January 16, 2010

Resensi Buku


Membudayakan Islam Jalan Mengikis Aborsi Kemanusiaan

Oleh: Nazhori Author

Judul : Inkulturasi Islam, Menyemai Persaudaraan, Keadilan,dan Emansipasi Kemanusiaan
Penulis : Abdul Mu’ti
Kata Pengantar : Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif, M.A
Tahun Terbit : September, 2009
Penerbit : Al-Wasat Publishing House, Jakarta
Tebal Halaman : xxvi + 200 Halaman





Islam sebagai suatu ajaran universal dapat diartikan sebagai sebuah ilmu pengetahuan yang mengajarkan bagaimana membina persaudaraan, menjunjung tinggi keadilan, dan menghormati harkat, martabat serta kemanusiaan. Islam juga memotret problematika kaum muslim yang disertai dengan jalan keluarnya secara rinci dalam Al-Qur’an dan Sabda Rasulullah.

Pertanyaannya apakah dengan ajaran Islam yang universal tersebut semua persoalan manusia tuntas diselesaikan sementara manusia dengan sifat, karakter dan tabiatnya adalah makhluk yang tidak pernah puas, alpa serta masih banyak lagi perangai buruk dan baiknya. Hal ini bisa dilihat dari beberapa peristiwa baik di Indonesia maupun skala global yang menerangkan bahwa persoalan persaudaraan, keadilan, dan kemanusiaan perlahan-lahan mulai pudar.

Mengapa bisa demikian? Saudara Abdul Mu’ti dalam buku barunya yang berjudul Inkulturasi Islam: Menyemai Persaudaraan, Keadilan, dan Emansipasi Kemanusiaan menjawab karena manusia telah mengaborsi kemanusiaannya. Tidak heran jika kekerasan, kejahatan dan penistaan terus muncul dengan wajah-wajah baru. Atas nama agama, politik, ekonomi dan sebagainya manusia dengan sendirinya telah menjatuhkan kewibawaannya.

Lantas di mana peran pemimpin, ulama, pemuka agama, dan generasi muda saat menghadapi tantangan tersebut. Mereka dan masyarakat semua ada dalam posisinya masing-masing hanya saja terlena dalam ritual keagamaannya dan kehilangan semangat untuk membudayakan iman dan amalnya untuk kemanusiaan.

Melihat kondisi ini, saudara Mu’ti mengulasnya dengan lugas dan tanpa sungkan memberikan contoh yang mudah dimengerti misalnya mengapa indikasi korupsi di lembaga-lembaga berpelat merah kian tumbuh subur karena mental sumber daya manusianya bermental klepto. Hebatnya lagi para kleptomanianya adalah para politisi, pejabat tinggi di pusat dan daerah, pengusaha dan intelektual yang sangat memahami hukum, memiliki kekuatan politik, ekonomi dan jaringan yang sangat kuat. Situasi Indonesia sekarang ini mirip dengan negara Zaire masa pemerintahan Mobutu. Sebuah negeri yang hidup dalam system kleptokrasi. Sebuah negeri yang sistem pemerintahan dan budaya masyarakatnya dikuasai oleh para kleptomaniac.

Topik lain yang disorot aktivis muda Muhammadiyah ini salah satunya soal kemiskinan. Khususnya yang terkait dengan fakir-miskin, yatim-piatu, tua-renta dan sebagainya yang dalam Islam disebut dengan dhu’afa fenomenanya semakin hari semakin “menakjubkan”. Menurut analisanya fenomena itu telah dikelola secara profesional oleh para pialang kebajikan. Di bawah bendera dhuafa enterprise para profesional merekrut sales yang telah dididik menjadi dhuafa’ entrepreneur untuk memburu para kaum derma (aghniya).

Ibarat gayung bersambut sebagai dermawan hatinya merasa senang karena tidak perlu khawatir untuk mencari pahala dan berkah karena datang dengan sendirinya. Di kota-kota besar jaringan sales tersebut tumbuh subur di tempat-tempat strategis yang semakin menambah pengalamannya. Tidak kalah menariknya dengan kejadian atau bencana yang belakangan terjadi di beberapa daerah di Indonesia.

Seperti banjir, gempa bumi, longsor, puting beliung, dan kebakaran berubah menjadi tontonan menarik. Layaknya hiburan semua dikemas sebagai bencanatainment. Dilengkapi dengan tenaga penjual bencana yang siap disebarkan ke masyarakat sebagai penonton bencana. Munculnya para penjual dan penonton bencana merupakan fenomena kerusakan moral dan melemahnya bangunan sosial. Para ahli Psikologi Sosial menyebut perilaku sosial negatif tersebut bystander apathy. Sikap masa bodoh, cuek, tidak peduli kepada orang lain yang membutuhkan pertolongan.

Informasi lain yang lebih menarik dari buku ini, penulisnya dengan cerdik mendudukkan persoalan fikih nikah dengan politik. Kawin sirri misalnya. Menurut Mu’ti secara historis-antropologis, akar tradisi kawin sirri dapat ditarik dari tradisi-tradisi poligami yang berkembang dalam masyarakat feodalistik. Laki-laki lebih unggul dari wanita. Kalkulasi kehormatan dan prestasi menjadi daya tarik tersendiri bagi pelakunya.

Karena sifatnya yang rahasia dan tersembunyi kawin sirri hanya memanfaatkan agama sebagai kedok belaka. Hal inilah yang sering disalahgunakan para penikmatnya untuk melegalkan aksinya. Mengingat secara hukum antara agama dan negara terjadi dikotomi secara politis. Meskipun praktik dan motivasinya berbeda kawin sirri tetap dikatakan sebagai bahaya laten. Sebab pernikahan tidak boleh dilakukan secara sembunyi-sembunyi berdasarkan akad-nya. Jika tetap dilakukan dikhawatirkan, kelak istri dan keturunannya akan dirugikan.

Masih dalam persoalan fikih, topik segar disuguhkan penulisnya dengan mengangkat tema puasa generasi pop. Remaja adalah sosok yang menarik dan hangat diperbincangkan. Oleh karena itu, mengikuti tren remaja masa kini semakin memikat ide untuk mengupasnya. Apalagi dengan gaya rambut dan busana yang funky bukan berarti mereka lupa beribadah. Banyak artis remaja ngetop dengan gayanya yang metroseksual saat bulan ramadhan datang tetap berpuasa. Kenyataan ini layak diapresiasi karena nilai-nilai keagamaannya tidak tercerabut dari budaya pop sebagai dampak dari modernisasi. Maka remaja-remaja gaul lainnya yang bukan artis mengapa tidak meniru sikap positif mereka.

Alasannya menurut Mu’ti, generasi pop lahir dari rahim globalisasi, setelah melalui proses perkawinan yang kompleks antara berbagai kebudayaan, nilai-nilai tradisional, dan agama. Kecanggihan teknologi komunikasi memungkinkan generasi muda mengakses informasi dari berbagai sumber, dan melakukan pergaulan bebas antarbudaya melalui berbagai media maya seperti internet, televisi, film, ponsel, dan sejenisnya. Maka makna puasa bagi para remaja untuk meminimalisir rasa tersinggung dan amarah yang kian membuncah. Di samping itu, remaja adalah sosok yang banyak aktivitas kreatif yang perlu dilandasi oleh bekal agama.

Bicara tentang politik tentu saja tidak ditinggalkan begitu saja perkembangannya. Mu’ti juga mengupas peran strategis partai politik Islam yang menurut dia masih punya kesempatan untuk dipertemukan kembali. Artinya dipersatukan visi dan misi politiknya dalam ikatan persaudaraan politik. Meski terkotak-kotak silaturahim politik berpeluang terjadi dengan alami. Lebih jauh lagi, jika dihadapkan pada isu-isu politik yang menyentuh jalan hidup umat Islam. Seperti persoalan Palestina atau Timur Tengah pada umumnya. Tidak terkecuali dengan persoalan agama di dalam negeri yang memang berakhir rumit jalan keluarnya. Kemudian bagaimana sikap politik Islam terhadap Barat setelah Obama datang dan didaulat menjadi presiden. Umat Islam malah berharap Obama dengan segera mengeluarkan kebijakan yang lebih humanis di mata dunia setelah presiden sebelumnya memutuskan setiap kebijakan politiknya dengan standar ganda.

Masih banyak topik lain yang tidak dapat diuraikan lebih panjang. Intinya, buku beraroma segar ini mengajak pembaca untuk merenung dan menilai kembali substansi Islam yang sesungguhnya. Sebagai agama yang diyakini umat Islam dalam mengarungi perubahan jaman tanpa menafikan agama lain dengan penuh toleran, adil dan menghormati emansipasi kemanusiaan.

0 comments:

Post a Comment

Apa Tanggapan Anda? Atau Ada Ide lain yang mencerahkan?