February 28, 2010

Pendidikan Berbasis Peristiwa

Pendidikan Berbasis Peristiwa





Siapa bertanggung jawab jika lagi-lagi angkara pemuda sebagai generasi yang punya potensi terjebak pada tindakan kekerasan. Memang tak sepenuhya generasi muda kita terlibat tradisi memilukan itu. Tapi gerangan apa dibalik maraknya tindakan anarkis yang melibatkan suporter bola asal Surabaya atau terkenal dengan julukan ”Bonek” itu bertindak nekat pada momentum pertandingan sepak bola antara Persebaya kontra Persib, di Bandung, Jawa Barat, kemarin.

Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan tersebut dibalik kondisi sosial yang pada kenyataannya bahwa fanatisme akut memicu angkara yang memancing sebagian masyarakat untuk terlibat juga dalam lingkaran kekerasan sebagai wujud amarah dan kekecewaan yang tak terbendung. Di samping karena teramat banyak faktor penyebab, persoalan yang sama dan belakangan ini muncul juga terlihat amat dilematis.

Sungguh menyedihkan apa yang telah diperlihatkan oleh Bonek pascaperistiwa perjalanannya ke Bandung untuk menyaksikan tim kesayangannya bertanding. Dalam situasi lain, peristiwa kekerasan tidak hanya menimpa generasi muda, para orang dewasa pun tidak dapat menghindar dari gangguan psikologis itu yang semakin menandakan tindakan kekerasan benar-benar ada di sekitar kita. Misalnya, kejadian yang menimpa anak-anak tak berdosa saat Baikuni alias Babe, yang menurut displin ilmu psikologi terjangkit persoalan kejiwaan yang mulai meradang dalam format kelainan seksual.

Menelusuri jejak masyarakat yang sakit ini, tepatnya di abad 21 rangkaian-rangkaian peristiwa memperihatinkan semakin tak terbilang. Entah berapa jumlah yang diketahui secara pasti dan meminta banyak korban karenanya. Namun, diperkirakan peristiwa ini akan terus berlanjut seiring dengan transformasi dalam masyarakat. Dengan sendirinya, menurut Frans Magnis masyarakat menciptakan disoreintasi, dislokasi, disfungsionalisasi, yang terasa sebagai ancaman ekonomis, psikologis dan politis (dalam Melawan Kekerasan Tanpa Kekerasan, 2000).

Membaca Peristiwa
Meminjam pendekatan pedagogis fenomena tersebut secara tidak langsung mengingatkan kita pada teori belajar yang lebih menekankan peranan situasi dan lingkungan sebagai sumber penyebab tingkah laku. Lebih khsusus lagi, teori ini membedah tingkah laku sosial dalam istilah “asosiasi yang dipelajari” antara stimulus dan respon (Dayakisni dan Hudaniah, Psikologi Sosial: 2006). Sementara itu, lewat displin psikologi pendidikan dalam konteks sosial insting dan dorongan yang seharusnya digunakan pada hal positif mengalami disfungsi sehingga yang terjadi semangat “bertempur” menghiasi peristiwa tersebut.

Meski insting sebagai dorongan fitrah biologis manusia membantu untuk berbuat baik, dalam kondisi yang lain bisa berubah menjadi daya ingat personal dan sosial yang dipengaruhi oleh imitasi, tidak sabar, tergesa-gesa, mudah tersinggung serta memacu kemarahan. Hal itu, diperkuat oleh pengalaman belajar individu yang diperoleh dari peristiwa-peristiwa lain yang menyertainya dalam kehidupan sosial manusia.

Dalam membaca peristiwa, setidaknya ada dua hal yang sangat penting dan menjadi ukuran apakah suatu peristiwa sebagai bagian dari proses pendidikan diluar jalur formal dan informal dinilai berhasil menjadi pengalaman belajar yang kritis. Pertama, sejauh mana peristiwa itu memiliki peran sosial di masyarakat dalam menuntun pengalaman belajarnya. Kedua, apakah peristiwa sebagai proses belajar membantu memberikan sumbangsih terhadap reproduksi sosial dan budaya yang dibutuhkan masyarakat.

Sekarang ini, hampir bisa dipastikan bahwa peristiwa belum bisa dijadikan sebagai pengalaman belajar sepenuhnya bagi masyarakat. Peristiwa hanya dijadikan sebagai sebuah wacana atau informasi yang lewat sambil lalu. Akibatnya, peristiwa-peristiwa yang muncul baru-baru ini dan menimbulkan kerugian bagi masyarakat tidak dapat diantisipasi padahal pernah terjadi sebelumnya. Faktanya, bisa dilihat dalam bidang politik dan ekonomi saat ini yang persoalannya belum bisa diselesaikan oleh para pemimpin kita. Karena peran sosial peristiwa dilupakan sebagai sumber belajar yang berharga.

Bahkan, peristiwa sebagai gejala perubahan sosial itu sendiri secara tidak langsung ikut mengubah kondisi sosial dan budaya masyarakat, namun kenyataannya peristiwa itu tidak bisa dijadikan sebagai perangkat untuk mengubah kebiasaan-kebiasaan masa lalu yang tidak sesuai dengan tuntutan baru. Wajar jika kasus korupsi, penegakan hukum, kekerasan, pengangguran, peningkatan kualitas pendidikan dan persoalan lain yang dihadapi bangsa ini terasa sulit untuk dipecahkan.

Seperti diketahui, dalam lapangan pendidikan, peristiwa belum beranjak dari sebuah proses cerita apa. Peristiwa belum bisa dibaca dan dibedah melalui sudut pandang lain yang menekankan aspek mengapa bisa terjadi, tahun berapa kejadiannya, siapa pelakunya, di mana dan kapan kejadiannya (5W+1H). Akhirnya, hanya sebuah dongeng yang diceritakan pada masa lalu tanpa memberikan pengaruh psikologis-pedagogis kepada peserta didik.

Sejatinya peristiwa dalam lapangan pendidikan bisa berkaca dari konsep perubahan yang dikemukakan oleh Rhenald Kasali (2005) seorang pakar manajemen perubahan dalam bisnis. Menurutnya, tidak ada kata lain dalam ilmu manajemen atau praktek bisnis yang begitu magis dan misterius selain kata perubahan (change). Ia bahkan dianggap sebagai sesuatu yang paling abadi di atas dunia ini. Kadang ia melekat pada diri seseorang dan bekerja begitu kuat. Getarannya dirasakan sampai ke urat-urat nadi, dan begitu ia berjalan di samping kita, seakan dunia bergetar.

Membaca peristiwa meminjam ungkapan Rhenald di atas dalam konteks perubahan sesunguhnya yang perlu dicatat adalah telaah sosiologis yang bisa digunakan untuk menilai peristiwa apapun dalam hidup ini. Sehingga kita bisa merajut persoalan yang mendasari peristiwa dalam sebuah pengalaman belajar yang sama tentang upaya mencari solusi. Mengingat peristiwa begitu dekat dengan keseharian kita dan sulit diprediksi sebagai proses perubahan sosial.

Dengan demikian matarantai persoalan sosial dan kejiwaan yang merasuk dalam bidang sosial, politik, ekonomi, budaya, pendidikan, hukum dan keamanan yang sejauh ini dipercaya mengendalikan dorongan “kenakalan” sosial perlu mendapat tempat yang layak untuk dikaji secara kritis. Sebab, peristiwa yang membawa wabah penyakit masyarakat harus diwaspadai sebagai bahaya laten yang bakal memengaruhi kepribadian generasi muda.

Berbasis Peristiwa
Tanpa mengesampingkan uraian tersebut, adanya krisis identitas yang dibawa suatu peristiwa dalam perspektif pedagogis seyogianya menjadi pilihan yang cukup dominan untuk bercermin dan menentukan akar persoalan yang dihadapi. Kendati peristiwa terkadang terjadi sangat personal tapi jika mengusik tatanan sosial akan menjadi varian-varian perilaku dalam frame sosial yang lebih luas.

Oleh karena itu, kita menyadari bahwa berdasarkan peristiwa-peristiwa yang sudah terjadi dan baru saja terjadi menimpa bangsa ini, hendaknya pendidikan memainkan peran yang sangat penting bagi kepentingan pembentukan watak, karakter, dan perilaku baik bagi kalangan generasi anak-anak dan remaja. Sehingga penggalian metode belajar berbasis peristiwa adalah suatu keniscayaan yang perlu digagas sebagai transmisi pengetahuan.

Dan yang harus dirumuskan terlebih dahulu ke depannya adalah filosofi dan konsep perubahan sosial yang mengiringi suatu peristiwa yang pada akhirnya menjadi kajian menarik bagi generasi muda untuk memenuhi harapan-harapannya setelah keterpurukan dan kegagalan berperan sebagai motivasinya. Wallohu ‘alam

0 comments:

Post a Comment

Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?