari Mudik Jadi Mudhik

Narablog: Nazhori Author



Ramadhan adalah bulan yang ditunggu-tunggu setiap kaum muslim di belahan bumi ini. Selain mengharap pahala dan barokah, di bulan mulia ini pula ampunan dari Allah menjadi motivasi spiritual tersendiri dan bersifat privasi. Karena itu, segenap umat muslim benar-benar menikmati menjaga lapar, dahaga dan amarah agar tidak tergoda dari bujuk rayu syahwat yang menggelora.

Dalam menyambut hari kemenangan (Idul Fitri) setelah melewati ujian di bulan ramadhan ada satu tradisi unik di Indonesia yaitu mudik. Suatu peristiwa budaya yang tidak hanya bertumpu pada silaturahim lebih dari itu mudik merupakan ajang atau tempat berkumpul sesama kerabat di kampung halaman. Sedih, gembira, tangis dan tawa bercampur menjadi satu cerita untuk berbagi kenikmatan (tahaaduts bi ni’mah).

Mudik dalam perspektif budaya selalu memerlukan intensitas peristiwa atau momentum terutama seperti di bulan ramadhan ini. Dari sanalah kekuatan paguyuban di kampung halaman membuncah sebagai salah satu unsur pembentuk komunikasi spiritual dan sosial sesama kerabat. Dan mampu melintasi sekat-sekat status sosial saat mencari nafkah di kota.

Dari kampung halaman ini lahirlah kosakata mudik. Mudik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002) adalah pulang ke kampung halaman. Biasanya seminggu menjelang lebaran sudah banyak orang yang mudik. Merekalah pemudik yang rindu ke udik (kampung halaman). Setiap tahun menjelang lebaran muncul peristiwa bahasa, istilah, dan trend yang menjadi ciri khas tersendiri di bulan ramadhan yaitu mudik. Sehingga lebaran tidak terasa nikmat jika tidak pulang kampung.

Inilah fitri sebuah jalan agar manusia kembali kepada fitrahnya. Di sini, setiap manusia dituntun melalui empat jalan kebajikan, yaitu puasa ramadhan, memperbanyak salat sunah, sedekah, membayar zakat fitrah, dan saling memaafkan kesalahan. Nuansa kebajikan sangat kental di bulan ramadhan karena memang Islam menekankan kebajikan untuk memperkuat fondasi iman.

Senada dengan mudik. Fitrah dalam konteks ini menekankan dan mengingatkan kepada orang-orang dari desa yang pergi ke kota untuk mencari nafkah dan menjadi sukses agar selalu ingat sejatinya dari mana ia berasal. Seseorang tidak akan menjadi sukses jika tidak ada niat dan ikhtiar dari desa untuk mencari rejeki di kota. Tanpa keberadaan kota mustahil orang desa tertarik datang ke kota.

Oleh karena itu, mudik sudah menjadi bagian dari masyarakat Indonesia. Idul fitri hanyalah momentum atau peristiwa spiritual yang mengalami kontak langsung dengan budaya sehingga tampilannya semakin kompleks dan kosmopolitan. Hal ini tercermin dari ekspresi para pemudik, bahwa modernisasi menyebabkan mobilitas individual yang mengharuskan mereka pulang ke kampung halaman meninggalkan kota untuk sementara.

Di samping itu, jika dahulu mudik menggunakan moda transportasi kapal laut, kereta api dan bus, kini mudik bisa ditempuh dengan menggunakan sepeda motor dan mobil dari hasil jerih payahnya di kota. Bahkan bagi mereka yang betul-betul sukses pesawat menjadi pilihan utama sebagai moda transportasi untuk pulang kampung. Jika dipikir-pikir biaya mudik memang tidak sedikit, tapi rasa bahagia dan cinta kasih mampu menepisnya.

Ada dua wajah di saat mudik lebaran yang mengisi ruang spiritual dan sosial itu. Di satu sisi, spiritualisme mudik menarik garis antara silaturahim dan kekerabatan. Namun di sisi lain, energi mudik juga mengandung referensi ke situasi yang paradoksal.

Misalnya mudik dengan kendaraan roda dua yang melebihi batas, karena di dalamnya tersimpan kata hati-hati. Jika tidak maka akan mengalami kecelakaan. Dalam suasana mudik yang gembira kadang-kadang, pemudik lupa atas keselamatan dirinya dan orang lain sehingga mengaburkan substansi dari mudik itu sendiri. Sehingga ada orang yang salah paham dengan mudik sehingga menjadi paradoksal.

Contoh lain misalnya, sudah tahu penuh dan sesak masih ada pemudik yang membawa barang-barang melebihi kapasitas dan kemampuannya. Akhirnya menjadi menyiksa diri. Atau bagi pemudik yang kurang hati-hati dalam mengendarai yang berakibat fatal karena kecelakaan, seperti dikabarkan oleh media cetak belakangan ini.

Mudik merupakan peristiwa sosial yang terjadi berbarengan dengan motivasi spiritual di bulan ramadhan. Barangkali kondisi semacam ini semakin menguatkan agama secara fungsional bagi para pemeluknya khususnya umat muslim. Ada semacam hubungan positif antara agama dan solidaritas organik di dalam masyarakat modern yang sarat dengan pembagian kerja.

Bagi sosiolog seperti Durkheim, solidaritas organik tidak dapat dilambangkan oleh hal-hal atau benda-benda yang sakral. Tapi tanpa melakukan upaya sakralisasi, mudik sendiri secara tidak langsung menjadi lambang atau simbol bagi umat muslim apabila lebaran akan tiba. Sehingga secara psikologis motivasi untuk pulang ke kampung halaman menjadi suatu kebiasaan yang khas dan unik.

Bahkan tidak jarang terjadi adanya rasa tidak puas apabila menjelang lebaran tidak pulang kampung. Sementara faktor ekonomi tidak mendukung bagaimana caranya agar dapat pulang kampung. Tinggal yang tersisa ialah rindu akan kampung halaman dan silaturahim yang tertunda sementara.

Selain itu, mudik juga bermakna kerinduan antara anak dan orangtua. Pantas jika dalam ajaran Islam yang menyeluruh barangkali tidak ada perkara yang sedemikian pentingnya seperti hubungan antara anak dan orangtua. Demikian pesan berbakti kepada orangtua dalam peristiwa mudik. Tidak terkecuali terhadap keseluruhan keluarga dan kerabat untuk menunjukkan sikap hormat dan sopan santun.

Dari keterangan singkat ini, jelas bahwa mudik tidak bisa dipisahkan dari peran dan fungsi agama. Karena di dalamnya terdapat dua dimensi hidup manusia, yaitu ketuhanan dan kemanusiaan. Persaudaraan dan pertalian cinta kasih mampu menjembatani kerinduan yang lama terpendam. Di kampung halaman dengan mudik semua bisa menjadi tertawa (bahasa arab: mudhik) tentang makna hidup dan kampung halaman. Wallohu ’alam

2 comments:

  1. selamat menempuh perjalanan mudik,
    semoga selamat sampai di kampung halaman,
    bisa berlebaran bersama keluarga,
    bermaaf-maafan di hari raya nan fitri...

    ReplyDelete
  2. yup segala kegiatan ada nilai religiusnya. setuju kang!

    ReplyDelete

Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?