September 5, 2009

Jihad dan Dilema Pendidikan Agama

Oleh: Nazhori Author



Pasca penyergapan teroris di Temanggung masih menyisakan kepedihan bagi umat Islam. Kelompok-kelompok fundamentalis yang menghiasi wajah teologi Islam dicurigai dan ditengarai berbahaya karena rentan terhadap aksi terorisme. Ketatnya penjagaan rumah kediaman SBY, istana presiden, kedutaan besar, dan hotel berbintang menandakan bahwa bayang-bayang terorisme akan terus menghantui.

Di beberapa pondok pesantren dan tempat kelompok-kelompok fundamentalis beraktivitas misalnya, aparat berwenang begitu intens mengawasi kegiatan-kegiatan keagamaannya. Beberapa dari mereka bahkan tak luput dari operasi yang ekstra ketat. Simbol-simbol Islam menjadi pusat perhatian dan umat Islam menyayangkan peristiwa ini yang sangat menyudutkan agama Islam.

Balada kepedihan yang senantiasa menimpa umat Islam sejak serangan terorisme berhasil meluluhlantakkan menara kembar WTC pada 11 September 2001. Globalisasi terorisme dampaknya singgah di Indonesia yang mayoritas muslim, entah sampai kapan akan berakhir. Di tambah dengan keragaman SARA yang unik dan tumbuh subur di negeri ini menjadi daya tarik tersendiri bagi gerakan teroris.

Aksi terorisme malah menjadi bumerang bagi agama Islam yang mengajarkan jihad kepada umatnya. Selain itu, satu aspek penting yang terkait dengan jihad adalah saat ajaran itu diajarkan dan dipraktikkan dalam sekolah - sekolah yang mengajarkan materi pendidikan agama. Padahal kesungguhan dan motivasi kuat (jihad) tidak bermakna sempit dalam konteks suara jihad melawan ketidakadilan atau penjajahan terhadap Islam. Lebih dalam lagi kata jihad banyak digunakan sebagai panggilan hati untuk mensinergikan sisi rohani dan jasmani setiap muslim di dalam memetik buah sukses ketika beribadah dan ber-mu’amalah.

Pendidikan Agama Meluruskannya
Syahdan, pasca peledakkan bom di hotel JW Marriott dan Ritz Carlton peran media mendapat tempat dihati masyarakat dalam kecepatan menyampaikan informasi kepada masyarakat. Selanjutnya, media kembali mendapat tempat terhormat dalam penyajian berita penggerebekan anggota teroris di Bekasi dan Temanggung, beberapa waktu yang lalu.

Media selain berperan sebagai penyumbang informasi juga berfungsi sebagai media pendidikan dalam mengeksplorasi sumber-sumber informasi. Semangat pedagogis dan spiritual berhasil digugah kepada masyarakat di saat menilai dan menafsirkan aksi terorisme. Dan menariknya, media dengan sangat jeli mendudukan kata jihad di antara masyarakat tontonan dan realitas politik (Faisal Devzi, Landscapes of The Jihad, 2005).

Kajian Devzi di atas sebetulnya menyimpan pelajaran berharga bahwa antara media dan pendidikan agama pasca peristiwa pemboman tersebut memiliki kesempatan emas untuk meluruskan kembali kata jihad yang dibajak oleh gerakan terorisme yang beroperasi di Indonesia. Suara jihad yang diteriakkan oleh terorisme dan pendidikan agama sangat jauh berbeda maknanya bagaikan langit dan bumi.

Sederhananya, para teroris mengajarkan jihad kepada kaum muda sebagai targetnya dengan bahasa kekerasan. Sedangkan pendidikan agama mengajarkan jihad yang bersumber dari ilmu pengetahuan, teknologi dan agama agar tidak menyerah dan pasrah dalam menghadapi ketidakadilan, ketidakmanusiaan bahkan rasa putus asa yang akut. Pendidikan agama menganjurkan kepada umat manusia menjaga ikatan-ikatan kemanusiaan dengan perjuangan serta kesungguhan bukan dengan kebencian dan kekerasan.

Hal ini merupakan dilema pendidikan agama. Mengapa radikalisme, ekstrimisme dan fundamentalisme itu hadir di tengah umat yang bersumber dari agama itu sendiri. Persoalan berat yang harus dijawab oleh pendidikan agama. Sekarang ini bukan hanya globalisasi yang dihadapinya tapi globalisasi budaya dan kekerasan yang dapat muncul sewaktu-waktu.

Lembaga pendidikan atau sekolah mempunyai banyak kesempatan untuk mengembangkan potensinya dalam meluruskan makna jihad kepada generasi muda. Salah satunya dengan menggali dan mencontohkan kisah orang-orang sukses atau kaum muda yang sukses dari hasil dedikasinya. Inilah makna pendidikan yang sesungguhnya yang menyampaikan informasi belajar menjadi orang sukses yang menciptakan pengetahuan dan keterampilan kepada orang lain.

Jihad atau kesungguhan adalah impian setiap orang. Bukan cerita fiksi perjuangan sesat seperti digambarkan Noordin M Top. Jihad berarti membaca masa depan dan tantangannya. Jihad ala terorisme berbeda dengan jihad yang dihadapi rakyat Palestina. Tentu saja juga berbeda dengan makna jihad para peserta didik yang berhasil membawa pulang emas diajang olimpiade internasional.

Sebuah ironi agama yang datang dari kata jihad. Kata jihad sendiri melebihi batas-batas geografis dan politik suatu negara. Seruannya akan terus bergema ke seluruh dunia selama masih ada individu atau kelompok muslim yang mempertahankan kehormatannya. Jakarta dan Bali dua kota saksi bisu tapi bukan kota jihad yang sesungguhnya. Kota jihad yang sesungguhnya adalah kota di mana menampung hidup peradaban manusia dengan ikatan perdamaian.

Selamatkan Generasi Muda
Para ahli berpendapat bahwa kesuksesan gerakan terosis dari tahun ke tahun adalah ketika berhasil merekrut kaum muda dan memperdaya otaknya. Alasannya cukup sederhana karena kaum muda belum memiliki basis keagamaan yang matang. Sehingga mudah dipengaruhi dan diperdaya. Tidak perlu memaksa apalagi mencela keberadaannya.

Senada dengan ekspansi yang digencarkan budaya pop. Hanya saja budaya pop melengkapinya dengan sajian kenikmatan lewat segala bentuk organismenya. Wajar jika dalam tradisi budaya pop ini generasi muda lebih militan dalam bergaul dan berbusana nyentrik. Moralitas dipertaruhkan atas nama tuntutan jaman yang modern.

Dalam masyarakat tontonan, keluguan dan ketertarikan generasi muda adalah nilai plus yang signifikan. Oleh sebab itu, perlu dijaga dan dirawat. Tidak perlu memaksa berikan saja hiburan yang menarik pasti mereka nikmati. Secara jujur ini kenyataan yang ada dan tidak dapat dihindari. Betapa berat beban generasi muda.

Mereka harus menghadapi dua realitas kehidupan yang ada di depan mata. Pertama, generasi muda harus menerima pilihan, hidup dalam budaya dan tradisi masyarakat yang permisif. Kedua, salah satu dari mereka harus rela dibujuk rayu oleh sesat pikir pejuang makna jihad yang tidak bertanggung jawab. Ibarat bom waktu tidak mustahil akan melanda generasi muda lainnya.

Dalam pendidikan agama, kebajikan bukan semata-mata menghindari hal yang buruk dan menerima hal yang baik. Yang perlu dimiliki terutama adalah sikap dan suasana keberagamaan yang peka terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Pendidikan agama seperti ini yang mungkin dapat diterima oleh generasi muda tanpa paksaan serta kata-kata yang menyulitkan.

Jihad sebagai kebajikan harus diajarkan sebaik mungkin secara obyektif tanpa menafikan peran mereka sebagai subyek perubahan sosial. Pendidikan agama seyogyanya memandu perilaku mereka sesuai dengan pemahamannya itu. Sebab kesalahan yang dilakukan generasi muda adalah buah tangan dari generasi tua yang mewariskan pengetahuan kepada generasi muda.

Dengan demikian, belajar berjuang adalah bagian dari kerja keras dan mengamalkan ajaran agama. Baik guru maupun siswa harus ber-jihad melawan kebodohan dan keterbelakangan. Sebagaimana Islam menganjurkan dalam pepatahnya: barang siapa menanam pasti dia akan mengetam. Wallohu ‘alam

0 comments:

Post a Comment

Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?