August 9, 2009

Tekanan Kapitalisme Pendidikan

Oleh: Nazhori Author


Tujuan pembangunan pendidikan adalah terbukanya akses bagi masyarakat untuk memperoleh pendidikan, maka akses yang seluas-luasnya itu juga harus merupakan kesempatan yang mengandung makna pendidikan untuk semua, sehingga pendidikan dapat meningkatkan akal dan budi manusia dan perubahan perilaku kolektif dari suatu bangsa dalam proses mencerdaskan kehidupan bangsa.

Pendidikan tidak seperti benda nyata yang dapat dilihat, diraba, dan diperjualbelikan. Pendidikan adalah bangunan ide kemanusiaan untuk menatap masa depan peradaban suatu bangsa. Banyak kemajuan yang telah dihasilkan dari pendidikan yang manfaatnya dirasakan umat manusia di bidang ekonomi, sosial, politik, budaya, dan teknologi informasi.

Setiap individu menghabiskan waktu untuk pendidikannya di usia produktif. Motivasinya tiada lain untuk kelangsungan dan kehormatan hidup. Berapa pun biayanya pasti akan dikeluarkan untuk jaminan masa depan. Melalui pendidikan manusia yakin bahwa di dunia ini tidak ada yang abadi kecuali perubahan. Untuk menghadapi perubahan yang diperlukan tidak hanya rohani tapi ilmu pengetahuan yang menyirami sisi jasmani manusia.

Ini tidak berarti pendidikan dengan mudah didapat aksesnya. Bagaimanapun masyarakat harus menyesuaikan dengan aturan yang berlaku untuk memperoleh pendidikan. Pendidikan memang tidak gratis meskipun berawal dari niat mulia. Malapetakanya sistem akonomi kredit yang sarat kalkulasi rupiah untuk kebutuhan pembelajaran disalahgunakan oleh para spekulan dan broker (joki) pendidikan agar mendapat keuntungan dari masyarakat yang nota bene sebagai homo educandum.

Misalnya kejadian yang baru-baru ini terjadi di Bandung. Hanya ingin masuk perguruan tinggi ternama seorang calon mahasiswa harus rela mengeluarkan uang dibatas kewajaran akibat bujuk rayu spekulan dan broker pendidikan yang tidak bertanggungjawab. Hasilnya tercium pihak berwenang dan harapannya pun pupus untuk kuliah di perguruan tinggi favorit.

Tidak hanya itu, setiap tahun ajaran baru ditengarai masih ada jua-beli bangku kelas kosong yang menggiurkan. Pendidikan yang dulu diciptakan sebagai lembaga budi meminjam istilah Buya Hamka, kini berubah menjadi alat tukar guna memperlancar mereka yang takut sebelum berperang dalam kompetisi keilmuan. Inilah satu dari sekian wajah kapitalisme pendidikan yang menekan masyarakat.

Malapetaka Pedagogis
Faktor utama menggejalanya kapitalisme pendidikan selain nilai tukar adalah antarkoneksi dan jaringan spekulan pendidikan (network). Dampaknya dalam lapangan pendidikan timbul malapetaka pedagogis. Di antaranya Si miskin gagal melanjutkan sekolah, dalam suasana yang sangat timpang. Situasi ini yang terjadi dalam pendidikan kita.

Nilai ekonomis mempengaruhi pendidikan, sekaligus pendidikan mempengaruhi cara berpikir dan bertindak mencari jalan pintas. Kedua gejala ini nampak jelas mengalami interaksi yang bermain di atas dua kaki yaitu atas nama kemanusiaan dan kualitas pendidikan. Jalur pendidikan mestinya wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi fitrahnya. Tapi dalam banyak hal justeru pendidikan sebagai virus yang ampuh melumpuhkan kemanusiaan itu sendiri.

Kapitalisme pendidikan menurut Francis Wahono (2001) berarti arah pendidikan dibuat sedemikian rupa sehingga pendidikan menjadi pabrik tenaga kerja yang cocok untuk tujuan ekonomi kapitalis tersebut. Kurikulum juga diisi dengan pengetahuan dan keahlian untuk industrialisasi, baik manufaktur maupun agroindustri. Dalam kerangka yang seperti ini, pendidikan dan nilai ekonomis bersatu menciptakan rasionalisasi pendidikan dalam wujudnya yang abstrak.

Masyarakat dihadapkan pada dua pilihan yaitu antara pendidikan sebagai kebutuhan yang substansial dan pendidikan sebagai kompetisi ekonomi. Pilihan pertama tentu saja sebuah pilihan yang didasarkan atas niat mulia yang berusaha untuk membebaskan diri dari kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan. Pilihan kedua bisa jadi sebuah kebutuhan tapi didasari pada keuntungan praktis langsung, karena akan mengangkat martabat dan nilai prestisius bagi yang mampu.

Jika dilihat yang pertama adalah pilihan hidup atas konsep dasar kebutuhan yang disesuaikan dengan tingkat kemampuan ekonomi seseorang dan yang kedua adalah pilihan atas dasar pendidikan kaum elitis yang melihat nilai pendidikan itu diproduksi dan biaya yang ditetapkan sebagai produksi. Maka persoalannya bukan kebutuhan akses pendidikan melainkan sistem nilai dibalik makna dan ilmu pendidikan.

Itulah sebabnya secara praktis dan teoritis mustahil pendidikan diselenggarakan secara gratis dalam suatu negara yang dikendalikan oleh politik ekonomi yang bertumpu pada pasar sebagai akidahnya. Dalam kenyataannya pendidikan kita berada dalam lingkaran ekonomi berbasis kredit ketimbang ekonomi berbasis kerakyataan. Tekanan kapitalisme pendidikan akan terus menghantui generasi muda yang wajib menuntut ilmu sampai ke liang lahat.

Malapetaka yang sama juga terjadi pada out put pendidikan baik yang lulus dari sekolah menengah atas maupun perguruan tinggi. Bukan jawatan yang mencari skill para lulusan tapi sebaliknya. Pada akhirnya menimbulkan inflasi ijazah yang meningkatkan angka pengangguran. Padahal menurut Deputi Bidang Kemiskinan dan Ketenagakerjaan Bappenas di sela Sidang Tahunan Asian Development Bank (ADB) ke-42 di Bali International Convention Center (BICC), Nusa Dua, Bali beberapa waktu yang lalu mengatakan angka pengangguran masih di atas 8 persen (Kompas, 3 Mei 2009).

Berakhirnya Ilmu Pedagogi
Persoalan klasik yang dialami lembaga pendidikan dan sekolah-sekolah adalah kegagalannya mempersiapkan peserta didik menjadi subjek yang berperan dalam lingkungan sosialnya. Sebab mereka lebih dipersiapkan untuk menjadi buruh atau karyawan dari pada persona kreatif. Tidak berlebihan jika pusat ekonomi dunia menuai krisis dan pasar terkena imbasnya peserta didik turut terkena dampaknya. Akibatnya, peserta didik menjadi pasif atau bahkan sebagai subjek manusai secara pedagogis telah mati, karena mereka hanya menjadi “konsumen” bukan “produsen” ilmu pengetahuan (Moeslim Abdurrahman, 2005).

Banyak perusahaan yang gulung tikar sementara ijazah dan gelar yang di sandang jauh dari kualifikasi yang diharapkan jawatan. Kerapkali ijazah tidak mampu menjawab kepentingan pasar. Hal ini dipengaruhi oleh Trans National Corporations (TNCs) yang melebarkan sayapnya dengan strategi mereka mempengaruhi kebijakan negara-negara dunia ketiga untuk melicinkan jalan bagi TNCs untuk beroperasi.

Dalam konteks semacam itu, ekonomi pasar kapitalisme mempengaruhi pendidikan bukan sebaliknya. Kapitalisme pendidikan melahirkan komersialisasi pendidikan yang berimplikasi pada pemerintah untuk melepaskan tanggung jawabnya, dan menyerahkan pendidikan kepada jawatan swasta. Negara menghentikan subsidi kepada rakyat karena hal itu selain bertentangan dengan prinsip ideologi pasar bebas yang tidak ingin ada campur tangan pemerintah.

Kapitalisme pendidikan berpandangan bahwa dunia pendidikan dapat diatur oleh materi dan kurikulum dapat dibentuk sesuai apa yang diinginkan untuk kepentingan pasar dan pemodal. Oleh karena itu, mengimbangi derasnya arus kapitalisme pendidikan perlu dikembangkan dan ditanamkan pendidikan karakter, yaitu filosofi pendidikan yang bertugas menggantikan lembaga pendidikan komersil dengan lembaga budi yang manusiawi. Itu pun menurut keyakinan pedagogis jika kapitalisme pendidikan dapat dianalisa secara kultural dan pedagogis yang tidak menginginkan berakhirnya ilmu pedagogi. Wallohu ‘alam

0 comments:

Post a Comment

Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?