April 14, 2009

Pendidikan politik, Hasrat Kekuasaan dan Kemanusiaan


Oleh: Nazhori Author



Pemilu di tahun 2009 ini diawali dengan pemilihan calon anggota legislatif. Hasilnya cukup mencengangkan. Perolehan suara melalui metode hitung cepat yang dilakukan beberapa lembaga survei menempatkan Partai Demokrat, PDI-P, Golkar, PKS dan PAN masuk dalam lima besar dan mampu mewarnai peta politik yang masih terus akan berlanjut. Situasi ini secara tidak langsung dipengaruhi oleh sikap dan pilihan masyarakat yang tertuang dalam pendidikan politiknya

Hanya saja yang menjadi persoalan adalah dalam setiap interaksi politik menyebabkan partai politik berkutat dalam relasi kekuasaan sebagai konstruk permasalahannya melalui koalisi politik. Semua kekuatan partai politik dikerahkan melewati ruang ideologis bahkan agama. Pertanyaannya, dapatkah sikap dan pilihan politik masyarakat dipengaruhi kembali oleh partai politik untuk menentukan pilihan Calon Presiden dan Wakil Presiden pasca pemilihan calon legislatif.

Hal yang paling menarik ketika kita mengikuti perhelatan demokrasi ini banyak bermunculan aktivis muda yang nyaleg menghiasi dekorasi panggung politik. Sebuah keberanian yang layak diapresiasi sehingga menghidupkan ruh pendidikan politik. Bagi kaum muda ini tantangan serius dan lebih serius lagi dapatkah mereka menancapkan akar pengetahuan yang kritis dan empirik kepada generasi muda lainnya dalam konteks pendidikan yang lebih luas.

Pendidikan politik juga memberikan kesempatan kaum perempuan untuk memperjuangkan hak-haknya guna menjembatani partisipasi kaum perempuan di ruang publik yang masih minim. Keluarnya kebijakan kuota 30 persen adalah anak tangga pertama untuk mendongkrak keterwakilan perempuan di arena politik. Di mana harapannya secara kultural sebagai pendidikan politik yang menyuarakan hak-hak kaum perempuan di tengah kebijakan yang bersifat phalosentris.

Hasrat Kemanusiaan
Kemiskinan adalah persoalan bangsa yang mudah sekali dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan politik. Sebagai isu kemanusiaan, secara menyolok, kemiskinan telah menjadi fakta dan ucapan yang mengundang perasaan dan emosi. Namun, tidak berarti kemiskinan itu disempitkan maknanya. Justeru lewat pendidikan politik nila-nilai kemanusiaan harus disampaikan kepada masyarakat dan generasi muda termasuk persoalan kemiskinan.

Nilai-nilai kemanusiaan inilah yang dibaca caleg-caleg kita untuk menyapa masyarakat. Dengan menggunakan pengetahuan empiriknya, mereka menangkap pesan kemanusiaan dan keadilan. Melihat kenyataan ini, meminjam pendekatan kaum empiris ada dua persoalan yang dihadapi caleg saat menyapa masyarakat. Pertama, menyangkut soal sosial-ekonomi dan kedua, pengalaman caleg itu sendiri dalam menemukan pengetahuan, melihat, mendengar dan merasakan pahit getirnya kehidupan seperti yang dirasakan masyarakat akar rumput.

Dengan demikian, dalam kerangka sosial-politik jelas bahwa hasrat kemanusiaan tidak mencul dengan sendirinya tapi ada dorongan dari luar yang menggerakannya. Contohnya hasrat kekuasaan yang tumbuh di ranah politik, berangkat dari hasrat untuk menguasai orang lain dan memengaruhi proses distribusi kekuasaan.

Hasrat kekuasaan terkadang berdampak buruk pada status ekonomi dan politik ketika nafsu memancing untuk melakukan tindakan korupsi. Bukannya menuai dorongan kemanusiaan dan keadilan melainkan menuai bencana yang harus ditanggung secara personal. Dengan kondisi itu, kenikmatan politik hanya kenikmatan sesaat yang sebelumnya tidak pernah mengalami nikmatnya menderita.

Keadilan dan hasrat kemanusiaan muncul setelah merasakan pahitnya hidup sengsara yang berbuah kesuksesan. Senada dengan ungkapan Aristoletes dan Plato yang didedikasikan untuk generasi muda untuk melakukan hal yang bermanfaat dalam kehidupan harus berpijak dari nilai-nilai kemanusiaan agar tidak tersesat dan sia-sia umurnya.

Politik yang bervisi kemanusiaan dan keadilan harapan nyata yang masih dinanti oleh masyarakat. Partai politik dalam sejarahnya tidak pernah punya pilihan. Pilihan ada di tangan masyarakat sendiri. Oleh karena itu, Moeslim Abdurrahman (2005) mengatakan hal ini mempunyai indikasi yang kuat bahwa rakyat tidak lagi memilih semata-mata berdasarkan garis partai. Sesungguhnya, rakyat sebagai warga negara sudah menggunakan kemerdekaan politiknya untuk menilai, siapa pemimpin yang layak bisa dipertimbangkan karena dapat dipercaya mampu membawa perubahan masa depan.

Masyarakat tidak berdiri sendiri, masih ada intelektual dan cendekiawan bebas yang akan membantu proses pendidikan politik yang lebih humanis. Syaratnya tentu saja adalah sistem politik harus memberikan ruang hidup dan berekspresi bagi mereka ini untuk membangun kekuatan politik secara lebih kritis dan transformatif. Masyarakat harus yakin hasrat kekuasaan dapat dikembalikan menjadi hasrat kemanusiaan melalui pendidikan politik.

Kritik Pedagogi
Dalam tradisi pedagogi kritis rasa kehilangan dan menderita adalah hasrat kemanusiaan yang dapat digali dalam berbagai pengalaman. Begitu juga dengan masyarakat yang menderita dan kehilangan pekerjaan, hak atas pendidikan dan kesehatan. Karena itu, lokasi sosial pembicaraan setidaknya tidak dipotret dari sisi politik tapi dari sisi pendidikan yang tidak merusak dirinya sendiri.

Masyarakat dalam pemilu adalah individu yang berusaha menjadi subyek yang mampu mengubah realitas sosialnya. Bilik suara membantu merahasiakan pilihannya untuk perubahan masa depan. Tidak ikut serta dalam memilih di bilik suara pun sebuah pilihan jika memang pilihan yang ada tidak menjanjikan perubahan menurut kesadaran politik hati nurani.

Fitrah manusia dalam pendekatan pedagogis mempunyai kapasitas untuk merubah nasib dan kondisi sosialnya. Sedangkan, dehumanisasi adalah penyimpangan atas fitrah manusia. Pendidikan yakin mampu meluruskan realitas politik yang bengkok dan menjaga kerja-kerja kultural yang telah diciptakan masyarakat.

Dalam konteks ini kebijakan politik sangat memengaruhi efektifitas kebijakan pendidikan, ekonomi dan sosial yang dinamis. Kritik pedagogi pada dasarnya berupaya mengawal kebijakan politik tertentu agar manusia Indonesia menjadi cerdas dengan berbagai karakteristik yang menunjukkan manusia berkualitas.

Pendidikan politik sebagai modal sosial seharusnya dapat menekan partai politik untuk betul-betul memperhatikan hak-hak masyarakat. Di samping itu kritik pedagogi berperan mengontrol calon legislatif dan kandidat presiden yang jelas program pembangunan pendidikannya bukan semata-mata karena hasrat kekuasaan.

Saat ini, mungkin kita berasumsi bahwa pendidikan politik merupakan dasar-dasar penanaman pendidikan kepemimpinan. Lebih dari itu, pendidikan politik adalah proses pendidikan sosial yang berbasis pengembangan sikap dan kepribadian yang bertumpu pada watak kolektivitas sosial dan kebersamaan untuk memecahkan persoalan yang melilit bangsa.

Dari perspektif ini, tujuan yang paling esensial pemerintah dan lembaga-lembaga sosial tidak lain adalah mendukung dan memfasilitasi agar pribadi-peribadi tersebut memiliki tanggung jawab politik dan moral sebagai elemen terbentuknya masyarakat yang demokratik (Moeslim Abdurrahman, 2005).

Bagaimanapun geliat demokrasi yang tertuang dalam pemilu 2009, harus dipikirkan oleh komunitas gerakan-gerakan sosial. Keputusan dan nasib politik masyarakat ada di dalam lubuk hati masyarakat yang akan menggerakan pilihannya untuk masa depan Indonesia.
Wallohu ‘alam

0 comments:

Post a Comment

Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?