Showing posts with label Pendidikan. Show all posts
Showing posts with label Pendidikan. Show all posts

March 25, 2010




Pendidikan yang didesain sebagai sarana komunikasi sosial akan bisa menyuntikkan sistem kekebalan bagi manusia, baik selaku makhluk individu maupun sosial. Sistem kekebalan ini mendorong manusia menjaga nilai-nilai kehidupan yang tumbuh dalam setiap nurani untuk menyebarkan kasih sayang dan tolong-menolong yang terekspresikan melalui eksistensi kesadaran diri dan lingkungan sosialnya.

Dalam pengalaman faktual hidup manusia sistem kekebalan tersebut sering berlawanan dengan realitas kekerasan, ancaman, kejahatan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan, dan sebagainya. Stephen R. Covey dalam The 8th Habit: Melampaui Efektivitas, Menggapai Keagungan (2005) menyebutkan, sistem kekebalan tubuh kita akan menjadi lemah jika tindakan kita berlawanan dengan nilai-nilai dan nurani kita yang lebih dalam; dan akan tumbuh menjadi semakin kuat, jika kita merasakan dan mengungkapkan kasih sayang atau perhatian yang sepenuh hati.

Covey ingin menunjukkan bahwa dalam lapangan pendidikan manusia yang lebih luas upaya untuk menumbuhkan kesadaran diri itu membutuhkan banyak sistem kekebalan tubuh yang termanifestasi dalam kecerdasan fisik, mental emosional, dan spiritual. Peringatan seperti ini sanagt penting, mengingat tantangan dan cobaan menyeruak datang silih berganti dalam kehidupan anak didik di kemudian hari.

Titik-titik Buta
Untuk menjadi kebal tubuh manusia membutuhkan makanan yang mengandung gizi tinggi dan tentunya diperoleh dengan cara yang halal lagi baik. Sama halnya dengan pendidikan, jika mengalami hambatan maka komunikasi sosial yang menjembatani ragam kecerdasan akan mati dan sistem kekebalan tubuh masyarakat akan menjadi lemah. Manusia kemudian kehilangan kepekaannya terhadap makhluk lain.

Komunikasi sosial sebagai umpan balik tumbuh berdasarkan motivasi personal dan sosial. Dengan pendidikan kekurangan dan keterbatasan manusia dibina untuk melengkapi fitrahnya yang dibawa sejak lahir. Dari buaian sampai dewasa manusia diajarkan berkomunikasi untuk menjadi duta Tuhan yang mengajarkan kebaikan dan kedamaian.

Beribadah adalah salah satu sarana umpan balik manusia mematuhi perintah dan mengharap ridla Allah SwT. Tanpa berkomunikasi dengan Tuhan manusia akan lemah dan tidak bertanggung jawab. Guru akan mengabaikan peserta didik, orang kaya tidak peduli kepada orang miskin dan seterusnya. Inilah salah satu contoh yang disebut Covey dengan titik-titik buta (blind spots).

Titik-titik buta ini akan melumpuhkan aktivitas manusia. Kemampuan paedagogis manusia berangsur lemah kehilangan motivasi yang menuntunnya ke lembah pemikiran yang sempit. Matra duniawi dan ukhrawi terlihat hitam-putih. Manusia pun kehilangan empati yang memicu sikap serakah, korup dan bersekutu dengan kekuatan di luar kekuasaan Tuhan. Kebutuhan menikmati hakikat agama terasa hambar tapi eksistensinya ingin diakui oleh yang lainnya. Manusia lupa, jika di balik kekuatannya tersimpan potensi kelemahan.

Oleh karena itu, agama dan pendidikan adalah sarana untuk mencegah manusia dari titik-titik buta yang membawanya dalam ketidakpuasan permanen. Dua kebutuhan manusia yang akan menguatkan komunikasi sosialnya. Sebagaimana disebutkan Murtadha Muthahhari (1992), agama dan pendidikan merupakan kebutuhan fitrah manusia yang alamiah.

Perubahan zaman dapat mengubah sifat, watak dan karakter seseorang. Manusia berperan sebagai saksi dan pelaku sekaligus dalam perubahan itu sendiri. Revolusi industri telah membawa umat manusia dalam kerangka berpikir yang sarat kapital. Hanya pribadi unggul yang akan bertahan melewati jalan terjal titik-titik buta tersebut.

Dalam kajian sosiologi agama, titik-titik buta sebagai persoalan hidup manusia kadangkala tidak dapat dipecahkan oleh akal pikiran manusia, dan untuk memecahkannya manusia membutuhkan pancaran teologis (agama) yang diperoleh dari pengalaman belajarnya. Kebutuhan teologis ini dilukiskan Malinowski untuk meritualisasikan optimisme manusia.

Menurutnya, agama memungkinkan manusia melakukan hal-hal yang paling besar yang mampu dilakukannya. Dan agama menyebabkan orang dapat melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan orang lain. Agama memberikan kedamaian dan kebahagiaan, keharmonisan dan kesadaran akan tujuannya kepada manusia dalam bentuknya yang mutlak (Betty R. Scharf: 1995).

Inkulturasi Pendidikan
Dengan didorong kekuatan teologis, keraguan dan ketidakpastian ikhtiar manusia sebisa mungkin diminimalisir yang dimantapkan lewat komunikasi sosialnya. Dengan kata lain, dapat pula dikatakan bahwa kekuatan teologis adalah upaya kreatif yang memadukan aneka kecerdasan manusia dengan jalan pedagogis yang tidak terbatas pada komunikasi sosial.

Covey ingin sekali menyelaraskan kecerdasan fisik, mental, emosional dan spiritual berperan sebagai kekuatan penuh melawan titik-titik buta yang melemahkan manusia. Sehingga terbentuk komunikasi sosial yang kuat dan dapat menyatukan misi dan visi kemanusian setiap orang dengan gemilang. Dengan demikian untuk menuntun manusia dalam segenap kecerdasan tersebut diperlukan ruang stimulus yang menyegarkan yang bernama pendidikan.

Membudayakan pendidikan tanpa umpan balik ibarat makanan tak bernutrisi. Dalam kacamata ini yang lumpuh adalah komunikasi sosialnya. Demikian halnya, dengan demokrasi di Indonesia tanpa komunikasi sosial tidak akan mewarnai dunia politik modern yang kita rasakan saat ini meskipun dalam memperjuangkan demokrasi harus melewati prahara sosial.

Bahkan ideologi-ideologi yang menyelinap masuk ke dalam ruang-ruang budaya masyarakat mempengaruhi komunikasi sosial masyarakat baik di kota maupun pedesaan dengan perantara proses industrialisasi dan teknologi tinggi yang menghasilkan komunikasi massa. Kenyataan ini menjadi tantangan tersendiri bagi individu dan masyarakat dalam bingkai komunikasi massa yang menciptakan makna-makna baru, serta mengikuti pola kerja ekonomi berbasis pasar.

Adapun hal yang lebih mendasar sebenarnya adalah pengaruh globalisasi dalam kehidupan masyarakat. Pengaruh ini tercermin dalam perubahan perilaku masyarakat yang dibangun oleh kemajuan teknologi dan informasi.

Kondisi dan tantangan tersebut harus direspons, yang dalam formulasi paedagogis komunikasi sosial dapat disebut dengan upaya menggugah kembali kesadaran kritis yang dilakukan melalui jalan dialogis (stimulus-respons) tanpa menafikan eksistensi setiap individu sebagai pelaku “rekayasa sosial”. Oleh karena itu, dalam pendidikan Islam sangat ditekankan pentingnya kerjasama dan tolong-menolong yang didasarkan pada tauhid sosial.

Untuk menguatkan pendidikan sebagai komunikasi sosial yang transformatif, maka membudayakan pendidikan dialogis adalah sebuah langkah gerakan kultural yang mengedepankan pentingnya landasan filosofis-paedagogis untuk memacu terbentuknya masyarakat belajar. Komunikasi sosial dapat memberikan orientasi baru dalam perluasan akses sosial masyarakat. Harus disadari bahwa untuk membangun counter culture atas kondisi dan tindakan yang tidak manusiawi diperlukan tindakan paedagogis sebagai komunikasi sosial.l

Categories : FEBRUARI 2010 SM 04-10
Read More …

March 16, 2010

Merintis Sekolah Internasional

(Bertaraf atau “Bertarif Internasional”)

Oleh: Nazhori Author


Ketika Indonesia memutuskan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, saya sempat bertanya: kualitas pendidikan seperti apa yang bakal diimplementasikan di Indonesia? Saat itu, yang ada dipikiran adalah anggaran pendidikan nasional berarti akan ditambah genap menjadi 20 persen sesuai Undang-undang Pendidikan Nasional. Selain itu, secara konseptual para pengambil kebijakan akan menelurkan gagasan pendidikan yang sejalan dengan ciri khas keindonesiaan dengan beberapa program pendidikan yang tentunya layak diapresiasi.

Dalam perjalanannya, upaya pemerintah tidak main-main. Satu persatu program meningkatkan kualitas pendidikan dilakukan yaitu dengan gagasan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Dengan harapan sekolah dapat mandiri mengembangkan kreativitasnya baik ditingkat kepala sekolah, guru dan manajemen pendidikan sekolah itu sendiri. Alhasil, gagasan itu berlangsung diiringi dengan konsep Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) meninggalkan konsep CBSA. Ramai-ramai penerbit buku sekolah dari sekolah dasar sampai tingkat atas menyematkan kata: Buku Pelajaran ini menggunakan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) di setiap buku ajar yang digunakan dalam proses kegiatan belajar mengajar di setiap sekolah. Sayang, program tersebut bertahan seumur jagung, pendidikan menjadi tumbal politik karena harus berganti kebijakan menteri pendidikan yang baru.

Ternyata gagasan tersebut tidak berhenti sampai di situ. Lagi-lagi gagasan baru muncul dengan konsep Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Peran kepala sekolah dan guru kembali diuji untuk bisa membumikan konsep tersebut. Segala terobosan dilakukan seperti sistem komputerisasi mata pelajaran yang sistematis diterapkan agar program tersebut dapat terukur dan terkontrol oleh departemen pendidikan nasional. Dalam prosesnya, fakta menunjukkan KTSP belakangan hanya tinggal konsep yang ditinggalkan begitu saja tanpa ada kejelasan tindak lanjut untuk meningkatkan kualitas pendidikan.

Lantas muncul Ujian Nasional (UN) mengggantikan Ujian Akhir Nasional (UAN) yang sampai saat ini masuk dalam periode menteri yang baru masih menyimpan sejuta persoalan menyangkut dengan pelaksanaannnya yang kontroversial mengingat sekolah harus menerapkan standar nilai bagi setiap siswa yang pada dasarnya setiap kemampuan siswa berbeda. Sungguh sebuah vonis yang berat bagi peserta didik untuk mendapatkan nilai yang harus ditempuh selama tiga tahun disaring menjadi beberapa hari dalam sebuah ujian nasional. Itu pun jika memenuhi standar yang telah ditetapkan untuk kelulusan.

Seperti biasa, persoalan sebelumnya belum tuntas diselesaikan konsep baru muncul kembali dengan ide Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Sedari awal, kehadiran RSBI memang sudah mengundang polemik yang cukup hangat diantara para pakar pendidikan. Mereka ada yang pro, dan tidak sedikit yang kontra dengan kebijakan tersebut. Namun karena pihak yang pro RSBI berada dibarisan pengambil keputusan, maka program itu terus mengalir ke seluruh sekolah di Indonesia.

Ramai-ramai para penggiat sekolah demam kata internasional. Dalam hitungan waktu menjamur sekolah bertaraf internasional di kota-kota besar terutama di Jakarta dan sekitarnya. Mulai dari sekolah swasta sampai sekolah negeri yang memenuhi persyaratan. Dan masyarakat terpesona untuk menyekolahkan anak-anaknya di sana dengan harapan kurikulum yang diajarkan memiliki bobot atau kualitas dari sekolah biasa.

Memang ketika RSBI diketengahkan, Pemerintah pusat melalui Departemen Pendidikan Nasional telah memprogramkan berdirinya SBI melalui tahap rintisan (RSBI) terlebih dahulu. Program itu dilakukan karena merujuk pada ketentuan UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) pasal 50 ayat (3) yang selengkapnya berbunyi “pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional”.

Berdasarkan ketentuan UUSPN tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah akan bergotong-royong mendirikan RSBI di setiap daerah, baik di tingkat pemkot maupun kabupaten minimal satu buah untuk setiap jenjangnya (baca: SD,SMP,SMU). Sayangnya, ketentuan itu tidak menjelaskan dengan rinci daerah seperti apa yang perlu didirikan RSBI. Oleh sebab itu, pesan yang diterima para insan pendidikan adalah setiap daerah harus mendirikan RSBI tidak peduli apakah daerah tersebut layak dan mampu menyelenggarakannya atau tidak. Mulai dari Jakarta dan sekitarnya sampai kabupaten yang paling jauh di timur Indonesia diwajibkan menyelenggarakan RSBI.

Pada praktiknya RSBI, kembali menuai persoalan. Mulai dari persyaratan secara manajerial maupun pedagogis-didaktis. Di antaranya harus memenuhi seluruh aspek Standar Nasional Pendidikan (standar isi, proses, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian) plus persyaratan njlimet lainnya. Hal ini dilakukan untuk sebuah kompetensi yang diyakini diperlukan untuk bekal hidup peserta didik dalam pergaulan internasional.

Akhirnya, keterlibatan kata internasional ini justeru membuat krisis pendidikan di Indonesia semakin sulit dipecahkan. Alih-alih meningkatkan kualitas pendidikan malah menambah beban baru. Bagaimana pun juga gagasan RSBI amat menarik tapi sayang konsistensi pemerintah layak dipertanyakan kembali. Sebab mau dibawa ke mana arah pendidikan nasional kita (Quo Vadis Pendidikan Nasional). Padahal undang-undang telah menggariskan bahwa dalam penyelenggaraan pendidikan nasional pemerintah bertanggung jawab terhadap masyarakat terutama bagi peserta didik tanpa melihat latar belakangnya.

Namun mengapa dalam perjalananya kondisi pendidikan kita semakin sulit di jangkau bagi mereka yang lemah secara ekonomi. Kian hari pendidikan semakin mahal. Apalagi dengan kata internasional yang melekat padanya semakin menyiratkan bahwa pendidikan berkualitas hanya milik mereka yang memiliki uang untuk tarif internasional. Dengan begitu, pendidikan ibarat industri yang menggiurkan.

Belum lagi, karakteristik RSBI menurut gambaran Diknas dilukiskan dengan lulusannya yang berkompetensi internasional dan kurikulum bertaraf internasional, pembelajaran dua bahasa (bilingual), pendidik memenuhi standar internasional, sarana sesuai dengan kebutuhan kurikulum internasional, pembiayaan disesuaikan dengan kebutuhan SBI, penilaian menggunakan standar nasional dan internasional, dan pengelolaan memenuhi standar ISO 9001. Berdasarkan ciri-ciri tersebut, RSBI merupakan perkawinan (hibridasi) antara pendidikan nasional dan pendidikan internasional.

Dalam pelaksanaannya,konsep ini menemui berbagai kendala. Contoh: konsep yang tidak jelas, penguasaan bahasa Inggris bagi guru yang mengajar hard science (Kimia, Fisika, Biologi), dll. Kendala-kendala tersebut menambah panjang deretan masalah SBI yang ditemukan di beberapa daerah. SBI lebih terlihat sebagai program pemerintah yang ‘menghabiskan’ banyak dana padahal belum jelas output yang dihasilkan.

Read More …

February 28, 2010

Pendidikan dan Jaminan Mengembangkan Ilmu

Pendidikan dan Jaminan Mengembangkan Ilmu



Dunia pendidikan sedang mengantisipasi dampak global ekonomi yang mengantarkan Indonesia dalam arena persaingan ketat dengan negara-negara lain. Sementara pendidikan kita masih mencari-cari fondasi pendidikan yang kokoh dan strategis menuju globalisasi. Berbeda dengan negeri “Jiran” Malaysia dan Singapore yang telah mempersiapkan generasi mudanya dengan program pendidikan yang berkualitas untuk mempososikan diri di kancah global.

Alkisah, dua negara tetangga itu dahulu sempat belajar ke Indonesia karena pendidikan Indonesia dinilai berhasil mendulang pembangunan. Sekarang, sebaliknya mereka lebih maju dari Indonesia dengan sistem pendidikan yang berani mengambil terobosan baru yang didukung oleh jaminan pemerintah dalam mengembangkan ilmu pengetahuan di negaranya masing-masing.

Dalam dunia sepak bola misalnya, Indonesia jauh tertinggal ketika berhadapan dengan klub nasional Malaysia dan Singapore. Bahkan belakangan ini selalu kalah skor di arena lapangan hijau. Jika disimak memang penduduk kedua negara itu jauh lebih sedikit dengan penduduk Indonesia. Tapi mengapa Indonesia yang jumlah penduduknya lebih banyak sulit mendapatkan sebelas orang pemain sepak bola yang unggul secara kualitas.

Atau ini merupakan persoalan bagi Indonesia yang secara tidak langsung memiliki pengaruh antara pendidikan dan kualitas hidup masyarakat untuk berprestasi. Sejatinya, publik dapat menilai dari sudut pandangnya masing-masing. Apakah sejauh ini kualitas hidup masyarakat telah memenuhi syarat bahwa negara dengan segala program kerja dan kinerjanya menjamin kualitas hidup masyarakat. Sementara, masyarakat belum merasakan dampak positif yang begitu berarti.

Obyektifikasi PendidikanTahun ini adalah awal pemerintahan baru dengan program kerjanya. Suatu kesempatan untuk menilai kembali sistem pendidikan yang sudah berjalan. Sebagai masyarakat awam, kita tahu betul arti penting pendidikan untuk masa depan generasi muda. Oleh karena itu, diperlukan rumusan pendidikan nasional yang betul-betul relevan dengan kondisi masyarakat Indonesia. Untuk itu, pemerintah berusaha semaksimal mungkin merumuskannya melalui Departemen Pendidikan Nasional dengan usulan-usulan kebijakan strategis guna meningkatkan kualitas pendidikan.

Mengawali masa kerjanya, Mendiknas, Muhammad Nuh mengajukan empat pilar rencana pengembangan pendidikan. Pertama, sekolah harus ada, oleh karena itu, kelayakan sekolah harus diperhatikan. Kedua, menetapkan biaya pendidikan yang terjangkau (tidak gratis) meskipun masyarakat akan dikenakan biaya pendidikan seminimal mungkin yang telah ditetapkan. Ketiga, peningkatan kualitas pendidikan yang didukung oleh pilar terakhir yaitu adanya jaminan bagi peserta didik dalam mengembangkan ilmunya dan menciptakan lapangan pekerjaan setelah lulus dari masa belajarnya.

Berdasarkan empat pilar rencana pengembangan pendidikan nasional di atas, tentu saja secara obyeketif diknas telah memetakan persoalan pendidikan. Di atas kertas empat pilar pendidikan itu setidaknya dapat diterjemahkan oleh dinas pendidikan sampai ke jajarannya di sekolah. Bukan dengan penilaian subyektif yang selama ini menimbulkan tumpang tindih seperti yang termanifestasi melalui otonomi pendidikan. Padahal dilapangan sampai saat ini kenyataannya berbeda.

Meminjam obyektifikasi Islam Kuntowijoyo dalam konteks pendidikan sesungguhnya obyektifikasi pendidikan disuguhkan untuk mencapai cita-cita obyektif yaitu seperti empat pilar rencana pengembangan pendidikan nasional yang sedang berlangsung sekarang ini. Begitu juga dengan ujian nasional (UN). Bagaimana UN menjadi penilaian yang obyektif sebagai sarana evaluasi pendidikan bagi peserta didik.

Berangkat dari orientasi ini, pada intinya obyektifikasi pendidikan bertujuan untuk mewujudkan tujuan dan cita-cita pendidikan nasional sehingga terwujud masyarakat belajar yang sejahtera. Salah satunya, bagaimana peserta didik dapat mengembangkan ilmu pengetahuannya. Hal ini sejalan dengan proses pendidikan yang berusaha mengkonstruk perumusan kurikulum yang mempertimbangkan perubahan sosial, kultural dan kondisi politik yang sedang berlangsung (Jerome S. Bruner, The Process of Education: 1963).

Menurut Bruner dengan mempertimbangkan hal itu, sekolah semestinya menjadi kontributor kecerdasan sosial dan emosional kepada peserta didik yang nantinya berguna dalam kehidupannya. Dengan demikian, antara gagasan Bruner dan empat pilar rencana pemgembangan pendidikan dapat menghasilkan sintesa pendidikan ke depannya dalam upaya mengembangkan ilmu pengetahuan yang tentu saja melibatkan kaum intelektual dan ilmuwan tanpa harus melihat disiplin ilmu yang berbeda.

Dengan semangat inilah obyektifisasi pendidikan dapat digulirkan yang pada akhirnya masyarakat dan peserta didik dapat jaminan dari pemerintah untuk mengembangkan ilmu pengetahuannya tanpa harus takut hasil penelitian dan observasinya dilarang hanya karena penilaian politis dan subyektif seperti yang baru-baru ini terjadi terhadap pelarangan buku yang dinilai mengganggu ketertiban umum.

Namun, lebih dari itu kita berharap ilmu pendidikan dapat melakukan transformasi sosial yang mampu membangkitkan kesadaran masyarakat tentang arti penting dan strategis pendidikan bagi anak-anak dan generasi muda. Selanjutnya, pendidikan dengan fungsinya tidak melulu menjelaskan realitas sosial yang sedang terjadi tapi bagaimana ia menjadi gagasan sosial yang menggerakan perubahan sosial itu sendiri.

Menyingkirkan Imaji
Dalam lapangan pendidikan kritis, untuk mewujudkan transformasi sosial, pendidikan tidak memerlukan pencitraan yang mempesona. Yang diperlukan adalah bagaimana pendidikan sebagai gagasan sosial mampu menempatkan masyarakat untuk berinteraksi sosial bersama dengan dunianya agar mampu mengubah ketimpangan sosial. Sebab, bila pendidikan memainkan perannya seperti ini secara tidak langsung masyarakat akan terpesona tanpa perlu menciptakan pencitraan yang pada dasarnya hanya berjalan di tempat (involusi).

Mengenai pembaruan pendidikan, pemerintah diharapkan jangan sekadar menonjolkan imaji yang baik dalam menyelenggarakan sistem pendidikan nasional melalui pencitraan di media massa. Kenyataannya pendidikan yang terjangkau pun belum berhasil terwujud. Seyogianya para pemangku program memprioritaskan infrastruktur pendidikan yang pokok dan tidak membebankan peserta didik seperti masih adanya pungutan gedung sekolah bagi siswa baru.

Di samping itu, alokasi anggaran pendidikan agar jangan mendukung pelestarian birokrasi semu, tapi juga secara nyata harus berjalan keberlangsungannya bagi seluruh insan pendidikan, seperti sekolah masyarakat, kepala sekolah maupun guru agar dapat mengembangkan metode pembelajaran yang humanis dan menyenangkan. Tentunya diikuti dengan akuntabilitas, transparansi dan bebas penyalahgunaan serta harmonisasi antara kebijakan pusat dan daerah.

Itu merupakan pekerjaan rumah yang sampai saat ini memang masih belum selesai. Masyarakat bersama-sama pemerintah harus menjawab permasalahan itu. Bukan diselesaikan dengan beberapa kali rancangan undang-undang tentang turunan sistem pendidikan nasional. Seribu kalipun ganti menteri tanpa komitmen yang tulus proses pendidikan tidak akan pernah menemukan standar kualitas yang layak. Masyararat kembali terperosok dalam lingkaran kemiskinan dan kebodohan karena pendidikan sebatas dijadikan pencitraan politik tapi menelantarkan upaya mengembangkan ilmu pengetahuan. Wallohu ‘alam
Read More …

Pendidikan Berbasis Peristiwa

Pendidikan Berbasis Peristiwa





Siapa bertanggung jawab jika lagi-lagi angkara pemuda sebagai generasi yang punya potensi terjebak pada tindakan kekerasan. Memang tak sepenuhya generasi muda kita terlibat tradisi memilukan itu. Tapi gerangan apa dibalik maraknya tindakan anarkis yang melibatkan suporter bola asal Surabaya atau terkenal dengan julukan ”Bonek” itu bertindak nekat pada momentum pertandingan sepak bola antara Persebaya kontra Persib, di Bandung, Jawa Barat, kemarin.

Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan tersebut dibalik kondisi sosial yang pada kenyataannya bahwa fanatisme akut memicu angkara yang memancing sebagian masyarakat untuk terlibat juga dalam lingkaran kekerasan sebagai wujud amarah dan kekecewaan yang tak terbendung. Di samping karena teramat banyak faktor penyebab, persoalan yang sama dan belakangan ini muncul juga terlihat amat dilematis.

Sungguh menyedihkan apa yang telah diperlihatkan oleh Bonek pascaperistiwa perjalanannya ke Bandung untuk menyaksikan tim kesayangannya bertanding. Dalam situasi lain, peristiwa kekerasan tidak hanya menimpa generasi muda, para orang dewasa pun tidak dapat menghindar dari gangguan psikologis itu yang semakin menandakan tindakan kekerasan benar-benar ada di sekitar kita. Misalnya, kejadian yang menimpa anak-anak tak berdosa saat Baikuni alias Babe, yang menurut displin ilmu psikologi terjangkit persoalan kejiwaan yang mulai meradang dalam format kelainan seksual.

Menelusuri jejak masyarakat yang sakit ini, tepatnya di abad 21 rangkaian-rangkaian peristiwa memperihatinkan semakin tak terbilang. Entah berapa jumlah yang diketahui secara pasti dan meminta banyak korban karenanya. Namun, diperkirakan peristiwa ini akan terus berlanjut seiring dengan transformasi dalam masyarakat. Dengan sendirinya, menurut Frans Magnis masyarakat menciptakan disoreintasi, dislokasi, disfungsionalisasi, yang terasa sebagai ancaman ekonomis, psikologis dan politis (dalam Melawan Kekerasan Tanpa Kekerasan, 2000).

Membaca Peristiwa
Meminjam pendekatan pedagogis fenomena tersebut secara tidak langsung mengingatkan kita pada teori belajar yang lebih menekankan peranan situasi dan lingkungan sebagai sumber penyebab tingkah laku. Lebih khsusus lagi, teori ini membedah tingkah laku sosial dalam istilah “asosiasi yang dipelajari” antara stimulus dan respon (Dayakisni dan Hudaniah, Psikologi Sosial: 2006). Sementara itu, lewat displin psikologi pendidikan dalam konteks sosial insting dan dorongan yang seharusnya digunakan pada hal positif mengalami disfungsi sehingga yang terjadi semangat “bertempur” menghiasi peristiwa tersebut.

Meski insting sebagai dorongan fitrah biologis manusia membantu untuk berbuat baik, dalam kondisi yang lain bisa berubah menjadi daya ingat personal dan sosial yang dipengaruhi oleh imitasi, tidak sabar, tergesa-gesa, mudah tersinggung serta memacu kemarahan. Hal itu, diperkuat oleh pengalaman belajar individu yang diperoleh dari peristiwa-peristiwa lain yang menyertainya dalam kehidupan sosial manusia.

Dalam membaca peristiwa, setidaknya ada dua hal yang sangat penting dan menjadi ukuran apakah suatu peristiwa sebagai bagian dari proses pendidikan diluar jalur formal dan informal dinilai berhasil menjadi pengalaman belajar yang kritis. Pertama, sejauh mana peristiwa itu memiliki peran sosial di masyarakat dalam menuntun pengalaman belajarnya. Kedua, apakah peristiwa sebagai proses belajar membantu memberikan sumbangsih terhadap reproduksi sosial dan budaya yang dibutuhkan masyarakat.

Sekarang ini, hampir bisa dipastikan bahwa peristiwa belum bisa dijadikan sebagai pengalaman belajar sepenuhnya bagi masyarakat. Peristiwa hanya dijadikan sebagai sebuah wacana atau informasi yang lewat sambil lalu. Akibatnya, peristiwa-peristiwa yang muncul baru-baru ini dan menimbulkan kerugian bagi masyarakat tidak dapat diantisipasi padahal pernah terjadi sebelumnya. Faktanya, bisa dilihat dalam bidang politik dan ekonomi saat ini yang persoalannya belum bisa diselesaikan oleh para pemimpin kita. Karena peran sosial peristiwa dilupakan sebagai sumber belajar yang berharga.

Bahkan, peristiwa sebagai gejala perubahan sosial itu sendiri secara tidak langsung ikut mengubah kondisi sosial dan budaya masyarakat, namun kenyataannya peristiwa itu tidak bisa dijadikan sebagai perangkat untuk mengubah kebiasaan-kebiasaan masa lalu yang tidak sesuai dengan tuntutan baru. Wajar jika kasus korupsi, penegakan hukum, kekerasan, pengangguran, peningkatan kualitas pendidikan dan persoalan lain yang dihadapi bangsa ini terasa sulit untuk dipecahkan.

Seperti diketahui, dalam lapangan pendidikan, peristiwa belum beranjak dari sebuah proses cerita apa. Peristiwa belum bisa dibaca dan dibedah melalui sudut pandang lain yang menekankan aspek mengapa bisa terjadi, tahun berapa kejadiannya, siapa pelakunya, di mana dan kapan kejadiannya (5W+1H). Akhirnya, hanya sebuah dongeng yang diceritakan pada masa lalu tanpa memberikan pengaruh psikologis-pedagogis kepada peserta didik.

Sejatinya peristiwa dalam lapangan pendidikan bisa berkaca dari konsep perubahan yang dikemukakan oleh Rhenald Kasali (2005) seorang pakar manajemen perubahan dalam bisnis. Menurutnya, tidak ada kata lain dalam ilmu manajemen atau praktek bisnis yang begitu magis dan misterius selain kata perubahan (change). Ia bahkan dianggap sebagai sesuatu yang paling abadi di atas dunia ini. Kadang ia melekat pada diri seseorang dan bekerja begitu kuat. Getarannya dirasakan sampai ke urat-urat nadi, dan begitu ia berjalan di samping kita, seakan dunia bergetar.

Membaca peristiwa meminjam ungkapan Rhenald di atas dalam konteks perubahan sesunguhnya yang perlu dicatat adalah telaah sosiologis yang bisa digunakan untuk menilai peristiwa apapun dalam hidup ini. Sehingga kita bisa merajut persoalan yang mendasari peristiwa dalam sebuah pengalaman belajar yang sama tentang upaya mencari solusi. Mengingat peristiwa begitu dekat dengan keseharian kita dan sulit diprediksi sebagai proses perubahan sosial.

Dengan demikian matarantai persoalan sosial dan kejiwaan yang merasuk dalam bidang sosial, politik, ekonomi, budaya, pendidikan, hukum dan keamanan yang sejauh ini dipercaya mengendalikan dorongan “kenakalan” sosial perlu mendapat tempat yang layak untuk dikaji secara kritis. Sebab, peristiwa yang membawa wabah penyakit masyarakat harus diwaspadai sebagai bahaya laten yang bakal memengaruhi kepribadian generasi muda.

Berbasis Peristiwa
Tanpa mengesampingkan uraian tersebut, adanya krisis identitas yang dibawa suatu peristiwa dalam perspektif pedagogis seyogianya menjadi pilihan yang cukup dominan untuk bercermin dan menentukan akar persoalan yang dihadapi. Kendati peristiwa terkadang terjadi sangat personal tapi jika mengusik tatanan sosial akan menjadi varian-varian perilaku dalam frame sosial yang lebih luas.

Oleh karena itu, kita menyadari bahwa berdasarkan peristiwa-peristiwa yang sudah terjadi dan baru saja terjadi menimpa bangsa ini, hendaknya pendidikan memainkan peran yang sangat penting bagi kepentingan pembentukan watak, karakter, dan perilaku baik bagi kalangan generasi anak-anak dan remaja. Sehingga penggalian metode belajar berbasis peristiwa adalah suatu keniscayaan yang perlu digagas sebagai transmisi pengetahuan.

Dan yang harus dirumuskan terlebih dahulu ke depannya adalah filosofi dan konsep perubahan sosial yang mengiringi suatu peristiwa yang pada akhirnya menjadi kajian menarik bagi generasi muda untuk memenuhi harapan-harapannya setelah keterpurukan dan kegagalan berperan sebagai motivasinya. Wallohu ‘alam
Read More …

January 16, 2010

Resensi Buku


Membudayakan Islam Jalan Mengikis Aborsi Kemanusiaan

Oleh: Nazhori Author

Judul : Inkulturasi Islam, Menyemai Persaudaraan, Keadilan,dan Emansipasi Kemanusiaan
Penulis : Abdul Mu’ti
Kata Pengantar : Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif, M.A
Tahun Terbit : September, 2009
Penerbit : Al-Wasat Publishing House, Jakarta
Tebal Halaman : xxvi + 200 Halaman





Islam sebagai suatu ajaran universal dapat diartikan sebagai sebuah ilmu pengetahuan yang mengajarkan bagaimana membina persaudaraan, menjunjung tinggi keadilan, dan menghormati harkat, martabat serta kemanusiaan. Islam juga memotret problematika kaum muslim yang disertai dengan jalan keluarnya secara rinci dalam Al-Qur’an dan Sabda Rasulullah.

Pertanyaannya apakah dengan ajaran Islam yang universal tersebut semua persoalan manusia tuntas diselesaikan sementara manusia dengan sifat, karakter dan tabiatnya adalah makhluk yang tidak pernah puas, alpa serta masih banyak lagi perangai buruk dan baiknya. Hal ini bisa dilihat dari beberapa peristiwa baik di Indonesia maupun skala global yang menerangkan bahwa persoalan persaudaraan, keadilan, dan kemanusiaan perlahan-lahan mulai pudar.

Mengapa bisa demikian? Saudara Abdul Mu’ti dalam buku barunya yang berjudul Inkulturasi Islam: Menyemai Persaudaraan, Keadilan, dan Emansipasi Kemanusiaan menjawab karena manusia telah mengaborsi kemanusiaannya. Tidak heran jika kekerasan, kejahatan dan penistaan terus muncul dengan wajah-wajah baru. Atas nama agama, politik, ekonomi dan sebagainya manusia dengan sendirinya telah menjatuhkan kewibawaannya.

Lantas di mana peran pemimpin, ulama, pemuka agama, dan generasi muda saat menghadapi tantangan tersebut. Mereka dan masyarakat semua ada dalam posisinya masing-masing hanya saja terlena dalam ritual keagamaannya dan kehilangan semangat untuk membudayakan iman dan amalnya untuk kemanusiaan.

Melihat kondisi ini, saudara Mu’ti mengulasnya dengan lugas dan tanpa sungkan memberikan contoh yang mudah dimengerti misalnya mengapa indikasi korupsi di lembaga-lembaga berpelat merah kian tumbuh subur karena mental sumber daya manusianya bermental klepto. Hebatnya lagi para kleptomanianya adalah para politisi, pejabat tinggi di pusat dan daerah, pengusaha dan intelektual yang sangat memahami hukum, memiliki kekuatan politik, ekonomi dan jaringan yang sangat kuat. Situasi Indonesia sekarang ini mirip dengan negara Zaire masa pemerintahan Mobutu. Sebuah negeri yang hidup dalam system kleptokrasi. Sebuah negeri yang sistem pemerintahan dan budaya masyarakatnya dikuasai oleh para kleptomaniac.

Topik lain yang disorot aktivis muda Muhammadiyah ini salah satunya soal kemiskinan. Khususnya yang terkait dengan fakir-miskin, yatim-piatu, tua-renta dan sebagainya yang dalam Islam disebut dengan dhu’afa fenomenanya semakin hari semakin “menakjubkan”. Menurut analisanya fenomena itu telah dikelola secara profesional oleh para pialang kebajikan. Di bawah bendera dhuafa enterprise para profesional merekrut sales yang telah dididik menjadi dhuafa’ entrepreneur untuk memburu para kaum derma (aghniya).

Ibarat gayung bersambut sebagai dermawan hatinya merasa senang karena tidak perlu khawatir untuk mencari pahala dan berkah karena datang dengan sendirinya. Di kota-kota besar jaringan sales tersebut tumbuh subur di tempat-tempat strategis yang semakin menambah pengalamannya. Tidak kalah menariknya dengan kejadian atau bencana yang belakangan terjadi di beberapa daerah di Indonesia.

Seperti banjir, gempa bumi, longsor, puting beliung, dan kebakaran berubah menjadi tontonan menarik. Layaknya hiburan semua dikemas sebagai bencanatainment. Dilengkapi dengan tenaga penjual bencana yang siap disebarkan ke masyarakat sebagai penonton bencana. Munculnya para penjual dan penonton bencana merupakan fenomena kerusakan moral dan melemahnya bangunan sosial. Para ahli Psikologi Sosial menyebut perilaku sosial negatif tersebut bystander apathy. Sikap masa bodoh, cuek, tidak peduli kepada orang lain yang membutuhkan pertolongan.

Informasi lain yang lebih menarik dari buku ini, penulisnya dengan cerdik mendudukkan persoalan fikih nikah dengan politik. Kawin sirri misalnya. Menurut Mu’ti secara historis-antropologis, akar tradisi kawin sirri dapat ditarik dari tradisi-tradisi poligami yang berkembang dalam masyarakat feodalistik. Laki-laki lebih unggul dari wanita. Kalkulasi kehormatan dan prestasi menjadi daya tarik tersendiri bagi pelakunya.

Karena sifatnya yang rahasia dan tersembunyi kawin sirri hanya memanfaatkan agama sebagai kedok belaka. Hal inilah yang sering disalahgunakan para penikmatnya untuk melegalkan aksinya. Mengingat secara hukum antara agama dan negara terjadi dikotomi secara politis. Meskipun praktik dan motivasinya berbeda kawin sirri tetap dikatakan sebagai bahaya laten. Sebab pernikahan tidak boleh dilakukan secara sembunyi-sembunyi berdasarkan akad-nya. Jika tetap dilakukan dikhawatirkan, kelak istri dan keturunannya akan dirugikan.

Masih dalam persoalan fikih, topik segar disuguhkan penulisnya dengan mengangkat tema puasa generasi pop. Remaja adalah sosok yang menarik dan hangat diperbincangkan. Oleh karena itu, mengikuti tren remaja masa kini semakin memikat ide untuk mengupasnya. Apalagi dengan gaya rambut dan busana yang funky bukan berarti mereka lupa beribadah. Banyak artis remaja ngetop dengan gayanya yang metroseksual saat bulan ramadhan datang tetap berpuasa. Kenyataan ini layak diapresiasi karena nilai-nilai keagamaannya tidak tercerabut dari budaya pop sebagai dampak dari modernisasi. Maka remaja-remaja gaul lainnya yang bukan artis mengapa tidak meniru sikap positif mereka.

Alasannya menurut Mu’ti, generasi pop lahir dari rahim globalisasi, setelah melalui proses perkawinan yang kompleks antara berbagai kebudayaan, nilai-nilai tradisional, dan agama. Kecanggihan teknologi komunikasi memungkinkan generasi muda mengakses informasi dari berbagai sumber, dan melakukan pergaulan bebas antarbudaya melalui berbagai media maya seperti internet, televisi, film, ponsel, dan sejenisnya. Maka makna puasa bagi para remaja untuk meminimalisir rasa tersinggung dan amarah yang kian membuncah. Di samping itu, remaja adalah sosok yang banyak aktivitas kreatif yang perlu dilandasi oleh bekal agama.

Bicara tentang politik tentu saja tidak ditinggalkan begitu saja perkembangannya. Mu’ti juga mengupas peran strategis partai politik Islam yang menurut dia masih punya kesempatan untuk dipertemukan kembali. Artinya dipersatukan visi dan misi politiknya dalam ikatan persaudaraan politik. Meski terkotak-kotak silaturahim politik berpeluang terjadi dengan alami. Lebih jauh lagi, jika dihadapkan pada isu-isu politik yang menyentuh jalan hidup umat Islam. Seperti persoalan Palestina atau Timur Tengah pada umumnya. Tidak terkecuali dengan persoalan agama di dalam negeri yang memang berakhir rumit jalan keluarnya. Kemudian bagaimana sikap politik Islam terhadap Barat setelah Obama datang dan didaulat menjadi presiden. Umat Islam malah berharap Obama dengan segera mengeluarkan kebijakan yang lebih humanis di mata dunia setelah presiden sebelumnya memutuskan setiap kebijakan politiknya dengan standar ganda.

Masih banyak topik lain yang tidak dapat diuraikan lebih panjang. Intinya, buku beraroma segar ini mengajak pembaca untuk merenung dan menilai kembali substansi Islam yang sesungguhnya. Sebagai agama yang diyakini umat Islam dalam mengarungi perubahan jaman tanpa menafikan agama lain dengan penuh toleran, adil dan menghormati emansipasi kemanusiaan.
Read More …

December 12, 2009

School Abuse


Oleh: Nazhori Author


Awalnya adalah peningkatan mutu. Setelah itu, tenggelam dalam pelaksanaan yang tak kunjung membaik. Betapa tidak, lembaga pendidikan kita berada dalam beragam jenis penyimpangan dana yang dampak besarnya menyangkut pendidikan generasi penerus. Tidak tanggung-tanggung besaran nilai penyimpangan mencapai milyaran rupiah. Ditengarai dugaan korupsi anggaran pendidikan berlangsung dengan memanfaatkan celah dana bantuan yang diberikan pemerintah kepada sekolah.

Berdasarkan laporan dari Indonesia Corruption Watch (ICW) bahwa lembaga pendidikan mengalami jenis penyimpangan dengan modus korupsi dan kasus berbeda. Jumlah kasusnya 142 kasus, dengan modus penyalahgunaan 51 kasus, pemotongan 38 kasus, mark-up 27 kasus, kegiatan fiktif 9 kasus, penggelapan 9 kasus, manipulasi laporan/data keuangan 2 kasus, pemerasan 2 kasus, pembongkaran gedung sekolah secara ilegal 1 kasus, pungutan liar 1 kasus, dan subkontrak ilegal proyek dinas pendidikan 2 kasus dengan total kerugian negara Rp 243,2 milyar (Gatra, 21 Oktober 2009).

Menurut Febri, peneliti ICW, sejak 2004 Depdiknas mengelola dana pendidikan sebesar Rp 144 trilyun. Angka ini lebih besar 115% dari anggaran yang dikelola tahun 2000-2004, yang hanya Rp 66,8 trilyun. Tapi nyatanya Depdiknas tak mampu menekan angka putus sekolah. Pada 2000-2004, angka putus sekolah mencapai 4,5 juta siswa, kemudian pada 2004-2008 angkanya masih 4,3 juta. Cuma turun 200.000. Cukup mengherankan bila anggaran sekian besarnya hanya mampu menurunkan angka putus sekolah sebanyak itu (Gatra, 21 Oktober 2009).

Informasi serupa juga diberitakan dalam majalah Gatra, dengan uraian jenis penyimpangan dana pendidikan di Depdiknas. Jenis penyimpangan itu berdasarkan laporan BPK semester I dan II tahun 2004-2008 antara lain penyimpangan pengelolaan aset, tidak tepat sasaran, tanpa bukti pertanggungjawaban, pemborosan, kerugian negara, dan denda belum dipungut. Diduga penyimpangan anggaran pendidikan hampir Rp 1 trilyun.

School Abuse
Di Indonesia perlakuan salah tidak hanya menimpa anak-anak yang tak berdosa. Dalam dunia pendidikan pun perlakuan salah terhadap pendidikan seiring dengan perkembangannya terus meningkat. Nama sandangan sekolah itu penggunaannya difungsikan dalam hal penyimpangan yang tidak hanya merugikan pendidikan, siswa, guru, kepala sekolah, dan bangsa tapi waktu luang yang secara khusus digunakan untuk melejitkan kecerdasan bagi generasi masa depan.

Perlakuan salah terhadap sekolah (school abuse) menempatkan lembaga pendidikan sebagai lembaga budi pada substansinya yang mendekati dalam suatu kata pembaruan semu (quasi-innovation). Sepintas pembaruan sistem pendidikan nasional adalah gagasan yang menyegarkan. Kenyataannya, pembaruan tersebut justeru mempertanyakan kembali hakikat dari eksistensi sekolah.

Ihwal dari proses pembaruan sekolah berupa reformasi pendidikan sejatinya berarti dinamika perkembangan dunia pendidikan yang berusaha mengejawantahkan kondisi yang tidak atau kurang baik menjadi baik. Dalam pengertian ini, ada upaya secara yuridis untuk melakukan evaluasi dengan terobosan-terobosan baru terhadap sistem pendidikan yang sudah usang untuk memotong mata rantai kemiskinan dan kebodohan.

Dalam praktiknya risiko dan tantangan selalu hadir di depan mata, tapi keengganan terus membayangi serta sulit menembus transformasi pedagogis yang diharapkan. Padahal gerakan ke arah desentralisasi dan dekonsentrasi sudah dibentangkan di beberapa daerah melalui otonomi pendidikan, hasilnya adalah asap kerumitan yang kian mengepul ke atas awan.

Sebagai catatan, Indonesia baru saja memilih kepala dan wakil kepala negara, serta menteri-menteri baru. Tujuannya untuk menjalankan roda pemerintahan secara demokratis dan warga negaranya hidup dalam kemakmuran di mana setiap kebutuhannya dapat terpenuhi. Tidak terkecuali dengan kebutuhan untuk memperoleh pendidikan yang layak dan terjangkau.

Semua orang tahu, sekolah beserta analoginya diciptakan untuk memenuhi kebutuhan peserta didik. Dengan pemikiran konstruktif, alternatif sekolah terus diselidiki demi mendapat pengakuan sosial. Tidak lain obsesinya meningkatkan kualitas pendidikan dan kualitas hidup masyarakat. Seraya mereka-reka inilah sekolah masa depan yang cocok untuk generasi muda.

Mengacu pada undang-undang sistem pendidikan nasional wajah sekolah diperbarui mulai dari anggaran, kualitas guru sampai dengan inovasi manajemen pendidikan. Meski dikabulkan dalam mekanisme pelaksanannya berjalan sendat-sendat. Barulah terkuak, penyebabnya adanya perlakuan salah terhadap sekolah. Fungsi sekolah dikerdilkan lantaran terbukanya kesempatan untuk mematikan peran strategisnya.

Masalah perlakuan salah terhadap sekolah juga tidak terlepas dari persoalan birokrasi. Melemahnya koordinasi antara birokrasi di pusat dan daerah menjadi beban tersendiri yang dampaknya ikut menurunkan kualitas pendidikan antar daerah yang satu dengan daerah lainnya. Dengan kata lain, ke depan reformasi birokrasi harus segera dievaluasi sebagai pilar penting dalam manajemen pendidikan nasional.

Empat Pilar
Beberapa program andalan pembaruan pendidikan nasional sebetulnya sudah dilakukan oleh menteri sebelumnya dalam lima tahun ke depan untuk menaikkan tingkat kualitas pendidikan. Hal itu tercermin dalam beberapa program di antaranya BOS, DAK, buku gratis online, sertifikasi guru, UN, dan lainnya. Bahkan sebagai stimulus sekolah diberikan kesempatan untuk mengelola lembaganya dengan manajemen berbasis sekolah, tak dinyana masih ada penyimpangan yang dilakukan oleh oknum tidak bertanggung jawab.

Untuk itu, pendidikan sebagai bagian yang tidak bisa dikesampingkan dari upaya membangun karakter dan budaya bangsa, Mentri Pendidikan Nasional (Mendiknas) yang baru Muhammad Nuh, mendapat tantangan pedagogis baru yaitu bagaimana meningkatkan layanan pendidikan kepada masyarakat. Dan, obat mujarab apa nantinya yang akan dijadikan resep jitu untuk mengobati panas dalam pendidikan.

Mengawali masa kerjanya, dalam seratus hari ke depan Mendiknas, Muhammad Nuh menandaskan, untuk memperluas layanan pendidikan kepada masyarakat Indonesia dibutuhkan empat pilar rencana pengembangan pendidikan. Pertama, sekolah harus ada, oleh karena itu, kelayakan sekolah harus diperhatikan. Kedua, menetapkan biaya pendidikan yang terjangkau (tidak gratis) meskipun masyarakat akan dikenakan biaya pendidikan seminimal mungkin yang telah ditetapkan. Ketiga, peningkatan kualitas pendidikan yang didukung oleh pilar terakhir yaitu adanya jaminan bagi peserta didik dalam mengembangkan ilmunya dan menciptakan lapangan pekerjaan setelah lulus dari masa belajarnya.

Berdasarkan empat pilar rencana pengembangan pendidikan nasional di atas, tentu saja perbaikan infrastruktur tidak bisa dilupakan. Maka prosesnya reformasi politik birokrasi dalam pendidikan mendesak dilakukan karena penyalahgunaan wewenang tidak menutup kemungkinan akan terjadi lagi baik di tingkat kabupaten dan kota. Yang terpenting di antaranya tidak mengulang kembali cara bersikap dan berpikir tunggal ke dalam dekorasi pendidikan yang involutif.

Oleh karena itu, porsi pendidikan sebagai pilar penting melawan kemiskinan dan kebodohan jangan dikurangi sedikit pun sehingga masyarakat dapat berdiri di atas kakinya sendiri dengan pengetahuan dan wawasan baru. Selain itu, mental masyarakat dalam memberdayakan diri sendiri akan tumbuh karena diorientasikan pada persoalan nyata dan harus dihadapi dengan kesadaran subyektif secara obyektif. Pendidikan, sebagai fondasi utama menuju globalisasi harus dikokohkan agar terhindar dari bencana yang mematikan. Wallohu ‘alam
Read More …

November 18, 2009


Pendidikan sebagai sarana komunikasi sosial yang lestari telah menyuntikkan sistem kekebalan bagi manusia. Sistem kekebalan itu mendorong manusia menjaga nilai-nilai kehidupan yang tumbuh dalam setiap nurani untuk menyebarkan kasih sayang dan tolong menolong yang terekspresikan melalui eksistensi kesadaran diri dan lingkungan sosialnya.

Di kemudian hari kekebalan itu dapat menjadi lemah ketika berlawanan dengan nurani dan nilai-nilai yang telah disepakati bersama. Dalam pengalaman faktual hidup manusia kondisi ini muncul dalam bentuk kekerasan, ancaman, kejahatan, penipuan, mengambil hak orang lain, penyalahgunaan kekuasaan yang bercampur dengan persoalan pelik manusia.

Hal ini digambarkan Stephen R. Covey dalam bukunya The 8th Habit: Melampaui Efektivitas, Menggapai Keagungan (2005) yang mengungkapkan sistem kekebalan tubuh kita akan menjadi lemah jika tindakan kita berlawanan dengan nilai-nilai dan nurani kita yang lebih dalam, dan akan tumbuh menjadi semakin kuat, jika kita merasakan dan mengungkapkan kasih sayang atau perhatian yang sepenuh hati.

Covey ingin menunjukkan bahwa dalam lapangan pendidikan manusia yang lebih luas upaya menumbuhkan kesadaran diri itu membutuhkan banyak sistem kekebalan tubuh yang termanifestasi dalam kecerdasan fisik, mental emosional, dan spiritual. Mengingat tantangan dan cobaan menyeruak datang silih berganti.

Untuk menjadi kebal, tubuh manusia membutuhkan makanan yang mengandung gizi tinggi dan tentunya diperoleh dengan cara yang halal lagi baik. Sama halnya dengan pendidikan jika mengalami hambatan maka komunikasi sosial yang menjembatani ragam kecerdasan akan mati dan sistem kekebalan tubuh masyarakat akan menjadi lemah. Manusia kehilangan kepekaannya terhadap makhluk lain.

Titik-titik Buta
Komunikasi sosial sebagai umpan balik tumbuh berdasarkan motivasi personal dan sosial. Dengan pendidikan kekurangan dan keterbatasan manusia dibina untuk melengkapi fitrah manusia yang dibawa sejak lahir. Dari buaian sampai dewasa manusia diajarkan berkomunikasi untuk menjadi duta Tuhan yang mengajarkan kebaikan dan kedamaian.

Beribadah adalah salah satu sarana umpan balik manusia mematuhi perintahnya yang mengharap ridho Allah SWT. Tanpa berkomunikasi dengan Tuhan manusia akan lemah dan tak bertanggung jawab. Guru akan mengabaikan peserta didik, orang kaya tidak peduli kepada orang miskin dan seterusnya. Inilah salah satu contoh yang disebut Covey dengan titik-titik buta (blind spots).

Titik-titik buta ini akan melumpuhkan aktivitas manusia. Kemampuan pedagogis manusia berangsur lemah kehilangan motivasi yang menuntunnya ke lembah pemikiran yang sempit. Matra duniawi dan ukhrawi terasa hitam-putih. Kehilangan empati yang memicu sikap serakah, korup dan bersekutu dengan kekuatan diluar kekuasaan Tuhan. Kebutuhan menikmati hakikat agama terasa hambar tapi eksistensinya ingin diakui oleh yang lainnya. Manusia lupa jika dibalik kekuatannya tersimpan potensi kelemahan.

Oleh karena itu, agama dan pendidikan adalah sarana untuk mencegah manusia dari titik-titik buta yang membawanya dalam ketidakpuasan permanen. Dua kebutuhan manusia yang akan menguatkan komunikasi sosialnya. Sebagaimana disebutkan Murtadha Muthahhari (1992) agama dan pendidikan sebagai kebutuhan fitrah manusia yang alamiah.

Perubahan jaman dapat merubah sifat, watak dan karakter seseorang. Dan manusia berperan sebagai saksi dan pelaku sekaligus dalam perubahan itu sendiri. Revolusi industri telah membawa umat manusia dalam kerangka berpikir yang sarat kapital. Hanya pribadi unggul yang akan bertahan melewati jalan terjal titik-titik buta tersebut.

Dalam kajian sosiologi agama, titik-titik buta sebagai persoalan hidup manusia kadangkala tidak dapat dipecahkan oleh akal pikiran manusia, dan untuk memecahkannya manusia membutuhkan pancaran teologis (agama) yang diperoleh dari pengalaman belajarnya. Kebutuhan teologis ini dilukiskan Malinowski untuk meritualisasikan optimismenya.

Menurutnya agama memungkinkan manusia melakukan hal-hal yang paling besar yang mampu dilakukannya, dan ia menyebabkan orang dapat melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan orang lain. Ia memberikan kepadanya kedamaian dan kebahagiaan, keharmonisan dan kesadaran akan tujuannya, dan ia memberikan semuanya ini dalam bentuknya yang mutlak (Betty R. Scharf: 1995).

Dengan didorong kekuatan teologis, keraguan dan ketidakpastian ikhtiar manusia sebisa mungkin diminimalisir yang dimantapkan lewat komunikasi sosialnya. Dengan kata lain, dapat pula dikatakan bahwa kekuatan teologis adalah upaya kreatif memadukan aneka kecerdasan manusia dengan jalan pedagogis yang tidak terbatas pada komunikasi sosial.

Covey ingin sekali menyelaraskan kecerdasan fisik, mental, emosional dan spiritual berperan sebagai kekuatan penuh melawan titik-titik buta yang melemahkan manusia. Sehingga terbentuk komunikasi sosial yang kuat dan dapat menyatukan misi dan visi kemanusian setiap orang dengan gemilang. Dengan demikian untuk menuntun manusia dalam segenap kecerdasan tersebut diperlukan ruang stimulus yang menyegarkan yang bernama pendidikan.

Inkulturasi Pendidikan
Membudayakan pendidikan tanpa umpan balik ibarat makanan tak bernutrisi. Dalam kacamata ini yang lumpuh adalah komunikasi sosialnya. Demikian halnya dengan demokrasi di Indonesia tanpa komunikasi sosial tidak akan mewarnai dunia politik modern yang kita rasakan saat ini meskipun dalam memperjuangkan demokrasi harus melewati prahara sosial.

Bahkan ideologi-ideologi yang menyelinap masuk ke dalam ruang-ruang budaya masyarakat memengaruhi komunikasi sosial masyarakat baik di kota maupun pedesaan dengan perantara proses industrialisasi dan teknologi tinggi yang menghasilkan komunikasi massa. Kenyataan ini menjadi tantangan tersendiri bagi individu dan masyarakat dalam bingkai komunikasi massa yang menciptakan makna-makna baru, serta mengikuti pola kerja ekonomi berbasis pasar.

Adapun hal yang lebih mendasar sebenarnya adalah pengaruh globalisasi dalam kehidupan masyarakat. Pengaruh ini tercemin dalam perubahan perilaku masyarakat yang diikuti dengan kemajuan teknologi dan informasi. Yang menonjol terkait dengan kebutuhan masyarakat di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial, budaya, dan di ranah politik sekalipun yang terkait dengan kebijakan negara.

Dalam formulasi pedagogis komunikasi sosial dapat disebut dengan upaya menggugah kembali kesadaran kritis yang dilakukan melalui jalan dialogis (stimulus-respon) tanpa menafikan eksistensi setiap individu sebagai pelaku “rekayasa sosial”. Oleh karena itu, dalam pendidikan Islam sangat menekankan pentingnya kerjasama dan tolong menolong yang didasari pada tauhid sosial.

Maka untuk menguatkan pendidikan sebagai komunikasi sosial yang transformatif membudayakan pendidikan dialogis adalah sebuah langkah gerakan kultural yang mengedepankan pentingnya landasan filosofis-pedagogis yang memacu terbentuknya masyarakat belajar. Sehingga komunikasi sosial dapat memberikan orientasi baru dalam perluasan akses sosial masyarakat. Harus disadari bahwa untuk membangun komunikasi sosial sebagai counter culture diperlukan tindakan pedagogis. Wallohu ‘alam


Read More …

November 3, 2009

Belajar Pendidikan Anti Korupsi Dari Cicak dan Buaya

Oleh: Nazhori Author




Jumlah orang yang tergabung dalam "Gerakan 1.000.000 Facebookers Dukung Chandra Hamzah & Bibit Samad Riyanto" makin meningkat. Kini, gerakan tersebut telah diikuti lebih dari 200 ribu facebooker (detiknews.com, 01/10/2009). Bertambahnya dukungan kepada pimpinan KPK nonaktif Bibit--Chandra, melalui jejaring sosial dunia maya adalah bukti bahwa persoalan korupsi di Indonesia layak dituntaskan tanpa melihat latar belakang aktor-aktornya.

Persoalan korupsi semakin memanas setelah transkip dialog penyelesaian Bank Century beredar luas di masyarakat. Tidak tanggung-tanggung nama RI 1 disebutkan di dalamnya. Situasi ini, membuat Presiden SBY angkat bicara dengan memberi penjelasan menyoal kasus Bibit--Chandra, dan dengan lantang mengatakan barang siapa berani membubarkan KPK maka saya adalah orang pertama yang ada dibarisan depan untuk menentang penutupan KPK.

Sebagaimana diketahui gencarnya pemberitaan di lembaga tersebut menimbulkan beberapa pertanyaan bahkan kabar miring yang mengatakan sedang terjadi upaya pengkerdilan di tubuh KPK. Hal ini begitu mudah menguap setelah mantan ketua KPK, Antasari Azhar terjerat kasus hukum yang secara tidak langsung melemahkan fungsi kontrol lembaga tersebut. Di samping itu, eskalasinya terus membuncah dari hari ke hari setelah muncul jargon cicak lawan buaya. Cukup beralasan jika ICW dalam melihat kasus cicak versus buaya menyarankan dibentuknya tim independen untuk menyelesaikan persoalan yang memelahkan itu.

Wajar jika rasa curiga, prasangka, dan ragam penafsiran terus mengalir lewat berbagai macam pernyataan yang dikeluarkan para facebooker ketika menilai ketegasan pemerintah dalam hal ini pihak yang berwenang dalam upaya menuntaskan perseteruan cicak dan buaya. Apa sebenarnya yang terjadi antara KPK dan Polri.

Padahal bangsa ini baru saja berganti kepemimpinan baru seharusnya komitmen dan ketegasan dalam kinerja membangun bangsa ke depan sudah dipersiapkan, tapi mengapa harus terhenti sementara oleh cicak dan buaya yang sedang berseteru. Jika melihat jauh ke belakang alasan mengapa KPK dibentuk tidak lain adalah ikhtiar untuk memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya. Pembentukannya pun disahkan oleh undang-undang.

Besar danKecil
Cicak adalah binatang bertubuh lunak dengan postur tubuh yang sangat kecil. Sedangkan buaya memiliki postur tubuh besar, berkarakter buas, bertenaga kuat dan menakutkan. Inilah fakta yang ada ketika kita melihat cicak dan buaya di dunia yang nyata. Besar dan kecil akan selalu ada, dan tidak menutup kemungkinan yang besar mengalahkan yang kecil. Seperti lagu Iwan Fals, yang berjudul Besar dan Kecil. Kenyataannya harus ada besar dan kecil.

Demikian Iwan Fals dengan liriknya besar dan kecil. Liriknya yang mempersoalkan ketidakadilan, kesewenang-wenangan, dan kekuasaan semakin representatif didendangkan ketika melihat cicak melawan buaya. Sayangnya, kita tiak tahu siapa nanti yang menang dalam pertarungan itu. Karena hal ini bukan kalah atau menang. Melainkan menyuarakan keadilan yang mudah dipermainkan.

Diketahui, KPK adalah corong lembaga yang dibuat pemerintah untuk membasmi kejahatan korupsi. Apalagi korupsi yang terjadi di Indonesia dilakukan tidak saja oleh orang biasa, tapi kalangan terdidik dan mengerti hukum. Tidak peduli besar dan kecil nilai yang dikorupsi yang pasti dihukum sesuai dengan kebijakan dan hukum yang berlaku.

Oleh karena itu, pantas jika banyak pihak yang memandang perlunya pendidikan anti korupsi. Karena mendidik peserta didik untuk mengenal bahaya dan dampak yang diakibatkan oleh bahaya laten korupsi. Jengkel, tidak sabar, dan angkara yang tertuang melalui dunia maya oleh jejering sosial sekaligus membuktikan bahwa proses pembelajaran pendidikan anti korupsi akan terus berlangsung di negeri ini.

Belajar dari soal cicak dan buaya di atas, bukan perkara besar dan kecil. Lebih dari itu, ini adalah momentum bagi civil society untuk memperkuat barisan dan meneriakkan dengan lantang bahwa koruspi adalah tembakan yang mematikan. Ia akan mematikan generasi muda dan wibawa bangsa ini di masa yang akan datang sebelum berperang melawan globalisasi di medan tempur. Selain itu, belajar dari cicak dan buaya saat ini merupakan sebuah afirmasi yang representatif untuk membumikan pendidikan anti korupsi.

Dalam kacamata pedagogis, korupsi sebagai fakta yang terjadi di tengah masyarakat adalah masalah besar bangsa. Dan diperlukan waktu lama untuk memutus mata rantainya. Itupun diperlukan dukungan yang besar dari semua pihak termasuk pemuka agama. Gambaran cicak dan buaya sudah menjadi pelajaran yang berharga bagi masyarakat terkait dengan korupsi, pelaku dan penentangnya.

Dorongan untuk menegakkan keadilan pada dasarnya memerlukan demokrasi dan civil society. Ini harus dimulai dari gerakan yang sungguh-sungguh yang sudah diperankan oleh cicak dan buaya dalam perkaranya. Lembaga pemerintah yang termanifestasi dalam wujud KPK sebagai lembaga anti korupsi tidak bisa berjalan dengan keterbatasannya yang disebabkan oleh manipulasi politik dan kekuasaan. Maka, tim yang independen untuk memberantas korupsi harus segera direvitalisasi agar tidak terjadi lagi pertikaian seperti antara cicak dan buaya di masa yang akan datang.
Read More …

October 16, 2009

Pendidikan Perempuan dan Ekofeminisme

Oleh: Nazhori Author



Asal mula adalah kata, ungkap Subagio Sastrowardoyo dalam sajaknya. Memang kata adalah sarana untuk memahami. Dalam pengertian yang lain kata berarti pemahaman atau konstruksi sosial yang berpengaruh terhadap keberadaan seseorang. Sampai hari ini, asal mula adalah kata, yang dikenalkan penyair tersebut mengundang perdebatan terkait dengan peran sosial-politik kaum perempuan.

Diakui konstruksi sosial dalam masyarakat menempatkan posisi perempuan lebih rendah dari laki-laki baik secara kultural maupun agama. Hal ini memaksa kekuatan perempuan dalam membutuhkan “kata” yang tidak hanya melindungi tapi memberdayakan. Upaya memberdayakan perempuan saat ini sudah mulai terlihat dengan terlibat di bidang pendidikan, sosial dan politik.

Pada dasarnya pendidikan merupakan sarana untuk memberdayakan dan menumbuhkan kesadaran perempuan dalam proses membangun relasi sosialnya. Misalnya persoalan yang sedang aktual adalah wacana keterwakilan perempuan dalam lembaga politik. Sejauh mana perempuan dapat mengakrabi dunia politik di tengah budaya patriarki yang sangat kental.

Hal ini bukan berarti kaum perempuan ingin setara dengan kepemimpinan laki-laki tapi bagaimana perempuan mendapat kesempatan yang sama dengan laki-laki di luar tugas-tugas domestiknya. Di samping itu, sebisa mungkin berusaha untuk merubah paradigma. Dari paradigma lama ke paradigma baru yang menghormati martabat perempuan. Salah satunya adalah meminimalisir kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan.

Oleh karena itu, di sini komitmen perempuan perlu ditelaah kembali. Selebihnya bagaimana mempromosikan komitmen tersebut untuk masa depan perempuan dan demokrasi. Demokrasi yang memihak adalah demokrasi yang tidak menuntun perempuan untuk aktif berjuang di sistem ideologi dan politik, tapi juga sistem lain seperti hukum, ekonomi, sosial, pendidikan dan budaya.

Melibatkan Perempuan
Sejak kuota 30 persen bagi perempuan diproklamasikan pada pemilu legislatif 2004, bersamaan dengan itu juga kesadaran pendidikan politik semakin tumbuh di kalangan perempuan. Meskipun dalam struktur partai politik masih minim tapi akhir-akhir ini sudah ada kecenderungan naik di setiap partai politik. Sehingga ada panorama yang baru dengan tampilnya perempuan di panggung politik.

Atas dasar itu, keterbelakangan dan ketertinggalan perempuan bangkit untuk menyelamatkan perempuan dari kemiskinan. Oleh karena itu, pendidikan bagi perempuan sangat mendesak diberikan untuk merubah cara pandang lama yang sangat menyudutkan perempuan. Seperti perempuan harus di dapur, perempuan tidak pantas menjadi pemimpin dan citra negatif lainnya yang merendahkan perempuan.

Demikian juga interaksi perempuan dan agama yang sering ditafsirkan dengan menggunakan ideologi patriarki. Terutama respon umat Islam terhadap perempuan di masyarakat di satu sisi mengatakan sudah sesuai dengan ajaran Islam di sisi lain masih diskriminatif. Padahal menurut Asma Barlas (2005), pembacaan Al-Qur’an di kalangan muslim yang cenderung patriarki dan misoginis pada dasarnya bukan bersumber dari Al-Qur’an melainkan dari para penafsirnya.

Melibatkan perempuan untuk menghasilkan keputusan di sektor publik mustahil terwujud jika menafikan pendidikan perempuan menyangkut hak, status dan kedudukannya. Dalam perjalanannya usaha itu mendapat kendala karena beragamnya cara pandang tentang gender dan feminisme dengan varian gerakannya pada praktiknya belum dapat membawa perempuan ke situasi yang lebih baik.

Melihat kenyataan itu, akhirnya persoalan mereka beralih sekitar bagaimana perempuan dengan kualitas femininnya dapat merubah dunia melalui perannya sebagai ibu, pengasuh dan pemelihara di dalam keluarga dan dilingkungan sekitarnya. Para feminis ini menamakan dirinya ekofeminis (Ratna Megawangi, 1996 dalam Membincang Feminisme).

Berbeda dengan teori feminis modern yang melihat individu lepas dari pengaruh lingkungannya dan berhak menentukan jalan hidupnya. Menurut Ratna, ekofeminisme adalah teori yang melihat individu secara lebih komprehensif, yaitu sebagai makhluk yang terikat dan berinteraksi dengan lingkungannya. Menariknya bagi Ratna persinggungannya dengan agama lebih kepada aspek spiritual, internal dan substantif.

Ekofeminisme berpandangan bahwa sebelum masuk ke dalam lingkungan sosial yang lebih luas, melibatkan perempuan dalam lingkungan keluarga adalah salah satu bagian dari agendanya. Dalam pembaruan demokrasi sosial keluarga menjadi topik inti dalam politik modern. Mengingat dalam keluarga kesejahteraan, perlindungan dan pendidikan anak merupakan tujuan terpenting. Inilah pentingnya melibatkan perempuan di mana pendidikan dalam keluarga yang melihat perempuan dan pendidikan sebagai kerja pedagogis yang antisipatoris.

Komitmen Perempuan
Dalam kacamata Islam perempuan memiliki komitemen untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik di dalam keluarga dan masyarakat. Di jaman modern ini, perempuan dituntut untuk meneguhkan komitmennya di tengah bercampur baurnya antara jenis kelamin dan jurang sosial. Baik laki-laki dan perempuan adalah agen moral yang memiliki komitmen untuk dapat hidup bersama dengan harmonis.

Perbedaan laki-laki dan perempuan dalam bentuk fisik dan biologisnya merupakan esensi kemanusiaan. Keduanya tetap dihadapan Tuhan akan dinilai dari kualitas keimanannya. Diskriminasi, citra negatif dan kekerasan adalah bagian dari upaya perempuan dan laki-laki mencari jatidiri kemanusiaannya. Pada kenyatannya hal itu semua terjadi dalam kehidupan laki-laki dan perempuan di dunia.

Feminisme sebagai alat analisis sejatinya ingin melihat kembali hak, status dan kedudukan perempuan dalam realitas sosialnya. Dengan melihat sejarah dan kondisi kekinian untuk meraih keadilan dan kesederajatan. Maka dari paparan di atas sesungguhnya komitmen perempuan adalah mendapatkan perlakuan yang adil dan sederajat tanpa diskriminasi dan kekerasan.
Read More …

September 5, 2009

Jihad dan Dilema Pendidikan Agama

Oleh: Nazhori Author



Pasca penyergapan teroris di Temanggung masih menyisakan kepedihan bagi umat Islam. Kelompok-kelompok fundamentalis yang menghiasi wajah teologi Islam dicurigai dan ditengarai berbahaya karena rentan terhadap aksi terorisme. Ketatnya penjagaan rumah kediaman SBY, istana presiden, kedutaan besar, dan hotel berbintang menandakan bahwa bayang-bayang terorisme akan terus menghantui.

Di beberapa pondok pesantren dan tempat kelompok-kelompok fundamentalis beraktivitas misalnya, aparat berwenang begitu intens mengawasi kegiatan-kegiatan keagamaannya. Beberapa dari mereka bahkan tak luput dari operasi yang ekstra ketat. Simbol-simbol Islam menjadi pusat perhatian dan umat Islam menyayangkan peristiwa ini yang sangat menyudutkan agama Islam.

Balada kepedihan yang senantiasa menimpa umat Islam sejak serangan terorisme berhasil meluluhlantakkan menara kembar WTC pada 11 September 2001. Globalisasi terorisme dampaknya singgah di Indonesia yang mayoritas muslim, entah sampai kapan akan berakhir. Di tambah dengan keragaman SARA yang unik dan tumbuh subur di negeri ini menjadi daya tarik tersendiri bagi gerakan teroris.

Aksi terorisme malah menjadi bumerang bagi agama Islam yang mengajarkan jihad kepada umatnya. Selain itu, satu aspek penting yang terkait dengan jihad adalah saat ajaran itu diajarkan dan dipraktikkan dalam sekolah - sekolah yang mengajarkan materi pendidikan agama. Padahal kesungguhan dan motivasi kuat (jihad) tidak bermakna sempit dalam konteks suara jihad melawan ketidakadilan atau penjajahan terhadap Islam. Lebih dalam lagi kata jihad banyak digunakan sebagai panggilan hati untuk mensinergikan sisi rohani dan jasmani setiap muslim di dalam memetik buah sukses ketika beribadah dan ber-mu’amalah.

Pendidikan Agama Meluruskannya
Syahdan, pasca peledakkan bom di hotel JW Marriott dan Ritz Carlton peran media mendapat tempat dihati masyarakat dalam kecepatan menyampaikan informasi kepada masyarakat. Selanjutnya, media kembali mendapat tempat terhormat dalam penyajian berita penggerebekan anggota teroris di Bekasi dan Temanggung, beberapa waktu yang lalu.

Media selain berperan sebagai penyumbang informasi juga berfungsi sebagai media pendidikan dalam mengeksplorasi sumber-sumber informasi. Semangat pedagogis dan spiritual berhasil digugah kepada masyarakat di saat menilai dan menafsirkan aksi terorisme. Dan menariknya, media dengan sangat jeli mendudukan kata jihad di antara masyarakat tontonan dan realitas politik (Faisal Devzi, Landscapes of The Jihad, 2005).

Kajian Devzi di atas sebetulnya menyimpan pelajaran berharga bahwa antara media dan pendidikan agama pasca peristiwa pemboman tersebut memiliki kesempatan emas untuk meluruskan kembali kata jihad yang dibajak oleh gerakan terorisme yang beroperasi di Indonesia. Suara jihad yang diteriakkan oleh terorisme dan pendidikan agama sangat jauh berbeda maknanya bagaikan langit dan bumi.

Sederhananya, para teroris mengajarkan jihad kepada kaum muda sebagai targetnya dengan bahasa kekerasan. Sedangkan pendidikan agama mengajarkan jihad yang bersumber dari ilmu pengetahuan, teknologi dan agama agar tidak menyerah dan pasrah dalam menghadapi ketidakadilan, ketidakmanusiaan bahkan rasa putus asa yang akut. Pendidikan agama menganjurkan kepada umat manusia menjaga ikatan-ikatan kemanusiaan dengan perjuangan serta kesungguhan bukan dengan kebencian dan kekerasan.

Hal ini merupakan dilema pendidikan agama. Mengapa radikalisme, ekstrimisme dan fundamentalisme itu hadir di tengah umat yang bersumber dari agama itu sendiri. Persoalan berat yang harus dijawab oleh pendidikan agama. Sekarang ini bukan hanya globalisasi yang dihadapinya tapi globalisasi budaya dan kekerasan yang dapat muncul sewaktu-waktu.

Lembaga pendidikan atau sekolah mempunyai banyak kesempatan untuk mengembangkan potensinya dalam meluruskan makna jihad kepada generasi muda. Salah satunya dengan menggali dan mencontohkan kisah orang-orang sukses atau kaum muda yang sukses dari hasil dedikasinya. Inilah makna pendidikan yang sesungguhnya yang menyampaikan informasi belajar menjadi orang sukses yang menciptakan pengetahuan dan keterampilan kepada orang lain.

Jihad atau kesungguhan adalah impian setiap orang. Bukan cerita fiksi perjuangan sesat seperti digambarkan Noordin M Top. Jihad berarti membaca masa depan dan tantangannya. Jihad ala terorisme berbeda dengan jihad yang dihadapi rakyat Palestina. Tentu saja juga berbeda dengan makna jihad para peserta didik yang berhasil membawa pulang emas diajang olimpiade internasional.

Sebuah ironi agama yang datang dari kata jihad. Kata jihad sendiri melebihi batas-batas geografis dan politik suatu negara. Seruannya akan terus bergema ke seluruh dunia selama masih ada individu atau kelompok muslim yang mempertahankan kehormatannya. Jakarta dan Bali dua kota saksi bisu tapi bukan kota jihad yang sesungguhnya. Kota jihad yang sesungguhnya adalah kota di mana menampung hidup peradaban manusia dengan ikatan perdamaian.

Selamatkan Generasi Muda
Para ahli berpendapat bahwa kesuksesan gerakan terosis dari tahun ke tahun adalah ketika berhasil merekrut kaum muda dan memperdaya otaknya. Alasannya cukup sederhana karena kaum muda belum memiliki basis keagamaan yang matang. Sehingga mudah dipengaruhi dan diperdaya. Tidak perlu memaksa apalagi mencela keberadaannya.

Senada dengan ekspansi yang digencarkan budaya pop. Hanya saja budaya pop melengkapinya dengan sajian kenikmatan lewat segala bentuk organismenya. Wajar jika dalam tradisi budaya pop ini generasi muda lebih militan dalam bergaul dan berbusana nyentrik. Moralitas dipertaruhkan atas nama tuntutan jaman yang modern.

Dalam masyarakat tontonan, keluguan dan ketertarikan generasi muda adalah nilai plus yang signifikan. Oleh sebab itu, perlu dijaga dan dirawat. Tidak perlu memaksa berikan saja hiburan yang menarik pasti mereka nikmati. Secara jujur ini kenyataan yang ada dan tidak dapat dihindari. Betapa berat beban generasi muda.

Mereka harus menghadapi dua realitas kehidupan yang ada di depan mata. Pertama, generasi muda harus menerima pilihan, hidup dalam budaya dan tradisi masyarakat yang permisif. Kedua, salah satu dari mereka harus rela dibujuk rayu oleh sesat pikir pejuang makna jihad yang tidak bertanggung jawab. Ibarat bom waktu tidak mustahil akan melanda generasi muda lainnya.

Dalam pendidikan agama, kebajikan bukan semata-mata menghindari hal yang buruk dan menerima hal yang baik. Yang perlu dimiliki terutama adalah sikap dan suasana keberagamaan yang peka terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Pendidikan agama seperti ini yang mungkin dapat diterima oleh generasi muda tanpa paksaan serta kata-kata yang menyulitkan.

Jihad sebagai kebajikan harus diajarkan sebaik mungkin secara obyektif tanpa menafikan peran mereka sebagai subyek perubahan sosial. Pendidikan agama seyogyanya memandu perilaku mereka sesuai dengan pemahamannya itu. Sebab kesalahan yang dilakukan generasi muda adalah buah tangan dari generasi tua yang mewariskan pengetahuan kepada generasi muda.

Dengan demikian, belajar berjuang adalah bagian dari kerja keras dan mengamalkan ajaran agama. Baik guru maupun siswa harus ber-jihad melawan kebodohan dan keterbelakangan. Sebagaimana Islam menganjurkan dalam pepatahnya: barang siapa menanam pasti dia akan mengetam. Wallohu ‘alam
Read More …

August 9, 2009

Tekanan Kapitalisme Pendidikan

Oleh: Nazhori Author


Tujuan pembangunan pendidikan adalah terbukanya akses bagi masyarakat untuk memperoleh pendidikan, maka akses yang seluas-luasnya itu juga harus merupakan kesempatan yang mengandung makna pendidikan untuk semua, sehingga pendidikan dapat meningkatkan akal dan budi manusia dan perubahan perilaku kolektif dari suatu bangsa dalam proses mencerdaskan kehidupan bangsa.

Pendidikan tidak seperti benda nyata yang dapat dilihat, diraba, dan diperjualbelikan. Pendidikan adalah bangunan ide kemanusiaan untuk menatap masa depan peradaban suatu bangsa. Banyak kemajuan yang telah dihasilkan dari pendidikan yang manfaatnya dirasakan umat manusia di bidang ekonomi, sosial, politik, budaya, dan teknologi informasi.

Setiap individu menghabiskan waktu untuk pendidikannya di usia produktif. Motivasinya tiada lain untuk kelangsungan dan kehormatan hidup. Berapa pun biayanya pasti akan dikeluarkan untuk jaminan masa depan. Melalui pendidikan manusia yakin bahwa di dunia ini tidak ada yang abadi kecuali perubahan. Untuk menghadapi perubahan yang diperlukan tidak hanya rohani tapi ilmu pengetahuan yang menyirami sisi jasmani manusia.

Ini tidak berarti pendidikan dengan mudah didapat aksesnya. Bagaimanapun masyarakat harus menyesuaikan dengan aturan yang berlaku untuk memperoleh pendidikan. Pendidikan memang tidak gratis meskipun berawal dari niat mulia. Malapetakanya sistem akonomi kredit yang sarat kalkulasi rupiah untuk kebutuhan pembelajaran disalahgunakan oleh para spekulan dan broker (joki) pendidikan agar mendapat keuntungan dari masyarakat yang nota bene sebagai homo educandum.

Misalnya kejadian yang baru-baru ini terjadi di Bandung. Hanya ingin masuk perguruan tinggi ternama seorang calon mahasiswa harus rela mengeluarkan uang dibatas kewajaran akibat bujuk rayu spekulan dan broker pendidikan yang tidak bertanggungjawab. Hasilnya tercium pihak berwenang dan harapannya pun pupus untuk kuliah di perguruan tinggi favorit.

Tidak hanya itu, setiap tahun ajaran baru ditengarai masih ada jua-beli bangku kelas kosong yang menggiurkan. Pendidikan yang dulu diciptakan sebagai lembaga budi meminjam istilah Buya Hamka, kini berubah menjadi alat tukar guna memperlancar mereka yang takut sebelum berperang dalam kompetisi keilmuan. Inilah satu dari sekian wajah kapitalisme pendidikan yang menekan masyarakat.

Malapetaka Pedagogis
Faktor utama menggejalanya kapitalisme pendidikan selain nilai tukar adalah antarkoneksi dan jaringan spekulan pendidikan (network). Dampaknya dalam lapangan pendidikan timbul malapetaka pedagogis. Di antaranya Si miskin gagal melanjutkan sekolah, dalam suasana yang sangat timpang. Situasi ini yang terjadi dalam pendidikan kita.

Nilai ekonomis mempengaruhi pendidikan, sekaligus pendidikan mempengaruhi cara berpikir dan bertindak mencari jalan pintas. Kedua gejala ini nampak jelas mengalami interaksi yang bermain di atas dua kaki yaitu atas nama kemanusiaan dan kualitas pendidikan. Jalur pendidikan mestinya wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi fitrahnya. Tapi dalam banyak hal justeru pendidikan sebagai virus yang ampuh melumpuhkan kemanusiaan itu sendiri.

Kapitalisme pendidikan menurut Francis Wahono (2001) berarti arah pendidikan dibuat sedemikian rupa sehingga pendidikan menjadi pabrik tenaga kerja yang cocok untuk tujuan ekonomi kapitalis tersebut. Kurikulum juga diisi dengan pengetahuan dan keahlian untuk industrialisasi, baik manufaktur maupun agroindustri. Dalam kerangka yang seperti ini, pendidikan dan nilai ekonomis bersatu menciptakan rasionalisasi pendidikan dalam wujudnya yang abstrak.

Masyarakat dihadapkan pada dua pilihan yaitu antara pendidikan sebagai kebutuhan yang substansial dan pendidikan sebagai kompetisi ekonomi. Pilihan pertama tentu saja sebuah pilihan yang didasarkan atas niat mulia yang berusaha untuk membebaskan diri dari kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan. Pilihan kedua bisa jadi sebuah kebutuhan tapi didasari pada keuntungan praktis langsung, karena akan mengangkat martabat dan nilai prestisius bagi yang mampu.

Jika dilihat yang pertama adalah pilihan hidup atas konsep dasar kebutuhan yang disesuaikan dengan tingkat kemampuan ekonomi seseorang dan yang kedua adalah pilihan atas dasar pendidikan kaum elitis yang melihat nilai pendidikan itu diproduksi dan biaya yang ditetapkan sebagai produksi. Maka persoalannya bukan kebutuhan akses pendidikan melainkan sistem nilai dibalik makna dan ilmu pendidikan.

Itulah sebabnya secara praktis dan teoritis mustahil pendidikan diselenggarakan secara gratis dalam suatu negara yang dikendalikan oleh politik ekonomi yang bertumpu pada pasar sebagai akidahnya. Dalam kenyataannya pendidikan kita berada dalam lingkaran ekonomi berbasis kredit ketimbang ekonomi berbasis kerakyataan. Tekanan kapitalisme pendidikan akan terus menghantui generasi muda yang wajib menuntut ilmu sampai ke liang lahat.

Malapetaka yang sama juga terjadi pada out put pendidikan baik yang lulus dari sekolah menengah atas maupun perguruan tinggi. Bukan jawatan yang mencari skill para lulusan tapi sebaliknya. Pada akhirnya menimbulkan inflasi ijazah yang meningkatkan angka pengangguran. Padahal menurut Deputi Bidang Kemiskinan dan Ketenagakerjaan Bappenas di sela Sidang Tahunan Asian Development Bank (ADB) ke-42 di Bali International Convention Center (BICC), Nusa Dua, Bali beberapa waktu yang lalu mengatakan angka pengangguran masih di atas 8 persen (Kompas, 3 Mei 2009).

Berakhirnya Ilmu Pedagogi
Persoalan klasik yang dialami lembaga pendidikan dan sekolah-sekolah adalah kegagalannya mempersiapkan peserta didik menjadi subjek yang berperan dalam lingkungan sosialnya. Sebab mereka lebih dipersiapkan untuk menjadi buruh atau karyawan dari pada persona kreatif. Tidak berlebihan jika pusat ekonomi dunia menuai krisis dan pasar terkena imbasnya peserta didik turut terkena dampaknya. Akibatnya, peserta didik menjadi pasif atau bahkan sebagai subjek manusai secara pedagogis telah mati, karena mereka hanya menjadi “konsumen” bukan “produsen” ilmu pengetahuan (Moeslim Abdurrahman, 2005).

Banyak perusahaan yang gulung tikar sementara ijazah dan gelar yang di sandang jauh dari kualifikasi yang diharapkan jawatan. Kerapkali ijazah tidak mampu menjawab kepentingan pasar. Hal ini dipengaruhi oleh Trans National Corporations (TNCs) yang melebarkan sayapnya dengan strategi mereka mempengaruhi kebijakan negara-negara dunia ketiga untuk melicinkan jalan bagi TNCs untuk beroperasi.

Dalam konteks semacam itu, ekonomi pasar kapitalisme mempengaruhi pendidikan bukan sebaliknya. Kapitalisme pendidikan melahirkan komersialisasi pendidikan yang berimplikasi pada pemerintah untuk melepaskan tanggung jawabnya, dan menyerahkan pendidikan kepada jawatan swasta. Negara menghentikan subsidi kepada rakyat karena hal itu selain bertentangan dengan prinsip ideologi pasar bebas yang tidak ingin ada campur tangan pemerintah.

Kapitalisme pendidikan berpandangan bahwa dunia pendidikan dapat diatur oleh materi dan kurikulum dapat dibentuk sesuai apa yang diinginkan untuk kepentingan pasar dan pemodal. Oleh karena itu, mengimbangi derasnya arus kapitalisme pendidikan perlu dikembangkan dan ditanamkan pendidikan karakter, yaitu filosofi pendidikan yang bertugas menggantikan lembaga pendidikan komersil dengan lembaga budi yang manusiawi. Itu pun menurut keyakinan pedagogis jika kapitalisme pendidikan dapat dianalisa secara kultural dan pedagogis yang tidak menginginkan berakhirnya ilmu pedagogi. Wallohu ‘alam
Read More …

July 1, 2009

Lindungi Anak Anda dengan Norton Onlinefamily

Awas! Bahaya Situs Web Terlarang Mingintai Anak-anak



Oleh: Nazhori Author


Dalam dunia maya berbagai macam jenis informasi mudah didapatkan. Tidak terhitung jumlahnya untuk situs web yang memberikan informasi kepada penikmatnya yang berselancar di dunia maya. Berita-berita aktual dengan mudah dapat diakses. Jagat maya sepertinya memberikan fasilitas menarik bagi setiap orang yang di setiap kesehariannya bergantung pada teknologi informasi. Secara tidak langsung teknologi informasi telah membentuk masyarakat teknokratik yaitu masyarakat serba terknologi dalam kehidupannnya sehari-hari.

Menariknya lagi dunia maya bukan monopoli orang dewasa lagi, anak-anak kini sudah mulai memanfaatkan situs web untuk belajar, mencari teman bahkan bermain ketangkasan. Tapi jangan lupa, bagaimana Anda selaku orang tua melindungi anak Anda dari bahaya situs web yang tidak boleh dikunjungi sang anak. Padahal, selain internet yang disediakan orang tua sebagai fasilitas di rumah, anak tanpa kesulitan dapat mengakses informasi dari warnet yang tidak jauh dari rumah Anda bahkan dari rumah teman sebayanya. Atau fasilitas handphone yang menyediakan fasilitas GPRS.

Harian Koran Tempo (29 Juni 2009) menurunkan berita yang layak untuk diapresiasi yaitu tentang cara melindungi anak di jagat maya. Intisarinya dalam berita itu bahwa saat ini software atau tool untuk memproteksi anak saat menggunakan computer dan internet bukanlah hal baru. Symantec mencoba menawarkan solusi serupa, namun dengan unsur yang tak banyak dimiliki oleh produk lain, yaitu transparansi.

Surat kabar harian itu juga menegaskan jika anak-anak tahu mereka sedang dipantau oleh orang tua seperti diungkapkan Effendi Ibrahim, Internet Safety Advocate dan Norton Business Lead Asia South Region, di Jakarta beberapa waktu yang lalu. Sederhananya, Norton sebagai protector memberikan jalan alternatif dengan memberikan layanan yang bernama OnlineFamily. Sebuah produk keluaran Norton itu bisa diunduh dari situs http://onlinefamily.norton.com. Tool ini tersedia gratis hingga 1 Januari 2010 (Koran tempo, 29 Juni 2009).

Sistem ini akan melindungi anak-anak dari situs web terlarang. Adapun cara kerjanya adalah dengan memantau situs apa saja yang dapat diakses oleh anak saban hari dan membuat statistiknya, demikian diberitakan harian Koran Tempo. Pada tool bar di layar akan ada ikon yang memberi tanda bahwa orang tua sedang mengawasi mereka.

Andaikan si anak penasaran dan merangsang rasa ingin tahunya sistem itu juga akan menampilkan tampilan yang lucu yang mengajak anak untuk memilih pilihan dan membantu anak keluar dari situs web terlarang. Tapi, jika anak itu terlanjur mengeksesnya sistem itu juga akan memberikan pilihan yang membawa si anak mengirimkan pemberitahuan kepada orang tua. Secara otomatis sistem akan menotifikasi orang tua melalui email.

Oleh karena itu, melalui informasi ini diharapkan orang tua tidak risau akan anak-anak mereka yang gemar berselancar di jagad maya. Dan, bukan berarti orang tua lepas tangan begitu saja, tetap yang namanya celah pasti akan selalu dicari sebaik apa pun teknologi itu dirancang. Dan bahaya situs terlarang bagi anak secara tidak sadar akan terus hadir dan mengintai para penikmatnya, tidak terkecuali anak-anak yang sebelumnya tidak tahu sama sekali akan hal itu.

Produsen situs terlarang dari waktu ke waktu akan terus berinovasi seiring dengan tumbuh suburnya teknologi informasi secara kreatif. Artinya semakin kreatif dan variatif teknologi informasi sejalan itu pula situs terlarang berganti wajah dengan kreatif dan mengambil keuntungan besar melalui ekspansinya di dunia maya. Mereka akan mengembangkan ekonomi kreatif dalam dunia informasi yang penuh paradoks, kecabulan, dan tak terpikirkan sebelumnya.

Bagaimanapun teknologi informasi diciptakan, sudah pasti ada sisi lebih dan kekurangan. Sebab, pada dasarnya sesuatu itu dirancang untuk kebaikan dan sumber belajar yang inovatif. Keputusan ada di tangan Anda. Tidak melulu menghabiskan waktu untuk bekerja sedangkan buah hati kita membutuhkan perhatian dan kasih sayang. Wallohu ‘alam
Read More …

May 21, 2009

Anak, itulah sosok manusia yang banyak didefinisikan dan ditafsirkan lewat usia dan tingkah lakunya. Lewat potensinya anak bisa dikaji bahkan disalahgunakan (neglected). Kepolosannya, keluguannya dan ketidaktahuannya seringkali dimanfaatkan oleh orang dewasa yang tidak bertanggungjawab. Bahkan, anak di jaman globalisasi ini menjadi objek pasar yang menggiurkan. Tidak hanya di dunia hiburan, di dunia yang keras sekalipun dapat kita temui.

Fatwa MUI, tentang haramnya rokok adalah langkah terobosan yang patut diacungi jempol. Tapi sayang, MUI tidak menindaklanjuti bahaya rokok bagi anak-anak. Iklan rokok semakin hari semakin dekat dengan anak. Sayang seribu sayang MUI tidak mengharamkan anak-anak yang berkeliaran di sudut-sudut jalan, lampu merah, pasar, terminal, pelabuhan, stasiun. Padahal keputusan Mendiknas tentang WAJAR (wajib belajar) adalah keniscayaan masa depan yang harus diselamatkan.

Kalau dulu ada lagu anak-anak yang enak dan mudah didengar, sekarang sudah tidak ada lagi. Industri musik anak-anak sepertinya sudah mati dan tidak akan hidup lagi. Anak-anak malah lebih suka menyanyikan lagu orang dewasa. Industri hiburan sepertinya jauh dari anak-anak. Bagaimana dengan anak Anda dan masa depannya?


Anak-anak Belajar dari Kehidupan

Jika anak hidup dengan kritikan, ia akan belajar untuk mengutuk

Jika anak hidup dengan kekerasan, ia akan belajar untuk melawan

Jika anak hidup dengan ejekan, ia akan belajar untuk menjadi pemalu

Jika anak hidup dengan dipermalukan, ia akan belajar merasa bersalah

Jika anak hidup dengan toleransi, ia akan belajar bersabar

Jika anak hidup dengan dorongan, ia akan belajar percaya diri

Jika anak hidup dengan pujian, ia akan belajar menghargai

Jika anak hidup dengan tindakan jujur, ia akan belajar tentang keadilan

Jika anak hidup dengan rasa aman, ia akan belajar mempercayai

Jika anak hidup dengan persetujuan, ia akan belajar untuk menghargai dirinya

Jika anak hidup dengan cinta dan persahabatan,

ia akan belajar untuk menemukan cinta di muka bumi ini.

Terjemahan bebas dari:
“CHILDREN LEARN WHAT THEY LIFE”
oleh Dorothy Law Notle

Read More …

May 17, 2009


Revolusi Belajar untuk Si Raja Kecil

Oleh: Nazhori Author



Gelisah, itulah yang dialami sebagian orang tua ketika melihat anaknya yang merasakan ruang kelas pertama (baca: sekolah) di TK belum bisa membaca dan menulis seperti anak seusianya. Orang tua juga risau ketika melihat anak tetangga yang sebaya dengan anaknya mahir bermain puzzle di komputer. Orang tua sibuk bertanya-tanya kepada tetangganya mengapa bisa seperti itu. Sekolah di mana anaknya, Bu?

Berbicara pendidikan anak usia dini amat menarik. Terlebih ketika Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) dengan tegas menjelaskan dalam Bab IV bahwa jalur, jenjang dan jenis pendidikan Pasal 28 Bagian 7, ayat 3 mengatakan pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar. Selanjutnya dalam ayat 4 dijelaskan bahwa pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan/atau informal.

Melalui UUSPN tersebut dapat diketahui dua kata kunci yaitu usia dini dan pendidikan sebagai pusat perhatian. Mengapa di usia dini seorang anak membutuhkan pendidikan? Pendidikan seperti apa yang tepat untuk anak usia dini?

Dirancangnya UUSPN tentang pendidikan anak usia dini tersebut sangat beralasan. Karena pemerintah ingin menuntaskan program wajib belajar (WAJAR) 9 tahun dan pemberantasan buta aksara. Oleh karena itu, pendidikan anak usia dini merupakan pilar utama sebelum menuntaskan program WAJAR dan pemberantasan buta aksara.

Usia dini merupakan masa kritis dalam tumbuh kembang anak. Para ahli psikologi anak menyebutnya dengan golden age. Anak bukan orang dewasa mini. Anak tetap anak yang memiliki karakteristiknya sendiri yaitu suka bermain, demikian Kak Seto mematahkan tesis pernyataan tersebut. Orang dewasalah yang wajib memenuhi kebutuhan pendidikan anak sesuai dengan kebutuhannya.

Belajar dalam suasana yang menyenangkan, misalnya, telah dilakukan oleh Bimbingan Minat Baca dan Belajar Anak (BIMBA AIUEO) yang diprakarsai oleh Yayasan Pengembangan Anak Indonesia (YPAI). Sejak berdirinya tanggal 3 Desember 1996 yayasan yang peduli pada perkembangan anak usia dini ini menciptakan suatu metode untuk melatih dan mengembangkan minat baca dan belajar anak secara intrinsik khususnya untuk anak usia 3-6 tahun yang digagas oleh Ir. Bambang Suyanto sekaligus pendiri YPAI. Kantor Pengelola Unit BIMBA AIUEO terletak di Jln. Cempaka Raya No. 10 Kecamatan Cempaka Putih, Jakarta Pusat.

Menurut Narno Prasetyo, berkembangnya BIMBA AIUEO sampai sekarang tidak terlepas dari peran yayasan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya kualitas pendidikan bagi usia dini. Saat itulah Ir. Bambang Suyanto dengan penelitian pendidikannya meramu konsep revolusi belajar dengan manajemen pendidikan ala BIMBA AIUEO.

Meretas Visi dan Misi
Melalui konsep revolusi belajar tersebut lahirlah visi dan misi BIMBA AIUEO. Visinya menjadikan anak memiliki minat baca dan belajar secara intrinsik agar dapat memperkecil pengaruh lingkungan yang kurang edukatif seperti terlalu banyak nonton televisi, bermain Play Station dan sebagainya, sehingga anak akan lebih rajin dalam belajar dan pada gilirannya menjadi anak yang berprestasi dan penuh percaya diri.

Sedangkan misinya membimbing dan melatih anak yang berorientasi pada afeksi anak melalui cara bermain dengan permainan huruf-huruf dan angka-angka secara individual sesuai dengan tahap perkembangan anak. Visi dan misi inilah yang menjadi landasan tujuan utama BIMBA AIUEO yaitu untuk membentuk anak Indonesia yang berkualitas, yaitu anak yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan tingkat perkembangannya sehingga memiliki kesiapan yang optimal di dalam memasuki pendidikan dasar serta mengarungi kehidupan di masa dewasa, demikian Ketua Pengelola Unit ini menjabarkan.

Manajemen Pendidikan
Dalam proses belajar mengajar manajemen pendidikan ibarat pondasi dalam bangunan pendidikan. Mengingat begitu penting, manjemen pendidikan berperan sebagai pengawal konsep dasar BIMBA AIUEO yang memberikan terobosan secara revolusioner cara belajar yang efektif. Manajemen pendidikan di BIMBA AIUEO harus tidak harus memberikan efek sosial agar semua stake holders yaitu orang tua, anak, investor dan masyarakat pada umumnya yang terlibat puas akan kualitasnya.

Dilihat dari sisi manajemen pendidikan, Narno Prasetyo mengungkapkan bahwa anak adalah subyek belajar yang harus dihargai dan dihormati. Subyek belajar yang suka bermain. Sehingga dengan bermain minat membaca anak dapat ditumbuhkan sesuai dengan kebutuhannya. Narno Prasetyo mengatakan anak adalah raja kecil. Sifat raja itu harus dipenuhi. Maka tidak perlu melakukan kekerasan dan pemaksaan kepada anak untuk belajar. Ranah afektif anak harus ditumbuhkan mengingat IQ-nya belum siap untuk dicekoki beragam ilmu pengetahuan.

Guru sebagai bagian dari sistem manajemen pendidikan di BIMBA AIUEO, mengajar hanya 2 murid. Kemudian setelah dihasilkan variasi belajar anak ditingkatkan menjadi maksimal 3 murid. Hal ini dilakukan agar interaksi belajar mengajar dapat berjalan dengan baik. Narno Prasetyo mengakui bahwa sebagai akibat manajemen yang diterapkan ini jumlah murid dari 27 unit yang ada rata-rata jumlahnya per unit 50 murid yang berkembang pesat selama satu tahun terakhir. Bahkan mitra kerjasama BIMBA AIUEO mengharapkan 80 murid per unit.

Di samping itu, manajemen pendidikan juga berlaku bagi para investor di BIMBA AIUEO. Investor sebagai mitra kerja yang menyediakan sarana dan prasarana dalam proses belajar dan mengajar tidak melulu bersikap profit oriented tapi bagaimana memberikan kualitas terbaik sehingga orang tua dan masyarakat puas sehingga timbul kepercayaan, tutur Narno Prasetyo. Invstor dalam hal ini bisa pemilik tempat tapi tidak memiliki biaya, memiliki tempat dan biaya serta memiliki biaya tapi tidak memiliki tempat. Oleh karena itu, investor ada jaminan minimum pendapatan dan pengembalian investasi secara penuh, tandasnya.

Keistimewaan dan Jaminan
Bimba AIUEO dirancang untuk anak usia pra-sekolah 3-6 tahun, maka metode bimbingan, pengajaran, dan latihan bertujuan agar anak memiliki minat baca dan belajar secara intrinsik. Karena berbeda dengan TK, BIMBA AIUEO memiliki konsep dasar metode Minat Baca dan Belajar Anak (MBA)-AIUEO diantaranya pertama, gabungan fun learning, individual dan small step system. Kedua, kombinasi kemauan dan kemampuan anak, yang ketiga variasi aspek kognitif, afektif dan psikomotorik secara persuasif dan individual.

Fun Learning yang dimaksud di sini adalah proses kegiatan dalam kelas, baik anak didik dan guru selalu dalam suasana yang 100 persen menyenangkan, tidak ada sesaat pun pemaksaan terhadap anak. Jadi proses belajar mengajar berpusat pada anak (child centered), paparnya.

Sedangkan individual system adalah pembelajaran diberikan secara individual bukan klasikal sehingga anak murid sebagai subyek belajar bukan sebagai obyek belajar, modulnya pun diberikan khusus sistem pembelajaran dengan menggunakan sistem individudi di mana setiap anak belajar sesuai dengan kemampuan dan kemauan masing-masing dan dibimbing agar mempunyai kemandirian dalam belajar.

Untuk small step system mengandung pengertian bahwa sistem pembelajaran dengan menggunakan metode (step by step) dengan modul sebagai sarana dalam pembelajaran. Setiap tahapan belajar diberikan dengan bertahap sedikit demi sedikit sampai anak tersebut menguasai sehingga anak akan mudah menjalani proses belajar sampai anak mampu ke tingkat selanjutnya.
Tahapan proses belajar BIMBA AIUEO berdasarkan gagasan Ir. Bambang Suyanto ada 4 level yang terdiri dari Level I (baca kata sederhana), Level II (membaca paragraf). Level III (menulis dan membuat kalimat) dan Level IV (membuat karangan), tegas Narno prasetyo.

Inilah keistimewaan BIMBA AIUEO, jadi anak dalam belajar tidak harus dibantu di rumah. Karena anak sudah ditumbuhkan minat bacanya secara mandiri, kata Narno Prasetyo. Selain itu, BIMBA AIUEO memberikan surat jaminan bisa membaca kata-kata sederhana untuk anak usia 3 tahun 0 bulan yang telah mengikuti 72 jam kegiatan di kelas. Bila dalam jangka waktu tersebut belum tercapai, maka anak aka mendapat bimbingan secara intensif, privat dan gratis.

Setidaknya, kehadiran BIMBA AIUEO untuk memberikan alternatif pilihan kepada orang tua terhadap situasi pembelajaran yang dianggap membosankan, melelahkan dan amat mendoktrin serta cenderung identik dengan kewajiban belajar. Apalagi dengan belajar yang gaya penyampaian gurunya cenderung menakutkan membuat anak menjadi stress.

BIMBA AIUEO amat berbeda dengan TK dan lembaga pendidikan pra-sekolah lainnya. Perbedaannya bisa dilihat dari segi metode. Di samping itu, BIMBA AIUEO sangat mengedepankan proses bukan hasil, katanya dengan nada mantap. BIMBA AIUEO saat ini memiliki cabang di Jabodetabek, Bandung, Semarang, Surabaya dan Batam, ujarnya.

Sebagai tanggung jawab sosial, BIMBA AIUEO mewajibkan kepada setiap unit untuk menerima 4 murid yang tidak mampu plus beasiswa dalam bentuk potongan biaya pendidikan 50 persen, manajemen seperti ini dilakukan untuk subsidi silang, demikian Narno Prasetyo mengungkapkan.

Anda tertarik dengan model pembejalaran BIMBA AIUEO kami senang dan mengucapkan terima kasih jika Anda ikut menjadi mitra kami dengan semangat revolusi belajar yang kami suguhkan . Silahkan hubungi kami di nomor: (021) 9904610 d/a: Jl. Cempaka Raya No. 10 Rt. 04/09, Cempaka Putih Barat.
Read More …