Salah satu dari tokoh-tokoh
filsafat Muslim yang berbicara lugas tentang pemikiran-pemikiran Barat adalah
Muhammad Baqir Sadr. Kepiawaiannya meramu ilmu yang berangkat dari tradisi
Islam mampu melepaskan kesan pembelaan yang mengemuka dalam kancah pemikiran
Islam dengan kejernihan dan kecerdasan pemikirannya. Ia sangat intens mengkaji
karya-karya pemikir Islam (ilmu hikmah), tapi ia juga menyelami
pemikiran-pemikiran Barat yang berkembang. Dalam karyanya yang termasyur: Falsatuna
dan Iqtishaduna menjadi cetak biru pemikiranya yang dengan apik
menjelaskan kritik-kritik terhadap pemikiran Barat seperti Karl Marx,
Descartes, John Locke dan lain-lain. (1)
Gagasan segarnya mendorong ke
permukaan sebagai tokoh pemikiran Islam terkemuka. Sistem filsafat dan ekonomi alternatif ini
disempurnakan melalui masyarakat dan lembaga. Dalam dua karyanya tersebut,
Baqir Sadr ingin menyajikan kritik yang serius terhadap aliran posivisme, marxisme
dan kapitalisme. Buku ini baik dari segi sturuktur maupun metodologi, tak
diragukan lagi inilah sumbangsih paling serius dan paling banyak disaluti di
bidang ini. (2)
Secara nasab, nama aslinya adalah Muhammad
Baqir As-Sayyid Haidar Ibn Ismail Ash-Sadr, seorang sarjana, ulama, guru dan
tokoh politik, lahir di Kazimain, Baghdad, Irak pada 25 DzulQaâdah 1350H/1
Maret 1931 M dari keluarga taat beragama. Menginjak usia empat tahun, Muhammad
Baqir Ash-Sadr ditinggal ayahnya, dan kemudian diasuh oleh ibunya yang religius
dan kakak laki-lakinya, Isma’il, yang juga seorang mujtahid kenamaan di Irak.
Muhammad Baqir Ash-Sadr menunjukkan tanda-tanda kejeniusan sejak usia
kanak-kanak. Pada usia sepuluh tahun, dia berceramah tentang sejarah Islam, dan
juga tentang beberapa aspek lain tentang budaya Islam. Dia mampu menangkap
isu-isu teologis yang sulit dan bahkan tanpa bantuan seorang guru pun. Ketika
usia sebelas tahun, dia mengambil studi logika, dan menulis sebuah buku yang
mengkritik para filosof. (3)
Menariknya. ketenaran Sadr justru setelah ia dijatuhi hukum gantung oleh
pemerintahan Irak. Reputasinya semenjak itu diakui di berbagai kalangan masyarakat.
Namanya telah melintasi Mediterania, ke Eropa dan Amerika Serikat. Pada 1981,
Hanna Batatu, dalam sebuah tulisannya di Middle East Journal di Washington,
menunjukkan pada orang-orang pentingnya Sadr bagi gerakan intelektual di Irak.
Pada 1984, Istishaduna diterjemahkan sebagian ke dalam bahasa Jerman, disertai
mukadimah panjang mengenal alim ini oleh seorang orientalis muda Jerman. Jadi
tidak mungkin lagi mengabaikan nilai penting Muhammad Baqir Ash-Sadr dalam
kebangkitan berbagai gerakan politk Islam, di Irak, di dunia Syiah dan di dunia
Muslim pada umumnya.
Prinsip Kausalitas
Yang menjadi ciri khusus para filsuf dalam mengupas persoalan-persoalan
filsafat adalah kajiannya tentang kausalitas. Ini penting dikemukakan mengingat
pembahasan filsafat tidak bisa terlepas dari landasan ontologis. Untuk itu,
sebelum mengupas soal prinsip kausalitas yang dikemukakan Muhammad Baqir Sadr
di sini akan terlebih dahulu dipaparkan apa itu pengertian kausalitas.
Secara bahasa kata kausalitas dalam bahasa inggris: causality,
berarti “hubungan sebab dan akibat”.(5) Dalam bahasa Arab disebut “as-sabab”
yang mengandung makna sebagai segala sesuatu yang dapat mengantarkan pada
sesuatu yang lain. (6) Orang-orang Arab Aqhah (yang masih
murni bahasanya) menggunakan istilah as-sabab
dengan pengertian tersebut.
Juga dikatakan bahwa sebab adalah sesuatu yang pasti mendatangkan akibat.
Tidak adanya sebab, pasti tidak akan mendatangkan akibat.
Keberadaan akad syar’î, misalnya, menjadi sebab kebolehan untuk
mengambil manfaat atau sebab adanya peralihan kepemilikan; nishâb menjadi
sebab bagi kewajiban membayar zakat; dan sebagainya. Jadi, sebab adalah segala
sesuatu yang mengantarkan pada sesuatu yang lain. Makna tersebut telah digunakan oleh orang-orang
Arab, al-Quran, para ulama, dan para fuqahâ.
Seiring dengan itu, dalam Kamus Filsafat karangan Lorens Bagus dijelaskan
hukum kausalitas ialah sesuatu yang menunjukkan kaitan genetik niscaya antara
gejala-gejala. Satu gejala tersebut disebut sebab yang menentukan yang
lainnya yang disebut akibat atau konsekwensi. (7) Dalam bahasa sederhana hukum kausalitas
dapat kita artikan sebagai sebuah hukum sebab-akibat.
Dalam periode perkembangan sejarah pemikiran Islam, pembicaraan hukum
kausalitas ini sangat terkait erat dengan teori yang membicarakan masalah
proses penciptaan alam, fenomena-fenomena yang berhubungan manusia dan alam
serta berlanjut dengan lahirnya teori sains dan ilmu pengetahuan dalam islam.
Dilihat dari substansinya, perdebatan prinsip kausalitas dalam pemikiran
filsafat Islam bertujuan untuk membuktikan adanya wujud mutlak sebagai penyebab
utama yang tidak bersebab. Tujuan-tujuan inilah yang menyebabkan diskursus kausalitas
dalam filsafat Islam menjadi teori-teori yang spekulatif. Sifat spekulatif
demikian menjadi sumber utama kritik kaum materialisme. Tidak dapat disangkal
bahwa kausalitas materialisme telah memberikan sumbangsih pada perkembangan
ilmu pengetahuan modern yang bersumber pada eksplorasi alam materi. Meskipun
demikian, seperti akan dilihat dalam uraian berikut, menurut Sadr pendekatan
logika dan filsafat spekulatif sangat diperlukan dalam memahami prinsip
kausalitas agar manusia tidak terjerumus pada paham materialisme yang membawa
kepada paham ateisme, karena menafikan adanya penyebab utama yaitu Allah swt.
yang menyebabkan terjadinya sebab akibat.
Dalam karayanya falsafatuna Muhammad Baqir Ash Shadar mengkritisi apa yang
telah diungkapkan oleh kaum empiris dan materialis tentang konsep kausalitas,
yang menyatakakan bahwa prinsip-prinsip kausalitas dalam kehidupan manusia di
dunia ini, telah terbentuk dalam sebuah proposisi primer yaitu dalam bentuk
mempertanyakan segala sesuatu yang terkait dengan fenomena alam di sekitarnya.
Sebagai contoh manusia selalu mempertanyakan mengapa sebuah peristiwa itu
terjadi? Serta sebab-sebab terjadinya peristiwa tersebut? terutama terhadap
hal-hal yang bisa ditangkap oleh panca indra manusia. Dan menafikan adanya
sebab yang lain di luar sebab itu apabila ia tidak menemukan apa yang menjadi
sebab terhadap wujud tersebut, dan tidak
yakin akan adanya sebab yang tidak diketahui yang melahirkan peristiwa
tersebut.
1.
Kausalitas dan objektivitas pembuktian persepsi indrawi
Menurutnya pertama, persepsi indrawi
tidak mengungkapkan adanya realitas objektif. Karena ia adalah konsepsi dan
bukan tugas konsepsi untuk memberikan jawaban yang benar, kedua,
mengetahui adanya realita alam secara global adalah suatu ketetapan yang
niscaya lagi primer yang tidak membutuhkan bukti yakni tidak perlu tahu
terlebih dahulu. Dan inilah yang memisahkan antara idealisme dan realisme.
Mengetahui suatu realitas objektif persepsi indrawi ini dan itu dapat terjadi
dengan berdasarkan prinsip kausalitas.
Sebagai contoh: ketika manusia dalam keadaan
sakit, ia dapat mengindrai hal-hal tertentu, atau membayangkan hal-hal
tertentu, atau membayangkan bahwa ia melihat hal itu tanpa mengetahui realitas
objektif yang melahirkan persepsi indrawi itu.
2.
Kausalitas dan teori-teori ilmiah
Teori-teori ilmiah, dalam berbagai lapangan
eksperimen dan observasinal, menurut Ash Sadr secara umum pada dasarnya
bergantung pada prinsip-prinsip dasar hukum kausalitas. Ada beberapa bentuk
hukum kausalitas diantaranya:
1. Prinsip
kausalitas yang menyatakan bahwa setiap peristiwa mempunyai sebab.
2. Hukum
keniscayaan yang menyatakan bahwa setiap sebab niscaya melahirkan akibat
alamiahnya dan bahwa tidak mungkin akibat terpisah dari sebabnya.
3. Hukum
keselarasan antara sebab dan akibat yang menyatakan bahwa setiap himpunan alam
yang secara esensial mesti selaras, mesti pula selaras dengan sebab dan
akibatnya.
Dalam ketiga komponen teori ilmiah dan
kausalitas ini menurut Sadr tidak bisa dipisahkan karena sangat erat kaitannya
satu sama lain. dalam mengungkapkan teori ilmiah yang berhubungan dengan
eksperimen ilmu pengetahuan alam, karena para ilmuan menafikan adanya sebuah
kebetulan dan hanya mempercayai hukum sebab akibat yang sangat mendukung
argumentasi mereka secara general. Oleh karena itu ilmu pengetahuan secara umum
menganggap prinsip kausalitas dan kedua hukumnya berkaitan erat yaitu berupa
hukum keniscayaan dan hukum keselarasan. Dan dapat diterima sebagai
kebenaran-kebenaran yang secara mendasar dan menerimanya sebelum teori dan
hukum eksperimental terhadap ilmu-ilmu pengetahuan. (8)
3. Kausalitas dan inferensia
Ketika kita ingin memberikan sebuah pembuktian
terhadap suatu eksperimen, menurut Sadr baik dengan cara filsafat maupun
melalui teori empiris pada dasarnya kita hanya berusaha agar bukti tersebut
menjadi sebab diketahuinya suatu kebenaran itu. kalau tidak dengan prinsip
kausalitas itu, tentulah kita tidak mendapatkan hal ini. jadi setiap pemaparan
sangat bergantung pada diterimanya prinsip kausalitas. Bahkan penolakan
terhadap prinsip kausalitas yang telah di utarakan oleh para filosof dan ilmuan
juga berdasarkan prinsip kausalitas.
Dari uraian diatas sadr menyimpulkan:
1. Menurutnya
prinsip kausalitas tidak mungkin dibuktikan dan dipaparkan secara empirik.
Karena indra tidak mendapatkan sifat objektif.
2. Prinsip
kausalitas bukanlah teori ilmiah eksperimental, tetapi ia adalah hukum filsafat
rasional di atas eksperimen. Karena semua teori ilmiah tergantung pada prinsip
kausalitas.
3. Prinsip
kausalitas tidak mungkin ditolak dengan hujah apapun karena setiap usaha seperti ini justru menyebabkan pengakuan
tehadap prinsip kausalitas ini.
Selanjutnya hal yang sangat penting dalam
karyanya Falsafatuna Sadr memaparkan empat teori penting yang
berhubungan dengan prinsip kausalitas untuk menepis pemahaman kaum empiris dan
matrealis yang menafikan adanya sebab utama dari sebab-sebab yang ada didunia
ini yaitu Allah. Teori ini
diawali Sadr dengan mempertanyakan: Mengapa segala sesuatu butuh sebab-sebab ? (9)
a. Argumen Eksistensi
Argumen ini menyatakan bahwa agar wujud itu maujud ia membutuhkan sebab.
Kebutuhan itu adalah esensial bagi wujud. Karena itu tidaklah mungkin kita
mengkonsepsikan wujud yang bebas dari kebutuhan tersebut, karena kebutuhan
tersebut adalah misteri yang tersembunyi didalam kemaujudan terdalam wujud.
Akibatnya adalah bahwa setiap wujud adalah bersebab.
b. Argumen Penciptaan
Yaitu menganggap bahwa butuhnya segala sesuatu akan sebabnya itu
bersandarkan pada penciptaan hal-hal itu. ledakan, gerakan dan panas misalnya
menuntut adanya sebab semua itu adalah hal-hal yang terjadi (ada) sesudah tidak
ada. Jadi pemaujudannya yang membutuhkan sebab dan yang merupakan pendorong
utama yang membuat kita melontarkan pertanyaan: “mengapa ia ada”? berkenaan
dengan setiap realitas yang ada bersama kita di dalam alam semesta ini.
berdasarkan teori tersebut prinsip kausalitas menjadi terbatas pada
peristiwa-peristiwa tertentu, jika sesuatu itu maujud secara terus menerus dan
permanen dan tidak mengada sesudah tidak ada, maka padanya tidak akan terdapat
kebutuhan akan sebab dan tidak akan masuk kedalam alam khas kausalitas.
Teori ini berlebihan dalam membatasi kaualitas dan ia tidak memiliki
pembenaran dari segala filsafat. Karena pengadaan hangat itu membutuhkan sebab,
maka memperpanjang hangat itu (terus-menerus) tidak cukup untuk membebaskannya
dari kebutuhan ini. karena pemanjangannya akan menjadikan kita mempertanyakan
lagi sebabnya, sejauh manapun proses perpanjangan itu.
c. Argumen Kemungkinan Esensial dan
Kemungkinan Eksistensial
Dua teori ini menyatakan bahwa yang membuat
sesuatu membutuhkan sebab adalah kemungkinan. Namun masing-masing teori itu
memiliki pahamnya sendiri-sendiri tentang kemungkinan yang berbeda satu dengan
yang lainnya. Perbedaan antara keduanya itu adalah manifestasi perbedaan
filisofis yang sangat dalam sekitar esensi dan wujud. Dalam teori ketiga ini
Sadr mengutip pendapat filosof Islam Sadruddin Asy-Syirazi yang menyatakan,
tidak ada keraguan bahwa kausalitas adalah hubungan antara dua wujud yaitu
sebab dan akibat. Dia adalah semacam hubungan antara dua hal. Hubungan itu
memiliki beberapa macam dan corak. Hal ini dicontohkan: pelukis berhubungan
dengan kanvas yang ia melukis diatasnya. Penulis berhubungan dengan pena yang
ia menulis dengannya. Pembaca berhubungan dengan buku yang dibacanya.
d. Argumen Fluktuasi Antara Prinsip
Kontradiksi dan Kausalitas
Dengan teori ini Sadr bermaksud menjelasnya
bahwa setiap fenomena di alam semesta bisa dijelaskan tanpa melibatkan
sebab-sebab yang lebih tinggi, misalnya intervensi Tuhan (10). Kehidupan dan sejarah, seperti
dikatakan Sadr tidak bisa dilepaskan sepenuhnya dari ketidak pastian antara
kontradiksi-kontradiksi dialektika. Sebagai dialektika ia menekankan bahwa
pertumbuhan dan perkembangan timbul dari kontradiksi-kontradiksi dalam
(internal). Sebagai contoh, adanya kontradiksi-kontradiksi internal di dalam
maujud terdalam fenomena sosial adalah cukup untuk perkembangan fenomena itu
dalam gerak yang dinamik.
1 Chibli Mallat, Menyegarkan Islam: Kajian
Konprehensif Pertama Atas Hidup Dan Karya Muhammad Baqir Ash Sadr, terj,
dari judul asli: The Renewal Of Islamic law, (Bandung: Mizan, 2001).
2 Ibid
3 Muhammad Baqir Ash Sadr, Falsafatuna: Pandangan
Muhammad Baqir Ash Sadr Terhadap Berbagai Aliran Filsafat Dunia, terj,
(Bandung: Mizan, 1993)
4 Ibid
5 John M. Echols & Hassan Shadily, Kamus Inggris
Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2003)
6
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1989)
7 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Agama:1996)
8
Muhammad Baqir Sadr, Our Philosophy,
(Iran: Ansariyan Publication:2000)
9 Muhammad Baqir
Ash Sadr, Falsafatuna, (Bandung: Mizan, 1993)
10 Ibid
10 Ibid
0 comments:
Post a Comment
Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?