March 25, 2010




Pendidikan yang didesain sebagai sarana komunikasi sosial akan bisa menyuntikkan sistem kekebalan bagi manusia, baik selaku makhluk individu maupun sosial. Sistem kekebalan ini mendorong manusia menjaga nilai-nilai kehidupan yang tumbuh dalam setiap nurani untuk menyebarkan kasih sayang dan tolong-menolong yang terekspresikan melalui eksistensi kesadaran diri dan lingkungan sosialnya.

Dalam pengalaman faktual hidup manusia sistem kekebalan tersebut sering berlawanan dengan realitas kekerasan, ancaman, kejahatan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan, dan sebagainya. Stephen R. Covey dalam The 8th Habit: Melampaui Efektivitas, Menggapai Keagungan (2005) menyebutkan, sistem kekebalan tubuh kita akan menjadi lemah jika tindakan kita berlawanan dengan nilai-nilai dan nurani kita yang lebih dalam; dan akan tumbuh menjadi semakin kuat, jika kita merasakan dan mengungkapkan kasih sayang atau perhatian yang sepenuh hati.

Covey ingin menunjukkan bahwa dalam lapangan pendidikan manusia yang lebih luas upaya untuk menumbuhkan kesadaran diri itu membutuhkan banyak sistem kekebalan tubuh yang termanifestasi dalam kecerdasan fisik, mental emosional, dan spiritual. Peringatan seperti ini sanagt penting, mengingat tantangan dan cobaan menyeruak datang silih berganti dalam kehidupan anak didik di kemudian hari.

Titik-titik Buta
Untuk menjadi kebal tubuh manusia membutuhkan makanan yang mengandung gizi tinggi dan tentunya diperoleh dengan cara yang halal lagi baik. Sama halnya dengan pendidikan, jika mengalami hambatan maka komunikasi sosial yang menjembatani ragam kecerdasan akan mati dan sistem kekebalan tubuh masyarakat akan menjadi lemah. Manusia kemudian kehilangan kepekaannya terhadap makhluk lain.

Komunikasi sosial sebagai umpan balik tumbuh berdasarkan motivasi personal dan sosial. Dengan pendidikan kekurangan dan keterbatasan manusia dibina untuk melengkapi fitrahnya yang dibawa sejak lahir. Dari buaian sampai dewasa manusia diajarkan berkomunikasi untuk menjadi duta Tuhan yang mengajarkan kebaikan dan kedamaian.

Beribadah adalah salah satu sarana umpan balik manusia mematuhi perintah dan mengharap ridla Allah SwT. Tanpa berkomunikasi dengan Tuhan manusia akan lemah dan tidak bertanggung jawab. Guru akan mengabaikan peserta didik, orang kaya tidak peduli kepada orang miskin dan seterusnya. Inilah salah satu contoh yang disebut Covey dengan titik-titik buta (blind spots).

Titik-titik buta ini akan melumpuhkan aktivitas manusia. Kemampuan paedagogis manusia berangsur lemah kehilangan motivasi yang menuntunnya ke lembah pemikiran yang sempit. Matra duniawi dan ukhrawi terlihat hitam-putih. Manusia pun kehilangan empati yang memicu sikap serakah, korup dan bersekutu dengan kekuatan di luar kekuasaan Tuhan. Kebutuhan menikmati hakikat agama terasa hambar tapi eksistensinya ingin diakui oleh yang lainnya. Manusia lupa, jika di balik kekuatannya tersimpan potensi kelemahan.

Oleh karena itu, agama dan pendidikan adalah sarana untuk mencegah manusia dari titik-titik buta yang membawanya dalam ketidakpuasan permanen. Dua kebutuhan manusia yang akan menguatkan komunikasi sosialnya. Sebagaimana disebutkan Murtadha Muthahhari (1992), agama dan pendidikan merupakan kebutuhan fitrah manusia yang alamiah.

Perubahan zaman dapat mengubah sifat, watak dan karakter seseorang. Manusia berperan sebagai saksi dan pelaku sekaligus dalam perubahan itu sendiri. Revolusi industri telah membawa umat manusia dalam kerangka berpikir yang sarat kapital. Hanya pribadi unggul yang akan bertahan melewati jalan terjal titik-titik buta tersebut.

Dalam kajian sosiologi agama, titik-titik buta sebagai persoalan hidup manusia kadangkala tidak dapat dipecahkan oleh akal pikiran manusia, dan untuk memecahkannya manusia membutuhkan pancaran teologis (agama) yang diperoleh dari pengalaman belajarnya. Kebutuhan teologis ini dilukiskan Malinowski untuk meritualisasikan optimisme manusia.

Menurutnya, agama memungkinkan manusia melakukan hal-hal yang paling besar yang mampu dilakukannya. Dan agama menyebabkan orang dapat melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan orang lain. Agama memberikan kedamaian dan kebahagiaan, keharmonisan dan kesadaran akan tujuannya kepada manusia dalam bentuknya yang mutlak (Betty R. Scharf: 1995).

Inkulturasi Pendidikan
Dengan didorong kekuatan teologis, keraguan dan ketidakpastian ikhtiar manusia sebisa mungkin diminimalisir yang dimantapkan lewat komunikasi sosialnya. Dengan kata lain, dapat pula dikatakan bahwa kekuatan teologis adalah upaya kreatif yang memadukan aneka kecerdasan manusia dengan jalan pedagogis yang tidak terbatas pada komunikasi sosial.

Covey ingin sekali menyelaraskan kecerdasan fisik, mental, emosional dan spiritual berperan sebagai kekuatan penuh melawan titik-titik buta yang melemahkan manusia. Sehingga terbentuk komunikasi sosial yang kuat dan dapat menyatukan misi dan visi kemanusian setiap orang dengan gemilang. Dengan demikian untuk menuntun manusia dalam segenap kecerdasan tersebut diperlukan ruang stimulus yang menyegarkan yang bernama pendidikan.

Membudayakan pendidikan tanpa umpan balik ibarat makanan tak bernutrisi. Dalam kacamata ini yang lumpuh adalah komunikasi sosialnya. Demikian halnya, dengan demokrasi di Indonesia tanpa komunikasi sosial tidak akan mewarnai dunia politik modern yang kita rasakan saat ini meskipun dalam memperjuangkan demokrasi harus melewati prahara sosial.

Bahkan ideologi-ideologi yang menyelinap masuk ke dalam ruang-ruang budaya masyarakat mempengaruhi komunikasi sosial masyarakat baik di kota maupun pedesaan dengan perantara proses industrialisasi dan teknologi tinggi yang menghasilkan komunikasi massa. Kenyataan ini menjadi tantangan tersendiri bagi individu dan masyarakat dalam bingkai komunikasi massa yang menciptakan makna-makna baru, serta mengikuti pola kerja ekonomi berbasis pasar.

Adapun hal yang lebih mendasar sebenarnya adalah pengaruh globalisasi dalam kehidupan masyarakat. Pengaruh ini tercermin dalam perubahan perilaku masyarakat yang dibangun oleh kemajuan teknologi dan informasi.

Kondisi dan tantangan tersebut harus direspons, yang dalam formulasi paedagogis komunikasi sosial dapat disebut dengan upaya menggugah kembali kesadaran kritis yang dilakukan melalui jalan dialogis (stimulus-respons) tanpa menafikan eksistensi setiap individu sebagai pelaku “rekayasa sosial”. Oleh karena itu, dalam pendidikan Islam sangat ditekankan pentingnya kerjasama dan tolong-menolong yang didasarkan pada tauhid sosial.

Untuk menguatkan pendidikan sebagai komunikasi sosial yang transformatif, maka membudayakan pendidikan dialogis adalah sebuah langkah gerakan kultural yang mengedepankan pentingnya landasan filosofis-paedagogis untuk memacu terbentuknya masyarakat belajar. Komunikasi sosial dapat memberikan orientasi baru dalam perluasan akses sosial masyarakat. Harus disadari bahwa untuk membangun counter culture atas kondisi dan tindakan yang tidak manusiawi diperlukan tindakan paedagogis sebagai komunikasi sosial.l

Categories : FEBRUARI 2010 SM 04-10

0 comments:

Post a Comment

Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?